Tuesday, September 22, 2020

Stetoskop cinta sang dokter 18

Stetoskop Cinta Sang Dokter 18

Waktu sudah menggapai pukul 23.15. Aku sedang asyik menonton rekaman video prosesi ijab kabul dan resepsi Edel sambil berbaring di tempat tidur ketika Pak Dokter memasuki pintu kamar. Walau sudah berlalu dua bulan, entah kenapa aku tak pernah bosan mengulang-ulang penayangan video tersebut. Ada sedih, haru, dan bahagia, setiap kali  menyaksikan seluruh rangkaian acara.

“Kok belum tidur?” Seuntai tanya Beliau ajukan sambil berjalan menuju ke arahku, mencium keningku, kemudian mencium pipi mungil Anggi yang kini semakin terlihat gembul. Selarut ini, Kekasih halalku baru pulang dinas.

“Baru selesai nyusuin Anggi.” Aku menjawab sambil mematikan tayangan ulang yang belum rampung tersebut.

Sejak usianya melewati empat puluh hari, ritme tidur Sang Pelangi Kehidupan   berubah. Bidadari kecil kami ini selalu tertidur ketika Maghrib belum menyapa, kemudian akan terbangun di kisaran pukul delapan atau pukul sembilan malam. Setelah menyusu dan berganti pampers, bayi mungil ini akan kembali terlelap. 

Menjelang tengah malam, antara pukul 11 atau 12 dia akan kembali terbangun. Aktivitas menyusu dan berganti pampers kembali berulang. Dan buah cinta kami itu akan kembali terlelap hingga fajar menjelang.

“Saya buatin minum, ya Dok?” tanyaku sambil turun dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti Pak Dokter. Kuletakkan sepasang piyama lengkap dengan perangkat dalamnya di tepi tempat tidur.

“Gak usah. Udah malem banget, langsung tidur aja.” Pak Dokter menjawab tanyaku sambil meletakkan tas ke atas meja kerja. Selanjutnya Beliau bergegas menuju kamar mandi untuk bebersih diri.

Tak sampai sepuluh menit berselang, Beliau sudah keluar lagi dengan handuk terlilit di pinggang. Kesegaran aroma sabun menguar dari tubuh atletis suami tercintaku. 

Aku sedang berdiri di pinggiran tempat tidur, sedang bersiap untuk mengganti pampers Anggi ketika Beliau memelukku dari belakang dalam kondisi masih menggunakan handuk. 

“Selesai ganti pampers, Anggi dipindah ke box, ya,” ujar Beliau pelan tepat di telingaku. 

Ucapan sederhana itu begitu sarat makna. Namun ntah kenapa, kata-kata Beliau tersebut bagiku bagai suatu pernyataan yang sangat menakutkan. Jantungku berdegup lebih cepat dan lututku tiba-tiba terasa lemas.

Sebenarnya adalah hal yang wajar ketika Pak Dokter memberi kode alam untuk mengajakku menunaikan tugas negara. Hal ini dikarenakan sejak kelahiran Anggi, hingga kini usianya sudah dua bulan, aku memang belum pernah memenuhi kebutuhan biologis Pak Dokter.

Bahkan satu bulan sebelum melahirkan Anggi, diri ini sudah tak berdaya untuk menunaikan kewajiban tersebut.

Dan sejak masa nifas selesai, sebenarnya Pak Dokter sering memberi kode bahwa Beliau ingin mengambil haknya. Tapi dengan berbagai cara, aku selalu berhasil melepaskan diri dari keinginannya tersebut.

Entahlah, aku sendiri tak mengerti dengan ketakutan yang begitu menyergap diri. Ada kekhawatiran yang berlebihan kalau aktivitas ini akan menyakiti luka bekas SC. Namun yang paling krusial, aku takut hamil lagi karena  diriku tidak ber-KB.

Sejak menikah,  Pak Dokter memang mengajakku ber-KB alami saja. Kami menggunakan sistem kalender, dan terkadang mengkombinasikannya dengan metode interuptus. Dari hasil penggabungan kedua metode KB itulah tercipta Anggi, Sang Pelangi kehidupan.

Belajar dari pengalaman itu, ada trauma yang menyelusup ke relung hati. Sebenarnya ketakutan-ketakutan itu sangat tidak beralasan kalau saja aku bicara terus terang pada Pak Dokter. Namun ntah kenapa, dalam hal mengkomunikasikan hal penting inipun aku sedikit sungkan.
 
Kondisi psikisku mengalami pergeseran yang begitu signifikan. Sebelum Anggi lahir, aku selalu berani bicara terbuka pada Pak Dokter tentang semua keinginan, harapan, dan ketakutanku. Bahkan ketika aku sedang ingin bercinta dengan Beliau-pun, aku tak sungkan mengungkapkannya duluan bahwa aku ingin umroh. 

Tapi kini semua sangat berbeda. Dan ketika mendengar permintaan Pak Dokter untuk memindah Anggi ke box-nya, aku berpikir keras  mencari alasan demi menghindari Beliau.

Kalau dibilang aku mengalami baby blues, aku yakin tidak. Dari keempat anak yang kulahirkan,  justru paska melahirkan Anggi inilah aku merasakan kebahagian yang seutuhnya. Walau diri ini melahirkan di usia yang sudah tak lagi muda, namun setelah kelahiran Anggi aku menikmati kemanjaan yang dilimpahkan oleh semua orang padaku.

Pak Dokter begitu luar biasa. Perhatian, kasih sayang, dan cintanya padaku seolah tiada habisnya. Beliau mengurus semua kebutuhanku, memandikanku, menyuapiku, ikut bergadang membantu mengurus Anggi.

Sementara anak-anak juga tak jauh beda dengan Bapaknya. Di hari-hari libur, mereka dengan rela membantu momong Anggi, menggantikan pampers, menggendongnya di kala dia rewel.  Sehingga aku memiliki waktu istirahat yang  sangat cukup, dan emosiku juga  terjaga dengan sangat baik. Pendek kata, aku bahagia dan sangat nyaman secara lahir dan bathin.

Pak Dokter sudah berpiyama lengkap, sementara aku telah purna mengganti pampers Anggi, namun otakku belum menemukan alasan yang tepat demi menolak Sang Belahan Jiwa. Perlahan namun penuh keraguan, aku menjejakkan diri di peraduan.

Sementara Pak Dokter mengangkat Anggi dari pembaringan kami, kemudian memindahkannya ke box yang terletak berseberangan dengan tempat tidur, di sisi sebelah kirinya. Setelahnya Beliau menyusulku ke peraduan.

“Saya belum siap, Dok,” ujarku jujur ketika Beliau sudah berbaring di sebelahku.

@@@@@

Akhir pekan ini kami pulang ke Salatiga. Ini kepulangan pertama sejak kelahiran Anggi. Kali ini kami pulang di hari Sabtu siang, dan hanya menginap semalam di Salatiga. Minggu sore  kembali meluncur ke Semarang. 

Rasanya sudah lama sekali aku tidak menjejakkan kaki di rumah peninggalan almarhum Pak Wicaksono ini. Sejak kehamilanku menginjak bulan ke delapan hingga kini Anggi sudah berusia hampir tiga bulan.

Hhmmm...home sweet home. Aku rindu suasana rumah kami. Rumah besar dengan halaman luasnya.  Halaman yang menghijau oleh hamparan rumput gajah mini, serta aneka pohon buah-buahan yang mengitarinya. Mbak Sih merawat rumah kami dengan sangat baik.

Saat ini, kedua pohon rambutan yang ada di depan rumah sedang berbuah lebat, dan sudah memerah. Setelah meletakkan barang-barang bawaan ke dalam, Maghrib, Lintang, dan Mentari langsung mengeksplore halaman rumah nan asri tersebut. Ketiga anak asyik mengambil buah rambutan dengan menggunakan galah. Sambil duduk di kursi teras, aku mengamati mereka yang terlihat  sangat riang dan bebas.

Walau halaman rumah Pak Dokter juga luas, namun penataannya khas rumah-rumah perkotaan, berbeda jauh dengan kondisi rumah Salatiga yang kental dengan suasana daerah pinggir kota. Itulah kenapa anak-anak begitu menikmati suasana di sini.

Sementara Pak Dokter  berjalan memantau sudut-sudut halaman dan aneka pohon buah yang ada di sana. Ketika berada di bawah  mohon matoa, Beliau berhenti dan menatap ke atas, mengamati pohon  asal Papua tersebut, yang juga sedang berbuah untuk pertama kalinya.

“Matoa-nya banyak yang dimakan kelelawar, ya,” ujar Pak Dokter sambil melihat ke arahku.

Selanjutnya Beliau berjalan ke halaman samping. Di sana terdapat beberapa pohon jeruk kasturi dan juga pohon buah naga.

Beberapa saat kemudian, Beliau kembali ke teras, kemudian mendudukkan diri di sebelahku yang sedang memangku Anggi.

“Buah naganya kok gak pernah jadi ya. Bolak-balik berbunga tapi gagal terus jadi buah.” Beliau mengomentari pohon buah naga di halaman samping.

Pohon yang termasuk keluarga kaktus tersebut memang rajin banget berbunga, namun belum pernah sekalipun menghasilkan buah. Padahal setiap berbunga bisa mencapai puluhan, dan akan gugur ketika sudah membentuk buah kecil.

“Kurang nutrisi mungkin, Dok,” jawabku tak terlalu yakin.

“Nanti bilang sama Mbak Sih, minta tolong suaminya untuk ngasih pupuk pohon buah naga. Sekalian itu matoa-nya dibrongsong, biar gak dimakan kelelawar. Soalnya  saya lihat banyak yang berjatuhan dengan kondisi tinggal separuh,” ujar Beliau sambil menciumi pipi Anggi yang sedang berada dalam pangkuanku.

Bayi mungil tersebut seolah ikut menikmati suasana asri rumah emaknya yang baru pertama kali dia kunjungi.

@@@@@

Selepas Isya kami bermaksud menikmati suasana malam kota kecil yang berada di kaki Gunung merbabu ini. Karena cuaca Salatiga lumayan dingin, aku tidak berani membawa Anggi turut serta. Bidadari mungil itu terpaksa tinggal di rumah dengan mbak Sih. 

Tidak seperti biasanya, ketika kami pulang ke Salatiga, mbak Sih mendapat libur untuk pulang ke rumahnya. Kali ini aku meminta jatah libur Beliau diundur hingga Senin.

Walau Anggi masih menyusu denganku, tapi dia juga menikmati susu formula. Hal ini karena produksi ASI-ku kurang maksimal. Dan kondisi ini sedikit memberi keuntungan ketika sewaktu-waktu aku harus meninggalkannya karena ada keperluan di luar rumah.

Malam ini anak-anak minta dibawa ke Sate Sapi Suruh di kawasan Jalan Sudirman. Walau tempatnya cukup sederhana, tapi kuliner ini merupakan salah satu kuliner khas Salatiga. Sajian sate di sini berbeda dengan sate di tempat lain, karena tekstur bumbunya yang sangat khas. Sementara satenya sendiri juga cukup empuk.

Selesai menikmati makan malam berwujud daging tusukan yang berpadu dengan lontong, ternyata Pak Dokter masih belum ingin pulang. Beliau membawa kami ke sekitar Hotel Beringin -yang masih berlokasi di kawasan Jalan Sudirman- untuk menikmati wedang ronde sambil duduk lesehan di trotoar. 

Dalam situasi seperti ini, aku teringat Edel. Sebelum menikah, Edel paling suka membawa adik-adiknya menikmati kuliner malam saat kami pulang ke Salatiga. Ah...sulungku kini telah menjadi milik suaminya. Sejak menikah, Edel baru sekali mengunjungi kami, tepatnya sebulan setelah dia menjadi istri Raja. Saat itu mereka pulang ke Semarang dengan mengajak serta bungsunya Sang Maharaja.

Pak Dokter dan anak-anak cukup menikmati minuman penghangat badan tersebut, tapi tidak denganku. Entah kenapa aku kurang suka dengan jenis-jenis minum hangat seperti wedang ronde, bajigur, atau bandrek.

Sambil menunggu keempat anggota The Doctor’s menghangatkan diri dengan minuman tradisionalnya, aku malah asyik memilah milih buah alpukat dan pisang yang banyak dijual di sekitar hotel tersebut. 

Alpukat dan pisang yang dijual di sini kualitasnya sangat bagus, besar-besar dan segar. Sebagai emak-emak aku cukup kalap melihat pesona dua jenis buah favoritku itu.

Setelah puas bersantai ria di pusat kota Salatiga, dan membeli buah tangan pisang dan alpukat, akhirnya ketua rombongan –Pak Dokter- mengajak anggotanya pulang. Cuaca malam yang semakin menggigit membuat anak-anak langsung mengikuti titah Sang Bapak.

Sesampainya di rumah, anak-anak langsung bebersih diri bersiap menuju peraduan. Ternyata aktivitas hari ini membuat mereka cukup lelah, hingga tak mampu lagi untuk sekedar berkumpul mengobrol bersama emak bapaknya.

Aku mengambil Anggi yang masih tertidur lelap di kamar Mbak Sih, kemudian membawanya ke kamarku. Di rumah Salatiga, Anggi tidak punya box, sehingga dia harus rela berbagi tempat tidur dengan emak bapaknya. 

Pak Dokter baru keluar dari kamar mandi, setelah selesai bebersih diri. Beliau langsung beranjak naik ke peraduan. Lelaki paruh baya itu menciumi pipi gadis mungil kami.

Kutinggalkan kedua orang terkasih itu, aku menuju ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka. Setelah selesai, kususul mereka di pembaringan. Aku membaringkan diri di antara Pak Dokter dan Anggi.

“Salatiga kok dingin banget, ya,” ujar Beliau sambil mendekapku.

“Karena Njenengan terbiasa dengan cuaca Semarang yang panas, jadi rasanya Salatiga itu dingin banget.” 

“Nyonya....” Ujaran Beliau menggantung.

“Ya,”

“Sudah hampir empat bulan saya libur. Malam ini sudah bisakah ?” 

@@@@@

“Pa, aku jadinya ambil Brio aja, gak jadi Agya.” Sambil menyendokkan nasi uduk ke piring, Sulung Pak Dokter membuka percakapan ketika kami sedang menikmati sarapan bersama. 

Pagi ini Mbak Kas menghidangkan nasi uduk, sambal teri kacang tanah, ayam goreng, irisan tomat dan timun, serta kerupuk sebagai menu makan pagi kami.

Pak Dokter menjanjikan Lintang kendaraan roda empat jika dia berhasil menembus Fakultas kedokteran di area Joglo Semar (Jogja, Solo, Semarang). Namun kendaraan yang dijanjikan itu hanya kendaraan dengan kategori LCGC ( Low Cost Green Car), mobil berbudget rendah namun ramah lingkungan. Beliau tidak bermaksud memanjakan si Sulung, tapi hanya sekedar mengapresiasi usahanya yang memang terlihat sangat gigih dan bersungguh-sungguh demi mewujudkan impian masa depan.

“Gak usah mikirin mobil dulu. Yang penting belajar. Wong test masuk aja belum.” Respon Pak Dokter terhadap pernyataan Lintang terdengar sangat tidak bersahabat.

Sudah seminggu lebih Beliau terlihat uring-uringan. Kesabarannya hilang. Setiap berbicara dengan anak-anak lebih sering menggunakan oktaf tujuh. Pun demikian denganku, walau sikap dan kebiasaannya untuk mencium kening sebelum berangkat dan setelah pulang dinas tetap Beliau lakukan.

Sepenuh hati aku  menyadari kalau diri inilah penyebab utama semuanya. Kejadian di rumah Salatiga pekan lalu menjadi pemicunya.
  
Saat itu aku memang tidak memiliki alasan untuk menolak Beliau. Namun tanpa kusadari, bulir bening membasahi pipi ketika Beliau sedang membangunkan “hasrat”ku untuk melakoni ibadah suci. Demi melihat keadaanku, otomatis Pak Dokter langsung menghentikan semuanya. Beliau bahkan tidak berusaha menanyakan kenapa aku menangis.

Akhirnya malam itu sukses berlalu dengan sangat mengenaskan. Beliau menghabiskan malam sambil berkutat di depan laptop. Sementara aku tidak bisa memejamkan mata barang sedetikpun karena dihantui rasa bersalah. Dan Anggi rewel hingga fajar menjelang.

Sesabar-sabarnya seorang anak manusia, ketika hasrat alami yang paling mendasar gagal tersalurkan pasti akan sangat berpengaruh pada kewarasan. Weekend di Salatiga berakhir dengan sangat nelangsa.

Dan dampak dari semua itu, seisi rumah harus merasakan sikap uring-uringan Beliau selama seminggu lebih ini. Tak terkecuali Mbak Kas dan Mbak Ramlah. Hanya Anggi lah yang terbebas dari radiasi amarah Sang Bapak.

“Aku cuma ngasih tau aja, kalau aku berubah pikiran.” Si Sulung memberi argumentasi atas respon Bapaknya yang terdengar kurang ramah itu.

Maghrib dan Mentari asyik menikmati nasi uduk buatan Mbak Kas. Sementara aku hanya ikut duduk menemani semua anggota keluarga sambil memangku Anggi.

“Fokus kamu sekarang itu belajar. Gak usah mikirin mobil, itu urusan Papa. Terus juga kamu gak usah belanja-belanja segala macem yang gak jelas. Jangan menghabis-habiskan uang Dhuha.” Pak Dokter malah berbicara panjang lebar hingga mengaitkan masalah belanja anak sulungnya segalanya, “Nyonya, nanti njenengan hubungin Dhuha, bilang gak usah lagi ngirimin Lintang uang saku. Gaji dia ditabung saja untuk kebutuhan masa depan. Wong belum nikah kok sudah rutin ngirim uang jajan setiap bulan,” lanjut Beliau masih dengan kalimat-kalimat panjangnya. Nada bicaranya tegas dan tidak ramah.

Si Sulung mencoba untuk membela diri. Kelihatannya dia tersinggung dengan ucapan Sang Bapak.

“Aku gak pernah pake uang Mas Dhuha. Uang yang Mas Dhuha kirim tiap bulan masih utuh di rekeningku. Selama ini kalau butuh apa-apa, untuk jajan dan jalan-jalan aku selalu pake jatah bulanan dari Papa kok. Lagian kan bukan aku yang minta dikirimi uang, tapi Mas Dhuha sendiri yang setiap bulan otomatis ngirimin aku. Kalau kutolak nanti Mas Dhuha tersinggung, jadi ya kubiarkan aja mengendap di rekening.”

Sejak hubungan Dhuha dan Lintang terkuak, kedua anak ini memang lebih terbuka kepada kami, orang tuanya. Lintang memberitahuku kalau Dhuha setiap bulan rutin mengirimi uang jajan. Ketika hal itu kukonfirmasi ke Dhuha, dia juga mengakuinya. Dan aku meneruskan informasi ini kepada Pak Dokter.

Selama ini, hal itu tidak pernah menjadi masalah dan topik bahasan. Tapi entah kenapa pagi ini, kok Beliau menyinggung masalah tersebut hingga membuat putri sulungnya  terlihat sedikit sakit hati.

“Njenengan kenapa mengungkit-ungkit masalah itu tho, Dok. Wong Lintang tu cuma menyampaikan keinginannya pengen Brio, gak jadi Agya, kok jadi merembet ke mana-mana.” Aku coba membela si Sulung.

“Maghrib, Mentari, kalau mau bareng Papa segera siap-siap.” Pak Dokter sudah menyelesaikan sarapannya. Alih-alih merespon ucapanku, Beliau malah memberi titah dengan nada tegas kepada Maghrib dan Mentari yang hari ini ingin bareng sang Bapak.

“Ya, Pa.” Sepasang anak kami itu menjawab dengan patuh titah Sang Bapak berbarengan, kemudian bergerak meninggalkan meja makan menuju kamar masing-masing untuk mengambil tas.

Biasanya kedua anak tersebut berangkat ke sekolah menggunakan jasa ojek online. Sekali waktu, saat sedang ingin Mentari akan membawa sepeda motor sendiri. Dan di saat Sang Bapak harus berangkat lebih pagi untuk suatu kepentingan, mereka lebih suka ikut bareng dengan Pak Dokter, seperti pagi ini.

Sementara Lintang sekarang sedang menjadi pengangguran tak kentara. Dia sudah menyelesaikan Ujian Nasionalnya. Sambil menunggu pengumuman dan persiapan bertempur untuk masuk perguruan tinggi, dia mengisi waktu dengan mengikuti bimbingan belajar di siang hari. 

Sebenarnya Sulung Pak Dokter ini mempunyai keinginan yang kuat untuk melanjutkan kuliah di almamater Sang Bapak. Namun aku mencegahnya, aku tidak ingin gadis cantik ini menimba ilmu terlalu jauh. Aku memintanya untuk tetap tinggal di Semarang, atau paling tidak di area Joglo Semar saja. Dulu aku membiarkan Dhuha dan Edel melanjutkan kuliah jauh dariku. Tapi kini, diri ini seolah begitu berat melepas keempat anak yang tersisa untuk melanglang buana terlalu jauh.

Pak Dokter bangkit dari duduknya, beranjak menuju kamar. Aku menitipkan Anggi pada Lintang yang masih bertahan di meja makan. Selanjutnya kuikuti langkah-langkah Pak Dokter menuju kamar.

Beliau langsung menuju meja kerja, mengambil tas, selanjutnya menuju ke arahku yang berdiri beberapa jarak dari dirinya. Lelaki kharismatik yang sedang uring-uringan itu kemudian memeluk diri ini dan mengecup keningku lembut.

“Nanti saya dibelikan pil KB, ya Dok,” ujarku sambil menyebut merk satu pil KB yang dulu rutin kugunakan ketika masih menjadi istri Pak Wicaksono. Aku cocok dengan merk tersebut, tidak membuat berat badan menggelembung, justru efek positifnya menjadikan kulit  lebih halus.

Mendengar permintaan yang tak terduga itu, Pak Dokter menancapkan pandang ke mataku. Beliau tidak merespon ucapanku, melainkan mengelus lembut ubun-ubunku, kemudian berlalu keluar kamar.

Aku kembali mengikuti langkah kaki lelaki terkasih itu. Ketika kami tiba di ruang makan, Beliau mencium lembut pipi bidadari kecil kami yang masih berada dalam gendongan Lintang. Setelahnya bapak enam anak itu bergerak menuju garasi melalui pintu tembus di ruang keluarga.

Mentari yang juga sudah berada di ruang makan untuk menunggu Pak Dokter, segera menyalamiku, menciumi adik bungsunya, kemudian bergegas menyusul Sang Bapak ke garasi.

Sementara Maghrib ternyata masih melakoni hajat hidupnya sebagai manusia di kamar mandi.

“Maghrib, sudah ditunggu Papa lho.” Aku memanggil si bungsu yang sudah tak bungsu lagi itu dari depan pintu kamar mandi.

“Bentar, Ma. Ni dah selesai.” Maghrib membalas  panggilanku.

“Duh...niat mo ngambil stroller kok malah lupa.” Aku bergumam pada diri sendiri sambil kembali berjalan menuju kamar untuk mengambil stroller Anggi.

Setelah mengambil kereta Anggi, dan ketika diri ini hendak kembali ke ruang keluarga sambil mendorong benda beroda tersebut, Lintang menyusulku.

“Ma, ini Anggi. Aku mau nganter dek Maghrib dulu,” ujar Lintang sambil meletakkan Anggi di dalam kereta bayinya.

“Lho, Dek Maghrib gak jadi ikut Papa?” tanya-ku sedikit bingung sambil menjajari langkah Lintang menuju ruang keluarga.

“Ditinggal sama Papa gara-gara masih di kamar mandi. Tau tu Papa, makin aneh aja.” Si sulung berujar sambil bersungut dan bergegas mengambil kunci sepeda motor, selanjutnya menuju garasi untuk mengantar anak lanangku.

Maghrib menghampiriku, menyalami dan mencium punggung tanganku, kemudian berlanjut mencium adik bungsunya penuh kasih. Setelah itu dia bergegas menyusul Lintang ke garasi.

Hatiku masgyul. Lelaki paruh baya nan kharismatik dan sudah memiliki enam anak itu ternyata bisa berubah bagaikan kanak-kanak yang sedang ngambek berat ketika hasrat alaminya tak terpenuhi. 

Aku kembali ke ruang makan. Kuletakkan stroller Anggi di sebelah kursi tempatku duduk. kemudian  mengambil piring dan mulai menyendokkan nasi uduk serta melengkapinya dengan seluruh elemen pendukungnya.

Aku masih asyik menikmati sarapan sambil merenung memikirkan kekacauan yang kutimbulkan. Sesekali kualihkan pandang ke gawai memeriksa beberapa pesan yang masuk. 

Waktu berlalu, terdengar Lintang mengucap salam. Sekolah Maghrib memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja waktu tempuh Lintang masih di atas rata-rata.

“Kok cepat banget? Kamu ngebut ya, Tang?” tanyaku spontan pada sulung Pak Dokter.

“Gak ngebut-ngebut banget sih, Ma. Soalnya aku takut Dek Maghrib telat, kasian,” ujarnya sambil mendudukkan diri di kursi  sebelahku.

“Ma, Papa kenapa sih kok belakangan marah-marah melulu? Tadi aku tersinggung banget, seolah-olah aku tuh senengnya ngabis-ngabisin uangnya Mas Dhuha. Padahal kan aku gak pernah minta, Mas Dhuha sendiri yang ngirimin.” Gadis ayu itu  meluapkan uneg-uneg yang mungkin menyesaki rongga dadanya sambil menowel-nowel pipi Anggi yang tertidur dalam strollernya.

Mendengar keluh-kesahnya, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menghantam dada. Ya, karena aku menyadari, semua keadaan ini aku penyebabnya, akhirnya setiap insan di rumah ini ikut mencicipi efek negatifnya.

“Mungkin Papa lagi banyak gawean.” Sambil mengunyah sarapan dengan perlahan, aku merespon ucapan gadis itu, “Kalau Papa sedang  emosi gitu, jangan diambil hati, ya Tang. Itu cuma ungkapan rasa sayang dalam bentuk yang berbeda,” lanjutku sambil mencoba berfilosofi.

“Tapi aku heran banget, Ma. Belakangan ini Papa tu beda. Mungkin sebenarnya Papa  gak suka kali kalau aku punya hubungan dengan Mas Dhuha. Wong, aku bicara masalah mobil kok saurannya jadi nyerempet ke uang segala.” Nada bicara Lintang terdengar sedih dan kecewa. 

Sampai di titik ini, perasaan bersalah benar-benar menikam jantungku. Si sulung mulai berprasangka buruk kepada Sang Bapak. Ada rasa tak tega melihat kesedihan bergelayut di wajah indahnya. Sebagai ibu tiri, rasa sayangku kepada kedua anak Pak Dokter begitu penuh dan tulus. Mereka anak-anak baik yang berbudi luhur. Aku menyayangi keduanya sepenuh hati, hingga ketika sebersit duka menghinggapi mereka, hatiku juga ikut tercabik.

“Gak boleh berprasangka buruk sama Papa, Tang. Papa gak seperti itu. Akhir-akhir ini Papa memang sedang banyak pikiran. Nanti Mama coba bicara sama Papa, supaya gak  terlalu meluapkan emosi tanpa pandang waktu dan tempat.” Kucoba membujuk gadis remaja tersebut sambil mengusap kepalanya yang kini berlapis jilbab.

Dan kukokohkan satu niat untuk membuka diri dan berbicara dari hati ke hati dengan Pak Dokter, agar  orang-orang tak lagi menjadi pelampiasan emosi Beliau.

@@@@@

“Pesanan saya sudah dibelikan, Dok?” Sambil meletakkan Anggi yang sudah tertidur pulas ke box-nya, aku menagih pil KB  yang kupesan tadi pagi.

Pak Dokter sedang duduk di kursi meja kerja sambil menatap laptop yang menyala. Kelihatannya Beliau sedang berkutat dengan beberapa tugas.

“Pil KB untuk apa?” Beliau mengalihkan pandang ke arahku. Pertanyaan suami tercintaku ini sungguh absurd.
 
“Untuk cemilan menjelang tidur,” jawabku asal, “Supaya Njenengan gak uring-uringan terus lho,” lanjutku lugas sambil naik ke tempat tidur. Kurebahkan diri, kemudian menarik selimut  menutupi kaki hingga ke dada.

Pak Dokter tertawa mendengar jawabanku. Selanjutnya Beliau kembali fokus menekuri laptop, menekan tuts-tutsnya, dan tidak merespon ucapanku lagi.

Mendapati kalimatku tak berbalas, diri ini berusaha untuk memakluminya. Mungkin emosi Beliau belum stabil, dan mungkin tugas yang sedang Beliau kerjakan benar-benar penting, hingga pertanyaan sederhanaku tak perlu segera dijawab.

Kupejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran dari segala prasangka dan praduga. Keberadaan Anggi memang membuatku sering tertidur lebih cepat dari kebiasaanku yang dulu. Aku harus menyesuaikan diri dengan ritme tidur si bungsu. 

Walau waktu masih menunjuk ke pukul 21.00, aku berusaha untuk mengistirahatkan diri, mengumpulkan energi untuk nanti kembali bangun menjelang tengah malam.

Perlahan namun pasti, jiwaku mulai memasuki zona mimpi, walau belum sepenuhnya. Dalam kondisi setengah terlelap, aku bisa merasakan kalau ada yang memeluk tubuh tua ini.

“Njenengan sudah tidur?” Pak Dokter membisikkan seuntai kalimat di telingaku. Beliau sudah menyusulku ke pembaringan.

Aku tidak menjawab tanya Beliau. Sebagai gantinya, kubuka kelopak mata yang terasa berat karena kantuk yang mulai menjalari diri. Kutatap wajah lelaki terkasih yang berbaring sambil mendekap tubuhku.

“Kenapa, Dok?” tanyaku dengan suara sedikit parau khas orang mengantuk.

“Ada yang mengganjal pikiran Njenengan?” Mendengar pertanyaan Beliau, seketika kantukku hilang, terbang bersama hembusan sang bayu.

“Sekarang Njenengan berbeda, gak seperti dulu.” Pak Dokter melanjutkan bicaranya. Beliau sudah melepaskan dekapannya.

Aku bangkit dari tidur, kemudian duduk sambil bersandar di kepala tempat tidur. Pak Dokter mengikuti perbuatanku.

“Maafin saya ya, Dok?” ujarku tulus.

“Kenapa?”

“Saya takut, saya malu, saya sungkan.”

“Takut dan malu karena apa?” Beliau bertanya sambil menoleh menatapku lekat, “Dulu kita saling terbuka, bebas berbicara apa saja, gak ada yang ditutup-tutupi,” lanjut Beliau.

“Tapi sekarang Njenengan  seperti menghindar dari saya. Seolah-olah ada ganjalan atau rahasia yang Njenengan pendam.” Lelaki terkasih itu kembali melanjutkan ujarannya, “Saya  berusaha membahagiakan dan menjaga emosi Njenengan supaya tidak terkena syndrom baby blues. Anak-anak juga saya minta untuk selalu mensupport Njenengan. Dan saya lihat Njenengan cukup bahagia dan rileks.”

“Saya akui, memang saya bahagia banget, Dok. Saya gak pernah capek, gak kurang tidur, semua memanjakan saya.” Aku merespon kalimat Pak Dokter sejujur mungkin.

“Usia kita memang sudah tidak muda lagi. Kita menikah karena ingin memiliki teman berbagi di hari tua. Namun tidak bisa dipungkiri, dalam satu pernikahan, seks tetap punya peranan walau tidak dominan. Di akhir kehamilan Njenengan, saya sangat maklum ketika Njenengan kesulitan melayani saya, dan saya tidak menuntutkan? Tapi ketika masa nifas udah berakhir namun Njenengan selalu mencari alasan untuk menghindar, saya mulai berpikir kalau ada rahasia yang njenengan pendam. Puncaknya minggu lalu ketika Njenengan tidak memberi alasan apa-apa, tapi tiba-tiba menangis ketika akan saya kunjungi. Jujur, saya merasa tersinggung. Seolah-olah saya terlalu memaksa Njenengan hingga njenengan merasa tersiksa dan menangis.” 

Kudengarkan dengan seksama semua keluh kesah Pak Dokter. Kubiarkan Beliau melonggarkan semua beban yang mengganjal hati dan pikirannya.

Aku hanya bisa terpekur mendengar ungkapan hati Beliau. Ada rasa bersalah yang begitu besar menghentak-hentak di dada. Sejujurnya, aku juga merindukan belaian dan kehangatan Beliau. Tapi ketakutan akan rasa sakit dan kembali hamil mengalahkan keinginanku untuk menikmati cumbu rayu Beliau.

“Nyonya...di usia tua seperti ini, saya masih memiliki hasrat yang kadang sedikit menggebu, itu karena saya terlalu mencintai Njenengan. Keberadaan Njenenganlah yang membuat libido dan semangat saya tetap terjaga. Mungkin kalau bukan Njenengan, saya gak akan seperti ini.” Mendengar kalimat terakhir Pak Dokter, aku teringat kisah tentang interaksi pribadi Beliau dengan sang mantan kedua.

“Saya takut hamil lagi, Dok. Saya juga takut kenapa-kenapa dengan luka bekas SC.” Aku merespon ucapan Beliau dengan alasan lugas yang kukemas sesingkat mungkin.

“Hanya karena alasan itu?” Nada suara Pak Dokter menggambarkan kalau Beliau tidak terlalu yakin dengan alasanku, “Njenengan kan bisa bicara langsung apa adanya, gak perlu ditutup-tutupi seperti ini,” lanjut Beliau.

“Ntah kenapa, saya rasanya berat mau mengungkapkan semuanya, Dok. Gak seperti dulu, saya bisa leluasa mengungkapkan isi hati, bahkan ketika saya ingin umroh, saya gak malu-malu ngajak Njenengan.”

Pak Dokter tertawa mendengar pengakuan jujurku. Beliau merengkuh diri ini dalam pelukannya.

“Ternyata di balik kebahagiaan dan kenyamanan yang njenengan rasakan, Njenengan tetap tidak bisa terhindar dari baby blues, walaupun kadarnya kecil banget.”

“Saya bahagia, Dok. Saya gak depresi.”

“Yang bilang njenengan depresi siapa? Perasaan takut hamil dan takut sakit yang terlalu berlebihan itu juga termasuk ciri-ciri baby blues.”

“Sekarang kenapa Njenengan mau cerita?” lanjut Beliau.

“Saya merasa bersalah sama anak-anak. Karena saya, mereka menjadi pelampiasan emosi njenengan. Tadi pagi Lintang curhat kalau dia tersinggung dengan kata-kata Njenengan.” Aku menjawab tanya Beliau sambil mengisahkan curahan hati Lintang yang ditumpahkan padaku.

“Alasan Njenengan menghindari saya itu terlalu sepele dan mengada-ada. Saya ini lelaki tua, saya gak akan grusa-grusu mengingat ada bekas luka di tubuh njenengan. Dan alasan takut hamil itu juga gak elit banget. Melihat njenengan berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan Anggi, itu sudah cukup membuat saya bertobat untuk tidak menghamili Njenengan lagi.” Kali ini gantian aku yang tertawa mendengar ucapan Beliau.

“Tapi njenengan bilang masih pengen bikin anak laki-laki?” Aku melempar balik kata-kata yang pernah Beliau ucapkan.

Lelaki terkasih itu tertawa sambil mengeratkan pelukannya, kemudian mengecup ubun-ubunku dengan lembut dan penuh kasih.

“Pil KB-nya gak saya beli,” ujar Beliau santai, “ Tapi saya sudah menyiapkan yang lain,” Kalimat lanjutan Beliau begitu sarat makna.

@@@@@

Mentari dan Maghrib sudah berangkat ke sekolah masing-masing dengan menumpang ojek online. Aku dan Lintang menemani Pak Dokter yang sedang menikmati sarapan paginya. Hari ini Beliau berangkat dinas sesuai jadwal, jadi tidak terlalu pagi.

Lintang asyik menggendong Anggi. Bayi mungil itu dalam kondisi terjaga. Matanya berkejap-kejap tak tentu arah. Diciuminya pipi si bungsu dengan penuh rasa gemas.

“Tang, Brio-nya mau warna apa?” Sambil menikmati bubur kacang hijau sebagai menu sarapan, Pak Dokter mengajukan tanya kepada si sulung dengan nada bicara yang begitu menyejukkan.

Mendengar tanya Sang Bapak, gadis manis itu refleks menatap ke arahku. Aku membalas tatapannya dengan gelengan kepala.

“Test masuk aja belum, Pa.” Tidak ingin mendapat kecaman dari sang bapak seperti kemarin, Lintang merespon ucapan papanya dengan sangat hati-hati.

“Nanti kalau pas waktu Papa longgar, kita ke dealer.” Pak Dokter bicara sambil tetap fokus dengan sarapannya.

Aku tersenyum melihat prilaku lelakiku tersebut. Memang benar yang diungkapkan Ustadz Khalid Basalamah dalam salah satu ceramahnya, bahwa ada unsur api dalam kandungan sperma manusia. Sehingga ketika sperma tidak tersalurkan dalam waktu yang cukup lama, bisa menimbulkan panas dan memicu emosi. Sebaliknya ketika sperma tersalurkan secara rutin akan memberi dampak teduh dan tenang kepada si empunya tubuh. (SSttttt....tapi ini hanya berlaku bagi yang sudah memiliki pasangan sah ya.)

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER