BUAH HATI 08
Oleh : Tien Kumalasari
Lusi mencatat nomor Surti, dan sambil tersenyum dia melangkah pergi. Tapi kemudian dia kembali lagi.
"Pak Mul, kok saya lupa, apa sebaiknya saya juga mencatat nomor Pak Mul ya, supaya kalau minta tolong tidak usah datang kemari?"
"Oh, iya Mbak, boleh saja, silakan."
Lusi pergi dengan sebuah senyuman dibibir. Entah apa yang dipikirkannya.
***
Surti bengong di kamarnya. Ternyata dugaannya keliru. Salah siapa, tidak berani bertanya.
"Tapi tidak, kan aku sudah bertanya, jawabnya hanya pusing, masa pusing saja sampai opname, Tapi ya sudahlah, sudah terlanjur ngomong. Heran aku sama diri aku sendiri ini, suka tidak hati-hati setiap kali ngomong. Ada saja salahnya. Kalau Bu Indra tahu aku pasti dimarahi. Tapi marahnya Bu Indra itu kan tidak marah beneran, maksudnya baik, memberitahu, nyatanya aku sudah belajar banyak dari Bu Indra, aku harus berterimakasih. Tapi sakit apa ya Bu Indra, kasihan banget.
Sorenya masih duduk-duduk disitu, tiba-tiba masuk rumah sakit." Surti bergumam tak henti-hentinya.
Sudah dua malam dia sendirian di rumah. Indra tak pernah pulang, hanya pulang sekali untuk mengambil baju. Itu tadi pagi, pulang tanpa bicara apappun, dan Surti juga tidak berani bertanya apapun.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
"Dari siapa ini, kok nggak ada namanya?"
Surti mengangkat panggilan telpon itu.
"Hallo... ini siapa ya?" sapa Surti.
"Aku, nggak kenal suaraku?"
"O.. ini apa Mbak Susi?"
"Aduh, selalu saja salah. Lusi.. !!"
"Oh iya, Mbak Lusi, kok bisa telpon saya? Nomernya dapat dari mana?"
"Nggak penting. Yang penting aku bisa ngomong sama kamu."
"Ada perlu apa Mbak?"
"Kamu kok bicara keras-keras, majikanmu nggak ada?"
"Owalah Mbak, Bu Indra itu lagi sakit..."
"Sakit? Sakit apa?"
"Nggak tahu saya Mbak, mondok di rumah sakit."
"Lho...sampai opname?"
"Katanya cuma pusing, kok sampai opname, tadinya saya kira Bu Indra lagi ngidam."
"Bodoh!! Bagaimana bisa ngidam? Dia itu kan mandul."
"Ya, tapi kan sudah makan kurma muda terus, lama-lama juga bisa hamil."
Lusi tertawa keras.
"Orang mandul itu biar makan kurma satu kontainer juga nggak bakalan bisa hamil."
"Ya jangan gitu lah Mbak, mendoakan orang itu ya harus yang baik-baik. Lagian ada perlu apa Mbak Lusi tilpun saya?"
"Nggak apa-apa, sekedar ingin ngomong saja sama kamu. Aku seneng ngobrol sama kamu. Bagaimana, sudah pernah menggoda majikanmu yang ganteng itu?"
_"Ya sudah, kalau cuma ngobrol, saya mau istirahat dulu Mbak. Kok Mbak Lusi ngomongnya yang enggak-enggak."_
Begitu telpon ditutup, Surti segera merebahkan dirinya di ranjang. Sedikit kesal mengapa Lusi sering sekali mengganggunya dan kata-katanya selalu tidak enak didengarkan.
"Dia itu selalu merendahkan Bu Indra, padahal Bu Indra itu orang yang sangat baik. Ada apa ya? Pakai usulan yang tidak masuk akal juga. Masa sih aku disuruh menggoda Pak Indra. Istrinya sendiri sudah cantik, mana bisa tergoda apalagi oleh aku. Sudah ah, kalau memikirkan itu terus aku nanti bisa mimpi buruk."
***
"Mas, jam berapa aku boleh pulang?"
"Nunggu dokternya dulu sayang, kan dokternya belum datang?"
"Aku bosan tiduran terus disini, mending di rumah saja."
"Iya, tak ada orang yang kerasan tidur di rumah sakit. Sabarlah, aku harus memastikan bahwa kamu benar-benar sehat."
"Tapi aku merasa sehat."
"Aku mau mengajak kamu pulang, tapi kamu tetap masih harus berbaring di tempat tidur. Kalau tidak, aku akan minta agar dokter tetap menahanmu disini."
"Mas Indra, kan dokter memang sudah mengijinkan aku pulang hari ini."
"Dengan banyak catatan, antara lain tetap harus masih berbaring, patuh minum obat, jangan banyak pikiran."
"Banyak bener catatannya."
"Kamu nih kayak anak kecil saja, apa mau dijewer supaya tidak rewel hm?" kata Indra sambil memegang sebelah telinga Seruni, seperti benar-benar mau menjewer.
"Karena aku disini, Mas jadi nggak pernah ke kantor."
"Tidak apa-apa, aku bisa mengerjakan tugasku dari sini."
"Aku merasa, Mas terlalu memanjakan aku."
"Apapun akan aku lakukan demi kamu, demi cinta kita."
"Kalau begitu mengapa Mas marah ketika mendengar usulanku waktu itu?"
"Aku tidak marah..."
"Mas meninggalkan aku, aku sedih.."
"Aku hanya ingin menenangkan diri saja, bukannya marah. Mana bisa aku marah kepada orang yang sangat aku cintai?"
"Kalau begitu Mas mau mendengar usulku bukan?"
"Seruni, ini di rumah sakit, jangan membicarakan itu, ya?"
"Kalau begitu nanti di rumah bukan?"
"Seruni, kamu harus sehat dulu, nantipun kalau sudah di rumah kamu juga tidak boleh semaumu, banyak tidur, mengistirahatkan pikiran kamu yang aneh-aneh."
"Mas.."
"Aku mau ke depan dulu, menyelesaikan administrasi.," kata Indra sambil beranjak pergi. Hatinya tidak tenang mendengar Seruni mengulangi permintaannya.
"Tidak mungkin aku bisa menjalaninya," gumamnya lirih dengan wajah sedih.
***
Tapi sesampai di rumah Seruni kembali merengek kepada suaminya tentang memintanya agar mencari istri kedua.
"Mas Indra, aku mohon...lakukanlah, demi kebahagiaan Mas.."
"Bukankah berkali-kali aku sudah bilang bahwa aku sudah cukup bahagia?"
"Tapi tidak dengan Bapak dan Ibu bukan? Hidup kita ini bukan cuma milik kita, tapi kita juga punya beban untuk membahagiakan kedua orangtua kita."
"Tapi tidak mudah mencari istri."
"Kalau Mas tidak mau menerima usulku, Mas boleh mencari sesuka hati Mas.. siapapun yang Mas sukai."
"Aku tidak menyukai siapapun, aku sudah punya cinta, dan aku tidak lagi memiliki cinta untuk yang lain."
Indra menghela nafas kesal.
"Mas jangan marah ya."
Indra tak menjawab. Kebanyakan wanita akan marah kalau suaminya punya istri lagi, tak ada yang sudi hidup bermadu, tapi Seruni justru menganjurkannya, bertubi-tubi dan tak pernah berhenti.
"Seruni, begini saja, kamu sekarang tidur dan beristirahatlah, bukankah dokter menyuruh kamu beristirahat karena memang masih harus beristirahat? Nah, kalau kamu masih memikirkan itu berarti kamu tidak beristirahat." Indra mencium kening istrinya yang masih berbaring di ranjangnya, kemudian berlalu.
"Mas mau kemana?"
"Ke kantor sebentar. Tapi aku mau mandi dulu."
Sebelum berangkat ke kantor, Indra menemui Surti.
"Surti, layani Ibu, makan minum dan obatnya. Di kamar saja."
"Baik Pak."
"Kamu jangan jauh-jauh dari Ibu, barangkali Ibu memerlukan sesuatu."
"Baik."
***
"Bu, ini kurma mudanya mau dimakan sekarang? Bukankah Ibu tetap harus memakannya?" tanya Surti sambil melayani Seruni makan di kamarnya. Indra belum mengijinkan Seruni bangkit dari ranjang sampai waktu kontrol tiba, kira-kira seminggu lagi.
"Ya, nanti aku makan. Aku makan nasinya sudah cukup, bawa saja kebelakang."
"Cuma sedikit Bu?"
"Perutku masih sering mual..pengin muntah."
"Bu, bukankah kalau orang mual atau muntah itu pembawaan orang yang lagi hamil?"
Seruni menatap Surti, melihat pandangan polos dari pembantunya. Seruni yakin tak ada maksud tertentu dengan ucapan itu. Karenanya Seruni tersenyum.
"Tidak Surti, aku belum hamil, ini akibat dari kepalaku yang terbentur ketika kecelakaan itu terjadi."
"Oh, jadi Ibu di rumah sakit karena kecelakaan?"
"Pak Indra tidak mengatakannya sama kamu?"
"Tidak Bu, dan Surti juga tidak bertanya setelah Pak Indra menjawab bahwa Ibu sakit pusing."
"Oh...ya sudah, bawa semua makanan ini kebelakang. "
"Baiklah Bu."
Ketika Surti kembali, ia menyiapkan obat yang sudah ada di meja dekat ranjang majikannya.
"Ibu, kurmanya di makan ya."
"Ya, nanti aku ambil, terimakasih Surti."
"Mengapa Ibu berterimakasih, ini kan sudah menjadi kewajiban Surti.
Seruni mengangguk.
"Surti, kamu sudah bisa berdandan seperti yang aku ajarkan dulu?" tiba-tiba
Seruni bertanya.
"Sudah Bu, sedikit-sedikit."
"Coba aku mau lihat."
"Ah Ibu, Surti malu Bu."
"Mengapa harus malu. Disini hanya ada aku dan kamu."
"Tapi.."
"Cepat lakukan, dan kemarilah, aku mau melihat kamu dandan, nanti kalau ada yang kurang, aku akan membetulkan, sehingga dandanan kamu sempurna."
Surti mengangguk, lalu pergi ke kamarnya.
Seruni memejamkan matanya. Ia harus melakukan sesuatu supaya suaminya tertarik pada Surti. Bukankah Surti sesungguhnya juga cantik?
"Mungkin ini sedikit gila, tapi lebih baik Surti. Dia baik dan tak mungkin akan menjadi pesaingku, walau dia akhirnya berhasil memiliki anak dari Mas Indra. Dia pasti akan tetap menghormati aku seperti sebelumnya," pikir Seruni.
Ia terus berpikir, dan membandingkannya seandainya suaminya menikahi wanita lain, yang pastinya cantik, yang entah bagaimana sifatnya, lalu ketika berhasil mengandung anak suaminya, kemudian mencemoohkannya, lalu menganggapnya jadi pesaing, lalu...
"Ibu, ini sudah?" tiba-tiba Surti muncul.
Seruni menatapnya. Dandanan Surti sudah lebih baik, tapi masih tampak ketebalan."
"Sudah bagus Seruni, tapi masih terlalu tebal. Coba ambilkan yang di depan kaca itu, kata Seruni sambil menunjuk ke arah sederetan alat make up yang ada di depan kaca.
"Yang mana Bu?"
"Itu, blush on."
"Blush on itu apa?"
"Itu, kotak kecil berwarna hitam.. "
"Ini ?"
"Ya, bawa kemari.."
Surti menyerahkan benda yang ditunjuk.
"Ini, pemerah pipi yang lembut, tidak seperti punya kamu. Buang saja punya kamu itu, ambil ini sebagai gantinya."
"Ini? Ini kan mahal Bu."
"Tidak apa-apa, boleh kamu pakai., tapi disaput tipis. Sekalian lipstik itu, ambil."
"Ini Bu?"
"Coba buka, "
Surti membukanya hati-hati."
"Ini warnanya apa?"
"Buang lipstik kamu, ganti yang ini."
"Buang Bu?"
"Buang saja. Itu lipstik warnanya terlalu menyolok, Pakai lipstik ini."
"Ini.. dan ini.. buat Surti?"
"Bersihkan wajahmu dan dandan pakai ini. Alisnya sudah lumayan, cepatlah dandan lagi."
Surti menurut. Ia membersihkan mukanya dan membuang alat make up yang menurut Seruni tidak bagus. Lalu ia kembali mematut dirinya, menyapu wajahnya dengan bedak tipis.
"Ya ampuun, ini baunya wangi segar.."
Surti menyapu pipinya dengan blush on yang warnanya tidak mencolok, dan memoleskan lipstik yang menurutnya tidak ada warnanya, sama dengan warna bibirnya.
"Baguskah ini?" gumam Surti setelah selesai, kamudian kembali menemui majikannya dengan penuh tanda tanya.
"Rupanya Bu Indra sedang kurang kerjaan, siang-siang menyuruh aku berdandan," gumamnya sambil menuju ke kamar majikannya.
"Bu Indra...."
Seruni membuka matanya, lalu menatap Surti.
"Hm, bagus Surti, kamu cantik.."
"Ah, Surti jadi malu Bu Indra."
"Dengar Surti, mulai sekarang, sehabis mandi sore kamu harus berdandan seperti ini."
"Lho, kata Bu Indra, dandan begini hanya kalau ada acara khusus, misal ke kondangan, atau jalan-jalan.."
"Tidak, kelamaan menunggu ada yang mengundang kamu Surti. Pakai saja setiap hari."
"Benar Bu?"
"Benar Surti. Mulai nanti sore ya?"
Surti mengangguk pelan.
"Ya sudah, kembalikan kurma ini ke freezer, aku sudah mengambil dan memakannya."
***
Surti memasukkan sisa kurma ke freezer, lalu masuk ke kamarnya sendiri, berputar disana beberapa kali.
"Ternyata aku bisa cantik. Tidak secantik Bu Indra sih, tapi aku cantik kok. hm.. sayang kalau dihapus. Biarin saja begini. Tapi kok sekarang Bu Indra menyuruh aku berdandan tiap soe ya. Padahal dulu katanya kalau tidak kemana-mana tidak perlu dandan," gumamnya seorang diri sambil terus menatap wajahnya di depan kaca.
"Surtiiii !!"
Surti terkejut, itu suara Indra. Bergegas dia keluar dan menuju ke arah depan.
"Ya Pak."
"Bukankah aku suruh kamu jangan jauh-jauh dari istriku? Mengapa kamu terus menerus di dalam kamar kamu? Kamu tidur?" Indra menatap Surti dengan marah.
"Oh, maaf Pak, saya baru saja dari kamar Bu Indra, meladeni makan dan mengembalikan kurma ke dalam freezer."
Lalu Indra menatap Surti lekat-lekat.
"Mengapa kamu berdandan seperti itu? Siapa yang menyuruh kamu berdandan?"
Surti ketakutan, majikan gantengnya menatapnya dengan marah.
"Ini.. ini... Ibu yang menyuruh.. "
"Hapus dandanan itu !!" katanya lalu masuk ke dalam kamar dengan wajah gusar.
Surti setengah berlari meninggalkan Indra , masuk ke kamar mandi dan membasuh dandanannya.
***
Indra kesal karena Surti tidak mematuhi perintahnya. Ia menyuruhnya jangan jauh-jauh dari Seruni, tapi ketika dia datang dilihatnya Seruni tertidur, dan Surti tidak ada didekatnya. Itulah sebabnya ditegurnya Surti dengan marah.
Indra kembali masuk ke kamar, pelan-pelan, takut mengganggu Seruni yang tampak pulas. Ia masuk ke kamar mandi dan mandi, itupun ia mengguyur tubuhnya pelan, jangan sampai membuat Seruni terjaga.
Setelah berganti pakaian, lalu ia duduk di samping pembaringan, menatap bidadari cantik yang dicintainya, terlelap dengan manis.
"Aku sangat mencintaimu, jangan menyuruhku mencari wanita lain Seruni, aku tak sanggup melakukannya," bisiknya lirih.
Hari menjelang senja, tapi Indra belum beranjak dari sisi istrinya yang masih pulas. Ada pedih mengingat kegelisahan istrinya demi menginginkan keturunan bagi dirinya. Kendati ia menganggapnya tak penting tapi istrinya bersikeras untuk itu.
Terdengar pintu terbuka, Surti membuka pintu dengan membawa nampan berisi segelas susu. Ia hampir meletakkan susu itu di meja, ketika tiba-tiba Indra menghardiknya.
"Mengapa sekarang kamu suka dandan seperti itu Surti!!"
Surti terkejut. Gelas yang dipegangnya terlepas, menimbulkan gemerisik gelas pecah.
Bersambung
No comments:
Post a Comment