SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 35
(Tien Kumalasari)
Arum terdiam. Kecewa adegan manis bersama ibunya tak berlanjut ke pembicaraan yang diharapkannya. Ia melepaskan pelukannya, masih berbaring disamping bu Suryo.
"Arum," kata bu Suryo sambil menarik tangan Arum dan diletakkannya didadanya.
Arum hanya menatap wajah bu Suryo, tanpa mengatakan apapun.
"Bukankah dokter Bram itu baik? Dia ganteng, dia pintar, dia penuh pengertian..."
Arum tak menjawab. Iya itu benar, tapi apakah karena itu ia harus bersedia menjadi isterinya? Bukankah sebuah pernikahan harus ada sebuah tali yang mengikatnya, saling suka, saling cinta, saling menjaga.. Lagi pula bukankah ia masih isteri Aryo? Oh ya, bu Suryo ingin agar dia perpisah dari Aryo, tapi apakah pantas seseorang mengharapkan sebuah perpisahan untuk berharap menikahi orang lain? Mungkin ada, tapi itu bukan aku, bisik batin Arum.
Ia masih mencintai suaminya, anaknya...
"Arum..."
Mata Arum berkejap, bu Suryo menatapnya lekat.
"Kamu tidak suka?"
"Ibu... bukankah kalau orang menyayangi itu akan bahagia apabila yang disayangi juga merasa bahagia?"
"Pastilah Rum, itu sebabnya mengapa ibu memilihkan yang terbaik untuk kamu."
"Maksud ibu.. pilihan terbaik itu adalah mas Bram?"
"Menurutmu bagaimana?" bu Suryo balik bertanya.
"Apakah menurut ibu dokter Bram mau sama Arum?"
"Arum, kamu itu cantik. Walau sudah punya anak kamu tetap menarik. Apa alasan dokter Bram menolak kamu?"
"Bagaimana kalau dokter Bram ternyata sudah memiliki pilihan?"
"Yu Siti juga pernah mengatakan hal itu, aku juga memikirkannya."
"Tuh kan.."
"Menurut ibu tidak, kalau dia sudah punya pilihan, tak akan begitu besar perhatiannya sama kamu. Mengirimi bunga berkali-kali, mengantarkan kamu, membelikan buku."
"Ibu, itu bukan ukuran. Bisa saja karena dia kasihan sama Arum."
"Arum, mengapa kamu berfikiran lain? Perhatian lebih menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih. Lebih daripada sahabat,lebih daripada seorang bekas pasien."
"Perkiraan orang bisa saja salah. Nyatanya dokter Bram juga belum menjawab tawaran ibu kan? Ibu, menurut Arum, kita lupakan saja dokter Bram."
Bu Suryo melebarkan matanya, menatap Arum dengan kesal.
"Apa maksudmu melupakan? Dia sudah berbuat baik sama kamu dan kamu ingin melupakannya?"
"Bukan itu maksud saya. Aduuh.. ibu kalau marah-marah tambah cantik deh..." goda Arum. Memang malam ini Arum ingin bermanis-manis dengan bu Suryo, ingin meluluhkan hatinya dengan segala cara.Dan pujian itu mengena, bu Suryo mencubit pipi Arum dengan gemas, tapi kemudian membalikkan tubuhnya, memunggungi Arum.
Arum tak kurang akal, ia merangkulnya dari belakang.
"Ibu, apakah ibu benar-benar marah sama Arum? Ya sudah Arum keluar saja kalau begitu."
"Arum, apa sih sebenarnya maksud kamu? Malam ini kamu berkutat diranjang ibu, bicara kesana kemari."
"Arum ingin .. ibu menjodohkan Arum dengan seseorang yang pantas menjadi jodoh Arum. Yang Arum cintai, yang ingin Arum dampingi sampai akhir hayat Arum."
"Oh, begitu?" bu Suryo menelentangkan tubuhnya, tapi tidak membalas pelukan Arum. Ia menatap ke langit-langit kamar.
"Ibu..."
"Jangan bilang kalau itu Aryo, suami kamu," kata bu Suryo tandas.
"Ibu tadi bilang .. ingin melihat Arum bahagia bukan?"
"Kamu tidak tau Rum, bagaimana rasanya dikhianati? Kamu pernah merasakannya bukan? Dan sekarang kamu ingin mengulang sejarah memilukan yang hampir merenggut nyawa kamu seandainya yu Siti tidak melihatmu terkapar diguyur hujan ditepi jalan?"
Arum terdiam, kala itu memang sedih membayangkannya, pilu mengingatnya, tapi setahun berlalu, telah menguji kesetiaannya, dan cinta suaminya. Kalau dia menyesal, mengapa dia tak bisa mema'afkannya?
"Kamu diam, karena tidak bisa menjawabnya? Dengar Rum, ibu sangat membenci pengkhianat cinta, karena ibu pernah dikhianati."
Arum mengangkat kepalanya, tengkurap dan menatap bu Suryo yang masih menerawang menatap langit-langit. Arum melihat guratan duka dibalik mata setengah tua itu.
"Ibu mengalaminya."
"Ibu ?"
"Ibu memang tidak cantik, tidak secantik kamu. Ketika seorang laki-laki melamar, ibu sangat bahagia. Ibu anak tunggal seorang yang sangat berada. Ibu kira dia sungguh mencintai ibu, tapi ternyata dia hanya ingin menguras harta ibu, untuk diberikan kepada perempuan lain."
Arum melihat air mata bu Suryo menetes. Arum mengusapnya dengan telapak tangannya. Ada rasa menyesak didada ketika mendengar kisah rumah tangga bu Suryo. Itu lebih buruk dari dirinya.
"Begitu mengetahui kelicikan dia, aku minta cerai, dan hidup sendiri sampai sekarang. Beruntung ada yu Siti yang menemani aku sampai sekarang.
"Ibu, ma'afkan Arum. Arum tidak tau betapa menderitanya ibu."
"Iya, dulu ibu sangat menderita, tapi dengan berjalannya waktu, lalu ada yang menemani disa'at aku limbung, semuanya perlahan sirna. Dan aku bahagia menemukan kamu, anak baik yang cantik, yang katanya menyayangi aku. Yaitu kamu."
"Ini bukan katanya bu, ini sungguh-sungguh. Arum menyayangi ibu."
"Ibu juga menyayangi kamu Rum.Ibu ingin kamu berbahagia.."
"Terimakasih ibu.." Arum memeluk bu Suryo dan merebahkan kepalanya didadanya.
"Arum... apa kamu mau menuruti kata ibu? Demi kebahagiaan ibu?"
Aduuuh, mulai lagi nih... Arum kembali tegang. Kalau disebutnya lagi dokter Bram ia akan langsung mengatakan tidak.
"Apa yang harus Arum lakukan?"
"Kamu jangan pernah meninggalkan ibu ya? Walau kamu sudah menikah, tetaplah menjadi anak ibu."
Arum merasa luluh. Tak ada nama dokter Bram disebut, tapi siapa tau masih ada kelanjutannya?
"Arum akan tetap menjadi anak ibu. Bahagia memiliki ibu-ibu yang baik, yang menyayangi, yang melindungi. Bu Suryo, bu Siti, bu Martono... mereka semua Arum sayangi dengan sepenuh hati."
"Sungguh?"
"Mau membelah dada Arum?" kembali Arum bercanda.
"Ibu tau kamu masih mencintai suami kamu."
Arum mengangkat kepalanya, menatap bu Suryo menunggu apa yang akan dikatakannya.
"Tapi kalau disuruh memilih, ibu masih akan memilih dokter Bram."
Tuh, mulai lagi deh.. Arum mengeluh dalam hati. Direbahkannya kembali kepalanya didada bu Suryo.
"Ibu, Arum tidak mencintai dokter Bram, dan dokter Bram juga tidak mencintai Arum. Yakinlah bu, kalau ibu tidak percaya, tanya aja sama dokter Bram."
"Dia bilang begitu sama kamu?"
Arum mengangguk angguk masih dengan kepala didada bu Suryo. Sedikit berbohong, tapi ia yakin pada jawabannya. Bukankah Bramasto selalu membantunya ketika ia ingin bertemu Aryo?
"Ya sudah, aku mau tidur, kamu mau ke kamar kamu atau mau tidur disini?"
Yaaah, pembicaraan ini belum selesai. Baru sampai keujung dan belum melompatinya.
Dilihatnya bu Suryo memejamkan matanya. Tapi Arum tak beranjak, ia membaringkan tubuhnya disamping bu Suryo, mencoba memejamkan matanya, tidur, dan bermimpi tentang Aryo.
***
Semalaman tak bisa tidur, Arum bangun kesiangan. Ia terkejut ketika ternyata ia tidur diranjang bu Suryo. Ketika membuka mata dirasanya ia masih berselimut, padahal semalam ia rebahan begitu saja. Rupanya bu Suryo yang menyelimutinya. Tapi bu Suryo tak ada lagi disampingnya. Ia bangun, turun dari ranjang, lalu kekamar mandi. Ketika keluar dari pintu kamar, dilihatnya bu Suryo sedang meletakkan cawan-cawan berisi teh kemeja diruang tengah.
"Ibu... mengapa tidak membangunkan saya?" tegur Arum.
"Kamu tidur nyenyak sekali, sayang kalau dibangunkan."
"Ternyata nikmat sekali tidur bersama ibu," kata Arum sambil duduk disamping bu Suryo.
"Itu teh kamu, yu Siti merebus kimpul masih panas."
"Oh, iya bu, ini jarang ada ditempat kita ya."
"Didesa apa-apa serba enak. Yang namanya kimpul, ketela pohon, ketela rembat, kentang ireng, itu namanya pala kependem. Disini banyak. Kentang ireng ibu suka, tapi sedang tidak musimnya. Nanti kita bawa kimpul sama ketela kerumah."
"Nanti kita pulang?"
"Ya, setelah saya bisara sama orang-orang yang menggarap sawah."
"Kalau begitu saya akan membantu bu Siti untuk berkemas."
"Nanti saja, masih agak siangan. Duduk dan nikmati dulu kimpulnya."
Arum meraih cawan dan meminumnya, dalam hati ia terus akan berusaha menyenangkan hati bu Suryo agar ia bisa mengatakan keinginan yang sebenarnya.
"Besok kan hari Minggu, ibu akan mengundang nak Bram kerumah."
Lhaah, Bramasto lagi? Arum menggigit kimpul dengan gemas.
"Ibu akan bicara dari hati ke hati..."
Arum tak menjawab, pura-pura mengunyah kimpul dan menikmatinya, padahal begitu bu Suryo menyebut nama Bramsato langsung selera makannya hilang.
"Dia orang baik, ibu akan minta pendapatnya mengenai kamu."
Terasa seret kunyahan kimpul masuk ke kerongkongannya, Arum meneguk lagi minumannya.
"Mengenai bagaimana seandainya kamu kembali kesisi suami kamu."
Arum meletakkan cawan dan memandangi bu Suryo lekat-lekat. Tampaknya ada sepercik harapan yang akan membuatnya senang. Sedikit terkuak hati bu Suryo ketika semalam ia merayunya, bermanis-manis dengannya. Aduhai, mas Bram akan diajak bicara? Ya jelaslah dia akan mendukung aku, sorak Arum dalam hati. Kimpul sepotong yang masih tersisa dilahapnya habis.
"Enak..." gumamnya.
"Apanya?"
"Ini bu," katanya sambil mununjuk potongan kimpul dimeja.
"Arum..."
"Ya bu.." Arum meneguk minuman yang tinggal seteguk.
"Tapi berjanjilah pada ibu, bahwa ibu akan tetap menjadi ibu kamu."
Serangkaian kalimat yang tak begitu panjang itu bagai letupan perasaan yang sudah ditangkapnya. Hampir pasti bu Suryo akan mengijinkannya kembali sama Aryo. Arum memeluk bu Suryo, menciumi pipi tua yang sarat dengan derita tapi tak pernah dia mengetahuinya.
"Ibu akan tetap menjadi ibu saya, ibu yang sangat istimewa, ibu yang saya sayangi, saya kagumi semuanya. Kebaikannya, cinta kasihnya terhadap saya walau belum lama kita bertemu."
Yu Siti yang melongok dari dapur melihat adegan dan sedikit pembicaraan mereka. Perlahan ia menjauh sambil mengusap setitik air matanya. Entah mengapa, kebahagiaan Arum ikut meresap dalam sanubarinya.
***
Pagi itu Bramasto keluar rumah. Ia ingin menemui Aryo, untuk bertanya tentang pertemuannya dengan Arum dua hari yang lalu. Sebetulnya bisa sih bertanya lewat telephone, tapi entah mengapa Bramasto ingin datang saja kesana.
"Apakah sepagi ini bu Ratih sudah ada disana ya?" gumamnya sambil menjalankan mobilnya pelan.
Iseng ia melewati daerah Kampung sewu, tempat dimana beberapa hari yang lalu ia menurunkan Ratih.
Berdebar oleh perasaannya sendiri, Bramasto tersenyum disepanjang perjalanan. Rumahnya didaerah Badran, mau ke Penumping dan harus lewat Kampung Sewu? Rupanya jatuh cinta membuat orang bisa melakukan segalanya. Jatuh cinta? Bram menilai perasaannya sendiri. Baginya tak mudah jatuh cinta, seperti kata perawat pembantunya, ia bisa jadi bujang tua karena tak segera menemukan gadis yang menarik hatinya. Dulu dikiranya ia jatuh cinta pada Arum, tapi bukan, ternyata ia lebih merasa kasihan setelah mendengar kisahnya. Lalu gadis yang wajahnya seperti Arum ini, cintakah aku padanya? Bram terus saja melamun, sampai ketika tiba-tiba ia sudah sampai dimulut gang dimana dulu menurunkan Ratih.
Ia menghentikan mobilnya disana. Memandang kearah gang dan berharap akan melihat Ratih keluar dari sana. Ia melihat kearah jam tangannya. Baru jam tujuh, apakah dia sudah berangkat kerumah pak Aryo?
Ataukah karena libur maka tidak kesana? Tidak mungkin, kata pak Aryo setiap hari Ratih kesana, tak ada hari Minggu karena Angga akan menanyakannya kalau sampai dia tak datang.
Penasaran, Angga turun dari mobilnya. Menyeberang jalan kemudian masuk kedalam gang, sambil menoleh kekiri dan kekanan, yang mana kira-kira rumahnya bu Ratih.
Sepuluh meter, duapuluh meter, Bram tak bisa menemukan kira-kira mana rumahnya Ratih. Ketika sudah hampir sampai diujung jalan, dilihatnya seorang laki-laki setengah tua sedang merawat kebun sambil membawa gunting tanaman. Melihat Bram tampak mencari-cari, laki-laki itu menyapanya.
"Nak, sedang mencari rumah siapa?"
"Oh, iya .. mm.. rumah.. bu Ratih dimana ya?"
"Ratih? Itu anak saya.."
Bram terkejut setengah mati. Laki-lagi berwajah bersih dan masih tampak gagah ini bapaknya Ratih, aduh .. sungkan sekali rasanya.
"Rumahnya disini nak, tapi Ratih sudah pergi. Belum lama juga dia berangkat."
"Oh, kerumah pak Aryo?"
"Iya, kalau Ratih datang terlambat sedikit saja, Angga akan rewel. Ratih itu dianggapnya ibunya."
"Oh, iya pak."
"Mau duduk dulu nak ?"
"Terimakasih banyak pak, saya harus menemui pak Aryo."
"Baiklah nak."
Bramasto kembali kearah mobilnya. Ia tidak kecewa walau tak ketemu Ratih, toh dia sudah tau dimana rumahnya.Rumah sederhana yang kebun kecilnya banyak ditumbuhi bunga. Bapaknya merawatnya dengan tekun, ia melihatnya tadi.
Melewati kampung Keprabon Bram ingat bahwa belum sarapan sejak pagi. Ia berhenti pada seorang penjual nasi liwet. Sudah lama dia tidak makan nasi liwet.
***
Ratih sedang mengejar Angga yang berlari kehalaman karena masih enggan diajak mandi.
"Angga, nanti bapak marah kalau Angga nggak cepet-cepet mandi."
"Sebentar ibu, Angga masih mau main."
"Mainnya nanti kalau sudah mandi. Ini sudah siang nak."
"Ini kan hari libur ibu?"
"Memangnya kalau hari libur orang tidak boleh mandi? Ayo sini !!
Angga tertawa-tawa dan berlari kecil menjauhi Ratih yang mengejarnya. Angga masih berlari, dan Ratih mengejarnbya, ketika didepan pagar besi Bramasto tiba-tiba muncul, dan Ratih menabraknya.
"Upps..." teriak Ratih.
"Oh, ma'af, " kata Bram yang masih memegangi Ratih karena tadi nyaris terjatuh.
"Tidak tau kalau ada tamu," Ratih menarik tangannya pelan.
Bram tersenyum.
Angga yang sudah berlari jauh menoleh, berteriak karena melihat orang yang pernah dikenalnya.
"Bapaaak, ada pak dokter !"
"Silahkan pak Bram..." kata Ratih mengantarkan Bramasto mendekati rumah.
"Saya tadi kerumah bu Ratih."
"Oh ya? Kok bisa sampai kesana?"
"Cuma pengin jalan-jalan saja, tapi saya bisa menemukan rumah bu Ratih lho."
"Masa ?" Ratih tertawa. Sederet gigi putihnya menyembul dari bibirnya yang tipis. Ini pemandangan yang luar biasa. Bram tak ingin melepasnya.
"Ketemu bapak juga."
Tawa Ratih melebar. Astaga, bagaimana ada tawa semanis itu? Dasar orang mabuk, masa cuma melihat orang tertawa saja bisa membuatnya gemetar?
"Bagaimana bisa?" tanya Ratih.
"Saya cuma jalan, lalu melihat bapak lagi memotongi ranting-ranting daun dikebun. Ternyata itu bapaknya bu Ratih.
"Haaa... pak Bram... untung saya sudah mandi.." teriak Aryo dari dalam.
"Tamunya yang nggak sopan, pagi-pagi sudah datang," kata Bram sambil tertawa.
"Ayo masuk pak Bram."
Angga yang tadinya diam, menghampiri Bramasto, memberinya salam dan mencium tangannya.
"Anak pintar, anak ganteng..."
"Ayo, ada pak dokter tuh, malu belum mandi.." kata Ratih yang kemudian menarik Angga masuk kedalam.
"Oh ya bu Ratih.. ini.. saya bawa nasi liwet," kata Bram sambil menyerahkan bungkusan nasi liwet yang tadi dibelinya. Ratih berhenti melangkah, kembali menghapiri Bramasto.
"Kok pak Bram tau kalau kami belum sarapan?" kata Aryo.
"Terimakasih pak Bram, kata Ratih yang kemudian membawa bungkusan itu kedalam.
"Tapi nanti kita makan sama-sama bukan?"
"Iya pak Aryo, tadi pas jalan-jalan kok merasa lapar karena belum sarapan."
"Menyenangkan sekali, lama juga saya tidak makan nasi liwet. Dimana belinya?"
"Jangan tanya dimana belinya, saya muter-muter, tiba-tiba teringat kalau belum sarapan, lalu berhenti begitu saja ketika ada penjual nasi liwet dipinggir jalan."
"Dasar bujangan ya, pagi-pagi kelaparan, kata Aryo sambil tertawa.
"Iya nih. Oh ya, apa kabar kemarin?"
"Celaka pak Bram, mobil saya kempes bannya dijalan. Terpaksa saya nyari taksi kerumah mertua, ee.. disana sudah keduluan bu Suryo."
"Oh ya? Terus..gimana, sekalian ngomong kan?"
"Ya enggak lah, begitu saya datang lalu dia pamitan. Benci sekali dia sama saya. Rasanya dosa saya terhadap Arum tak akan terhapus selamanya dari hatinya."
"Jadi belum sempat ngomong sama bu Arum?"
Ketika dia menyambut saya di pagar, ngomong sebentar, dia sempat nangis. Dan yang penting di pertemuan sekilas itu kami sudah tau hati masing-masing."
"Dia tidak langsung pulang kemari?"
"Dia harus bisa membuat bu Suryo mengerti. Maklumlah, bu Suryo sudah memberi dia perlindungan, kasih sayang, bahkan ketika dia sakit parah bu Surya memikirkannya kan?"
"Iya benar. Bu Suryo sangat menyayangi bu Arum. Mungkin dia takut kehilangan bu Arum."
"Kata Arum bu Suryo ingin menjadikan pak Bram suaminya."
Bramasto tertawa keras.
"Bu Arum hanya pasien saya. Lagi pula mana mungkin saya berani merebutnya dari pak Aryo? Baru ketahuan jalan berdia saja hampir pelipis saya kena tempeleng."
Lalu keduanya tertawa terbahak.
"Yang penting semuanya akan baik-baik saja. Kita do'akan agar bu Arum berhasil meluluhkan hati ibu angkatnya.
Tiba-tiba bu Nastiti keluar.
"Nak, itu nasi liwet sudah ditata dimeja, ayo sarapan dulu."
"Oh iya bu, terimakasih banyak. Tapi kan saya belum kenalan sama ibu," kata Bram sambil berdiri dan mencium tangan bu Nastiti.
"Saya sudah mengenal nak dokter, karena Aryo sudah menceritakannya. Ayo silahkan, ngomong sambil sarapan dulu."
"Ayo pak Bram. Ibu, bu Ratih sekalian diajak makan kan?"
"Iya, Angga juga sudah berteriak-teriak, katanya mau nasi liwetnya."
Pagi itu entah mengapa sangat menyenangkan bagi Bramasto. Ketemu gadis yang dikaguminya, lalu bisa makan bersama diantara keluarga yang ramah, duduk berhadapan sambil sesekali boleh mencuri pandang kearahnya. Aduhai,
Namun tiba-tiba dering ponsel Bramasto berbunyi. Aduh, mengganggu saja, keluhnya dalam hati. Dari bu Suryo? Ada apa nih? Jangan lagi bicara so'al perjodohannya dengan Arum. Bram mengangkat ponselnya.
"Ya, ibu.."
"Nak Bram, bisa datang kerumah sekarang?"kata bu Suryo dari seberang.
"Sekarang? Ibu dimana?"
"Sudah dirumah nak. Kemarin sore kami pulang."
"Baiklah bu, sebentar lagi saya kesana."
"Dari bu Suryo?" tanya Aryo setelah Bram menutup ponselnya.
"Iya, mau ngomong apa dia, saya diminta kesana."
"Barangkali penting, tapi selesaikan dulu makannya, nggak usah terburu-buru."
***
Aryo baru pulang setelah mengantar Angga ke sekolah. Ia bersiap pergi ke kantor ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
"Hallo pak Aryo.."
"Ya, gimana mas?"
"Baru saja pengacara bu Arum menelpone saya."
"Apa lagi katanya?"
"Dia menarik gugatan cerai itu."
Aryo terhenyak. Melambung hatinya setinggi langit.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment