SA'AT HATI BICARA 013
(Tien Kumalasari) M
Maruti terkejut. Ada perasaan tak enak ketika bertemu Santi ketika dia sedang bersama Panji. Dia pura2 tak melihatnya, dan Panji pun seakan tak perduli dengan kedatangan mereka.
Ada lima orang yang masuk kerumah makan itu bersama Santi. Tiga diantaranya adalah laki2. Mereka sedang berembug tentang istilah2 kesehatan yang tak begitu dimengerti oleh orang awan. Dan dari pembicaran itu Maruti tau bahwa mereka pastilah dokter2.
Kelima dokter itu kemudian duduk disebuah meja yang agak besar, yang cukup untuk mereka berlima. Celakanya, Santi duduk menghadap kearah meja yang diduduki Panji dan Maruti, dan dengan begitu tiba2 Santi berdiri lagi dan berjalan kearah mereka.
"Hai mas, hai Maruti, apa kabar?" sapanya ramah.
"Baik, dokter, kebetulan tadi saya bertemu mas Panji dikantor dan.."
"Ya.. ya.. nggak apa2 kok, kami sudah menjadi calon suami isteri dan aku percaya sama mas Panji. Dia laki2 setia, bukan begitu mas?" enteng Santi berbicara, tanpa perduli pada mata Panji yang memendang tajam kearahnya dengan perasaan tak senang. Namun Panji tak mengucapkan kata sepatahpun. Ia meneruskan menyendok makanannya, lalu menghirup seteguk air minumannya.
"Kami para dokter baru saja selesai mengikuti seminar mas, tuh.. dihotel sebelah rumah makan ini. Tapi kami kurang suka makanan yang mereka hidangkan sehingga memilih makan disini."
"Hm.. silahkan, kata Panji singkat.
"Nanti setelah selesai aku akan kerumah ," lanjut Santi yang sama sekali tak dihiraukan Panji. Dan dengan santa pula kemudian Santi kembali kemeja dimana teman2nya sedang sibuk memilih menu yang ditawarkan. Sayup2 Panji mendengar Santi berkata :"Ketemu calon suami." Lalu disambut olok2 teman2nya.
Panji meletakkan sendoknya, kemudian memandangi Maruti yang tampak pucat.
"Kita pulang saja?"
"Mas, aku pulang sendiri saja," kata Maruti sambil meneguk minumannya dan bersiap untuk berdiri.
"Tidak Ruti, kamu datang bersama aku, dan aku akan mengantarmu pulang. Tunggu sebentar."
Panji melaambai kearah pelayan, meletakkan sejumlah uang lalu bergegas keluar sambil menggandeng tangan Maruti. Dari jauh Santi melihatnya dengan mata berkilat. Penuh kemarahan.
***
"Jangan hiraukan kata2 donter sinting itu tadi, " ujar Panji memecahkan kesunyian ketika mereka dalam perjalanan pulang kerumah Maruti.
"Aku takut mas, nanti dokter Santi mengira aku mengganggu hubungan mas."
"Mengapa kamu berkata begitu? Dia bukan apa2 bagiku," kata Panji sengit.
"Tapi terang2an dia bilang bahwa mas adalah calon suaminya, bahkan dihadapan teman2nya."
"Dia itu tak tau malu."
"Mas jangan begitu, dia pasti sangat mencintai mas."
"Dia itu hanya berpegangan pada sikap ibu ketika mau meninggal. Sungguh ibu tidak mengatakan bahwa aku harus menjadi suaminya. Lagipula aku tidak suka dia," wajah Panji muram sekali. Maruti memandanginya dengan perasaan tak menentu. Mengapa dia menolak dokter secantik Santi?
"Bukankah dia cantik sekali, mas cocok kok berdampingan sama dia," kata Maruti sambil menahan kepedihan hatinya.
"Kecantikan saja itu tidak cukup. Cantik itu diluarnya, tapi juga didalamnya. Dan dia tidak memiliki itu."
"Dia itu baik sekali lho mas, aku kan pernah bertemu ketika memeriksakan ibu ke dokter, dan dialah yang menanganinya."
"Ya, semua dokter kan harus bersikap baik kepada pasiennya. Kalau tidak dia tidak akan laku, ya kan?"
"Ah.. nggak juga."
"Maruti, kamu jangan perdulikan dia. Satu yang kamu harus tau adalah bahwa aku tidak suka dia."
"Mas..."
"Astaga, sudah hampir sampai kerumahmu, tapi lupa belikan oleh2 untuk Dita," tiba2 Panji menghentikan mobilnya, didepan sebuah toko roti.
"Mas, ini apa2an?" Maruti bertanya heran.
"Ayo turun, dan pilihkan makanan yang Dita suka."
***
Dita gembira bukan alang kepalang. Ia merasa Panji sangat memperhatikannya, sehingga selalu membawakan oleh2 untuknya. Ada rasa bahagia, dan ada debar aneh ketika Panji memandanginya sambil ter senyum2.
"Kamu suka ?" tanya Panji.
"Suka dong mas, dari mana mas Panji tau kalau aku suka roti sus isi vla ini?" tanya Dita sambil mengguncang guncang lengan Panji.
"Ya tau dong, aku ini kan sakti," jawab Panji dengan senyum menggda.
"Iih.. mas Panji ... " Dita mencubit lengan Panji dengan gemas. Maruti memandanginya sambil geleng2 kepala.
"Mas, bukankah dokter Santi mau kerumah? Mas harus cepat pulang," kata Maruti tiba2.
"Lhoh.. ngusir nih?"
"mBak Ruti gimana sih, mas Panji baru datang.. mengapa disuruh pulang?" Dita cemberut.
"Mas Panji sudah janjian sama seseorang, mbak cuma mengingatkan."
"Nggaaak.. nggak.. jangan percaya mbakmu, ayo buatkan aku minuman, Dita."
"Oke mas," jwab Dita sambil berlari kedalam. Kalau tidak merasa malu, pasti Dita sudah menari nari karena gembira. Alangkah polosnya Dita, sehingga dia telah menyalah artikan sikap Panji yang seperti selalu memperhatikannya.
"Mas, mengapa mas begitu? Nanti dokter Santi kecewa kalau tidak ketemu mas."
"Biarkan saja, aku tidak akan pulang malam ini."
"Maas.. lalu mas mau kemana?"
"Aku akan tidur dirumah Laras."
Maruti menghela nafas panjang, tepatnya menghela nafas lega, karena Panji tidak mau menemui dokter Santi. Namun ia tak menampakkan wajah gembira. Maruti terlalu baik untuk merebut kekasih orang. Ia tak mungkin melakukannya.
***
"Memangnya kenapa kalau dia datang menemui mas?" tanya Laras ketika Panji nekat ingin tidur dirumahnya.
"Kamu ini bagaimana, apa kamu belum mengerti juga kalau masmu ini nggak suka sama dia?"
"Menurut aku, lebih baik mas temui dia. Biarkan dia datang, lalu mas bicara terus terang bahwa mas nggak suka sama dia. Dengan begitu dia akan bisa mengerti dan tak akan mengejar ngejar mas lagi."
"Kamu belum tau watak Santi ya? Dia itu nekat, dan tak tau malu. Sikapku kan sudah menunjukkan bahwa aku tidak suka.. harusnya dia tau dong," kata Panji sambil merebahkan tubuhnya disofa.
"Mas.."
"Kamu nggak suka aku tidur disini, aku tadi sudah minta ijin sama tante kok,"
"Bukan nggak suka, aku tuh sebel banget setiap hari mendenar keluhan mas tentang Santi. Harusnya mas tegas, tidak hanya menunjukkan sikap tak suka. Jelas mas katakan bahwa mas tidak suka sama dia. Dengan begitu dia akan mengerti."
"Oke.. oke.. gadis galak, aku akan lakukan saranmu, tapi sekarang ijinkan aku tidur, aku lelah sekali."
Panji menutup matanya dan memeluk bantal yang ada disofa itu, sambil membelakangi Laras.
***
"mBak, pagi ini obat ibu sudah habis," Dita melapor sebelum Maruti berangkat kerja.
"Kalau begitu kamu ajak saja ibu ke klinik, supaya kita yakin bahwa ibu benar2 sudah sehat."
"Nanti sore?"
"Sekarang saja, pagi2 lebih bagus," jawab Maruti.
"Tidak sama mbak Ruti?"
"Dita, kalau cuma kontrol saja kan kamu bisa mengantar ibu tanpa mbak, masa harus sama mbak sih?" sahut Maruti, tapi sebenarnya bukannya Maruti segan mengantar ibunya, ia segan bertemu dokter Santi.
"Baiklah, nggak papa .. biar Dita antar ibu."
"Nah, gitu donk. Ini.. bawa uang kalau nanti butuh obat2 lagi," kata Maruti sebelum berlalu, sambil mengulurkan sejumlah uang. Kemudian ia kebelakang untuk berpamit pada ibunya.
***
Namun pasien di pagi hari ternyata lebih banyak dari pada sorenya. Datang jam 8.00 pagi, baru jam setengah sepuluh bu Tarjo mendapat giliran masuk untuk diperiksa.
Dita menggandeng tangan ibunya, dan memsuki ruangan dokter Santi.
"Selamat siang dok," sapa Dita ramah.
"Oh... ini.. bu Tarjo kan?"
"Iya dokter," jawab bu Tarjo sambil duduk, didampingi Dita.
"Tumben datang pagi, mana Maruti ?"
Dita terkejut, dulu waktu periksa pertama kali mereka tidak memperkenalkan nama, bagaimana dokter Santi bisa tau nama kakaknya?
"Oh, iya... Maruti kan keja ya, baru sore hari bisa mengantar ibunya. Mengapa tidak nanti sore saja bu, kalau sore kan pasiennya tidak begitu banyak."
"Ya dok, tadi Maruti yang menyarankan supaya kontrol pagi saja," jawab bu Tarjo polos.
Dokter Santi tertawa .. tapi tawa itu terasa seperti mengejek, paling tidak itulah yang dirasakan Dita. Kenapa dokter ini, pikirnya.
"Ya bu, tentu saja Maruti menyarankan periksa pagi, kalau sore kan dia harus ikut, dan dia itu pasti takut ketemu saya."
Kata2 itu bukan hanya mengejutkan Dita, tapi juga bu Tarjo.
***
No comments:
Post a Comment