Sunday, August 23, 2020

Buah Hati 07

BUAH  HATI 07
Oleh:Tien Kumalasari

Seruni menatap mata gusar suaminya. Dadanya terasa sesak. Ia mengatakannya dalam keadaan hati gelisah dan asa yang patah.

"Kamu bicara ngelantur Seruni, setan apa yang merasuki kamu sehingga menyuruh suami kamu menikah dengan pembantu?"

"Maaf Mas, aku juga mengucapkannya dengan hati yang berat, jiwa yang resah, aku seperti kehilangan pegangan. Tak tahu harus berbuat apa."

Indra terdiam, wajahnya muram. Ia berdiri dan beranjak keluar dengan wajah masih kusam.

"Mas..." Seruni berlari mengikuti.

"Mas Indra... Mas Indra..."

Indra terus saja melangkah, dan Seruni tetap mengikuti, tersaruk dibelakangnya, dengan air mata bercucuran.

Senja mulai meraba alam sekitar, suasana remang karena hari mulai merambah malam. Hiruk pikuk lalu lintas tak mereka hiraukan, mereka terus saja melangkah dan melangkah. Seruni masih ada dibelakang Indra, tapi ia tak mau berhenti. Indra melangkah tak tentu arah, melewati perempatan demi perempatan, lalu menyeberang jalan. Seruni masih mengikutinya, menyeberang tanpa melihat ke kiri dan ke kanan, ia hanya menatap suaminya. Tapi tiba-tiba sebuah mobil nyaris menabraknya. Tubuhnya terserempet bagian depan mobil, membuatnya terpelanting.

"Augh!

Seruni menjerit, dan jatuh.

Indra terkejut. Membalikkan tubuhnya dan melihat Seruni tergeletak di tengah jalan. Indra memburu ke tempat Seruni terjatuh, sambil tangannya melambai ke arah kiri dan kanan jalan, memohon agar kendaraan berhenti atau menyimpang.

"Seruni... sayang..."

Seruni tak bergerak, Indra mengangkat tubuhnya ke pinggir. Ia duduk begitu saja di atas trotoar. Beberapa penjual makanan mendekat, ada yang membawakan minum dalam gelas, dan ada yang membawa botol aqua. Tapi Seruni tak bergerak. Indra terus memanggil-manggil namanya dengan gelisah.

"Langsung ke rumah sakit saja Pak..." kata seseorang.

"Benar, panggil taksi... panggil taksi..." orang-orang mulai berkerumun. Tak terlihat ada luka di tubuh Seruni, tapi dia diam tak bergerak. Indra melihat pelipisnya membiru.

"Taksiii!!" seseorang memanggil taksi.

***

Indra memukul-mukul kepalanya sendiri, menyesali apa yang dilakukannya. Karena mengikuti dirinya maka kecelakaan itu terjadi. Gelisah menunggu, batinnya selalu memohon keselamatan untuk istrinya tercinta.

"Seruni... maafkan aku... maafkan aku..." rintihnya dalam hati. 

Matanya berkaca-kaca, tak perduli beberapa orang yang juga sedang menunggu, memperhatikannya.

Ketika dokter keluar, Indra memburunya.

"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?"

"Oh, baik, tidak apa-apa, hanya gegar otak ringan, sekarang dia sudah sadar."

"Oh terimakasih dokter, bisakah saya menemuinnya?"

"Silakan, tapi dia harus beristirahat untuk beberapa hari," kata dokter yang kemudian berlalu.

Indra memburu kedalam. Dilihatnya Seruni tergolek, dengan selang infus dilengannya. Wajahnya pucat, tapi matanya terbuka begitu melihatnya mendekat.

"Seruni, istriku, kekasihku, cintaku..." Indra memeluknya, mencium sepuasnya.

Seruni tersenyum tipis.

"Maafkanlah aku... maafkan ya..." bisiknya sendu.

Seruni tak menjawab, menutup mulut Indra dengan jemarinya.

"Aku tidak apa-apa," bisiknya lirih.

"Bagaimana sayang, apa yang kamu rasakan?"

"Hanya sedikit pusing, ayo kita pulang."

"Jangan Seruni, lihat, masih ada infus dilengan kamu, dokter meminta agar kamu beristirahat beberapa hari."

"Tidak, aku tidak mau, aku mau pulang."

"Jangan bandel, kamu harus menurut. Aku akan terus menunggui kamu disini."

"Indra, kamu tidak marah?"

"Tidak sayang, tenanglah... bagaimana aku bisa marah sama kamu?"

"Tapi kamu meninggalkan aku..."

"Aku yang salah, aku tidak bisa mengendalikan diri. Sudahlah, jangan bicarakan masalah itu lagi, kamu harus tenang, biar segera sehat, ya?"

"Mas Indra... aku sungguh-sungguh ingin membuatmu bahagia."

"Aku sudah tidak kurang bahagia, aku akan selalu mencintai kamu, sudah, pejamkan matamu dan tidurlah, aku akan minta suster agar mencarikan kamar terbaik untuk kamu."

"Aku tidak apa-apa..."

"Jangan bandel Seruni..."

***

Surti terkejut ketika majikannya pulang sendirian dengan naik taksi, dan mengatakan bahwa istrinya ada di rumah sakit.

"Memangnya Bu Indra sakit apa Pak?" tanyanya cemas.

"Tidak apa-apa, hanya pusing, siapkan baju-baju Ibu dan masukkan dalam tas. Jangan banyak-banyak, hanya beberapa hari."

"Baik, Pak. "

Seruni menyiapkan apa yang disuruh Indra, mengambil beberapa baju dan ditatanya di dalam tas. Penuh tanda tanya dalam hatinya melihat majikan gantengnya duduk dengan wajah sedih.

"Pasti tidak sakit biasa. Jangan-jangan Bu Indra ngidam," batin Surti, tapi dia tak berani menanyakannya. Dulu Seruni pernah mengatakan, bahwa tidak sopan menanyakan hal yang bukan urusannya. Tadi sudah dijawab hanya pusing, dan Surti kemudian diam.

"Bapak tidak makan malam dulu?" tanya Surti, karena dia sudah menatanya di meja.

"Tidak, mana baju-baju itu?"

"Sudah Pak, ini."

"Bawakan juga sabun, sikat gigi."

"Oh, iya ..." Surti kembali kebelakang, mengambil simpanan sabun dan sikat gigi di almari lalu dimasukkannya ke dalam tas.

"Sudah?"

"Sudah Pak."

"Aku pergi, kunci semua pintu dan jangan kemana-mana." kata Indra sambil berlalu, mengambil mobilnya dan kembali ke rumah sakit.

Surti mengunci semua pintu karena hari memang sudah malam. Ia masuk ke kamar dan menelpon Ayahnya.

"Ada apa Sur?" tanya Ayahnya dari seberang.

"Surti sendirian di rumah ini Pak, Bu Indra sakit."

"Sakit apa?"

"Entahlah, Pak Indra bilang hanya pusing. Jangan-jangan ngidam ya Pak."

"Oh, syukurlah kalau ngidam, itu sakit yang menyenangkan. Sudah berapa bulan?"

"Surti mana tahu Pak, tiba-tiba sudah ada di rumah sakit, katanya hanya pusing. Kalau hanya pusing mengapa harus menginap di rumah sakit?"

"Ya sudah kalau tidak sakit yang sebenarnya sakit. Ini tadi sebetulnya Bapak mau menelponmu siang, tapi pulsa Bapak habis, baru beli, untunglah sudah beli, jadi baru bisa menerima telpon kamu."

"Ya Pak, Bapak punya uang?"

"Punya, Bapak punya."

"Ya sudah, kalau tidak mau Surti kirimin, Surti punya tabungan yang lumayan, karena tidak pernah beli apapun yang tidak perlu. Surti hanya membeli ponsel yang biasa saja, asal bisa menelpon Bapak."

"Iya, ponsel Bapak ini kan juga kamu yang membelikan. Tidak apa-apa ponsel biasa, yang penting bisa saling mengabarkan keadaan kita."

"Sebetulnya Surti kangen sama Bapak, hampir dua tahun baru pulang sekali."

"Tidak apa-apa Nduk, yang penting kamu sehat."

"Bapak juga sehat kan?"

"Ya sehat. Pak Pras selalu memberi Bapak vitamin-vitamin agar Bapak kuat dan tidak capek."

"Ya sudah Pak, besok menjelang lebaran saja Surti pulang."

"Jangan pulang kalau memang disini sedang repot."

"Ya Pak."

***

Pagi hari itu begitu datang pak Mul segera menemui Bu Pras.

"Ada berita baik Bu."

"Ada apa?"

"Semalam Surti menelpon, katanya Bu Indra masuk rumah sakit. Kata Surti ngidam."

Mendadak wajah Bu Prastowo berbinar, Ia masuk kedalam rumah, menemui suaminya.

"Pak.. pak..."

"Ada apa, kok kelihatan bersemangat begitu?"

"Ada berita baik, kata Pak Mul, Seruni ngidam."

"Lho, Mul dengar dari siapa?"

"Dari Surti, katanya Seruni masuk rumah sakit semalam karena ngidam."

"Benarkah? Sekarang juga aku mau menelpon Indra. Kok tidak mengabari kita kalau memang istrinya ngidam. Mana ponselku?"

"Selamat pagi Bapak," jawab Indra ketika Ayahnya menelpon.

"Indra, kamu dimana?"

"Saya di... rumah sakit bapak, Seruni sakit."

"Iya, Bapak sudah tahu.. sudah berapa bulan?" tanya Pak Pras penuh harap.

"Baru semalam Pak."

"Bukan opname nya, hamilnya sudah berapa bulan?"

Indra tertegun. Kok hamil sih?

"Indra, Bapak tanya, hamilnya istrimu sudah berapa bulan? Nanti Bapak sama Ibu mau menengok kemari. Seruni pengin apa?" Pak Prastowo semakin berapi-api.

"Bapak, siapa yang hamil?"

"Lho, katanya istrimu ngidam?"

"Tidak Bapak, Seruni hanya pusing, kemarin  jatuh di jalan, gegar otak ringan, tapi tidak apa-apa."

Pak Pratowo tertegun. Seperti air panas yang kemasukan es batu, tiba-tiba sikapnya menjadi dingin. Semangat menyala-nyala karena harapan yang memenuhi perasaannya, tiba-tiba padam.

"Bapak.." sapa Indra karena beberapa saat lamanya tak ada suara Bapaknya.

"Ya sudah..."

"Dari siapa Bapak mendengar berita itu?"

"Ya sudah, semoga baik-baik saja."kata pak Pras dingin, kemudian menutup ponselnya sebelum Indra menjawabnya.

"Gimana pak?" tanya Bu Prastowo masih dengan bersemangat.

"Siapa bilang Seruni ngidam? Mul itu ngawur, atau Surti yang ngawur."

"Lho..."

"Seruni habis jatuh dijalan, gegar otak ringan, tapi tidak mengkhawatirkan."

"Bukan ngidam?"

"Bukan."

Dan runtuhlah semua angan-angan yang semula membahagiakan.

***

Indra termangu di atas sofa di ruangan dimana Seruni dirawat. Berfikir mengapa ayahnya mengira Seruni hamil. Ia tak ingin mengatakan ini semua kepada Seruni, agar tak lagi masalah hamil itu terungkit dan mengganggu perasaan Seruni.

"Dari siapa Mas ?" tanya Seruni dari atas ranjangnya.

"Dari Bapak, cuma menanyakan keadaan kita," jawab Indra berbohong.

"Tidak menanyakan masalah aku?"

"Tidak, aku mengatakan bahwa kamu sakit. Bapak dan Ibu ikut prihatin."

Seruni terdiam.

"Kata dokter kamu boleh pulang besok, kalau tak ada keluhan lain."

"Ah, mengapa masih besok?"

"Sabar Seruni, dokter harus memastikan bahwa kamu benar-benar sehat."

"Aku kan bisa beristirahat dirumah."

"Iya... iya... Bersabarlah, aku tak ingin kamu kenapa-kenapa, bawel."

Seruni tersenyum. Bahagia merasakan kasih sayang suaminya, bahagia aroma cinta menyeruak menyusupi relung sanubarinya. Terasa wangi dan menyentuh. Dalam hati Seruni berjanji, tak akan kulepaskan dirimu dari kehidupanku.


***

"Mul... Mul... gimana kamu ini.." Pak Prastowo mencari Pak Mulyadi di kebun.

"Ada apa Pak?

"Informasimu kok nggak tepat. Ngawur !"

"Informasi yang mana Pak?

"Kamu bilang Seruni lagi ngidam, opname dirumah sakit?"

"Iya Pak, Surti yang mengatakannya."

"Itu bohong Mul. Seruni jatuh di jalan, lalu opname di rumah sakit."

"Lho.. gimana Surti ini, biar nanti saya tegur pak. Tadi malam dia bilang begitu."

"Kalau belum jelas benar itu jangan dulu bilang-bilang. Aku sama ibunya sudah senang, ternyata bohong kabar itu."

"Maaf pak, nanti Surti akan saya tegur."

Pak Prastowo meninggalkan Pak Mul sendiri dengan wajah muram. Pak Mul meraba ponselnya, ingin menegur anaknya, tapi ternyata ponselnya mati, semalam lupa ngecas.

"Berarti nanti sore saja di rumah, hm.. bagaimana anak itu.. aku jadi mendapat teguran dari Pak Pras." gumamnya sedikit kesal pada anaknya.

***

Sore hari itu ketika sudah sampai di rumah, Pak Mul baru mengambil charger untuk menyalakan ponselnya.

Setelah menjerang air dan membuat kopi untuk dirinya sendiri, barulah dia bisa menelpon Surti.

_"Ada apa Bapak?" tanya Surti dari seberang._

"Kamu ini bagaimana, memberi berita yang tidak jelas, Bapak jadi kena tegur deh."

"Berita apa sih Pak?"

"Kamu, bukankah semalam mengabari Bapak dan mengatakan bahwa Bu Indra lagi ngidam ?"

"Iya Pak, Surti pikir begitu."

"Itu baru perkiraan kamu, bukan benar-benar terjadi?"

"Habis Surti takut menanyakannya pada Pak Indra, nanti dikira nggak sopan."

"Oo.. gimana kamu itu, lain kali kalau belum jelas jangan buru-buru bilang sama orang."

"Iya Pak, memangnya nggak benar?"

"Bapak sudah terlanjur bilang sama Pak Pras, dan rupanya  Pak Pras menelpon Mas Indra, ternyata itu tidak benar."

"Oh, ya ampun... maaf ya Pak."

"Lain kali jangan begitu ya Sur?"

"Iya Pak, maaf."

"Permisiii..." tiba-tiba terdengar suara orang datang.

"Sudah dulu Sur, sepertinya ada orang datang."

Pak Mul menutup ponselnya, lalu menuju ke depan rumah.

"Selamat sore Pak Mul."

"O, mbak Lusi, silakan masuk."

"Mau minta tolong Pak Mul, bisakah? Tapi sekarang kabarnya Pak Mul bekerja di rumah Pak Pras?"

"Iya Mbak, tapi kalau memang ada perlu kan saya bisa minta ijin. Ada apa Mbak?"

"Rumah saya di bagian dapur bocor Pak, kemarin kejatuhan dahan  pohon yang patah karena angin."

"Oh, iya.. kemarin anginnya besar sekali."

"Maka dari itu, bisakah Pak Mul membetulkan ?"

"Bisa Mbak, besok pagi saya ke rumah mbak Lusi, tapi saya minta ijin dulu sama Pak Pras."

"Terimakasih Pak Mul."

"Saya buatkan kopi Mbak, mau?"

"Terimakasih Pak Mul, saya harus buru-buru. Ngomong-ngomong tadi baru sibuk ngapain?"
 
"O, baru telponan sama Surti. Belum lama ini saya diberi ponsel sama Surti, katanya biar kalau kangen bisa telpon-telponan. Ponsel murahan Mbak, yang penting bisa dipakai omong-omong."

"Jadi Surti juga punya ponsel sendiri?"

"Sudah Mbak, sama saja, cuma ponsel murahan."

"Coba Pak, saya mau mencatat nomornya Surti. Boleh kan?"

"Oh, boleh Mbak, silakan, sebentar saya ambil ponsel saya."

Bersambung 

1 comment:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^cc
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.biz...^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    ReplyDelete

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER