Sunday, November 1, 2020

Pelukan Cinta Sang Dosen 18

PELUKAN CINTA SANG DOSEN 18 (ENDING)
BY : FAHRIANI

"Haura Natasyah Putri, sekali lagi aku ingin bertanya kepada kamu, mau kah kamu menikah denganku, kita lanjutkan mimpi yang pernah tertunda?" ucap Adam sambil menatap penuh harap pada Hawa.

Hening .... 

Degupan jantung berdetak kencang. Seolah ingin meledak. Hawa mencoba menetralisir aliran darah yang mengalir kencang. Perlahan dihirup udara melalui hidung. 

Adam menatap Hawa, makin tak sabar menunggu jawaban. Gadis itu mengangguk. Setelah sekian lama bungkam. 

"Iya, Kak. Aku mau," ucap Hawa sambil menunduk. Mengulum senyum malu-malu. Enggan menatap manik mata Adam. Malu menguasai diri. 

"Alhamdulillah ... terimakasih," ucap Adam sambil tersenyum lega. Seandainya dia tidak ingat taman pusat keramaian, ingin rasanya ia berteriak kencang dan memeluk Hawa. 

"Seharusnya aku yang berterimakasih kepada kamu, Kak. Masih menerimaku dengan baik setelah apa yang aku lakukan terhadapmu." 

Tiba- tiba Adam diam. 

"Kak ... Kenapa diam? Apa  yang kakak pikirkan, ada apa?

Adam tersentak dari lamunannya, entah kemana kata-kata yang disusun sejak lama. Hilang seketika, Hawa menyunggingkan senyuman. Membuat Adam kembali tersenyum. 

Adam melepaskan genggamannya pada tangan Hawa. 

"Wa,  kamu tau apa yang menjadi harapanku bersamamu. Meraih masa depan. Tentang keinginan melengkapi ibadah dalam menggapai ridha-Nya lewat mahligai rumah tangga yang kita bangun berdua." 

"Sekarang semua itu akan terwujud, kamu tahu, setelah kamu pergi, aku tidak pernah berhenti menyebut namamu di setiap sujudku, mengharap Allah mengembalikanmu padaku," ucap Adam sambil menatap Hawa tajam. 

'Kamu juga harus tahu kak, aku juga selalu menyebut namamu di dalam doaku,' ucapnya dalam hati. 

Hawa diam membisu, hanya air matanya yang turun membasahi kedua pipi. Ia tidak pernah menduga jika dipertemukan dengan lelaki yang memegang teguh pada janjinya. Kembali setelah sekian lama pergi. 

***

PERNIKAHAN

Tiba saat yang dinantikan kedua insan ini, Hawa yang mengenakan pakaian kebaya gamis berwarna pastel dan dipadukan jilbab yang senada, semakin memancarkan auranya.  

Adam yang tengah duduk di hadapan penghulu sudah siap untuk melaksanakan ijab kabul. 

Saat Hawa yang hendak turun dari tangga menuju tempat pernikahan, dirinya mendadak merasakan sakit kepala hebat,  tidak mau mengecewakan lelaki yang telah lama menunggu dan menantinya, dia mencoba menahan rasa sakit yang menyerangnya. 

Tiba-tiba pandangan Hawa menjadi gelap, dan kakinya terasa lemah tak sanggup untuk memijak anak tangga. 

Buuuuuukkkkk!

Hawa terjatuh terguling dari atas tangga rumahnya, seketika semua pandangan mata tertuju pada dirinya. 

Dengan cepat Adam dan Doni langsung mendekati Hawa yang sudah hampir tidak berdaya, dirinya masih sempat berbicara pada sang kakak, sesaat dirinya sebelum tak sadarkan diri.

"Lanjutin pernikahaannya, Kak. Meskipun aku berada di rumah sakit."

Hawa pun dilarikan ke rumah sakit, dan pernikahan mereka pun kini dilanjutkan di Rumah sakit. 

***

Tidak lama kemudian terdengar suara haru bercampur tangis dari Doni saat menikahkan sang adik. 

"Bismillahirrahmanirrahim ... Muhammad Adam, Saya nikahkan, kawinkan adik kandung saya, Haura Natasyah Putri binti Pratama Hakim kepada engkau Muhammad Adam dengan mahar seperangkat alat salat dibayar Tunai." Jabatan tangan Doni menghentak meminta jawaban Adam. 

"Saya terima nikahnya,  kawinnya,  Haura Natasyah putri binti Pratama hakim,  dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Adam berhasil mengucapkan ijab qabulnya dengan satu kali tarikan napas. 

Tak lama setelah saksi mengatakan bahwa pernikahan mereka sah, Adam berdiri dan mendekati ranjang rawat Hawa dan memegangi kepala wanita yang telah sah menjadi istrinya.

Adam melihat Hawa yang masih terbaring lemah,  air matanya pun menetes menatap sang istri yang menahan duka dan bercampur haru. 

"Wa, aku telah menunaikan janjiku. Aku menikahimu di hadapan Allah, diiringi untaian doa yang terucap.  Hari ini kamu telah sah menjadi istriku, aku  berjanji akan selalu menjaga dan melindungimu sepenuh jiwa, tidak ada lagi yang dapat memisahkan kita, kecuali maut."

Adam mengenggam erat tangan Hawa, lalu  mendekati wajahnya ke telinga gadis yang terbaring lemah itu, seraya berbisik lembut. 

"Istriku ...  aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, i'll never stop loving you."

Adam mencium kening Hawa,  air mata menetes di wajah sang istri, dirinya melihat buliran air mata yang menetes disudut mata Hawa.  "Cepat sehat, Istriku,"  ucap Adam lirih. 

"Terima kasih, Kak. Maafkan aku telah mengacaukan semuanya." 

Adam menggeleng. "Tidak, bukan salah kamu."

***

Hari hari telah dilalui Hawa,  gadis itu menyadari,  Adam adalah laki-laki yang dengan segenap raganya ikhlas menjadikan dia sebagai istri. 

Pemuda itu telah berjuang untuk menaklukan hatinya, pria itu yang tidak pernah melupakan janjinya. Hawa menyentuh kepala Adam yang tertidur di samping ranjangnya. 

"Kak ...," panggil Hawa lirih.

Adam mengangkat kepalanya, tersenyum menatap wajah Hawa. 

"Iya, kamu sudah bangun? Apa yang sakit?" Adam menatap Hawa dengan penuh haru dan menggenggam erat tangan gadis itu. 

"Terima kasih telah memilihku,  terima kasih telah mencintaiku, aku ingin meminta sesuatu padamu, Kak."

"Apa ... katakan."

"Kak, ajari aku untuk selalu mengingat-Nya,  nasehati aku jika berbuat kesalahan, nasehati aku agar hanya bertaqwa kepada-Nya, tegurlah aku jika  lengah terhadap ajaran-Nya," ucap Hawa. 

Adam mengangguk, dan tersenyum 

"In syaa Allah. Cepat sehat istriku, Sayang,  aku mencintaimu." Adam mengecup kening Hawa. 

***

Setelah beberapa hari Hawa dirawat, Kini dirinya sudah diperbolehkan pulang ke rumahnya.  

Adam membawa Hawa ke rumah yang telah dibeli dan dipersiapkannya sebelum menikah dengan sang istri. 

Hawa merasa heran, karena jalan yang di lalui bukanlah jalan menuju rumahnya mau pun kediaman Adam. 

"Kak,  kita mau ke mana?"

"Ke rumah kita." 

Hawa memandang heran pada Adam.  

"Rumah kita?"

Adam tersenyum, "Iya, rumah kita, nanti aku jelaskan kalau kita sudah sampai." 

Sampai lah mereka di depan sebuah rumah sederhana, bercat kuning gading. Hawa memandangi bangunan itu dengan heran. 

"Ini rumah siapa, Kak?"

"Sayang, kan sudah aku katakan, ini rumah kita, ya sudah jangan heran dan bingung, kita turun yuk." 

Mereka pun turun dari mobil, Adam memegang tangan Hawa. 

"Mulai sekarang kita tinggal di sini, berdua." 

"Ah?" 

"Rumah ini sudah Aku persiapkan sejak lama, Wa," ucap Adam. 

"Sejak kapan?" 

"Sejak kamu menerima Aku menjadi calon suamimu," jawab Adam. 

___

"Assalamualaikum," ucap Adam. 

"Waalaikumsalam," jawab orang- orang yang sudah ada dan menunggu kedatangan Adam dan Hawa. 

"Bunda, Ayah," ucap Hawa saat melihat orang tua Adam,  dan langsung memeluk wanita paruh baya itu dan menyalami keduanya. 

"Kamu sudah sehat kan, Sayang?"

"Alhamdulillah ...." 

***

Sebelum pulang Adam mendapatkan nasehat dari sang Ayah, lelaki paruh baya itu dengan bijak menasehati anaknya. 

"Adam, Hawa,  sebelum pulang Ayah ada sedikit nasehat untuk kalian berdua," ucap lelaki paruh baya itu. 

Sang Ayah menasehati, di kehidupan baru mereka,  Adam sebagai suami harus bisa membimbing Hawa,  jangan pernah melakukan kekerasan kepada pasangan. 

"Rasa sakit di tubuhnya tidak beda dengan luka di hati. Kau akan berada dalam masalah hidup dengan wanita yang terluka,  dan Ayah tidak menyukai itu." 

Lelaki paruh baya itu mengatakan kepada Adam,  jika kehidupan di dunia tidak selamanya mulus dan tanpa masalah. Tak jarang jika manusia dihadapkan pada sebuah masalah yang membuat mereka harus cek cok. Begitu pun dengan kehidupan rumah tangga yang seringkali datang ujian dan cobaan. 

Ada saja fitnah yang terkadang datang sehingga pertengkaran tidak bisa dihindari. Jika itu datang menghampiri,  salah satunya harus ada yang mengalah,  membuang ego masing- masing.

"In syaa Allah, Adam ingat semua nasehat Ayah,  dan aku juga berjanji, tak akan pernah membuat Hawa kecewa,  karena mendapatkan dan memperjuangkannya, tidak lah mudah." 

"Sudah terlalu banyak cobaan yang kami hadapi, Yah, karena dari itu, aku berjanji tidak akan pernah menyakiti istriku."

"Hawa juga, jika Adam kasar, dia marah sama kamu, cerita sama Bunda, jangan ke orang lain,  karena Bunda juga ibu kamu, jangan pernah sungkan."

"Iya, Ayah, Bunda, In syaa Allah, Hawa ingat pesan dan nasehat Ayah dan Bunda." 

***

Rumah kini kembali sepi, hanya tinggal mereka berdua. Adam mengajak Hawa melihat-lihat isi rumah. 

"Nah yang ini kamar kita," ucap Adam seraya membuka pintu kamar. 

"Kamar kita?"

"Iya, emang kenapa? "

Hawa tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Gak apa- apa Kak."

"Ayo masuk," ajak Adam sambil menarik lengan Hawa. 

Mereka berdua duduk di tepi ranjang kamar itu, Adam memandangi wajah Hawa sambil tersenyum.

Merasa diperhatikan pria yang kini ada dalam satu ruangan. "Kenapa, Kak?” tanya Hawa tiba- tiba.

"Aku boleh meminta sesuatu pada kamu?" 

'Deg' 

"A-apa, Kak?" jawab Hawa terbata-bata. 

Hawa berpikiran, apakah Adam ingin meminta haknya sebagai suami. Karena dirinya belum melaksanakan tugasnya sebagai istri pada pria yang kini menjadi suaminya. 

"Sekarang, kamu kan sudah menjadi istriku, aku ingin kamu jangan memanggilku dengan sebutan 'Kak'. Bisakan, jadi, Sayang, atau Mas," ucap Adam. 

"Ah ... aku pikir apa," gumam Hawa. 

"Baiklah, Mas ...." 

"Terima kasih istriku yang cantik.” Kalimat itu terucap disertai sebuah senyum menggoda dari Wajah Adam. 

Hawa menunduk dalam-dalam karena malu. Memyembunyikan wajahnya yang merona. 

"Ehh, itu merah pipinya, istriku cantik kalo lagi malu gitu, mmm, makasih ya, Sayang …”

"Makasih untuk apa? "

"Ya, karena kamu sudah mau menjadi istriku.”

"Begitu juga dengan aku, Terima kasih, telah memilihku, menjadikan aku sebagai teman di hidupmu."

"Kamu tau, Aku selalu meminta kepada Allah, agar menjaga cinta kita, senantiasa menyemai kebaikan dan barokahnya kepada kita, aku juga meminta agar hati kita senantiasa mencintai-Nya karena hanya dengan cinta kepada-Nya lah perjalanan kita akan jadi mudah."

Entah energi apa yang mendorong, keduanya pun saling mendekat. Kemudian kedua matanya bertemu pandang, hingga syahdu, tenang, dan saling memeluk. 

Hawa melepaskan pelukan Adam." Aku mau mandi, Kak."

Saat Hawa berdiri, Adam kembali menarik lengan Hawa hingga terjatuh di pangkauan pria itu. Desir-desir halus menjalar di sekujur tubuh keduanya. 

"Nanti aja, aku masih pengen berdua denganmu," bisik Adam di telinga Hawa. 

Adam membacakan doa di telinga Hawa, mengecup pucuk kepala gadis yang telah menjadi istrinya. 

"Bolehkah aku menjalankan kewajibanku sebagai suami terhadapmu?" bisik Adam. 

Hawa menunduk malu. Lalu mengangguk. Keduanya hanyut dan terbuai dalam indahnya malam. Rembulan mengintip iri. Bintang berkerlip dengan suka cita. Dua raga berpadu menjadi satu dalam ikatan suci dan halal. 

***

Beberapa bulan pasca pernikahan,  Hawa masih sedikit merasa canggung jika harus berhadapan dengan Adam,  meski entah sudah berapa malam terlewati bersama pria itu. 

"Mas, mungkin aku bukanlah wanita yang romantis yang setiap hari memberimu ucapan cinta yang indah. tapi, jujur aku benar-benar mencintai kamu dengan tulus."

"Kamu juga harus tahu, kamu wanita pertama yang aku cium ketika selesai mengucap ijab qabul,  wanita pertama yang aku lihat saat aku terjaga di pagi hari, setelah malam kita." 

"Kamu wanita pertama yang aku kecup setiap aku selesai bermunajah di tengah malam. Dan kamu yang nantinya akan menjadi ibu untuk anak-anakku, dan kamu harus tau sungguh aku mencintaimu.”

Mendengar peryataan Adam, seketika itu Hawa menangis, dia memeluk tubuh pria  yang telah menjadi suaminya itu, pria itu pun membalas pelukan sang istri.

Rasanya umpama mimpi seorang yang menyambangi hanya selintas bayangan dalam lelap malam kini mengisi hari. Ketika rindu hanya impian pelepas dahaga kini nyata adanya. 

***

"Maaf, Kak, cintamu telah terbagi. Aku sudah memberi hati pada yang lain." Hawa berkata dengan menatap Adam serius. 

Adam yang tengah memeluk tersentak kaget. Melihat Hawa menangis mungkin karena penyesalan. Siapa yang berani hadir dalam mahligai kami. Mengapa Hawa tega menghadirkan orang ketiga. 

"Wa, katakan siapa orangnya, kenapa kamu tega? Apa salahku padamu? Apa kurang cintaku? Mengapa kamu membagi hati pada yang lain?"  Adam berkata lirih. Tak percaya akan pengkhianatan Hawa. 

Segores luka menghujam kalbunya. Tak percaya akan tangkapan indra pendengaran. Hawa tega. 

Hawa mengulur amplop putih. Dengan tangan gemetar Adam menerimanya. Mungkinkah ini lembaran photo mesra Hawa dan orang yang dicintainya? Atau pria yang berhasil menyingkirkannya dari hati sang istri. 

Perlahan Adam buka dengan napas tertahan. Baris demi baris berhasil dibaca. Seolah anak TK yang baru belajar membaca. Selembar kertas itu dieja perlahan. 

Mata Adam membulat sempurna. Senyum tersungging saat diakhir ejaan. Sujud syukur atas nikmat terindah. Lama baru terbangun dari ubin yang dingin. Berhambur memeluk sang istri yang sukses membuat kejutan besar. 

"Kita akan punya anak? Alhamdulillah. Aku akan jadi Ayah, Kamu jadi ibu. Sempurna sudah kebahagiaan kita."

"Ehm, Kalau untuk membagi hati untuk yang satu ini aku restui," ucap Adam diiringi tawa dan senyum dari ujung bibirnya. 

"Kamu jahat, hampir saja membuat aku patah hati." 

Adam mengerling mata menggoda sang istri. Hawa hanya tertawa melihat Adam yang sedih, marah dan berubah drastis jadi bahagia. Hari yang sepi akan ramai dengan tangisan si kecil. Semoga dilancarkan sampai persalinan tiba.

ENDING

Aku mencintaimu, bukan hanya karena siapa kamu. Tapi juga karena menjadi apa diriku saat bersamamu.

_Roy Croft_

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER