Stetoskop Cinta Sang Dokter 19
[Ma, lamarkan Lintang untukku.] Seuntai pesan WA menghiasi gawai menjelang tengah malam saat aku baru selesai menyusui dan mengganti pampers Anggi. Anak tengahku itu seolah hapal jadwal tidur malam emaknya, karena setiap kali mengirim pesan meminta untuk melamarkan Lintang pasti di jam-jam seperti ini.
Ini sudah kali kelima dalam sebulan terakhir, anak lajangku itu memohon supaya diri ini membicarakan hubungan mereka dengan Pak Dokter. Bukannya aku tak ingin membantu memuluskan hubungan keduanya, namun kekasih halalku sendiri sudah langsung bicara ke Dhuha, supaya membiarkan Lintang fokus kuliah dulu.
Lintang sendiri saat ini sedang menikmati masa-masa awalnya sebagai mahasiswa. Alhamdulillah, Sulung Pak Dokter tersebut berhasil menembus fakultas idamannya dengan tidak harus meninggalkan Semarang.
“Dok, lihat ini chat Dhuha,” ujarku sambil mengangsurkan gawai pada Pak Dokter yang saat itu juga sedang memeriksa gawainya sendiri sambil duduk bersandar di kepala tempat tidur.
Aku dan Pak Dokter tadi sedang asyik ber-pillow talk sebelum Anggi terbangun. Rutinitas yang kini tak lagi rutin kami lakukan sejak keberadaan Anggi. Pak Dokter mengalihkan pandang ke gawaiku, membaca pesan yang tertera di layarnya.
Setelahnya Beliau tersenyum sambil berujar,
“Putra Njenengan ngebet banget pengen jadi menantu saya.”
“Coba Njenengan telphone Dhuha, Dok.” Aku meminta Beliau untuk menjawab pesan Dhuha langsung melalui telphone.
“Gak usah. Njenengan aja yang balesin,” ujar Beliau kalem.
“Terus saya harus bales apa?”
“Ya terserah Njenengan. Kira-kira Njenengan sudah siap belum menghadap saya untuk melamar Lintang.” Bukannya memberi solusi, calon besanku itu malah menggoda istrinya.
Kucubit perut Beliau refleks, seperti biasa pria paruh baya itu mengaduh sambil tertawa kemudian merengkuhku dalam pelukannya.
“Bilang aja, kata Om, Lintang harus kuliah dulu,” ujar Beliau.
Pak Dokter melepas pelukannya. Beliau beranjak untuk mengangkat Anggi dan memindahkannya ke box. Setelahnya, lelaki terkasih tersebut kembali menyusulku ke peraduan. Kami merebahkan diri namun belum hendak menuju ke alam mimpi. Masih banyak pokok bahasan yang perlu diurai malam ini walau waktu sudah tepat berada di pukul 24.00.
“Dok, sejujurnya Njenengan ikhlas gak sih kalau Dhuha berjodoh dengan Lintang?” Dalam kondisi berbaring berdampingan dengan tatap lurus ke langit-langit kamar, aku mencoba meraba kedalaman hati Sang Belahan Jiwa.
“Kalau boleh memilih sih, saya lebih seneng punya menantu selain Dhuha. Tapi kelihatannya cinta mereka berdua kuat banget. Saya dilema, mau menentang gak tega, mau merestui juga rasanya gimanaa gitu.” Pak Dokter mengungkapkan perasaannya dengan lugas.
“Saya juga gitu, Dok. Saya khawatir kalau misalnya mereka berjodoh, dalam perjalanan berumah tangga pasti ada pasang surutnya kan. Nah...ketika hubungan mereka sedang kurang harmonis misalnya, takut saya nanti berdampak sama kita semua.” Aku mengungkapkan persetujuanku atas ucapan Pak Dokter, “Tapi kita sudah terlanjur salah langkah, Dok,” lanjutku.
“Maksud Njenengan?”
“Selama ini kita seolah-olah memberi lampu hijau dengan membiarkan mereka meneruskan hubungan, tanpa pelarangan sedikitpun. Ketika Dhuha meminta Lintang berjilbab dengan mengirimi sejumlah uang , malah kita temeni belanja. Terus saat Dhuha rutin ngirimi uang jajan buat Lintang, kita juga gak mencegah,” ujarku panjang lebar.
“Ya itu dia, saya gak tega mau ngelarang.” Pak Dokter mengakui kesalahannya, “Dan saya yakin, Njenengan pun pasti gak tega juga kan?” lanjut Beliau.
“Iya, Dok. Membayangkan Dhuha itu begitu baik, dia sayang banget sama saya. Semua yang dia lakukan selalu tujuannya untuk membahagiakan saya, gimana saya bisa tega membuat dia patah hati.” Terbayang di pelupuk mataku segala sesuatu tentang si anak tengah. Kehadiran Dhuha persis seperti kehadiran Maghrib dan Anggi, tidak diduga dan tanpa perencanaan.
Dhuha mulai tumbuh di rahimku saat Edel masih berusia lima bulan. Dan keberadaannya baru terdeteksi setelah kandunganku berusia tiga bulan. Itupun tanpa kesengajaan. Berawal ketika aku merasa blazer seragam kerjaku terasa sempit, tapi hanya yang di bagian perut.
Sejak melahirkan Edel, selepas nifas aku tidak pernah mengalami menstruasi sama sekali. Dan diri ini tidak sedikitpun gelisah, karena sejak gadis memang jadwal tamu bulananku tidak tertib. Namun siapa menduga bahwa saat itu tamu bulananku tidak pernah hadir karena ada Dhuha di sana.
Pun ketika dia lahir, kondisinya tidak terlalu menyenangkan. Berbeda dengan kelahiran Edel yang ditunggui oleh nenek dari kedua belah pihak. Saat Dhuha lahir, ibunya Pak Wicaksono baru dua bulan meninggal dunia, sementara ibuku nun jauh di Medan sana tidak bisa mendampingi karena kesehatannya sedang tidak baik.
Jadilah Dhuha saat itu hanya didampingi oleh seorang emak yang selalu merasa letih karena selain mengurus dia aku juga harus mengurus Edel yang masih berusia 14 bulan. Walau ada Mbak Sih yang membantu, tapi mengurus seorang bayi dan seorang batita sekaligus bukanlah hal yang mudah.
Berbeda dengan Maghrib dan Anggi, walau kehadiran mereka tidak direncanakan, tapi paska melahirkan banyak yang membantuku mengurus mereka.
“Eh...chat Dhuha sudah Njenengan bales belum?” Tetiba Pak Dokter teringat pesan yang tadi aku terima.
“Belum. Lupa saya,” ujarku sambil meraih gawai yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur.
“Bales gih, nanti Dhuha nunggu-nunggu.”
Kuketik seuntai pesan, kemudian menunjukkan hasil ketikan tersebut kepada Pak Dokter. Beliau membacanya,
“Monggo,” ujar Beliau menyetujui hasil ketikanku.
[Ha, Mama ngantuk. Masalah itu kita bahas besok ya Ha. Emotikon hati berwarna merah.] Kukirim pesan tersebut, yang langsung terlihat tanda centang berwarna biru.
Berarti, anak lajangku tersebut sejak tadi ternanti-nanti balasan dari emaknya.
[Ya, Ma. Gak pa-pa.] Hatiku teriris membaca jawabannya yang terlihat seolah-olah legowo, namun aku tahu ada pengharapan besar di balik balasan singkatnya itu.
“Tidur yuk, Dok. Pusing saya mikirin anak-anak.” Aku mengajak Pak Dokter tidur setelah meletakkan kembali gawai di atas nakas.
“Lebih pusing saya waktu Njenengan embargo selama hampir empat bulan,” jawab Pak Dokter kalem sambil memelukku erat.
Aku tertawa mendengar kalimat Beliau yang sarat sindiran akan peristiwa beberapa bulan yang lalu. Kucium pipinya dengan gemas, kemudian berlanjut mencium bibir seksi Beliau penuh kehangatan.
“Njenengan jangan terlalu berani, nanti kalau saya melakukankan serangan balasan njenengan bisa KO,” ujar Beliau setelah aku melepas ciuman di bibirnya.
Tawaku kembali berderai.
“Genit,” ujarku di sela tawa sambil merubah posisi tidur memunggungi Beliau.
Kali ini Beliau yang mengurai tawa sambil memelukku erat dari belakang. Sudah menjadi kebiasaan Lelaki kharismatik tersebut, selalu meninabobokkan istri paruh bayanya dengan pelukan penuh kasih.
Di awal pernikahan kami, Pak Dokter pernah bilang, Beliau melakukan itu selain untuk menjaga romantisme juga karena secara kesehatan, pelukan juga dapat menghilangkan stress dan meningkatkan mood.
Walaupun setelah kami berdua terlelap, biasanya pelukan akan lepas dengan sendirinya.
@@@@@
Setelah anak-anak dan Pak Dokter berangkat ke ladang jihad masing-masing, tinggallah aku, Mbak Kas, dan Anggi. Mbak Ramlah sedang libur. Sejak Edel menikah dan Anggi lahir, jadwal libur kedua ART Pak Dokter berubah. Kalau dulu mereka selalu libur bersama di akhir pekan saat kami pulang ke Salatiga, tapi sekarang mereka libur bergantian.
Kalau akhir pekan ini –dari Jumat hingga Ahad- jatah Mbak Ramlah, maka minggu depan jatah Mbak Kas. Apalagi sekarang kami jarang pulang ke Salatiga, jadi kesibukan di akhir pekan tetap ada, repot kalau ART libur semua. Ditambah lagi sekarang ada Anggi.
Aku sedang di dapur bersama Mbak Kas dan Anggi yang berada di strollernya. Mbak kas sedang memasak untuk makan siang, sedangkan aku menyiapkan alpukat untuk snack si bayi mungil. Sejak memasuki usia tujuh bulan, bungsuku itu sudah mulai menerima makanan padat. Selain makanan utama di pagi dan sore hari, aku menambahkan buah sebagai snack di pukul sebelas siang.
Dalam seminggu, aku mengganti menu makanan tambahannya setiap hari. Pisang, alpukat, wortel, kacang hijau, tomat, jeruk, dan tajin. Khusus untuk alpukat, penyajiannya dihaluskan dengan memberi tambahan madu, sementara pisang hanya sekedar dikeruk sehalus mungkin. Untuk kacang hijau, aku hanya mengambil airnya saja kemudian diberi tambahan madu, begitu juga dengan tajin. Demi memenuhi kebutuhan tajin Anggi, setiap hari Selasa Mbak Kas terpaksa menanak nasi dengan cara konvensional. Untuk buah yang lain, diolah menjadi jus, disaring, kemudian memasukkan sarinya ke dot.
Alhamdulillah, menu tambahan ini cocok dengan bayiku. Tubuh Anggi tidak gendut, tapi montok, padat berisi. Pertumbuhannya cukup bagus dan signifikan.
Selesai menghaluskan alpukat dan mencampurnya dengan madu, aku beranjak dari dapur sambil mendorong kereta Anggi bermaksud menuju ruang keluarga ketika terdengar salam dari pintu depan.
Salam itu diikuti dengan munculnya sesosok lelaki muda berbadan atletis berkulit bersih dengan penampilannya yang trendy.
“Dhuha,” ujarku penuh kekagetan sambil meletakkan wadah alpukat Anggi di meja.
Lelaki muda itu tidak menjawab sapaku, melainkan langsung menyalami dan mencium punggung tanganku, setelah sebelumnya meletakkan travel bag di dekat rak buku berbentuk buffet. Kemudian dia memelukku erat.
Setelahnya dia beralih menggendong Anggi penuh cinta dan kehangatan. Dhuha menggoda Anggi dengan memainkan ekspresi wajahnya, juga menaik turunkan alisnya. Bayi mungil itu seakan paham dengan candaan kakaknya. Dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Anggi tambah gembul, ya Ma. Abot banget.” Setelah puas menggoda si bungsu, dia kembali meletakkan bayi mungil itu ke stroller. Aku mendudukkan diri di sofa, Dhuha mengikuti perbuatanku.
“Dari bandara Nge-grab, Ha? Kamu pulang dalam rangka apa?” Sambil memasang baby bip (celemek bayi), aku mengajukan tanya beruntun pada Dhuha.
Diri ini masih diliputi rasa kaget tak bertepi. Dhuha pulang di hari efektif kerja, tidak ada event penting, juga tidak libur hari besar. Dan kepulangannya ini tanpa pemberitahuan sama sekali.
Tadi malam dia mengirim pesan melalui aplikasi wa, memintaku untuk melamar Lintang. Pesannya itu kubalas, tapi aku tidak menjawab permintaannya. Hari inipun aku belum sempat memberi respon atas keinginannya tersebut ketika tetiba anak lajang ini sudah muncul di hadapanku.
“Iya, Ma. Dalam rangka kangen Mama,” jawabnya sambil tersenyum menggodaku.
“Kangen Mama, atau kangen anak Pak Dokter?” Kuulurkan sesendok kecil alpukat halus pada Anggi. Bayi itu menerima suapanku dengan lahap.
Mendengar tanyaku, si anak lajang tergelak. Wajah ganteng itu terlihat semakin mempesona ketika matanya menyipit tersembunyi di balik tawa.
“Serius lho, Ha. Mama penasaran dan was-was.” Kuungkapkan dengan lugas apa yang kurasakan pada si tengah sambil tetap telaten menyuapi si bungsu, “Kamu belum sarapan tho? Sarapan dulu sana. Mbak Kas tadi bikin kolak roti,” lanjutku.
“Udah, Ma. Sarapan di pesawat. Penasaran boleh, Ma. Tapi gak perlu was-was. Aku baek-baek aja kok.” Dia berusaha menenangkan emak paruh baya ini.
“Gimana Mama gak was-was. Dalam sebulan ini kamu dah lima kali meminta Mama untuk melamar Lintang. Lha...sekarang tanpa kabar, tau-tau muncul di hadapan Mama,” ujarku jujur, “Kamu serius pengen segera ngelamar Lintang?” lanjutku dengan seuntai tanya.
“Serius pake banget, Ma,” jawabnya spontan, ”Aku mandi dulu ya, Ma, mau siap-siap jumatan. Nanti selesai Jumatan kita ngobrol lagi,” lanjutnya.
“Ya, udah. Ni Mama ngerampungin nyuapin Anggi dulu.”
Sebelum berlalu menuju kamar Maghrib, anak lajangku itu menggoda Anggi dengan berciluk ba. Dan si bungsu kembali mengurai tawa melihat tingkah kakaknya.
Kemudian dia beranjak sambil membawa travel bagnya, sementara aku melanjutkan menyuapi si bungsu setelah sebelumnya mengirim seuntai pesan via wa kepada Pak Dokter.
[Dhuha pulang, Dok.]
@@@@@
“Ma, aku pengen nikah.” Tanpa basa-basi Dhuha mengungkapkan keinginannya ketika kami sedang menikmati makan siang berdua setelah Dhuha pulang dari sholat Jum’at.
Aktivitasku menyendokkan nasi ke piring terhenti. Kutatap anak tengah almarhum Pak Wicaksono itu dengan serius. Wajah ganteng itu memperlihatkan ekspresi yang bersungguh-sungguh atas ucapannya.
“Om kan sudah ngomong langsung ke kamu kalau Lintang harus kuliah dulu.” Kulanjutkan mengambil nasi, kemudian melengkapinya dengan sayur dan lauk.
“Walau kami sudah nikah, Lintang kan tetap bisa kuliah, Ma.” Dhuha terlihat begitu menikmati masakan Mbak Kas. Menu sederhana kesukaannya, sayur lodeh, balado kentang dicampur telur puyuh dan udang, serta bacem tahu tempe, ditambah kerupuk.
“Lagi pula percuma tho Ha nikah sekarang. Lintang gak bisa ngikut kamu ke Kalimantan karena harus kuliah.” Aku mulai menikmati suapan pertama makan siang ini.
“Aku yang pindah ke Semarang, Ma. Aku mau resign, terus nanti cari posisi baru di Semarang.”
“Kamu sanggup bayar pinalty?” tanyaku bersungguh-sungguh.
“Aku sudah bebas pinalty dua tahun belakangan, Ma. Makanya aku kepikiran untuk resign, demi bisa nikah.”
Sampai di sini aku tak mampu berkata-kata. Walau di Kalimantan Dhuha harus tinggal agak di pedalaman, namun segala fasilitas disediakan perusahaan. Karena dia masuk melalui jalur Management Trainee, jabatan dia lumayan bagus. Gaji besar, rumah dan mobil dinas dapat, ongkos pesawat untuk pulang setahun sekali ditanggung perusahaan.
Tetiba timbul prasangka buruk dalam hatiku.
“Ha, kamu jangan tersinggung ya. Melihat keinginan kamu yang begitu ngotot pengen nikah, Mama jadi berpikiran yang bukan-bukan,” ujarku dengan sangat hati-hati sambil kembali menikmati makan siang yang terasa istimewa karena ditemani jejaka terkasihku.
Bukannya tersinggung, Dhuha malah mengurai tawa.
“Aku gak tersinggung, Ma. Tapi Mama juga jangan berpikiran terlalu jauh. Aku sama Lintang belum pernah ngapa-ngapain lho, Ma. Bahkan ciuman pun kami gak pernah.” Dhuha mengungkapkan segalanya dengan gamblang, “ Tapi jujur, kalo pegang tangan iya. Tapi gak lebih dari itu lho, Ma,” lanjutnya sambil mengulum senyum.
Sedikit banyak aku merasa lega, karena prasangka burukku tak terbukti.
“Aku paham kok, Ma. Hubunganku sama Lintang ini bukan cuma antara kami berdua, tapi juga berdampak buat Mama dan Om. Kalau aku berbuat gak baik sama Lintang dan ternyata kami gak jodoh, mungkin selamanya setiap ketemu Lintang pasti aku akan merasa dikejar dosa terus, Ma. Karena biar gimanapun diakan juga adikku.” Kakak si Maghrib ini kembali menyendokkan nasi ke piring, kemudian melengkapinya dengan sayur lodeh dan balado. Kelihatannya dia benar-benar merindukan masakan rumah, sampai porsi makannya nambah.
“Iya, Mama percaya kamu, Ha. Mama sempat berpikiran terlalu jauh karena ngelihat kamu tu ngotot banget minta nikah, sampe niat mau resign segala. Padahal posisi kamu di sana bagus.”
“Justru aku tu niat banget pengen nikah karena aku takut tergoda. Aku cinta berat sama Lintang, Ma. Aku takut di saat pulang, ketemu Lintang, jalan bareng, kita gak bisa nahan godaan.” Dalam hati aku begitu bersyukur diberi karunia anak-anak yang pemikirannya sangat dewasa, “Gak munafik tho, Ma. Usiaku sudah siap nikah, sementara Lintang itu bagiku begitu mempesona. Namanya orang kasmaran pasti gampang tergoda,” lanjutnya lagi.
“Ya, makanya kamu jangan sering-sering pulang seperti sekarang.” Kurespon ucapannya sambil menyudahi makan siangku, kemudian menutupnya dengan menyesap segelas air putih, “Setahun ini kamu dah tiga kali pulang lho. Pas Mbak Edel nikah, pas lebaran, terus sekarang ini pulang lagi,” lanjutku setelas selesai minum.
“Kalau pas nikahan Mbak Edel dan lebarankan memang wajib. Nanti kalau aku gak pulang Mama sedih. Kalau yang sekarang ini karena demi kepentingan masa depan,” ujarnya sambil berdiplomasi.
“Gayamu itu lho, Ha,” ujarku sambil mencubit pipinya. Anak lajangku tertawa merespon cubitan emaknya.
“Berarti waktu tadi malem kamu nge-chat Mama, itu kamu dah persiapan paginya mau terbang?”
“Iya. Rencanaku kalau Mama jawab –iya- aku pulang dampingi Mama ngomong ke Om. Tapi kalaupun Mama jawab –tidak- aku tetap pulang, dan bicara langsung ke Om sendirian.”
Mendengar jawaban Dhuha yang begitu percaya diri, sekali lagi kutatap dia dengan seksama.
“Nekad kamu, Ha. Dah kebelet banget, ya?” Kurespon ucapannya sambil melemparkan seuntai pertanyaan guyon. Dia tertawa mendengar tanyaku.
Kepulangan Dhuha yang mendadak dan tanpa pemberitahuan ini mengingatkanku pada kenekadan Pak Dokter bertahun silam. Saat itu aku sedang berada di Medan demi menghindari Beliau. Dan Beliau nekad menjemputku walau tak tahu alamatku di Medan. Beliau baru mengabariku ketika sedang transit di Soetta. Menurut pengakuan Beliau saat itu, ada atau tidak ada respon dariku, Beliau tetap akan terbang ke Medan. Persis Dhuha saat ini.
“Lintang sudah tau belum kalau sekarang kamu pulang?”
“Belum, Ma. Biar surprised.”
“Hhhmmm...” Aku mencebik mendengar jawabannya.
“Kamu dah bicara sama Lintang, kalau kamu pengen segera nikahi dia?”
“Udah, Ma. Kalau Lintang semuanya tergantung aku, yang penting dia tetap bisa lanjut kuliah.”
“Kamu yakin dia dah bener-bener siap jadi istri? Nikah itu jangan mikir enaknya aja lho, Ha. Jangan cuma mikir karena takut gak bisa nahan godaan doang. Pikirkan juga hal-hal lainnya. Lintang itu masih kuliah. Dia nanti akan disibukkan dengan tugas, ujian, praktikum, dan segala kesibukan lainnya. Masih juga harus ngelayani kamu, ngurus rumah, belum lagi kalau kalian cepat dikasih rezeki momongan, makin runyam, Ha.” Aku mencoba mengingatkan Dhuha tentang segala romantika dan problematika dalam pernikahan, “Wong Mama sama Om yang sudah pernah berumah tangga aja, kadang masih ada gesekan-gesekan sedikit kok, Ha,” lanjutku.
“Ma, aku memang belum punya pengalaman seperti Mama. Tapi kalau aku pikir secara logika, kapanpun aku nikah tetap akan ada lika-likunya, Ma. Kalau aku nikah sekarang, mungkin kendalanya Lintang masih harus disibukkan dengan kegiatan kuliah. Kalau aku nikah setelah Lintang selesai S.Ked, dia sibuk koas. Kalau nikah setelah Lintang dapet profesi dokter, dia sibuk internsip. Selesai itu pasti pengen ambil spesialis. Setelah selesai spesialis, malah sibuk sama pasien. Jadi kesibukan Lintang itu gak bakal ada endingnya, Ma.” Dhuha menjabarkan argumentasinya yang sangat masuk akal sambil menyudahi makan siangnya. Setelahnya dia meraih segelas air putih yang telah kusediakan untuk sang jejaka terkasih, meneguk isinya dengan seksama, dan menyudahinya sambil membaca hamdalah.
Kalau kupikir-pikir, apa yang dibilang Dhuha itu memang benar juga. Tapi entah kenapa, diri ini masih merasa belum rela kalau Lintang harus menikah dalam usia semuda itu.
“Kamu cinta banget sama Lintang ya, Ha? Jujur sampe saat ini Mama masih gak habis pikir kok bisa-bisanya kalian tu pacaran. Kadang-kadang, Mama kepikiran omongan keluarga besar kalau misalnya kalian bener-bener nikah....” Bicaraku terpotong suara klakson mobil, “Itu Lintang pulang, Ha,” lanjutku lagi sambil melihat jam di dinding yang sudah menunjuk ke pukul dua lebih dua puluh menit.
Mbak Kas melintasi ruang makan, menuju keluar untuk membukakan gerbang.
“Harusnya kamu yang bukain gerbang,” godaku pada si tengah.
“Ah...Mama.” Dhuha merespon ucapanku sambil tersenyum. Senyuman dewasa yang terkesan sangat macho.
Beberapa saat berlalu terdengar suara salam dari pintu tembus garasi dan ruang keluarga. Antara ruang keluarga dan ruang makan terdapat partisi berupa lemari tanam besar dengan panjang empat meter, yang tingginya menyatu dengan langit-langit. Selain sebagai partisi, lemari ini juga berfungsi sebagai tempat menyimpan segala jenis piranti makan untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti arisan, lebaran, atau acara-acara lain.
“Taaang, sini dulu, ya.” Setelah menjawab salamnya, aku memanggil sulung Pak Dokter yang mungkin tidak menyadari kalau panggilanku itu untuk menunjukkan satu kejutan buatnya.
“Ya, Ma.” Lintang menjawab panggilanku dari ruang sebelah.
Dhuha duduk di kursi yang menghadap ke partisi lemari tanam, otomatis ketika Lintang berada di pintu antara ruang keluarga dan ruang makan, tatapnya langsung bersirobok dengan sosok kekasihnya itu.
Begitu melihat Dhuha, terlihat ekspresi campur aduk menghiasi wajah calon menantuku itu, kaget, senang, malu-malu. Secara refleks dia terhenti di tengah pintu yang tak berdaun itu.
“Halooo...Lintang,” sapa Dhuha kalem, “Sini tho, kok malah berhenti di situ,” lanjutnya santai.
Aku tersenyum melihat adegan slow motion itu. Lintang betul-betul salah tingkah dibuat Dhuha. Perlahan dia berjalan menuju meja makan, menarik salah satu kursinya yang berada tepat di depan Dhuha. Kini mereka duduk berhadapan, sementara aku berada di sebelah kiri Dhuha. Wajahnya masih menyiratkan aura tak percaya melihat keberadaan Dhuha di depan mata. Sementara Dhuha terus mengukir senyum melihat Lintang yang grogi, senyum yang menyiratkan rasa cinta mendalam. Duh...kenapa jadi aku yang meleleh melihat kedua sejoli ini mengurai rindu dengan cara yang begitu aneh.
“Makan dulu, Tang.” Aku berusaha mencairkan sikap salah tingkah Lintang.
“Sudah makan tadi di kampus, Ma,” jawabnya spontan seolah bersyukur mendengar tanyaku di tengah-tengah kebingungannya,“Mas Dhuha kapan nyampe? Kok pulang gak ngasih kabar?” Sepertinya Lintang sudah mulai bisa menguasai rasa kaget dan malunya.
“Iya, aku kangen sama kamu.” Lintang yang sudah mulai membuka diri terlihat kembali salah tingkah mendengar gombalan Dhuha yang spontan.
“Duh...yang lagi kasmaran, serasa dunia milik berdua. Bahkan Mamapun dianggap tak bertelinga,” ujarku sambil bangkit dari duduk, kemudian beranjak menuju kamar.
Dhuha tertawa mendengar celetukanku, dan demi melihatku berlalu dia masih sempat mengajukan seuntai tanya di sela tawanya.
“Mama mau ke mana?”
@@@@@
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Aku sedang menonton televisi bersama Mbak Kas, hanya berdua saja. Bakda Maghrib tadi, Dhuha mengajak ketiga adiknya menikmati malam Sabtu sembari menyusuri kota Semarang dan berburu kuliner malam. Sementara Pak Dokter belum pulang dinas.
Terdengar tangisan Anggi dari arah kamar berbarengan dengan suara klakson mobil Pak Dokter. Mbak Kas segera beranjak untuk membukakan pintu pagar, sementara aku berlalu menuju kamar demi mengurus si bungsu.
Ketika si bungsu sedang asyik menikmati ASI sang emak yang duduk bersandar di kepala tempat tidur, Pak Dokter memasuki kamar. Lelaki terkasih itu langsung menuju meja kerja, meletakkan tas, kemudian beralih ke istri dan si bayi mungil.
Dikecupnya keningku mesra, setelah itu Beliau beralih ke bayi mungil yang sedang menyusu, mencium pipi gembulnya sesaat.
“Anak-anak ke mana?” tanya Beliau sambil duduk di tepi tempat tidur.
“Biasa tho, Dok. Kuliner malam.”
“Tadi siang kaget saya waktu njenengan kabari kalau Dhuha pulang.” Pak Dokter beranjak dari duduknya menuju ke arah lemari.
Menyadari kalau istrinya sedang memberi asupan makanan pada sang bayi mungil, Beliau mengambil sendiri piyama dan perlengkapannya untuk baju ganti malam ini.
“Saya lebih kaget lagi ketika denger salam, tau-tau yang nongol Dhuha.”
“Saya mandi dulu, ya. Gerah banget,” ujar Beliau sambil segera bergegas menuju kamar mandi di pojok kamar.
Sepertinya Anggi sudah merasa kenyang. Secara otomatis dia melepas isapannya. Setelahnya aku mengganti pampers buah cinta kami itu, kemudian meletakkan kembali si mungil ke peraduannya di dalam box.
Anggi bayi yang baik budi, cukup mudah mengurus dia. Tangisnya hanya terdengar ketika dia tidak nyaman karena pampersnya basah akibat penuh urin atau pup, juga ketika dia haus.
Saat perutnya kenyang, pampersnya kering, dia akan tertidur pulas atau kalaupun terjaga, dia akan mengoceh sendiri (tapi sekali waktu kalau terlalu lama ditinggal sendiri dalam kondisi terjaga, dia akan nangis juga). Seperti saat ini, setelah menyusu, pampersnya kuganti, dia kembali terlelap. Biasanya bayi mungil ini akan kembali bangun menjelang atau lewat tengah malam.
Pak Dokter sudah keluar dari kamar mandi. Aroma segar menguar dari tubuhnya. Beliau segera berganti piyama.
“Saya buatin minum, ya Dok? Sambil nunggu anak-anak.” Biasanya kalau sudah malam begini Beliau akan menolak kalau kutawari minum. Tapi kali ini ternyata lelaki tercinta itu menyambut tawaranku.
“Jeruk anget, ya.”
“Oke, honey.” Aku berujar sambil berlalu keluar kamar.
Pak Dokter mengikuti langkahku. Beliau terhenti di ruang keluarga, mendudukkan diri di sofa, kemudian menghidupkan televisi. Sementara aku menuju dapur untuk memenuhi permintaan jeruk hangat Bapaknya Anggi. Mbak Kas sudah tak terlihat lagi di ruang keluarga. Mungkin setelah membukakan pintu pagar untuk Pak Dokter, ART setia itu langsung menuju kamarnya.
Kubawakan segelas besar jeruk hangat, kemudian meletakkannya di atas meja tepat di depan Pak Dokter. Aku mendudukkan diri di sebelah Beliau. Pak Dokter langsung mematikan televisi.
“Gimana ceritanya?” Tanpa tedeng aling-aling, lelaki kharismatik itu langsung menodongku. Mungkin Beliau juga sudah sangat penasaran dengan kepulangan Dhuha.
“Hayati lelah, Bang,” ujarku manja. Beliau tertawa mendengar kalimatku.
“Tapi Abang dah penasaran banget pengen denger cerita Hayati.” Pak Dokter ikut-ikutan mengumbar kalimat lebay.
“Garing, Dok,” ujarku lugas sambil tertawa, “Dhuha pengen resign, pengen cari kerja di Semarang,” lanjutku, kali ini dengan ujaran yang serius.
“Lho...kenapa? Udah dapet posisi enak kok malah resign. Sekarang cari kerja susah. Walaupun kondisi dia agak di pedalaman, tapi semua fasilitas tersedia. Gaji besar, rumah dan mobil dapet, transport pesawat ditanggung perusahaan.” Pak Dokter meraih gelas berisi jeruk hangat, menyesapnya sesaat, kemudian meletakkan kembali di tempat semula, “Jeruk angetnya bagi dua sama njenengan ya, kebanyakan ini,” lanjut Beliau.
“Njenengan kalau mau ngomong gitu jangan sama saya, tapi sama Dhuha, Dok.” Aku mengajukan protes pada Pak Dokter sambil meraih gelas yang barusan diletakkan Pak Dokter, meyesap isinya, membantu sang kekasih mengurangi porsi jeruk hangatnya.
Kemudian mengalirlah cerita tentang perbincanganku dan Dhuha tadi siang. Pak Dokter mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang meluncur dari mulutku. Beliau benar-benar menjadi pendengar yang baik tanpa menyela sedikitpun ujaranku.
Setelah kisah berakhir, lelaki paruh baya tersebut langsung memberi respon.
“Masuk akal juga sih semua alasan, Dhuha.”
“Saya gak pernah membayangkan kalau saya harus besanan dengan njenengan, Dok,” ujarku pasrah, “Gimana nanti komentar orang-orang kalau mereka bener-bener nikah. Mumet saya,” lanjutku.
Beliau tertawa mendengar keluhanku. Lelaki romantis itu melingkarkan tangan kirinya ke bahuku.
“Dulu saya ngotot ngejar-ngejar Emaknya Dhuha sampe ke seberang lautan. Sekarang gantian, anak saya dikejar-kejar Dhuha sedemikian rupa. Dunia...dunia.” Pak Dokter seolah bergumam untuk dirinya sendiri.
Aku tertawa mendengar celoteh Beliau, sekalian kuajukan pertanyaan absurd untuk calon besanku itu.
“Piye, Dok? Sekarang lebih mumet mana? Diembargo emaknya selama empat bulan atau dipaksa anak lanang untuk menerima lamarannya?”
Bersambung
No comments:
Post a Comment