Stetoskop Cinta Sang Dokter 13
Badanku lemas. Diri ini serasa tak bertulang. Kepala cekot-cekot. Degup jantung seakan berkejaran tak menentu.
Ingin rasanya aku menyingkirkan beban berat yang menghantam dada dengan berteriak dan menangis sekeras mungkin. Ada sedikit perasaan marah berkecamuk di hati, kenapa anak-anakku yang terlihat begitu manis dan berbudi, namun tega memberi Emaknya kejutan yang sangat tidak elegan.
Setelah Lintang dan Dhuha membuat heboh keluarga Pak Dokter dengan cinta jarak jauh mereka, sekarang Edel ikut-ikutan menguji kesabaranku dengan pacar duda dan calon anak-anak tirinya.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Edel tentang pacarnya membuatku sempoyongan. Namun diri ini berusaha sekuat tenaga untuk menutupi semua kegelisahan dari pantauan Edel.
Aku yakin kalau dia menangkap kesan bahwa Emaknya sangat terganggu dengan informasi yang disampaikannya, mungkin gadis manis ini akan mengurungkan niat untuk lanjut bercerita.
Kuucap istighfar berkali-kali di dalam hati. Kupasrahkan diri pada Sang Ilahi Rabbi. Kucoba untuk mengendalikan diri dan emosi semaksimal mungkin. Aku sadar, ada benih cinta Pak Dokter di rahimku. Di usia yang sudah tak muda lagi, gejolak emosi yang berlebihan bisa berdampak pada tekanan darah, kadar gula, atau kolesterol. Kalau aku tak bisa mengontrol emosi, bisa berdampak buruk buat Anggi.
Setelah mampu menata emosi dan menguasai diri, kucoba kembali melanjutkan obrolan yang sempat terhenti.
“Cerai mati atau cerai hidup, Edel?” Ada sedikit getaran dalam nada bicaraku. Dan kuharap Edel tidak menyadari hal itu.
“Cerai mati, Ma.” Seberkas lega menyelusup ke relung jiwa, walau aku tak tahu untuk apa aku merasa lega.
“Mama gak kaget atau marah? Kok kelihatannya Mama tenang banget dengar ceritaku.” Edel melanjutkan ujarannya dengan nada heran.
“Duh...nak seandainya kau tau bahwa saat ini perasaan Emakmu sedang bergejolak bagai anak Krakatau yang terus menerus memuntahkan lahar panasnya, mungkin dirimu akan urung berbagi kisah.” Bathinku mendengar pertanyaan Edel.
“Jujur...Mama kaget Edel.” Kusampaikan isi hati yang sesungguhnya kepada si Sulung, “Tapi, Mama kan belum mendengar secara keseluruhan tentang siapa sesungguhnya pacar kamu itu. Alangkah tidak bijaksananya kalau baru mendengar beberapa kalimat saja terus Mama marah, ya kan?” lanjutku sambil kembali mencoba menutupi segala kegelisahan diri.
Edel terdiam mendengar jawabanku, pun demikian dengan diri ini. Dalam keheningan yang tercipta di antara kami, mungkin Edel bisa menangkap segala kegalauan yang menyergap Emaknya. Walau Edel lebih dekat dengan almarhum Bapaknya, namun dia dan aku memiliki aliran darah yang sama. Dia pernah mendekam di rahimku selama sembilan bulan sepuluh hari, jadi wajar kalau ikatan bathin di antara kami cukup kuat.
“Maafin aku, Ma.” Kalimat Edel terdengar tulus dan bersungguh-sungguh.
Aku memang syok berat mendengar pengakuan Edel tentang status pacarnya. Dan ada sekelebat perasaan tidak ikhlas kalau anak gadisku ini harus berjodoh dengan seorang duda yang usianya hampir sama denganku. Namun, sebagai seorang ibu, ada rasa tak tega melihat pelita hatiku tersebut terbebani dengan kisah cintanya.
“Kamu gak salah, Edel. Mama bisa merasakan apa yang kamu rasakan, karena Mama juga pernah mengalami jatuh cinta di saat yang tidak tepat,” ujarku berusaha menenangkannya.
“Aku merasa, mungkin ini teguran Allah atas perbuatanku ke Mama dulu.” Ntah kenapa kalimat Edel tersebut membuat rasa ibaku padanya semakin bertumbuh.
“Kamu kenapa ngomong gitu?” tanyaku lembut sembari mengelus kepalanya.
“Aku ingat pernah bersikap kasar sama Mama sewaktu menemukan cincin dari Pak Dokter di kotak perhiasan. Kalau ingat kejadian itu, sekarang aku jadi malu, Ma. Dulu aku terlalu naif dan egois. Padahal saat itu usiaku sudah dewasa, tapi karena aku belum pernah merasakan jatuh cinta berat seperti saat ini, jadi aku gak bisa memahami perasaan Mama.” Edel mengurai isi hatinya dengan lugas dan runtun.
Dan kisah yang terucap dari bibir Edel itu membuat ingatanku kembali ke masa-masa hubunganku dengan Pak Dokter masih berstatus tak jelas. Waktu itu sempat terjadi sedikit kesalahpahaman antara aku dan Edel.
Aku ingat saat itu sempat keluar dari bibir ini ucapan,”Semoga kamu tidak pernah mengalami apa yang Mama alami.” Namun sedikitpun tidak pernah terbersit dalam benakku bahwa ucapan itu akan menjadi tulah untuk sulungku.
“Yang kamu alami sekarang itu bukan teguran Edel, tapi takdir. Toh kalian sama-sama single, mungkin perbedaan umur dan status saja yang membuat hubungan kalian jadi unik.” Aku mencoba memberi support kepadanya, walau aku sendiri tak yakin, apa benar diri ini siap untuk memiliki menantu yang usianya sepantaran denganku.
“Siapa namanya, Edel?”
Belum sempat tanyaku terjawab, terdengar suara ketukan di pintu kamar, diikuti suara Mentari memanggil Edel. Sulungku menjawab panggilan adiknya. Sejurus kemudian bungsu Pak Dokter itu sudah berada di dalam kamar.
“Jadi pergi gak mbak? Sudah hampir jam sepuluh lho. Itu Mbak Lintang sama Dek Maghrib juga udah rampungan.” Mentari mengingatkan Edel akan rencana kepergian mereka.
@@@@@
Sebenarnya masih banyak informasi yang ingin kukorek dari Edel tentang Sang kekasih. Tapi karena dia sudah berjanji pada ketiga adiknya untuk mengajak mereka panen rambutan di rumah temannya, akupun mengalah.
Kubiarkan keempat anak menikmati kebersamaan di hari libur mereka, sementara aku juga mencoba menenangkan diri sebelum mengambil keputusan untuk hubungan Edel.
Setelah anak-anak meninggalkan rumah, aku kembali mengurung diri di kamar. Artikel yang baru berisi 250 kata kembali terbengkalai. Tak ada hasrat untuk menyelesaikannya, otakku buntu.
Dalam kesendirian, kewarasanku sedikit menguap. Tiba-tiba sifat sentimentilku mencuat, ujung mata memanas, dada terasa sesak. Rasa marah kembali berusaha menguasai diri.
Aku butuh pelampiasan atas segala rasa tak nyaman ini. Kuraih telphone seluler yang berada di samping laptop. Kuhubungi nomor Pak Dokter. Terdengar nada sambung di seberang sana, namun panggilanku tak berbalas. Mungkin Beliau sibuk, walau di hari Sabtu begini sebenarnya Beliau tidak ada jadwal di Poli.
Kuhentikan panggilan kemudian merebahkan diri di peraduan. Aku sengaja meletakkan gawai di dekat posisi tidur, sekedar berjaga andai sewaktu-waktu Pak Dokter membalas panggilanku.
Baru saja terbersit niat untuk berwudhu dan menunaikan sholat dua rakaat demi menjaga emosi dan kewarasan ketika telphoneku bergetar. Panggilan masuk dari Pak Dokter.
“Assalamualaikum, Dok.”
“Walaikumussalam. Tadi Njenengan nelphone?”
“Iya, Dok.” Dan kalimat singkat itu diikuti oleh tangisan yang sudah tak mampu lagi kubendung.
Tadi di depan Edel, aku cukup mampu menata perasaan yang bergejolak, karena saat itu peranku sebagai Emak yang harus bisa memberi kenyamanan pada anaknya. Tapi kini kepada Pak Dokter, aku tak mampu menyembunyikan semua kegelisahan diri. Aku butuh Beliau untuk melindungi dan memberiku kenyamanan.
Pak Dokter heran mendapatiku yang tiba-tiba menangis di telphone.
“Njenengan kenapa?” Nada suara Beliau terdengar heran dan begitu khawatir.
“Saya butuh Njenengan, Dok,” ujarku di sela-sela isakan.
“Nanti jam istirahat saya pulang.” Chemistry antara diriku dan Pak Dokter memang begitu kuat. Ketika ada hal-hal di luar kebiasaan yang terjadi, hanya dengan ungkapan satu atau dua kalimat, biasanya masing-masing kami sudah saling memahami apa yang terjadi dengan pasangannya.
Demikian juga untuk saat ini, seolah memahami kalau sang istri benar-benar membutuhkannya, Beliau tidak lagi bertanya panjang lebar.
@@@@@
Setelah selesai makan malam, Pak Dokter meminta ketiga gadis untuk tetap berada di meja makan. Sementara aku memberi titah pada Maghrib agar kembali ke kamarnya.
Anggiat tidak jadi berkunjung karena tadi Pak Dokter memberi alasan kepada dia, kalau kondisiku kurang fit. Walau tujuan utama Anggiat bersilaturahmi ke rumah untuk bertemu Edel, namun ketika Sang Nyonya rumah dalam kondisi kurang nyaman, Pak Dokter langsung mengambil keputusan meminta Anggiat menunda kedatangannya. Dan sepertinya niat Anggiat untuk kembali mengunjungi rumah kami tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Ketika Pak Dokter pulang di jam istirahat tadi siang, kutumpahkan semua beban berat yang menekan perasaan. Persis seperti diriku, Beliau juga kaget mendengar cerita tentang hubungan Edel dengan duda paruh baya beranak tiga.
Kalau selama ini urusan menghadapi anak-anak merupakan tugas dan tanggung jawabku, namun tidak untuk kali ini. Aku meminta bantuan Pak Dokter untuk berbicara tegas kepada Edel, juga Lintang dan Mentari.
Dan di sinilah kami sekarang, duduk mengitari meja makan berkapasitas delapan kursi. Edel dan kedua adiknya duduk berjajar di satu sisi, sementara aku dan Pak Dokter duduk di sisi lain, berhadapan dengan ketiga gadis. Kursi di sebelahku yang tadi diduduki Maghrib, kini kosong. Begitu juga dengan dua kursi yang masing-masing berada di ujung kanan dan kiri.
Situasi sidang tertutup ini mengingatkanku akan almarhumah ayah. Dulu ketika di antara sebelas orang anak gadis ayah ada yang sedikit bermasalah, maka ayah dan ibu akan mengajak si gadis bermasalah itu berbicara dengan situasi “disidang” seperti ini.
Pada waktu itu, kalau sampai diajak bicara oleh ayah ibu dengan posisi seperti ini, merupakan suatu hukuman yang sangat memalukan dan mengerikan. Apalagi setelah sidang usai biasanya saudara-saudara yang lain akan bersikap kepo, bertanya-tanya apa saja yang dibicarakan. Atau bahkan terkadang malah meluncurkan godaan yang membuat telinga menjadi panas.
Padahal kesalahan-kesalahan yang dulu sering kami buat itu cuma kesalahan kecil yang tidak fatal, seperti berturut-turut nilai ulangan jeblok, atau pulang sekolah sering terlambat, ribut di antara sesama kami, dan kesalahan kecil lainnya. Seingatku, hanya ada tiga orang kakak yang pernah disidang ayah karena masalah pacaran, kakak kelima, kakak ketujuh, dan kakak kedelapan.
Perbedaan zaman memang otomatis mengubah pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya. Seperti yang kami lakukan saat ini. Selama ini aku dan Pak Dokter selalu menerapkan pendekatan personal kepada anak-anak ketika mereka sedang bermasalah. Dan biasanya Pak Dokter memasrahkan hal ini kepadaku. Menurut Beliau aku lebih mumpuni ketika harus berbicara dari hati ke hati dengan anak-anak. Namun karena kali ini aku merasa tak sanggup untuk menghadapinya, maka kumohon pada Beliau agar menangani hal ini dengan pembicaraan yang serius dan tegas.
Edel sepertinya sudah paham dengan situasi ini. Tapi wajah Lintang dan Mentari masih menunjukkan tanda tanya besar kenapa kami meminta mereka berkumpul, sementara Maghrib harus kembali ke kamarnya.
“Lintang dan Mentari...masuk dulu ke kamar. Nanti Papa panggil.” Aku terkesiap mendengar ucapan Pak Dokter, begitu juga dengan kedua anak gadisnya.
Mereka terlihat heran, tadi diminta untuk kumpul, sekarang malah disuruh masuk kamar. Namun Lintang dan Mentari seakan paham betul dengan karakter Bapaknya kalau sudah memberi titah dengan nada suara tegas. Tanpa banyak tanya, keduanya beranjak meninggalkan meja makan menuju ke kamar masing-masing di lantai atas.
Sementara diriku juga tak ingin tahu, apa alasan Pak Dokter menyuruh kedua anaknya menyingkir. Kupikir, kali ini biarlah Beliau melakoni perannya . Aku hanya perlu mendampinginya saja.
“Edel...tadi siang Mama sudah cerita sekilas sama Papa.” Pak Dokter membuka percakapan dengan anak gadisku.
“Papa cuma pingin tanya, kamu serius dengan hubungan ini?” Lelaki terkasihku langsung menodong Edel ke pokok permasalahan.
Wanita muda yang beberapa bulan lagi akan genap berusia 26 tahun itu menatap ke arah Pak Dokter dengan sopan dan penuh hormat.
“Serius, Pa.” Dia menjawab tanya Pak Dokter tegas dan tanpa ragu.
“Siapa namanya Edel?” Pak Dokter kembali mengajukan tanya dengan nada pelan.
“Maharaja, Pa.” Mendengar jawaban Edel, aku tersentak. Demikian juga dengan Pak Dokter. Mungkin Beliau kaget karena ternyata calon menantunya seorang raja yang tak bertahta dan tanpa istana. Namanya berat banget. Pake kata ‘Maha’ segala.
Aku mengenal seseorang yang namanya diawali dengan kata ‘Maha’. Dia temanku di satu komunitas kuliner. Dan amit-amit, itu manusia egoisnya minta ampun, merasa paling tinggi, paling sempurna, dan paling segalanya dari semua orang.
Pikiranku mulai melanglang buana. Apakah si Raja yang pake Maha ini juga sama seperti temanku itu? Mengingat kata para tetua bahwa nama itu mengandung do’a.
“Namanya keren banget.” Pak Dokter mengomentari jawaban Edel dengan santai walau tadi sempat terlihat kekagetan di wajah Beliau.
Edel tersenyum mendengar perkataan Pak Dokter. Terselip rona bahagia di wajahnya. Begitulah cinta...bahkan hanya dengan menyebut namanya saja, perasaan berbunga-bunga langsung menyelinap ke sudut jiwa.
“Kamu sudah siap untuk jadi ibu tiri dari ketiga anak yang mulai beranjak dewasa? Sementara usia kamu masih begitu muda lho. Kamu tu cocoknya momong anak usia PAUD.” Aku menahan tawa mendengar kalimat Pak Dokter. Suamiku ini selalu saja begitu, di sela-sela keseriusannya, dia masih sempat menggoda Edel.
“Insyaa Allah, siap Pa.” Nada jawaban Edel tak berubah, tegas dan pasti.
“Serius?” Pak Dokter kembali menanting Edel, “Posisi kamu nanti persis seperti Mama. Kalau Mama menghadapi lima anak, sementara kamu bakal punya tiga anak yang menjelang dewasa dengan segala romantika dan problematikanya.” Beliau melanjutkan ujarannya.
“Kamu tau gak ? Mama yang usianya sudah begitu matang saja, hari ini nyerah dengan posisinya. Itulah kenapa saat ini Papa yang ngajak kamu bicara.” Pak Dokter kembali meneruskan bicaranya.
Mendengar kalimat terakhir Pak Dokter, Edel menatap lekat ke arahku. Kubalas tatapan penuh makna dari gadis manis tersebut.
“Mama kenapa gak bilang terus terang sama aku kalau ceritaku membebani Mama?” Seolah ada penyesalan dalam ujarannya.
“Bukan membebani, Edel. Tapi Mama gak tau harus ngambil keputusan apa, karena yang bakal Mama hadapi ini lelaki paruh baya yang hampir seumuran Mama. Makanya Mama minta bantuan Papa.” Aku mencoba membela diri.
“Edel..., Mama itu masih syok dengan kasus Lintang dan Dhuha. Sekarang, kamu ikutan membawa kisah cinta yang unik. Sementara, Anggi juga perlu dijaga dengan hati-hati karena usia Mama sudah gak muda lagi. Kalau Mama memaksakan diri memendam semua masalah kalian, nanti Anggi yang bakal kena dampaknya. Jadi kalau sekarang Mama nyerah dan minta bantuan Papa, itu karena masalah kamu cukup kompleks.” Pak Dokter berusaha memberi pengertian tentang kondisiku secara panjang lebar kepada si gadis.
“Ya, Pa.” Edel memberi respon singkat atas pemaparan Pak Dokter.
“Seberapa serius hubungan kamu dengan Maharaja, Edel?”
“Kak Raja sudah ngajak aku nikah, Pa. Tapi aku belum punya keberanian untuk bicara sama Mama Papa. Makanya, ketika Mama ngajak bicara tentang Bang Anggiat, aku memanfaatkan moment itu untuk bercerita tentang Kak Raja.” Sulung Pak Wicaksono itu terlihat begitu tenang dalam menyampaikan uneg-unegnya.
“Kamu sudah pernah ketemu anak-anaknya? Kamu kenal Raja di mana sih?” Pak Dokter kembali melanjutkan interogasinya kepada Edel.
“Kamu jangan tersinggung kalau Papa terlalu banyak tanya ya. Soalnya walau cuma Bapak Sambungan, tapi kamu sekarang berada di bawah tanggung jawab Papa. Dan Papa memang gak bisa seperti Mama, yang dengan telaten menggunakan pendekatan dari hati ke hati. Sebagai Bapak, Papa lebih suka berbicara to the point, dan pengen tau semuanya dengan jelas dan gamblang.”
“Ya, Pa. Edel paham posisi dan keinginan Papa. Edel gak tersinggung kok, Pa.”
Mendengar pembicaraan antara Edel dan Pak Dokter, aku bagai berada di tengah rapat dewan direksi satu perusahaan. Kedua personil yang sangat aku cintai itu berbicara dengan kalimat-kalimat lugas dan tegas tanpa sayap dan tak berliku-liku.
Kemudian dengan tenang, lancar, dan yakin, Edel mulai berbagi kisah awal pertemuan dan perjalanan cintanya.
Sang Maharaja ini ternyata Om dari teman kerjanya Edel. Pertemuan mereka berawal ketika Edel menghadiri resepsi pernikahan temennya itu. Dari perkenalan biasa, hubungan kemudian berlanjut melalui aplikasi WA, juga sesekali pertemuan singkat di waktu senggang mereka.
Hingga akhirnya terjalinlah kisah kasih, yang ternyata sudah berjalan hampir setahun lamanya. Dalam kurun waktu itu, Sang Maharaja yang berdarah campuran Jawa Palembang tersebut sudah beberapa kali meminta Edel untuk menjadi istrinya. Namun anak gadisku masih galau, karena tak tau bagaimana harus menyampaikan perihal hubungan mereka pada diriku dan Pak Dokter. Dan Edel juga selalu melarang setiap kali lelaki paruh baya tersebut ingin mengunjungi kami, baik di Semarang atau Salatiga.
Dari cerita Edel ini aku menangkap satu point penting, kemungkinan sosok lelaki yang dicintai Ede itu memiliki tingkat kesabaran di atas rata-rata, buktinya dia bersedia menunggu kesiapan Edel untuk berkomunikasi dengan kami, orang tuanya.
Lelaki yang berprofesi sebagai dosen tersebut telah menduda selama empat tahun, setelah istrinya meninggal karena kanker payudara. Sementara dua dari ketiga anak yang semuanya lelaki, kini hidup terpisah dari Sang Bapak demi melanjutkan pendidikan mereka.
Si Sulung yang sudah berusia 20 tahun, memperoleh beasiswa untuk menempuh pendidikan di UBD (University of Brunei Darussalam). Sementara Sang Adik, yang usianya terpaut dua tahun dari si kakak, memilih untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang chef dengan melanjutkan pendidikan di NHI Bandung. Dan si Bungsu saat ini masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Dialah yang menjadi teman Bapaknya di Yogya.
Edel pernah dikenalkan kepada si sulung dan si tengah ketika mereka pulang ke Yogya pada saat liburan. Sementara kalau dengan si bungsu, sudah terjalin beberapa kali pertemuan, karena setiap Sang Bapak ingin bertemu Edel, Beliau selalu ditemani anak bungsunya.
Menurut Edel, walau kekasih hatinya itu bukan orang kaya, namun Edel yakin bahwa mereka bisa hidup berkecukupan. Dan yang terpenting bagi Edel, dia merasa nyaman dan terlindungi dalam menjalani hubungan ini. Itulah sebabnya, walau usia Sang Raja hanya terpaut empat tahun dari usia kami –Mama Papanya- namun Edel merasa benar-benar jatuh cinta pada lelaki tersebut.
Pak Dokter menyimak setiap untaian kalimat Edel dengan seksama. Sementara aku tak mampu menjabarkan apa yang sedang menyelubungi hati. Perasaanku campur aduk dan bergelung-gelung tak menentu.
Sebagai seorang ibu, tentunya aku sangat berharap Edel bisa berjodoh dengan lelaki yang sepantaran atau paling tidak beda usia beberapa tahun dan masih single. Dengan demikian mereka bisa membangun mahligai rumah tangga bersama-sama dari awal. Merasakan pahit getirnya hidup, menyamakan visi misi, memadukan perbedaan, meredam ego dan saling menerima kelebihan serta kekurangan pasangan, tanpa harus direpotkan dengan urusan anak-anak yang sudah besar.
Sementara kalau Edel memang harus berjodoh dengan Raja, aku melihat akan banyak kendala yang bakal dia hadapi. Di usianya yang masih 26 tahun, dia sudah harus berhadapan dengan tiga orang anak yang beranjak dewasa. Dan sebagai manusia normal, Edelpun pasti ingin memiliki anak dari suaminya, serta selisih usia yang begitu jauh pasti juga akan memunculkan perbedaan dalam visi misi dan pandangan hidup.
Namun aku tak tega memupus harapan Edel. Aku tidak siap melihat Edel kecewa karena benih cinta yang sedang mekar bersemi di hatinya harus luluh lantak karena ketidaksetujuanku. Dia terlihat begitu yakin dengan pilihan hidupnya. Setiap pertanyaan Pak Dokter dia jawab dengan tegas dan lugas.
“Nyonya....” Setelah Edel menyelesaikan ceritanya, Pak Dokter menyapaku pelan. Aku tahu, panggilan Pak Dokter itu merupakan isyarat kalau dia butuh pendapatku.
“Saya serahkan sepenuhnya sama Njenengan dan Edel, Dok.” Aku tak mampu memberi masukan walau hanya sepatah kata.
Bagiku, kalau memang Raja harus menjadi jodoh Edel, diri ini cuma bisa pasrah. Semoga dia memang yang terbaik untuk Edel.
“Kalau memang Edel sudah mantap memilih Raja, minta dia untuk datang menemui Mama Papa besok siang. Yogya – Semarang itu dekat. Kalau dia serius, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Pak Dokter berbicara dengan lembut namun penuh ketegasan.
Belahan jiwaku ini memang benar-benar lelaki sejati. Lelaki yang tak suka berbasa-basi. Dan Beliau ingin, sosok yang berniat menikahi anak gadisnya juga harus seperti dia, berjiwa kesatria dan tak bertele-tele.
“Sekarang tolong kamu panggil Mentari sama Lintang. Kedua adik kamu itu juga perlu dikasih penataran sebelum membuat Anggi lahir gasik.” Beliau melanjutkan ujarannya.
Berambung
No comments:
Post a Comment