NEED A WIFE 04
Seno dan Indri saling tertegun, hingga akhirnya mereka saling tersenyum kaku. Itu adalah pertemuan kedua pasca perceraian mereka. Pertama tentu saat di pernikahan. Namun tentu berbeda dengan saat di pelaminan yang bisa saling cuek, di sini justru mereka saling fokus. Terlebih, tempat ini memiliki kisah tersendiri bagi mereka.
"Sudah mau pulang?" Tanya Seno berbasa basi.
"Hmm, enggak kok. Baru datang," jawab Indri kikuk, ada harapan dia bisa bicara dengan mantan suami yang kemarin dia rindukan.
"Oh," balas Seno, serba salah untuk menawarkan bergabung atau tidak.
"Bu, maaf. Kembaliannya tadi ketinggalan," ujar pelayan restoran mengejar Indri yang terkejut sekaligus malu karena ketahuan berbohong.
Dara menahan tawa sambil menutup mulut dan memalingkan pandanga ke arah lain.
"Oke, kalau gitu kami masuk dulu ya," ujar Seno ketika menyadari wanita di hadapannya berharap untuk tetap di sini dengan berbohong tadi.
Spontan dia meraih tangan Dara dan mengajaknya masuk. Meninggalkan Indri yang terdiam dengan segala rasa yang diyakini sebagai sebuah kecemburuan.
Seno melepaskan tangan Dara ketika sudah mendapat kursi untuk duduk. Lalu membuka menu yang akan dipesan.
"Siapa tadi, Pak?" Tanya Dara penasaran.
"Mantan istri saya," jawab Seno jujur sambil tetap fokus pada menu.
Dara terkejut sambil menatap dengan mulut terbuka,
"Wow, meet mantan." Gadis itu mengangguk-anggukan kepala.
"Sudah, pesen yang mana?" Tanya Seno mengalihkan bahasan.
Dara memandang menu yang kesemuanya membuat dia menelan ludah karena benar-benar menggiurkan.
"Yang menurut Bapak paling enak aja deh," katanya sambil membuka ponsel.
Membuka grup whatsapp dengan Vivi dan teman-temannya yang lain.
Dara: gue lagi makan sama Pak Seno.
Vivi: what? Serius? No pic sama dengan hoax.
Dara: (mengirim foto Seno yang tengah memilih menu)
Teman 1: OMG
Vivi: foto berdua baru dua juta jadi hak lo
Dara: licik
Vivi: (emot tertawa puas)
Temen 2: ayo, Ra! Gunakan pesonamu!
Dara terkekeh membaca chatnya di grup. Sementara Seno menatap gadis cantik itu dengan tatapan sinis.
"Makan," titah Seno ketika sang Murid malah asik main ponsel.
Dara segera menoleh, lalu memasang kamera ponsel bersiap memotret hidangan.
"Mau makan tuh baca bismillah, bukan malah difoto."
"Ish, biar kekinian. Buat di IG," jawab Dara sambil asik memotret dari berbagai angle.
Seno memilih menikmati iga bakar yang sudah tersedia di hadapannya. Aroma yang menggugah selera membuat dia tidak sadar tengah ditatap oleh gadis di hadapannya.
"Kelihatannya, mantan Bapak itu masih ngarep ya?" Tanya Dara sambil mulai menyuapkan potongan daging yang sudah dikecilkan.
Tidak ada jawaban dari Seno, malah sibuk menikmati makan siangnya bahkan terlihat lapar.
"Ada pepatah bahasa Indonesia, buanglah mantan pada tempatnya, eh!" Dara menutup mulut sambil terkekeh geli.
Menyisakan Seno yang melirik sinis padanya.
Lagi, sang pria tidak membalas apapun. Hingga hidangan ludes tak tersisa di meja. Keduanya menikmati makanan favorit mereka dengan lahap.
"Impas ya, setelah ini jangan nagih-nagih lagi," ujar Seno mengusap bibirnya dengan tisu.
"Ish, padahal ngarep ditraktir lagi hehe," kekeh Dara sambil tertawa lebar.
Seno langsung menuju kasir dan membayar makan siang mereka. Meski Dara sempat protes karena baru juga selesai sudah langsung pulang.
"Banyak yang antri mau makan, kalau sudah selesai ya pulang. Jangan jadi kebiasaan malah ngobrol di meja sementara pengunjung lain antri nunggu kursi kosong," papar Seno sambil melenggang menuju pintu keluar.
Dara sedikit lari untuk menyamakan langkah. Setelah tiba di parkiran kembali dia mengeluarkan ponsel.
"Foto berdua yuk kenang-kenangan," pinta Dara.
"Nggak," jawab Seno singkat. Langsung menaiki motor dan memasang helm.
Dara mencebik kesal, lalu naik ke atas motor dan memakai helm juga.
"Eh ... itu Mbak Indri," ujar Dara menunjuk ke arah kiri.
Seketika Seno menoleh tapi ternyata tak ada, Dara sendiri sibuk memasang kamera dari arah kanan.
"Ciee nyariin mantan," goda Dara sambil terkekeh dan bersiap menekan tombol capture.
Seno mencebik bersiap menstarter motor, dan kesempatan itu tidak disia-siakan Dara dengan setengah berdiri mengambil foto mereka dari arah depan.
"Yes," ujarnya bangga membuat Seno menoleh ke belakang.
"Jangan disebar!"
"Nggak lah, seenggaknya kalau nggak mau kesebar ada acara traktir iga bakar berikutnya," kekeh Dara.
Spontan Seno mencubit kaki Dara, yang membuat gadis itu kembali terkesiap dan merasakan getaran aneh untuk ke sekian kalinya. Senyuman terukir di bibir tipisnya, sambil merasakan terpaan angin ke wajah ketika motor mulai melaju kencang.
Tidak ada obrolan hingga mereka melewati halte Gandaria, Dara berfikir sejenak. Mungkinkah Seno akan mengantarnya sampai rumah. Sunggingan senyum kembali terlihat dari wajahnya.
"Bapak mau antar Dara sampai rumah?" tanyanya dengan penasaran.
"Iya, tapi nggak masuk ya. Sampe depan rumah saja," jawab Seno sambil terus fokus ke jalanan.
"Memang Bapak tahu rumah Dara?"
"Ya makanya kamu kasih tahu jalannya," jawab Seno sambil melepas tangannya dari stang karena menunggu lampu merah berubah hijau.
"Kalau Mama sama Papa nanya jawab apa donk? Pasti dikira pacar aku lhoo, aku nggak pernah bawa cowok ke rumah," Tanya Dara lagi penasaran.
Berharap ada jawaban yang kembali membuatnya berbunga-bunga.
"Ya sudah, saya turunkan aga jauh dari rumah saja ya," jawab Seno enteng.
Dara mencebik kesal, sambil menunjukkan arah jalan ke rumahnya.
*****
Indri kembali dengan perasaan tidak senang. Entah kenapa setiap kali melihat Seno dan perempuan lain dia cemburu. Tidak rela. Seolah Seno hanya boleh mengharap cintanya, terus mengemis seperti dulu. Namun dia abai dan sesuka hati menjatuhkan pilihan.
Kini, Seno bersama perempuan yang lain lebih muda. Ingatannya kembali ke pesta pernikahan saat melihat mantan suaminya itu bersama seorang gadis. Apakah gadis yang sama?
Dia segera mencari album foto pernikahan yang baru dikirim kemarin. Dengan tidak sabar membuka lembar demi lembar dan akhirnya menemukan pemandangan yang membuatnya terbakar api cemburu.
Seno bertatapan mesra dengan seorang gadis. Setelah diteliti, itu adalah orang yang sama dengan yang ditemui tadi.
Wanita yang baru saja melepas masa janda itu membanting album foto. Kecewa, cemburu dan penyesalan menjadi satu. Bagaimana tidak? Di foto itu semua menatap kamera, hanya Seno dan gadisnya yang saling bertatapan mesra. Seolah merekalah objeknya. Bukan pengantin.
Mungkin tidak akan terlalu cemburu dan kecewa jika pernikahan yang dijalani baik-baik saja dan indah seperti harapan. Kenyataannya, Seno telah memilki kekasih baru dan pernikahannya dengan Andre tidak sesuai harapan.
"Kamu jahat, No," isaknya,
"Seharusnya kamu tetep sabar nunggu aku merasa bahwa kamulah cinta sejatiku," ujarnya lagi sambil menutup wajah dan menunduk.
"Aku masih sayang banget sama kamu, aku hanya ingin mencari sedikit kebahagiaan dari segi materi yang nggak aku dapet dari kamu. Harusnya kamu sadar itu."
Dengan cepat dia mengambil ponsel, memotret wajahnya yang sembap oleh airmata. Lalu mengirimkannya pada Seno yang tengah mengantar Dara pulang. Ceklis dua, belum terbaca.
Indri membanting ponsel ke kasur, menangisi kebodohannya sendiri.
"Kenapa kamu nangis?" Tanya suara dari arah pintu.
Indri segera menghapus airmata dan menatap suaminya yang baru pulang.
"Nggak papa, Mas. Lagi jenuh aja," katanya dengan senyuman.
Andre yang baru pulang dari luar kota selama dua hari menaruh tas, lalu membuka pakaian dan menaruhnya sembarang.
"Mas, gimana kalau aku jadi sekretarismu lagi? Biar tiap ada urusan ke luar kota, aku nggak kesepian karena tetep nemenin kamu," ujar Indri memeluk tubuh suaminya dari belakang.
"Kan ada anak-anak, ngobrol dan dekatkan diri kamu sama mereka. Sekarang kamu ibu dari anak-anak itu. Urusan pekerjaan, biar sekretarisku yang urus."
Andre cuek sambil melepaskan lingkaran tangan Indri lalu masuk kamar mandi.
Indri memalingkan wajah kesal, menatap ponselnya lalu segera menghapus chatnya dengan Seno. Dia takut Andre akan menemukan pesan itu dan marah.
Tak lama ayah dari dua anak itu keluar dari kamar mandi, memakai kaos oblong dan celana pendek, lalu menghubungi rekan bisnisnya. Setelah itu hanya menonton berita di televisi.
"Mas, apa ... kamu sama sekretaris kamu juga ... sama seperti denganku dulu?" Tanya Indri ragu-ragu.
"Nggak semua perempuan gampangan kaya kamu lah," jawab suaminya enteng, tapi sukses membuat hati Indri teriris meski sedikit lega.
Artinya, Andre tidak ada kesempatan dengan sekretarisnya itu.
"Aku juga dulu karena kamu rayu terus, jadi deh luluh."
"Ya, doain aja si Alma juga luluh pada akhirnya, jadi aku nggak kesepian kalau ke luar kota," jawab Andre enteng.
"Ish, jangan donk. Kamu cuma milik aku aja," balas Indri mencoba menutupi luka hatinya, menjadikan obrolan ini sebagai candaan belaka.
Meski jelas jawaban suaminya itu serius.
Tak ada jawaban dari pria yang kini mulai menatap Indri yang tengah tersenyum padanya. Lalu mulai menjalankan aksinya seperti ketika masih pacaran.
*****
Motor Seno berhenti tak jauh dari gerbang sebuah rumah. Antara merasa harus menemui orangtua sang gadis dan harus cuek saja membuat dirinya terdiam cukup lama. Sementara Dara menunggu perintah dari pria yang ada di depannya.
"Enak nggak kalau saya mampir? Atau kamu ya udah pulang aja langsung turun sekarang?" Tanya Seno pada akhirnya.
"Hmm, Dara belum pernah jalan ama cowok sih. Temen-temen cowok juga nggak pernah ke rumah."
"Ya udah, silahkan turun." Seno mempersilakan penumpangnya turun dari motor.
Dara menurut, lalu menyerahkan helm dan menatap Seno yang juga menoleh padanya.
"Ma-"
"Lunas!" tembak Seno seolah takut Dara meminta ditraktir lagi.
"Ish, orang mau bilang makasih." Delikan mata gadis itu membuat jiwa pria Seno sedikit hidup.
Sudah lama tidak merasakan apa itu kecanggungan dengan lawan jenis, yang berakhir pada libido kejantanannya meningkat.
"Oke, bye." Katanya sebelum pikirannya lebih terpesona lagi dan menginginkan muridnya itu lebih dari hubungan sekarang.
Dara puas, sambil berlompat-lompat dia membuka pagar rumah dan bersenandung ria sambil melepaskan sepatu lalu masuk ke dalam kamar. Membuka ponsel dan menagih uang pada Vivi. Tak lupa memamerkan foto boncengan berdua, hingga membuat teman-temannya cemburu dan memujinya.
'Kok bisa sih? Pakai cara apa? Coba ah besok.'
Semua kalimat itu terlontar dari mereka. Karena tidak ada yang tahu kalau sesungguhnya Seno hanya membayar janji yang tak sengaja dia ucapkan.
Dara tidak bisa tidur karena membayangkan akan mendapat uang yang tak sedikit dengan cara yang sangat menyenangkan. Senyum terus mengembang meski dia sendirian di dalam kamar. Berulang kali memandang foto yang terpampang di layar. Gambar dari dua manusia dengan jarak usia yang tak sedikit.
"Cakep, tapi...." Dara menarik nafas panjang, sambil memejamkan mata hingga dia terlelap.
Pagi-pagi sekali Dara sudah rapi, seperti biasa dia berangkat diantar kakak tertuanya Fadhlan. Setibanya di sekolah dia langsung menuju kelas tak peduli harus melewati belasan anak tangga dengan berlari.
"Mana duit gue!" tagihnya pada Vivi yang tengah sibuk mengerjakan PR.
"Di rumah aja ya, ntar pulangnya. Gue lupa ngerjain tugas nih, lo udah ngerjain PR dari Pak Seno?"
"Maygat! Gue belum!" teriak Dara sambil buru-buru membuka tas dan mencari buku pendalaman bahasa indonesia.
Bel masuk berdering keras, membuat Dara dan Vivi kelabakan. Bukan hal mudah menyusun sebuah surat lamaran pekerjaan beserta biodata dan lain-lainnya.
"Selamat pagi." Suara yang dirindukan Dara terdengar dari pintu masuk. Pria dengan pakaian batik itu duduk sambil membuka buku absensi siswa, lalu mengisi buku daftar hadir.
"Tugas kemarin tolong dikumpulkan sekarang ya," katanya pada ketua kelas di sana.
Vivi dan Dara pucat, sementara yang lain telah menaruh tugas mereka di atas meja.
"Yang belum gimana, Pak?" Tanya ketua kelas.
"Siapa saja yang belum?" Tanya Seno keheranan sambil mengangkat wajah maskulinnya menatap para pelajar.
Dara dan Vivi angkat tangan bersamaan.
"Memangnya dua hari tidak cukup untuk mengerjakan tugas seringan ini?" Tanya Seno menatap gadis cantik itu bergantian.
Vivi dan Dara tak berani menjawab.
"Silahkan kerjakan sekarang, tapi di depan pintu kelas ya," titahnya. Kemudian mengambil spidol dan mulai menulis di papan putih.
Apes, Dara sudah mencoba memasang wajah manis tapi tak membuat sang Guru peduli padanya. Terpaksa dia dan sahabat baiknya itu duduk di depan pintu sambil mengerjakan tugas.
Bu Rara lewat dan menanyakan kenapa mereka di luar.
"Dihukum Pak Seno karena lupa ngerjain tugas, Bu," jawab mereka kompak.
Bu Rara hanya mengangguk, lalu menoleh ke pintu kelas yang terbuka. Siapa sangka Seno juga tengah menatap ke luar. Jadilah keduanya saling tatap yang berakhir rasa canggung hingga salah tingkah.
Hingga pelajaran usai, Seno tak memperdulikan Dara selayaknya kemarin. Dia langsung meminta ketua kelas membawakan tugas ke ruang guru dan mengabaikan gadis manis yang kemarin makan iga bakar dengannya di depan pintu kelas.
"Njiir, dikacangin lo. Jadi, kemarin bisa sukses karena apa? Jangan-jangan dia temen abang lo," ejek Vivi curiga.
"Nggak, mereka nggak saling kenal. Abang gue kan kenalnya ama bokap lo," jawab Dara kesal.
"Ya udah, ntar pulang sekolah ke rumah dulu ya, ambil duit."
*****
Indri baru tiba dari salon ketika rumah terlihat ramai oleh canda tawa para gadis remaja. Dia sudah tahu jika itu pasti teman-teman Vivi, hanya saja tidak ada salahnya menyapa mereka.
"Nyokap tiri lo ya?" Tanya rekan Vivi yang lain.
"Iya," jawab Vivi santai,
"Hai, Mi..., kenalin temen-temen Vivi lagi main."
Vivi berdiri menyambut kedatangan Indri yang tersenyum manis dan ramah.
Satu per satu memperkenalkan diri, hingga tiba giliran Dara. Keduanya saling pandang cukup lama.
Dara mengerutkan alis, sementara Indri mengingat-ngingat.
"Kamu...?"
Bersambung
No comments:
Post a Comment