SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 37
(Tien Kumalasari)
Arum mengangkat kepalanya. Ia menoleh lagi ke arah yu Siti, masih diam sambil memeluk guling. Arum bangkit dan duduk ditepi ranjang. Isak itu masih terdengar. Arum berdebar, turun dan melangkah kearah pintu. Dibukanya pintu kamarnya, perlahan sehingga tak menimbulkan suara.
Diruang tengah datangnya suara itu. Arum melangkah perlahan. Astaga, dilihatnya bu Suryo sedang memeluk sebuah pigura, sambil terisak isak. Arum tau, didalam pigura itu ada foto dirinya dan bu Suryo. Ada senyum merekah disana, bagai ibu dan anak yang sedang bahagia.
Arum mendekat, lalu duduk disamping bu Suryo. Bu Suryo terkejut karena tak menduga Arum masih terjaga.
"Ibu...."
"Kamu belum tidur ?"
"Mengapa ibu juga masih ada disini ?" tanya Arum sambil menghapus air mata bu Suryo dengan selembar tissue yang diambilnya dimeja itu.
"Ibu nggak bisa tidur."
"Ibu harus tidur, ini sudah malam."
"Arum... besok malam, kamu sudah tidak ada lagi dirumah ini," terisak bu Suryo memeluk Arum erat didadanya."
Arum hanyut oleh kesedihan bu Suryo. Memang susah memutuskan ikatan yang sudah lama terjalin. Tak urung air matanya juga terurai, membasahi pundak bu Suryo.
"Ibu jangan sedih ya, biarpun Arum tidak disini, tapi hati Arum akan tetap berada dihati ibu, dan ibu juga akan tetap ada dihati Arum ini."
"Jangan sampai ibu kamu lupakan ya Rum? Aku ibumu kan?"
"Ibu, mana mungkin Arum melupakan ibu? Kita akan sering bertemu, dan menikmati masakan bu Siti, atau jalan bersama seperti biasanya."
"Benarkah?"
"Ibu harus percaya pada Arum.Sekarang ibu tidur ya, malam sudah larut."
Bu Suryo mengangguk. Ditaruhnya pigura yang tadi didekapnya diatas meja. Dipandanginya lagi sekilas dengan perasaan tak menentu, lalu bangkit dan berjalan kearah kamarnya.
Arum menatapnya dengan iba, disadarinya bahwa ia juga merasakan hal yang sama..
***
"Pak Aryo, besok kan mau menjemput bu Arum, saya tidak usah datang ya, saya ada keperluan bersama bapak."
Pesan singkat Ratih yang diterima Aryo malam itu. Tak apa, ia tak bisa selamanya mengikat Ratih. Ia juga punya keperluan dan tidak harus selalu melayani keinginan Angga.
Tapi Aryo bingung, bagaimana nanti menjelaskannya kepada Angga kalau Arum ikut pulang kemari.Biasanya Ratih selalu bisa memecahkan masalah, karena itu ditelponnya Ratih pagi sebelum dia berangkat.
"Bu Ratih, ma'af, saya masih akan mengganggu."
"Ya pak Aryo, ada apa?"
"Bagaimana nanti saya bilang pada Angga kalau Arum pulang. Bukankah dia selalu menganggap Arum sebagai ibu peri?"
"Pak Aryo tidak usah bingung. Justru dengan tidak adanya saya, pak Aryo bisa bilang pada Angga, bahwa pak Aryo mengajak Angga menjemput ibu. Ini adalah kesempatan dan waktu terbaik bagi Angga, untuk mendapatkan kembali ibunya yang sejati, tanpa adanya saya. "
"Bagaimana dengan nenek peri?"
"Pak Aryo bilang ibu sedang main dirumah nenek peri, sedangkan ibu peri lagi berkeliling dunia atau apa lah, " kata Ratih setengah bercanda.
"Baiklah bu Ratih, semoga nanti semuanya akan baik-baik saja."
"Bapaaak, mengapa ibu belum datang?" teriak Angga yang tau bahwa ayahnya akan mengajaknya bepergian.
"Kita akan pergi menjemput ibu."
"Oh.. nanti akan mengajak ibu jalan-jalan?"
"Benar Angga."
"Horeeee.... kalau begitu Angga mandi sama bapak saja ya?"
"Baiklah, kita mandi sekarang."
Angga tampak gembira. Menjemput ibu? Kemana harus menjemput ibunya. Selama ini ia belum pernah diajak menjemput ibu. Setiap pagi ibu sudah datang, mengajaknya mandi, menyiapkan keperluan sekolah.. Dimana kira-kira ibunya? Angga tak ingin bertanya. Yang penting dia senang bisa ketemu ibunya.
Setelah menyiapkan Angga dengan pakaian yang dipilihnya, Aryo menelpone Arum. Arum harus tau bahwa dia bukan lagi menjadi ibu peri tapi ibu yang sebenarnya.
"Bagaimana kalau dia bertanya dimana ibu peri?" tanya Arum dari seberang sana.
"Katakan bahwa ibu peri sedang pergi. Untuk selanjutnya nanti kita pikirkan lagi. Yang jelas Angga sangat gembira ketika aku bilang akan menjemput ibu."
"Baiklah, saya tunggu mas."
Bu Nastiti sudah berdandan rapi. Mereka makan pagi dengan perasaan riang, betapa tidak, sang ratu akan kembali menghiasi istana kecil mereka, bersama setiap hari setiap sa'at, dan tak perlu ada kebohongan lagi.
Oh ya, Aryo lupa, ia juga harus berbagi kebahagiaan ini dengan dokter Bramasto. Ia menelponnya yang disambut gembira juga olehnya.
"Ikut senang pak Aryo, semoga semuanya baik-baik saja."
"Terimakasih pak Bram."
"Bagaimana dengan bu Ratih?" aduh, tiba-tiba Bramasto menyesal telah menanyakannya. Jangan-jangan Aryo curiga bahwa dia tertarik sama dia.
"Bu Ratih kebetulan ada perlu, tapi nggak apa-apa pak Bram, supaya Angga merasa bahwa ibunya adalah Arum. Kami sudah memikirkan bagaimana caranya mengatakan pada Angga."
"Syukurlah pak Aryo, pokoknya saya ikut gembira dan bahagia. Selamat berkumpul kembali dengan keluarga."
***
Dan tiba-tiba Bramasto senang mendengar bahwa Ratih tidak ikut bersama mereka. Ada rencana yang difikirkannya. Kerumah Ratih, karena bukankah dia sudah kenal dengan bapaknya?
Setengah sungkan, tapi nekat, Bramasto meluncur ke daerah Kampung Sewu dengan mobilnya. Dia selalu ingat akan gang dimana dulu menurunkan Ratih. Tapi kali ini Bram tidak berhenti dijalan besar. Mobilnya langsung memasuki gang itu, dan ketika hampir sampai diujungnya, ia berhenti didepan sebuah pagar.
Bramasto mengamati kebun kecil itu, tapi tak melihat seorangpun disana. Bram turun dari mobil dan perlahan memasuki halaman. Dilihatnya pintu rumah terbuka, berarti penghuninya ada. Berdebar hati Bram ketika semakin dekat mendekati pintu. Bodoh.. bodoh.. ini kan masih pagi, bukan sa'atnya bertamu. Pikir Bramasto. Ia nyaris membalikkan tubuhnya ketika tiba-tiba dari balik pintu muncul seseorang.
"Mau mencari siapa?"
Bramasto mengamati laki-laki setengah tua itu, dan ia mengenalnya. Rupanya bapaknya Ratih lupa bahwa pernah ketemu dirinya.
"Selamat pagi bapak..."
"Selamat pagi. Apakah kita pernah bertemu ?" tanya laki-laki yang memang bapaknya Ratih itu, yang berasa seperti pernah melihatnya.
"Ya bapak, saya yang seminggu lalu lewat sini, untuk mencari bu Ratih."
"Ooo... iya.. iya.. saya ingat, tapi Ratih sedang kepasar, nggak tau mau beli apa lagi, padahal tadi sudah selesai memasak. Ayo..silahkan duduk dulu, mungkin sebentar lagi dia pulang."
"Ma'af, apakah saya mengganggu?"
"Tidak, mengapa bilang begitu? Silahkan masuk nak.."
Bramasto masuk dengan perasaan kurang enak.
"Ma'af pak, saya tadi hanya jalan-jalan dan kebetulan lewat, barangkali masih terlalu pagi untuk bertamu. "
"Tidak apa-apa, ini hari libur.. sa'atnya orang jalan pagi dengan lebih santai. Bapak juga sudah selesai membersihkan kebun, merawat tanaman bunga milik Ratih. Orang setua saya kan sudah tidak laku untuk bekerja, bisanya ya seperti ini,."
"Itu bagus pak, sekalian olah raga."
"Benar, kalau keringat sudah keluar, enteng rasanya badan. Ya beginilah nak, semenjak ibunya Ratih meninggal, saya hanya hidup berdua bersama Ratih. Dulu saya bekerja, tapi setelah pensiun, hanya Ratih yang bekerja. Untunglah, Ratih itu bisa mengerti keadaan .. dia tidak pernah mengeluh, walau hidup pas-pasan."
"Keluarga ini tampak sangat bahagia. Saya merasakannya."
Pak Kardi tertawa.
"Bahagia atau tidak itu kan tergantung bagaimana kita menerimanya nak. Walau kita hidup kekurangan, kalau kita bisa mensyukuri nikmat, ya kita akan merasa bahagia. Sebaliknya walau hidup berlimpah harta, kalau tidak bisa mensyukuri .. ya akan selalu merasa kurang.. merasa tidak bahagia.."
Bramasto mengangguk angguk.
"Oh ya, saya lupa, apakah kita sudah saling memperkenalkan nama? Saya pak Kardi, bapaknya Ratih."
"Oh iya pak, saya Bramasto, temannya bu Ratih."
"Apakah putera atau puteri nak Bramasto sekolah di tempat Ratih mengajar?"
Bramasto tersenyum, sudah dua kali ada orang mengira dia punya anak yang muridnya Ratih. Ah ya, Ratih sendiri yang mengatakan itu ketika pertama kali bertemu. Lalu Bram merasa sudah tua untuk disebut bujangan. Ahaa... ini juga baru mau mendekati seseorang pak, kata hati Bramasto.
"Bukan pak, saya masih bujangan..."
"Oh... ma'af... saya kira..."
"Saya kelihatan tua bukan?"
"Tidak, bukan begitu nak, karena ada hubungannya dengan Ratih, dan nak Bram memanggil bu Ratih.. saya pikir...."
"Saya kenal bu Ratih kaarena dia gurunga Angga, anak teman baik saya."
"Oh iya, Angga itu sudah seperti anaknya Ratih.. Tapi kabarnya ibunya sudah mau pulang."
"Benar pak. Syukurlah.."
"Tapi Ratih kelihatan sedih, ia sangat sayang pada Angga. Kalau ibunya sudah kembali dia jadi jarang bertemu Angga."
"Benar pak, karena sudah lama dekat ya?"
Ratih yang baru pulang dari pasar terkejut melihat sebuah mobil berhenti didepan pagar rumahnya, dan lebih terkejut lagi ketika memasuki rumah, kemudian melihat dokter Bram sedang berbincang dengan ayahnya.
"Oh, ada tamu rupanya," sapa Ratih begitu memasuki rumah. Senyum yang terkembang selalu menimbulkan pesona bagi Bram. Sesa'at ia tak bisa berkata-kata, hanya menatap Ratih tanpa berkedip.
"Sudah lama tamu kita menunggu, bapak belum buatkan minum nduk."
"Biar saya buatkan," kata Ratih sambil membawa belanjaan kebelakang."
"Jangan repot-repot bu Ratih..."
"Nggak apa-apa.. " kata Ratih dari jauh.
Tapi ketika keluar, Ratih bukan hanya membawa cawan berisi teh hangat. Ada sepiiring jajanan pasar yang terhidang.
"Silahkan pak Bram.."
"Kok tiba-tiba ada kue macam-macam begini, bu Ratih?"
"Ini kue jajanan pasar namanya. Yang ini, namanya mendut, ini.. jadah blondo.. ini.. nagasari.. Ayo dicoba, kok saya ngerasa mau ada tamu, lalu beli makanan ini ya..."
"Berarti bu Ratih juga tau kalau ini makanan kesukaan saya."
"Oh ya?"
"Benar."
"Kalau begitu ayo silahkan ,, nak, saya mau ke belakang sebentar, ma'af, belum mandi," kata pak Kardi sambil berdiri.
"Silahkan pak.."
Bramasto menikmati nagasari yang dihidangkan, dengan mata berpendar dan dada berdebar. Bukan karena nagasarinya, tapi karena tangan cantik itu membantu mengupaskannya dan manaruhnya dipiring kecil., lalu terkadang tersentuh oleh tangannya sendiri yang memegangi piring itu.
"Silahkan mas... eh.. mm..ma'af.. pak Bram.." kata Ratih gugup karena tau Bramasto terkadang menatap matanya.
"Mengapa diralat? Barangkali itu lebih baik. Saya merasa tua karena dipanggil pak."
Ratih tersipu.
"Habisnya, saya juga dipanggil bu. Saya juga merasa tua."
"Seperti balas membalas dong ... baiklah, ayo sepakat, saya minta dipanggil mas Bram saja."
"Dan saya minta dipanggil Ratih."
"Oke, sepakat.""
Lalu keduanya tertawa lucu. Tapi ada semburat bahagia mewarnai pertemuan pagi itu.
"Apa acara Ratih hari ini?"
"Nggak ada, kebetulan Angga mau ketemu ibunya, jadi saya harus melepaskannya. Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi."
"Ratih jangan sedih, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Jalan kemana?"
"Kemana saja, menghibur diri supaya jangan sedih."
Ratih lama tak menjawab. Kedatangan dokter ganteng ini sama sekali tak disangkanya. Pembicaraan yang tak seberapa ini telah melambungkannya kearah angan yang tinggi. Oh, tidak, apakah Bramasto jatuh cinta? Baru beberapa kali bertemu? Ratih tak ingin mengakuinya. Mana mungkin seorang dokter spesialis yang sudah mapan tertarik pada dirinya? Bukankah lebih baik tak berprasangka daripada ternyata hanya berangan kosong belaka? Tapi harus diakuinya, ia suka kok. Ehem.. suka apa suka?
"Bagaimana?"
"Apa?" Ratih terkejut dan membuyarkan lamunannya.
"Rupanya Ratih lagi ngelamun. Apakah ada yang marah seandainya Ratih jalan sama saya?"
"Tidak.. tidak.. bukan begitu.."
"Lalu....?"
"Baiklah, mm.. tapi saya minta ijin bapak dulu ya?"
***
"Ini sudah semuanya ya yu.. punya Arum semua kan?"
"Iya bu, sudah semua."
"Masak sudah selesai? So'alnya nanti saya ingin menjamu keluarganya Aryo makan siang disini. Katanya Aryo akan mengajak ibunya juga."
"Semua sudah siap bu. Ini saya sedang menata meja."
"Bagus yu. Tapi wajahmu jangan sedih begitu. Kamu kan seperti aku, merasa berat ditinggalkan Arum, ya kan?"
"Benar bu, nak Arum sudah seperti anak saya sendiri. Entah mengapa saya begitu menyayanginya."
"Bukan cuma kamu yu, Arum itu menurutku sudah seperti anakku sendiri saja. Besok kita tidak akan bersama dia lagi ya yu? "
"Benar bu, tapi mau bagaimana lagi, nak Arum juga dibutuhkan oleh keluarganya."
"Apalagi anaknya yu, kamu kalau melihat anaknya nanti pasti gemes. Bocah itu lucu, pintar dan menggemaskan.Begitu melihat dia aku langsung merasa trenyuh. Bocah sekecil itu harus berpisah sama ibunya. Dan itu juga yang membuat aku semakin yakin bahwa aku harus membiarkan Arum kembali."
"Apakah nanti anak itu ikut kemari?"
"Aku minta agar Arum menyuruh suaminya untuk mengajak Angga. Oh ya yu, aku belum cerita ya, selama setahun ini Angga itu merasa mendapatkan ibunya, karena ada gadis yang wajahnya persis sekali sama Arum."
"Persis?"
"Persis seperti kembar."
Bu Siti menghentikan kegiatannya menata meja.
"Kembar? Ibu pernah melihatnya?"
"Melihatnya dengan mata kepala sendiri yu, seperti pinang dibelah dua. Aku mengira dia itu kembar, tapi katanya mereka itu masing-masing anak tunggal lho. Kok bisa..."
Yu Siti tercekat, tiba-tiba piring yang dipegangnya terlepas, memperdengarkan bunyi nyaring yang mengagetkan bu Suryo.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment