SA'AT HATI BICARA 46
(Tien Kumalasari)
Heran, kemana dia pergi? Hari masih gelap, ditepi jalan itu ada sungai yang lumayan lebar, diseberang sungai adalah sebuah kebun pohon jati... tak mungkin bersembunyi disana karena pohon2nya masih kecil2.
Agus mengitari mobil yang tadi dikendarai Santi. Memang keempat bannya kempes. Rupanya yang namanya pak Badrun sudah mendengar dari Dita bahwa Santi itu orang jahat dan sedang menculik anaknya sendiri serta menyekap dirinya selama ber hari2, sehingga ia juga berusaha menghambat larinya Santi. Tapi ternyata Santi masih bisa menghilang.
Panji, Dita dan Agus berjalan kesana kemari , mengamati kiri kanan jalan barangkali ada tempat yang bagus untuk bersembunyi. Tapi tak ada tanda2 Santi bersembunyi disekitar tempat itu. Tak ada rumah satupun kecuali kebun dan persawahan. Santi dan Sasa seperti lenyap tertelan bumi.
"Sasa tadi menangis terus, memanggil manggil papanya," kata Dita, dan membuat hati Agus semakin sedih.
"Sasaaaa...Sasaaaa... ini papa nak... Sasaaaa" tiba2 Agus berteriak teriak.. namun teriakannya hanya membuat jangkerik yang tadinya bernyanyi riang kemudian menghentikan nyanyiannya. Lalu hanya kesepian yang terasa mencekam.
"Disini tak ada, mungkin dia sudah ada jauh kedepan, entah dengan apa dia berjalan, mungkin ada mobil tumpangan yang kebetulan lewat.
Para polisi naik kemobilnya dan mengajak semuanya agar mengejar kedepan.
Tak jauh setelah persawahan dan kebun ada satu dua rumah yang letaknya agak berjauhan. Satu rumah pekarangannya luas, ada kandang ternak yang tampak pada rumah pertama yang kelihaatan. Mereka berhenti. Semuanya mengamati rumah itu. Dua orang polisi masuk kepekarangan, mengamati kandang kerbau yang kotor dan bau tentu saja. Mereka menyalakan senter... yang dijawab salah seekor kerbau yang ada dengan menguak keras, Pak Polisi sampai mundur beberapa langkah karena terkejut. Tapi tak ada tanda2 Santi bersembunyi disitu. Ketika polisi akan mengetuk pintu rumah, Panji melarangnya.
"Biar saya saja pak, supaya pemilik rumah tidak terkejut karena ada polisi datang."
Panji maju kedepan bersama Agus, para polisi siaga disekitar rumah, berjaga kalau2 buruannya memang ada disitu kemudian lari dari samping atau pintu belakang.
Panji mengetuk pintu..pelan. Terdengar suara berderit. Ada yang bangun dan tempat tidurnya mengeluarkan derit itu.. lalu langkah tersaruk mendekati pintu.
"Sapa ya..?" suara medhok Jawa terdengar, seorang laki2.
"Kula pak, ajeng nyuwun pirsa," kaya Panji yang dengan fasih menjawab.
Pintu terbuka, mengeluarkan derak yang lebih keras.
"Sapa kowe, bengi2...ngganggu wong turu," laki2 itu tampak sedikit marah. Matanya disipitkan, agar bisa melihat tamunya dengan jelas. Matanya menyipit, tapi tampaknya ia belum bisa melihat dengan jelas.
"Ajeng nyuwun pirsa pak, napa enten tiyang estri ngajak lare alit.. mlebet mriki?"
"Lho, kuwi mantuku, karo putuku.. agi teka saka kutha, piye ta sampeyan niku kok ngurusi mantuku? Pun tilem larene.. ajeng napa? Terus sampeyan niku sinten?"
"Sanes mantune njenengan sing kula padosi pak, mbokmenawi enten sing nyuwun tulung terus nyipeng mriki. Tiyange ayu, larene tesih undakara tigang tahunan."
"Waah, kula wis ra nggagas wong ayu utawa ora, pokoke mboten enten wong liya sing mlebu mriki. Pun, kula ajeng nutugke tilem malih."
Tanpa basa basi laki2 itu menutupkan pintu rumahnya kembali. Dan pintu yang terbuat dari bambu itu mengeluarkan suara berderak lebih keras, karena pak tua itu menutupnya dengan kasar. Mungkin terbawa rasa kesal karena terganggu tidurnya.
Panji dan Agus keluar dari halaman rumah itu diikuti oleh keempat polisi yang tadi menyebar dihalaman yang udaranya pengap oleh bau kotoran ternak.
***
Malam telah tiba diujungnya. Dari arah timur tampak bayangan matahari samar diantara warna jingga yang melingkupinya.
"Dita, kamu lelah ya?" tanya Panji ketika mereka melanjutkan perburuan kearah depan.
"Aku sedikit pusing."
"Ada obat pusing, dan ada air mineral didepan kamu, minumlah dan tidur. Kamu tidak usah ikut naik turun dalam pencarian ini."
"Bolehkah aku menelpon mbak Ruti?"
"Oh ya, tentu, aku juga lagi berfikiran begitu. Ini, cari nomornya sendiri ya, tolong, aku lagi nyetir, gak bisa buka2 ponsel."
"Terimakasih mas," kata Dita sambil menerima ponsel Panji.
Dita mencari cari nomor Maruti, kok nggak ada nama Maruti.
"Mas, namanya Maruti kan?"
"Ya.. oh, cari di S..." kata Panji.
"S ?" Dita heran, tapi dicarinya huruf S... haaa.. ternyata ada Sayangku Maruti ... Wadhuh, kalau saja ini terjadi seminggunan lalu pasti Dita akan sangat marah dan cemburu. Tapi sekarang tidak, setelah kejadian menakutkan yang dialaminya beberapa hari ini perasaan itu hilang tiba2. Ia juga merasa berdosa telah melukai hati kakaknya.
"Ketemu Dit?" tanya Panji.
"Oh.. ya.. sudah, sayangmu Maruti kan? " Dita menggoda.
"Ma'af," kata Panji hati2. Ia takut Dita terluka.
"Kok ma'af sih mas, ini memang sayangmu kan? Oke, aku menelpon dulu ya?"
"Panji lega karena tak ada tanda2 Dita terluka ketika menemukan nama Maruti dengan kata "sayangku" didepannya.
"Hallo mbak...sudah tidur? Oh.. ya... maksudku sudah bangun? Iya.. aku tau.. haa.. ini bukan mimpi.. ya, aku sudah ketemu mas Panji mu.. (Dita tertawa lirih) baik.. tapi ya itu.. Sasa keburu dibawa kabur.. Iya mbak.. ceritanya panjang. Aku hanya ingin mengabarkan bahwa aku baik2 saja, cuma sayangnya ini lagi memburu dokter Santi yang berhasil membawa kabur Sasa. Iya. Bagaimana ibu? Iya.. nanti agak siangan aku akan menelpon ibu.. oh.. begitu.. baiklah... ya.. pastinya. Sudah ya mbak, ini mobilnya lagi berhenti lagi. Mungkin mereka menemukan sesuatu. Besok kita akan cerita banyak. Baiklah.."
Dita mengembalikan ponsel Panji. Kepalanya masih merasa berdenyut. Dirabanya kantong didepan tempat duduk, ada air dan kantong kecil berisi obat2an.
"Obat pusing yang mana mas?"
"Itu.. yang blisternya warna hijau. Kayaknya masih ada,"
"Oh ya, aku sudah menemukannya."
Dita menelan obatnya, dan meneguk minuman sebanyak banyaknya. Berhari hari dia hanya minum seteguk dua teguk air, dan makan sesuap dua suap nasi.
Mobil itu berhenti lagi ketika pagi mulai terang. Didepan ada perkampungan.
***
Derit pintu bambu terdengar lagi. Pintu itu terbuka. Pak tua pemilik rumah melongok keluar, tak ada siapa2. Orang2 yang semalam menyatroni rumahnya telah pergi. Syukurlah.
"Mi... Sumi... kowe wis tangi?" teriak laki2 tua itu.
Seorang wanita keluar, menggendong anak kecil yang terkulai tidur.
"Sumi.. anakmu lara?"
"Ya pak, lara... aku arep neng rumah sakit saiki.."
"Kowe bareng neng kutha kok lali basa karo wong tuwa, apa bojomu ora ngandani carane basa krama?" tegur pak tua.
"Nggih pak, ngapunten."
"Kowe ki ra kena ngono, neson karo bojo njur kok tinggal minggat. Yen kowe minggat bojomu pa ra susah?"
"Ngapunten pak. Niki kula pun ngundang taksi, ajeng teng rumah sakit riyin. Lha nika taksine pun dateng pak."
Sebuah taksi berhenti didepan, wanita yang dipanggil Sumi segera keluar dari rumah itu, menggendong anaknya dan menjinjing tas yang berisi perlengkapan anak kecil pastinya.
"Mi.. Sumii.. oo..bocah ra ngerti tata, mau bengi minggat ka ngomah, saiki minggat ka nggone maratuwane. Lha lunga tanpa pamit ki pa ra minggat jenenge?" pak tua mengomel sambil kembali masuk kerumah. Taksi yang ditumpangi "Sumi" sudah menjauh.
"Wong mara neng nggone maratuwa kok ya ra nggawekke wedang disik lagi minggat.. oo.. mulakna yen dha urip neng kutha ki jane tak elikke. Kurang tata kramane."
Pak tuwa mengambil ceret kecil, dan menuangkannya kedalam gelas. Ia tampak meraba raba, dan ternyata mata tuanya sudah tidak awas lagi.
Ketika ia meneguk air putihnya, tiba2 pintu depan rumahnya berderit lagi.
"Bali neh Mi?" teriaknya.
"Pak...sampeyan omongan kalih sinten?" Pak tuwa terkejut, itu bukan suara Sumi tapi suara Bejo, anaknya.
"Kowe ta le? Nusul bojomu?"
"Nusul pripun ta pak?"
"Mau bengi bojomu teka, jare agek neson karo kowe."
"Lho.."
"Saiki neng ndokteran, anakmu lara."
"Lho..."
"Kok lha lho.. lha lho.. kowe ki dijak caturan mudeng ora? Lha jane kok kapakke bojomu kok isa nesu?"
"Bapak niku pripun, sing neson sinten?"
"Sumi mau bengi kanda ngono thik."
"Bapak ki nglindur, lha niku Sumi, agek ngedhunke oleh2 kangge bapak."
Seorang wanita muncul, menggendong anak kecil. Ia mencium tangan pak tua dengan hormat.
"Sugeng pak, niki kula.. kalih putune bapak."
"Iki aku bingung tenan. Kowe mau bengi rak wis mrene, kanda jare agek neson karo bojomu ta Mi?"
"Bapak niku ngimpi ta? Kula mriki nggih agek niki, bareng kalih mas Bejo. Kula nunut mas Bejo pas ajeng kerja, amarga selak kangen kalih bapak."
Bejo dan Sumi saling pandang, pak Tua juga bingung.
"Lha sing mrene mau bengi karo nggendong anake mau sapa?"
***
No comments:
Post a Comment