Sunday, October 18, 2020

Need A Wife 05

NEED A WIFE 03

Andre, suami Indri sudah memiliki dua anak remaja. Usia pria ini memang tidak muda lagi. Saat menikah kemarin, usianya menginjak empat puluh satu tahun. Putri pertamanya sudah delapan belas tahun, dan anak keduanya empat belas tahun. Namun, kehidupan glamor menjadikannya terlihat muda dan penuh pesona. 

Uang dari gajinya sebagai seorang manajer seolah tak pernah surut. Dari bisnis sampingan mengalir. Wajar jika kemudian Indri kepincut hingga rela menjadi selingkuhannya selama masih menikah dengan Seno.

Awalnya, kisah mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Lalu ketika acara family gathering, Indri dan Seno yang menyertainya tampak tak harmonis. Andre melihat peluang itu. 

Setiap kali membeli sesuatu, makan-makan atau apapun yang harus mengeluarkan uang, Indri yang terlihat merogoh tas. Tak jarang terdengar kekesalan wanita itu pada suaminya yang tak membawa uang sepeser pun. 

Andre selalu tampil sebagai atasan yang baik dan perhatian. Membayarkan apa saja yang dibeli oleh Indri. Bahkan jika barang tersebut untuk Seno. Seperti kaos, celana, hingga sepatu. Ayah dari dua anak itu tak merasa keberatan menggelontorkan uang untuk sebuah tujuan.

Indri yang merasa berhutang budi, tak memiliki alasan untuk menolak saat diminta menemani bossnya ke luar kota. Awalnya dia juga mengira sebagai atasan dan bawahan, tapi setelah tiba di kota Malang, Andre menunjukkan sikap yang sangat mesra dan perhatian.

Indri takluk, dia tidak dapat menolak saat dipaksa berbagi kamar hotel. 

Gugup, sudah pasti. Dia juga bukan anak kecil yang tak faham tujuan Andre, tapi karena merasa sungkan menolak dan juga menikmati gelimang harta, logikanya dia gadaikan. Tanpa status, mereka kerap pergi bersama ke mana saja dengan alasan pekerjaan.

Seno, bukan tidak curiga. Karena tidak ada bukti, dia tidak bisa tegas kepada Indri. 

"Kalau aku resign, kalian sekeluarga mau makan dari mana?" Cibir Indri saat Seno meminta dia untuk tidak terlalu sering tugas ke luar kota dengan atasannya.

"Rezeki bisa dicari, insyaallah aku lagi ngurus semua keperluan untuk pengangkatan jadi PNS. Sabar ya, Yang." 

Seno menatap wajah istrinya yang bening karena polesan serum mahal dalam perawatannya.

"Seteralah. Aku keluar kalau kamu dah jadi PNS," jawab Indri sambil meninggalkan suaminya yang hanya menarik nafas panjang.

*****   

Merajut cinta sejak SMA, membuat Seno dan Indri ingin segera meresmikan hubungan mereka lebih serius. Namun, orangtua mereka meminta untuk melanjutkan kuliah.

Hubungan jarak jauh semakin mempererat cinta mereka, bahkan hanya bertemu satu atau dua bulan sekali. Indri kuliah di Jakarta, sedangkan Seno kuliah di Jojgakarta karena mendapat beasiswa. 

Setelah lulus, Seno melamar Indri meski belum memiliki pekerjaan tetap. Pria sederhana itu memilih menjadi guru, karena cita-cita mencerdaskan generasi masa depan. Karena itu, dia memilih jadi tenaga honorer selagi mencari kesempatan untuk diangkat jadi pegawai negeri. 

Meski cerdas, rupanya kemujuran belum berpihak padanya. Aneh, selalu saja gagal. Dia sendiri hampir putus asa, terlebih saat istrinya meminta cerai.

"Please, Yang. Sabar beberapa bulan saja lagi," pinta Seno kala itu.

Indri tak peduli lagi, dia sudah merasa sebagai istri dari Andre. Bahkan pria itu juga yang meminta Indri untuk lepas dari suami sahnya. Padahal, setelah resmi bercerai juga tidak langsung dinikahi. Selalu ada alasan, salah satunya restu dari anak-anaknya.

Kini, Indri meratapi pernikahannya yang sudah seperti berumur puluhan tahun. Konon, jika sudah puluhan tahun ditambah dengan masalah yang ada, tidak ada lagi keharmonisan di dalamnya. Itu mungkin wajar. Namun bagi Indri, pernikahan yang baru dijalaninya satu hari sudah sangat tidak menyenangkan. Jauh dari romansa seperti ketika baru menikah dengan suami pertamanya.

Sikap Andre yang kasar seolah akibat dari mudahnya mendapatkan wanita itu dari tangan pria lain. Tidak ada harganya. Murahan. Kemewahan harta didapat, tapi romansa seperti ketika berselingkuh tak ada lagi. Bahkan sama seperti dulu, Andre sering tugas ke luar kota dengan sekretarisnya. Sama seperti ketika bersama Indri dulu.

Tak bisa dipungkiri, wanita itu jadi menduga bahwa ada hubungan terlarang selayaknya dia dulu.

*****   

Seno keluar dari ruang guru menuju parkiran. Ponselnya berdering saat dia sudah duduk di atas kuda besinya.

‘Hallo,’ katanya pada nomor yang tak tersimpan di kontak.

_‘No, ini aku,’_ ujar suara dari jauh sana.

‘Indri?’ Tanya Seno keheranan, dia menaruh helm di stang motor.

_‘Seneng banget kamu masih kenal suara aku.’_ Indri berkaca-kaca.

‘Ya kenal lah, kita akan saling kenal tahunan. Dari ngobrol langsung hingga via telepon.’

_‘Bahkan menikah dan satu ranjang bersama ‘kan?’_ Indri menambahkan.

Seno tak menjawab, dia hanya menarik nafas sambil mengusap rambutnya yang rapi. 

‘Oh ya, aku mau jalan pulang ini. Kalau nggak ada yang penting, sorry kalau aku putus teleponnya.’ Seno terlihat tidak enak, dengan berulang kali mengusap rambut bahkan janggut tipisnya.

Pria itu segera menjauhkan smartphone dari telinga, lalu mematikan sambungan telepon. Dia tidak mengerti kenapa Indri menghubunginya lagi, setelah sekian lama. Bahkan saat baru bercerai benar-benar memutuskan hubungan dengan mengganti nomor telepon.

"Ganteng banget ih," celoteh Dara pada teman-temannya ketika tengah mengawasi Seno dari lantai dua.

"Taruhan, yuk," ajak gadis yang tak lain anak dari Andre, Vivi.

"Gue bakal bayar lo dua juta kalau bisa ngajak jalan tu cowok, eh guru yeees," katanya dengan gaya yang centil.

"Serius lo?" Tanya Dara menoleh pada teman baiknya.

"Sure! Dengan syarat nggak cuma jalan, tapi harus ada bukti berupa foto," tantang Vivi diikuti rasa penasaran oleh siswi lainnya.

"Hmm, okay." Dara terlihat berpikir lalu menoleh lagi pada Seno yang sedang memasang helm lalu menstarter motor, kemudian meninggalkan parkiran.

"Kalau gagal, lo yang harus bayar gue." Vivi menyeringai.

Dara terlihat ragu, karena dia sendiri bukan anak dari orang kaya seperti Vivi. Orang tuanya mapan, tapi uang dua juta hanya bisa dia dapatkan untuk satu bulan saja.

"Itu bisa uang jajan gue sebulan," celoteh Dara sambil menoleh pada rekan-rekannya yang mendukung untuk menerima tantangan Vivi.

"Ayolah, kan ganteng. Nggak rugi juga ngegebet dia."

"Oke," jawab Dara mengulurkan tangan.

"Deal," balas Vivi sambil tersenyum puas.

Semua siswi riuh menyemangati Dara, sementara Vivi tersenyum dengan tawa sinis dan licik.

*****   

Hari ke empat Seno mengajar di sekolah yang sama dengan Dara dan Vivi. Jam istirahat lima menit lagi, jadi dia berniat ke kantin untuk memesan kopi karena merasa ngantuk. Beberapa siswa siswi sudah ada yang keluar kelas termasuk Dara yang sedang memikirkan cara agar bisa menemui pria yang dulu merengkuh pinggangnya dengan manis.

Bak gayung tersambut, dia melihat Seno keluar dari ruang guru berjalan ke arah koridor kantin dan mushola. Dengan berlari dia mengejar sang guru bahasa lalu setelah dekat menariknya ke kelas komputer yang terbuka.

"Eh, apa in-ni? Dara?" Ujarnya kaget melihat muridnya yang terengah-engah karena berlari.

"Susah banget mau nemuin Kakak eh Bapak, ih. Mau nagih iga bakar Kebayoran," katanya dengan senyuman yang manis. Memamerkan lesung pipi di sebelah kanan.

Seno menarik nafas panjang, 

"Kamu ini, kalau dilihat orang bagaimana? Tidak enak ‘kan? Nanti dikira macam-macam lagi." 

Seno menggeleng sambil melongok ke luar khawatir ada yang melihat ke tempat itu. 

"Mana nomor kamu, nanti saya hubungi," katanya dengan sedikit cemas karena mendengar suara beberapa orang mendekati ruang komputer tersebut.

Terpaksa Seno menutup pintu dan meminta siswi cantik itu tutup mulut.

"Kenapa sih, Pak? Malu kalau ketahuan lagi ngobrol sama Dara? Kan wajar aja murid ma guru di sekolah ngobrol," ujar Dara menyeringai jahil.

Seno menyadari itu, kenapa juga dia harus panik? 

"Permasalahannya kita berdua di dalam sini, kalau tadi di koridor saja ngobrolnya ya nggak terlihat aneh," bela sang Guru dengan kembali membuka pintu sedikit. Memastikan sudah tak ada yang lewat tempat itu.

Dara malah tersenyum jahil dan senang, matanya seolah tak berkedip menatap guru favorit teman-temannya itu.

"Kita kaya murid sama guru lagi pacaran ya, Pak," oceh Dara sambil terkekeh menutup mulut.

Seketika Seno mencubit pipi siswinya hingga dia menjerit terkejut, tapi segera disumpal oleh tangan sang Guru karena ada yang lewat lagi.

Jadilah Seno mendekat mulut Dara sambil setengah memeluknya. Menjadikan gadis manis itu terpukau menikmati aroma maskulin dari dada gurunya. 

Hening, keduanya saling diam sampai benar-benar tak terdengar lagi orang yang lewat. Setelah itu Seno segera keluar tanpa memperdulikan gadis yang tengah terpana dan merasakan desiran yang semakin mengganggu perasaannya.

Pria itu segera menuju kantin dan memesan kopi hitam panas untuk dikirim ke ruang kerja guru.

"Pak Seno," panggil Vivi dengan senyuman yang manis.

"Iya, kenapa?" Tanya Seno dengan dingin. 

Sengaja agar murid-muridnya tidak semakin cari perhatian dan kegenitan.

"Nggak papa, Vivi boleh bawain kopinya kan ke ruang guru. Kasihan mamang kantin mah sibuk," ujarnya dengan sopan.

"Terserah kamu, makasih ya." Seno membayar pada penjaga kantin, lalu meninggalkan tempat itu dan kembali berpapasan dengan Dara yang masih memasang wajah berbentuk love, mungkin.

"Gue ke ruang guru dulu, nganter kopi punya inceran lo ... bye bye," ejek Vivi diikuti cibiran bibir Dara yang langsung bergabung dengan teman-temannya.

"Vi," teriak Dara mengejar dan menghentikan langkah Vivi, "gue deh yang ngasih. 

Lupa tadi janjian sama dia dan dia minta nope gue, lha gue malah lupa ngasih."

"Serius?" Vivi memicingkan mata.

"Suer," balas Dara sambil mengeluarkan pulpen dan mencatat nomor teleponnya di kertas ulangan yang baru dia terima. Merobek sedikit ujung kertas tersebut. 

"Ok, siapin duit dua jutanya ya say," ledek Dara sambil merebut gelas dari tangan Vivi dengan kekehan puas.

Vivi hanya angkat bahu, lalu kembali ke kantin berbaur dengan teman-temannya. Sementara Dara mulai merapikan pakaian dan rambut untuk kemudian masuk ke ruang guru.

"Ada apa, Ra?" tanya salah satu guru saat melihat Dara masuk sambil memegang piring kecil yang di atasnya terdapat gelas kopi.

"Antar kopi punya Pak Seno," jawab Dara dengan sopan.

Seno langsung menoleh, menatap gadis manis yang datang ke arahnya. Menaruh kopi di meja, tak lupa kertas nomor teleponnya.

"Tadi lupa," bisik Dara sambil menggigit bibir bawahnya, 

"demi iga bakar," bisiknya lagi sambil berpamitan. 

Tak ada balasan dari Seno, hanya menatap kertas berisikan nomor telepon. Lalu memasukkannya ke saku kemeja.

*****   

Berulang kali Seno mengacak rambutnya dengan kasar. Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Dara yang benar-benar menagih janjinya. Di satu sisi, dia menyukai sikap ceria gadis tersebut. Di sisi lain, dia merasa risih karena gadis itu muridnya. Bagaimana jika acara makan mereka diketahui orang-orang dari sekolah mereka?

Seno mulai menuliskan nomor Dara di ponsel. Meski ragu, dia tidak bisa ingkar janji. Apalagi ini sudah pertemuan mereka yang entah ke berapa kali. 

Setelah merasa yakin, dia mulai membuka laman percakapan Whatsapp dengan Dara. Tampak foto profil gadis itu sangat manis. Posenya memegang piring iga bakar dengan lidah dijulurkan sedikit sesungguhnya sangat menggoda lawan jenis, tapi itulah gaya anak muda sekarang. Sembarangan. Seno yang seorang duda tentu langsung mengusap wajah dan hanya bisa beristighfar.

[Besok saya tunggu di halte Gandaria ya, besok jam sebelas]

Tulis Seno. Terlihat centang satu, tak lama berubah centang biru dua. 

_[Asik]_ 

Dara tersenyum dengan merekah.

[Ajak kakakmu ya, nggak enak kita jalan berdua aja]

Seno mengirim pesan lagi. Namun sukses membuat Dara cemberut dan berfikir sejenak.

_[Kakak ke luar kota]_

Kali ini Seno yang garuk-garuk tak gatal. Dia merasa tidak enak bawa anak gadis dalam perjalanan lumayan jauh, hari minggu pula. Kesannya mau kencan, padahal murid sendiri dan cuma karena janji traktir makan iga bakar.

[Ajak Mama kamu deh, biar enak]

Seno kembali mengirimkan pesan. Kali ini membuat Dara memajukan bibir sambil mengepalkan tangan bersiap menonjok ponsel seolah lawan bicaranya ada di hadapannya.

_[Sekalian Papa ya, terus kita langsung beli cin-cin tunangan. Gitu?]_ 

Balas Dara sambil tertawa ngikik.

Seno membuang nafas kasar sambil lagi-lagi mengacak rambutnya.

[Masa berduaan, kalau ada yang lihat gimana? Bisa heboh sekolah]

Seno masih ragu.

_[Tinggal bilang nggak sengaja ketemu, susah amat. Nggak niat menuhin janji ya? Ya sudah, nggak usah janji makanya. Aku tahu kok kamu itu awalnya cuma iseng ‘kan? Eh sama Tuhan kita dibuat jodoh karena ketemu lagi]_

Dara menekan-nekan layar ponsel pintarnya dengan kesal. Sementara di seberang Seno terkejut mendapat balasan panjang dan terkesan marah dari muridnya.

Memang benar, dia tidak menyangka akan bertemu gadis ini lagi dan lagi. Apalagi ternyata murid di sekolah tempat dia mengajar. Dilematis.

[Ngambek. Saya tunggu di halte Gandaria ya. Jangan lupa]

Seno langsung melempar ponsel ke samping kanannya. Merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar sambil meratapi nasib dudanya.

******   

"Udah cantik, mau kemana?" Tanya Ibunya Dara keheranan melihat putrinya tak biasa terlihat cantik.

"Uhm, mau ke rumah Vivi," jawab Dara berbohong.

"Ke rumah Vivi kok cantik banget, curiga nih," ujar kakaknya dengan kekehan jahil. Kakak Dara adalah bekerja di perusahaan rekanan suami Indri.

Dara tak menjawab, dia hanya memakai sepatu wedges lalu mencium Ibunya dan segera menantikan ojek online yang sudah dia pesan. 

Tak lama ojek tersebut datang, dengan berbunga-bunga Dara melesat meninggalkan rumahnya menuju halte Gandaria Kebayoran. Namun sayang, dia tiba lebih dulu. Seno belum tampak, sementara waktu sudah pukul sebelas lewat lima belas menit. 

Dara duduk di halte sambil terus menoleh ke setiap jalanan yang ada di sekitar berharap pria yang dinantinya segera tiba. Namun, hingga lima belas menit menunggu, Seno tak kunjung datang. Gadis itu memainkan ponsel dan mulai menyentuh layar berniat menelepon, hingga terdengar suara klakson dari arah belakangnya.

Seno datang dengan motornya dan Dara segera lari mendekat dengan senyuman. Mengambil helm dari tangan gurunya, lalu duduk di belakang dengan hati berbunga-bunga. Bibirnya terus menyunggingkan senyuman sampai giginya terasa kering sepanjang perjalanan menuju Iga Bakar Panglima.

"Maaf ya tadi macet," ujar Seno membuka obrolan. 

Dara tersipu dan mengangguk meski sang pria tak melihat anggukannya.

"Dara juga baru sampe kok," balasnya terlambat.

"Oh, syukurlah. Gadis cantik kaya kamu di halte sendirian main ponsel itu bahaya," ujar Seno lagi.

Kali ini Dara memajukkan bibirnya, 

"Kenapa nggak jemput ke rumah lagian, kaya pacaran backsreet deh jadinya."

Seno hanya tersenyum sambil menoleh ke arah lain, sial hampir saja bertabrakan dengan motor yang menyalip dengan kencang dari arah kiri. Menjadikan helm Dara dan Seno berbenturan.

"Kamu nggak papa, Ra?" Tanya Seno spontan menyentuh lutut berbalut jeans denim tersebut.

Dara malah terperangah menyadari lutut dan pahanya disentuh pria untuk pertama kalinya.

"Eh, sorry, kebiasaan sama ...," Seno tak melanjutkan kalimat.

"Sama siapa? Istri Bapak atau pacarnya?" Tanya Dara terlihat tidak senang.

Tidak ada jawaban dari Seno, dia kembali melajukan motor hingga tiba di parkiran Iga Bakar Panglima. Setelah itu meminta helm dari Dara yang sudah turun dari motor lebih dulu. Kemudian keduanya berjalan beriringan menuju pintu restoran.

"Seno?" sapa seorang wanita yang baru saja keluar dari tempat itu.

"Indri?" Tanya Seno terkejut.

Sementara Dara hanya diam sambil menoleh ke wajah Indri lalu bergantian kepada Seno. 

Bersambung 

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER