SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 41
(Tien Kumalasari)
Semua menjadi bingung. Ternyata pak Kardi tidak tau apa-apa.tentang siapa orang tua Ratih sebenarnya.
"Apakah kamu menyesal menjadi anakku, Ratih?" tiba-tiba pak Kardi menyela. Ia merasa disitu bukan siapa-siapa. Ratih juga bukan darah dagingnya, anak tiripun tidak. Ia adalah orang asing yang tak ada gunanya berlama-lama ditempat itu.
Ratih merangkul pak Kardi.
"Bapak, kasih sayang bapak sejak Ratih masih bayi, tidak cukupkah membuat Ratih menyayangi bapak? Bapak adalah bapaknya Ratih. Ratih sangat menyayangi bapak."
Mata laki-laki tua itu berkaca-kaca.
"Baiklah, karena tidak lagi diperlukan, saya mohon diri," kata pak Kardi masih dengan air mata berlinang.
"Tidak bapak, kalau bapak pulang, kita akan pulang bersama-sama."
"Ma'afkan saya, bu Martono, pak Kardi, sungguh kebahagiaan bagi saya karena bisa menemukan anak-anak saya. Tapi saya sudah merasa cukup bisa bertemu dan mengetahui keadaan anak-anak saya. Saya tidak akan memintanya dari siapapun, baik dari bu Martono maupun pak Kardi. Sungguh, mereka adalah anak-anak yang saya titipkan dan tetaplah menjadi anak bu Martono serta pak Kardi," kata yu Siti sambil berurai air mata.
Bu Martono merangkul yu Siti.
"Kita adalah ibunya Arum, kita akan mangasihinya bersama-sama."
"Saya mohon pamit..." tiba-tiba pak Kardi merangkapkan kedua tangannya, lalu membalikkan tubuhnya keluar dari ruangan.
Ratih terkejut. Ia menoleh kearah bu Suryo dan yu Siti untuk berpamitan.
"Saya mengantarkan bapak dulu, nanti saya kembali."
Yu Siti dan bu Suryo mengangguk. Mereka tau tampaknya pak Kardi terluka, merasa tidak punya siapa-siapa.
"Bapak, tunggu bapak... " teriak Ratih sambil mengejar pak Kardi yang terus saja melangkah.
Bramasto yang ada diluar ruangan ikut mengejar.
"Kemana bapak?"
"Pulang,"
"Biar saya antar," kata Bramasto sambil berlari mendahului, menyiapkan mobilnya.
***
"Bapak.."Ratih yang duduk disamping kemudi menoleh kearah pak Kardi.
"Bapak tidak usah khawatir. Bagaimanapun dan siapapun Ratih sebenarnya, Ratih tetap anak bapak. Tetap akan melayani bapak dan menyayangi seperti yang sudah-sudah."
"Kamu tidak usah memaksakan diri untuk pura-pura menyayangi bapak.. bapak tau diri kok."
"Bapak.. kalau bapak bilang begitu lagi, Ratih akan menangis keras deh."
"Bapak sungguh tidak tau apa-apa. Menurut bapak, kamu itu benar-benar anak ibu kamu yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Bapak menikahi ibumu ketika kamu masih kira-kira berumur dua tahun., setelah suami ibumu yang terdahulu meninggal. Bapak menyayangi kamu seperti anak sendiri."
"Iya, Ratih tau kok."
Mereka kemudian terdiam sampai ketika sampai didepan rumah. Pak Kardi turun dari mobil, langsung masuk kerumah dengan hati yang masih tampak terluka. Ia mengira semuanya akan selesai hari itu juga. Ia akan sendiri, tanpa anak tanpa isteri.
Ia juga langsung memasuki kamarnya lalu menguncinya dari dalam.
Berlinang air mata Ratih menyaksikan sikap bapaknya. Ia terduduk dikursi, mengusap air matanya yang sempat menetes. Bramasto mendekati, mengulurkan tissue, lalu duduk didepannya, menatap wajah cantik yang sedikit pucat oleh ketegangan yang terjadi seharian ini.
"Ya sudah, nggak usah terlalu dipikirkan. Semua orang kaget atas kejadian yang terjadi hari ini. Tak terkecuali aku. Jadi tenang saja, bapak juga masih terguncang. Nanti kalau sudah bisa tenang, gejolak yang mengganggu sudah mengendap, pasti semuanya akan baik-baik saja."
Lembut kata-kata itu, seperti guyuran air dingin dikepalanya yang mendidih. Ditatapnya wajah ganteng yang menawan itu, yang kali ini menatapnya penuh kebapakan. Ratih mengagumi semuanya. Terkadang dia lucu, terkadang romantis, terkadang bisa menjadi orang tua yang penuh perhatian.
Ratih mencoba untuk tersenyum ditengah kepucatan wajahnya yang masih tersisa.
"Naa, senyum begitu kan cantik," puji Bramasto.
"Memangnya kalau nggak senyum nggak cantik ya?"
"O.. cantik.. selalu cantik, cuma kalau tersenyum cantiknya bertambah. Itu benar.. awas ya.. jangan menangis lagi."
"Jelekkah kalau aku menangis?"
"Jelek ah, kayak nenek-nenek !" canda Bram yang kemudian membuat Ratih meremas tissue bekas pengusap air matanya kemudian dilemparkan kearah Bramasto.
Bramasto mengelak dan tergelak.
"Tuh kan, senang melihat senyum kamu."
"Mas Bram jelek ah."
"Nggak apa-apa jelek, kan sudah ada yang mau."
"Oh ya,? Emang siapa yang mau?"
"Ratih lah...."
"Iih... ge er deh..."
"Jadi nggak mau nih? Ayo bilang nggak mau sama aku...ayoo bilang.."
Ratih tertawa. Mana berani bilang nggak mau, memang dia mau. Aduhai, disuasana tegang begini masih bisa mengganggu ya mas Bram, kata batin Ratih. Tapi itu membuat Ratih bisa mengendapkan perasaannya.
Kemudian Ratih masuk kedalam rumah, mengetuk kamar bapaknya pelan.
"Bapak.. buka pintunya bapak... Ratih ingin bicara."
Ratih mengetuknya berkali-kali.
"Bapak, buka pintunya dong pak... "
Lama Ratih berdiri didepan pintu.. menunggu terbukanya pintu kamar itu. Tapi rupanya pak Kardi tak sampai hati membiarkan Ratih menunggu. Pintu itu kemudian terbuka., tapi kemudian pak Kardi kembali masuk, membiarkan Ratih mengikutinya.
Didepan almari, beberapa surat terserak. Ratih heran menatap ayahnya.
"Apa yang bapak lakukan?" katanya sambil berjongkok, mengamati surat-surat itu.
"Sudah aku temukan."
"Apa bapak ?"
"Sebuah kotak di almari ibumu. Ambil dan lihat semuanya. Semula aku tak pernah membukanya."
Ratih duduk bersimpuh. Ada sebuah kotak dari kayu yang sudah terbuka, Ratih mengeluarkan isinya. Seperangkat baju bayi, berikut selimut dan sepatu kecil.
"Ini apa?"
"Ada surat disitu, bacalah." kata pak Kardi sambil duduk ditepi ranjang. Tampaknya pak Kardi lelah setelah mengobrak abrik isi almarinya.
Ratih mengeluarkan sebuah surat yang ada didalam amplop soklat. Ada tulisan almarhum ibunya.
"Ratih,
Kalau kamu membaca tulisan ini, mungkin ibu sudah berada ditempat lain yang sangat jauh. Barang-barang yang ada dikotak ini adalah pakaian kamu ketika bayi. Ibu akan berterus terang, sesungguhnya kamu bukan anak kandung ibu. Ibu mandul dan tak mungkin bisa melahirkan. Tapi sebuah karunia diturunkan oleh Allah Yang Maha Kuasa, dengan dipertemukannya ibu dengan seorang perempuan muda yang sedang menggendong bayinya. Perempuan itu tampak memelas, dalam keadaan sakit parah dan tak berdaya. Bayi yang digendongnya menangis keras, mungkin karena lapar. Ibu merasa iba, lalu menggendong bayi itu. Perempuan itu membiarkannya. Tubuhnya terkulai bersandar pada tembok ditepi jalan. Dengan lirih dia mengatakan bahwa bayinya boleh ibu bawa. Ibu menggantinya dengan uang, tapi dia menolak. Katanya dia bukan menjual bayinya tapi menitipkannya agar ibu merawatnya dengan baik, karena dia tak mampu melakukannya. Ibu membawa pulang bayi itu, mengasihinya seperti anak kandung ibu. Bayi itu kamu Ratih. Ibu tak tau kemana harus mencari orang tua kamu, dalam pertemuan yang hanya sekilas itu. Semoga Allah menuntun kamu untuk bertemu kembali dengan ibu kandung kamu.
dari ibu yang merawatmu dan mencintaimu.
Berurai air mata Ratih membacanya. Ternyata benar kata ibunya, ternyata terkabul do'a ibunya, karena nyatanya dia bisa bertemu dengan ibu kandungnya.
"Ya Tuhan.. ya Tuhan.. terimakasih.,". bisik Ratih yang kemudian berdiri lalu memeluk bapaknya erat.
"Terimakasih bapak, terimakasih karena telah mencintai Ratih seperti anak kandung bapak sendiri. Terimakasih karena cinta yang tak pernah luntur. Bapak tetap akan menjadi bapaknya Ratih, tak akan tergantikan. Ratih sayang bapak, Ratih cinta bapak."
Ratih dan pak Kardi berpelukan sambil bertangisan.
"Jangan pernah meragukan cinta Ratih pak..Ratih tetap puteri bapak."
***
Ketika kembali kerumah sakit, Ratih langsung memeluk yu Siti dan menangis didadanya...
"Ibu... ibuku... Ratih anak ibu... Ratih anak ibu..."
Yu Siti merengkuhnya erat. Arum yang masih menungguinya ikut memeluknya..Memang benar, Arum dan Ratih adalah anak kembarnya. Air mata yang terurai adalah air mata bahagia.
"Tuhan mendengar tangisku, Tuhan mendengar jeritku... akhirnya aku dipertemukan.. Ma'afkan ibu ya nduk, bukan karena ibu membuang kalian.. ibu ingin kalian hidup layak.. ma'afkan ibu... " kata yu Siti dalam isak.
Arum dan Ratih tak menjawab. Tak ada yang perlu dima'afkan, ibu hanya tak ingin anak-anaknya menderita..."
Bu Suryo dan bu Martono keluar dari kamar. Menyembunyikan tangis haru yang menyelimutinya. Haru melihat kebahagian yang mewarnai ruangan dirumah sakit itu. Kebahagiaan yang mewarnai hati-hati mereka yang telah dipertemukan.
***
"Bapak, mengapa bapak tinggalkan ibu dirumah nenek peri?"
"Ibu sedang merawat bu Siti, temannya nenek peri."
"Dia sakit?"
"Benar, dia sakit. Karena itu, lebih baik bapak mengajak Angga pulang. Tadi Angga hampir menangis kan?"
"Angga takut. Nenek itu hampir jatuh."
"Sekarang sudah dibawa kerumah sakit, dan sudah sembuh. Ibu baru saja menelpone bapak."
"Jadi ibu akan segera pulang?"
"Iya sayang."
Tapi belum lama Aryo berbincang dengan Angga, tiba-tiba mobil Bramasto memasuki halaman. Ada Ratih, ada Arum dan juga bu Nastiti.
"Ibu... ada ibu peri juga..."
Ratih turun dan memeluk Angga.
"Angga.. ibu peri kangen sama Angga."
"Ibu peri tidak bersama nenek peri?"
"Tidak. Nenek peri menungguin temannya dirumah sakit. "
"Ayo silahkan masuk dulu, " kata bu Nastiti mempersilahkan tamu-tamunya.
Arum yang menjelaskan kejadian hari itu diterima Aryo dengan suka cita.
"Syukurlah, ternyata Ratih adalah saudara kembar kamu."
"Dengan demikian saya tak akan sungkan kalau mengatakan sesuatu pada mas Aryo. Ah.. mas Aryo saja ya, nggak enak sama saudara sendiri memanggil pak." kata Bramasto sambil tersenyum.
"Saudara sendiri?" tanya Ratih heran.
"Calon saudara...."
"Apa maksudnya nih?"
Bramasto mendekatkan mulutnya ke telinga Aryo .
"Aku akan melamar Ratih," bisiknya lirih.
Aryo mengacungkan jempolnya lalu keduanya tertawa lepas.
"Ada apa sih, pakai bisik-bisik segala?" tanya Ratih dan Arum hampir bersamaan.
"Ini rahasia laki-laki.. " kata Aryo.
Hari itu adalah hari penuh bahagia, hari yang seperti sebuah bunga yang sudah sa'atnya mekar setelah kuncup pada hari-hari sebelumnya. Lalu menyebarlah aroma wangi, aroma yang membuat nyaman setiap sanubari.
***
Hari itu Bramasto menemui pak Kardi. Ratih tidak mengerti apa yang akan mereka bicarakan. Ia sibuk dibelakang menyiapkan suguhan untuk tamu istimewa nya.
"Bapak, saya ingin menyampaikan sesuatu," kata Bram sedikit tersendat karena sesungguhnya hatinya berdebar-debar.
"Ya nak, ada apa?"
"Saya sudah mengenal Ratih, dan saya merasa sudah sa'atnya mewujudkan hubungan kami kedalam hubungan yang lebih serius."
Pak Kardi mengangguk angguk, sedikit bisa menangkap arah kata-kata Bramasto, tapi dia hanya diam menunggu.
"Keluarga saya jauh, tapi pada sa'atnya akan berkunjung kemari. Sekarang ini saya hanya ingin mengatakan pada bapak, bahwa tak lama lagi saya dan keluarga akan melamar secara resmi."
Wajah pak Kardi berseri-seri. Kesungguhan sebuah hubungan adalah sesuatu yang sangat diharapkan. Bukan hanya suka, lalu jalan kesana kemari berdua. Tidak, walau Ratih bukan anak kandungnya, bahkan bukan anak tirinya, tapi ia merasa bahagia atas apa yang dikatakan Bramasto.
"Nak Bram, kebahagiaan Ratih adalah kebahagiaan saya. Kalau Ratih suka, bapak akan mendukungnya. Tapi ada baiknya nak Bramasto juga menemui bu Siti, karena sesungguhnya bu Siti lah yang lebih berhak menentukannya."
"Baiklah pak, saya juga sudah memikirkannya."
"Ada apa nih, ngomongin aku ya?" kata Ratih sambil membawa nampan berisi minuman.
"Ratih, nak Bram akan melamar kamu, yang secara resmi nanti bersama keluarganya."
Ratih menatap Bramasto. Laki-laki ganteng itu juga menatapnya penuh kesungguhan.
"Tapi bapak minta agar nak Bram juga mengatakannya kepada bu Siti, bukankah dia yang lebih berhak atas kamu?"
"Bapak jangan bilang begitu, bagi Ratih, bapak atau bu Siti sama saja, semuanya adalah orang tua Ratih yang sangat Ratih sayangi.
Pak Kardi mengangguk terharu.
"Lalu apa jawabmu?" tanya pak Kardi menggoda.
Ratih tersipu, lalu duduk disamping ayahnya.
"Kalau bapak setuju, dan suka, dan mantap bermenantukan mas Bramasto, Ratih akan menurut apa kata bapak."
Bramasto menatap Ratih dengan tatapan bahagia, dua pasang mata menatap, ada cinta terpercik disana.
"Semoga kalian bahagia," bisik pak Kardi penuh haru.
***
"Yu Siti, anakmu kan perempuan, kamu yang punya kerja mantu jadinya." kata bu Suryo setelah Bramasto menemui yu Siti.
"Iya bu, bagi saya, yang penting resmi, dan lebih baik dilakukan secara sederhana saja," kata yu Siti yang tampak segar dan bersemangat.
"Tidak yu, kamu yang mantu, sama saja dengan aku yang mantu. Kita akan menjadikan pernikahan ini menjadi sebuah pesta yang meriah."
"Jangan bu, saya jadi nggak enak, saya kan tidak punya apa-apa."
"Tidak yu, kamu punya aku. Anak-anakmu, walau tidak kesampaian, adalah juga anakku. Aku akan mempersiapkannya semeriah mungkin. Untuk apa hartaku ini kalau tidak untuk menjamu orang-orang yang ikut berbahagia bersama kita?"
Berlinang air mata yu Siti. Dia yang merasa miskin dan papa, akan menikahkan anak gadisnya dengan pesta yang meriah? Yu Siti bersimpuh didepan bu Suryo, merangkul kedua kakinya.
"Eeeh.. apa yang kamu lakukan? Memangnya aku ini siapa, kamu pakai bersimpuh segala? Ayo berdiri, dan mari kita siapkan pesta untuk anak kita," kata bu Suryo sambil mengangkat tubuh yu Siti.
"Terimakasih banyak bu, ini adalah berkah bagi hidup saya, semuanya berkah, semuanya karunia, yu Siti yang papa, seperti mendapatkan surga dirumah ini," kata yu Siti sambil terisak..
***
"Ini undangan siapa Wur? Bagus sekali.." tanya Rini yang kemudian mengambil sepucuk undangan dimeja Wuri.
"Eeh, lepaskaan, tanganmu kotor."
"Idiih.. sebegitunya Wuri sama aku, nih.. tanganku bersih."
"Itu undangan untuk dokter Widi yang dititipkan ke aku, karena dokter Widi nggak datang hari ini." kata Wuri .
"Undangan dari siapa?"
"Dokter Bramasto mau menikah minggu depan."
"Dokter Bramasto? Dokter yang gantengnya bukan alang kepalang itu?"
"Iya.. akhirnya dia menemukan jodohnya, alhamdulillah."
"Waah, dulu aku pernah ingin menjadi pacarnya," celetuk Rini seenaknya.
"Kamu? Mimpi kamu ya? Mana mau dokter Bramasto sama kamu."
"Coba lihat, siapa calon isterinya."
Rini membuka undangan itu.
"Pelan-pelan, awas sobek !"
"Lho.. ini kan bu Arum ?"
"Apa?"
"Bukan, ini satunya, yang wajahnya mirip, aduuh.. senengnya bisa jadi pengantin. Aku kapan ya Wur?"
"Perbaiki kelakuan kamu, supaya dapat jodoh yang baik."
Rini melamun . Dia merasa telah melakukan hal-hal buruk, semau sendiri, bahkan hampir memporak porandakan sebuah keluarga.
"Aku salah ya Wur?"
"Kamu bisa memperbaikinya. Aku do'akan kamu akan mendapatkan jodoh yang baik."
"Aamiin.." kata Rini sambil memasukkan kembali kartu undangan kedalam sampulnya.
***
Sebuah pesta meriah telah digelar. Sepasang pengantin duduk dipelaminan dengan sangat anggun. Dengan pakaian pengantin adat Jawa yang gemerlap, dan tampak senyuman bahagia selalu tersungging dibibir mereka. Yu Siti dan pak Kardi duduk sebagai kedua orang tua Ratih disebelah kanan pengantin, sedangkan kedua orang tua Bramasto disebelah kirinya.
"Seperti Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih..." bisik beberapa tamu yang didengar Aryo dan Arum.
Keduanya tersenyum bahagia.
Angga berlari-lari mendekati ibunya.
"Ibu, aku mau bunga mawar itu," teriaknya sambil menunjuk kearah rangkaian mawar yang berjajar disepanjang gedung pertemuan.
"Untuk apa Angga."
"Aku mau memberikannya untuk ibu peri."
"Dengar Angga, ibu peri sekarang sudah jadi manusia."
"Benarkah?"
"Dia sudah menemukan seorang pangeran yang menjemputnya dengan kuda," kata Arum berbisik ditelinga Angga, menirukan kalimat sebuah dongeng yang pernah diceritakannya kepada Angga.
"Haa.. itu bagus, berarti ibu peri tidak akan pergi kemana-mana?"
"Tidak Angga, kamu boleh bertemu setiap sa'at kamu menginginkannya."
"Horeeee.." teriak Angga.
"Ssst...." Arum menutupkan jari telunjuknya ke bibir.
"Mana bunganya ibu.."
Arum mengambil dua tangkai mawar berwarna putih dan merah, lalu diserahkannya pada Angga. Si kecil Angga berlari kearah sepasang pengantin yang sedang menerima jabatan tangan dari para tamu.
"Ibu periiiiii..." teriak Angga yang seenaknya saja menyibakkan beberapa tamu yang sedang menyalami pengantin.
"Angga..." bisik Ratih yang kemudian menarik Angga mendekat.
"Bukankah ibu peri sudah menjadi manusia?"
"Oh.." Ratih tertawa."
"Inikah pangeran berkuda yang menjemput ibu peri?"
Beberapa tamu tertawa mendengar celoteh lucu itu.
"Ini mawar untuk ibu peri," kata Angga sambil mengulurkan bunganya."
Ratih menerimanya, tapi kemudian memberikan setangkai yang berwarna merah kepada Angga.
"Angga, berikan yang setangkai ini untuk ibu."
"Untuk ibu?"
Ratih mengangguk. Lalu Angga berlari turun, mencari dimana ibunya berdiri.
"Ibuuuuu..."
"Ssst, Angga, jangan beteriak-teriak."
"Ibu, kata ibu peri, setangkai mawar ini untuk ibu."
Arum menerima mawar merah itu lalu menciumnya. Diacungkannya setangkai mawarnya kearah pengantin, disana Ratih juga mengacungkan setangkai mawarnya.
ALANGKAH INDAHNYA HARI INI
T A M A T
No comments:
Post a Comment