SA'AT HATI BICARA 03
(Tienkumalasari)
Maruti tiba2 teringat Dita adiknya yang bercerita tentang dirinya yang nyaris ditabrak mobil yang dikendarai seorang cowok gantheng . Maruti berdebar mendengar kata2 Panji bahwa wajah gadis itu mirip dengannya. Dita kah? Tapi Maruti enggan menanyakannya. Ia lebih gugup daripada ingin berbicara panjang dihadapan lelaki yang memandangnya tanpa berkedip, dan membuatnya tertunduk dengan telapak tangan basah oleh keringat dingin. Idiih.. kenapa juga Laras membawaku kemari, pikir Maruti.
"Ya, benar2 mirip..." tiba2 Panji masih melanjutkan kata2nya. Tangannya masih diatas meja, dan matanya belum lepas juga dari wajah Maruti.
"Mas, aku mau ngomong, tapi nggak sekarang. Hari menjelang sore dan Maruti pasti sudah ditunggu tunggu ibunya, jadi aku mau pamit." beruntung Laras memutuskan adegan mendebarkan itu dengan kata2nya. Dan beruntung juga Laras belum ingin berceritera tentang keinginan mencari pekerjaan itu sekarang.
"Mau ngomong apa?"
Aduh.. mengapa mas ganteng ini ingin memperpanjang suasana hatinya yang tegang. Maruti memandangi sahabatnya dan memberi isyarat untuk segera berpamitan.
"Nanti kalau pas santai aja aku ngomongnya, aku pamit dulu sekarang ya,, aku harus ke bengkel sebelum tutup." kata Laras sambil berdiri, diikuti Maruti yang merasa lega.
"Eit.. tunggu dulu, biar aku mengantar kamu ke bengkel." tiba2 Panji juga ikut berdiri.
"Lho.. mas.. sudah mau pulang?"
"Ya... aku memang sudah mau pulang." jawab Panji sambil membukakan pintu kantornya.
***
Diperjalanan menuju bengkel itu Maruti lebih banyak diam. Hanya Laras yang ramai berkicau dan bersenda gurau dengan sepupunya. Mereka sangat akrab. Terkadang Maruti tersenyum mendengar mereka saling mengejek.
"Mas, cariin aku pekerjaan dong," tiba2 Laras mengungkapkan juga keinginan yang sejak tadi ditahannya.
"Apa? Pekerjaan apa?" Panji bertanya heran.
"Ya pekerjaan. Aku nggak ingin melanjutkan kuliah lagi, kasihan ibu. Jadi aku ingin bekerja."
"Kamu... gadis manja.. kolokan.. urakan.. mau bekerja apa?" Panji bertanya dengan nada bergurau.
"Ini bener mas... aku melamar jadi sekretarismu ya?"
Panji tertawa terbahak.
"Kok tertawa sih?" Laras tampak kesal ditertawakan.
"Sekretaris itu yang pintar, cerdas, tegas, tidak manja dan semaunya kayak kamu."
"Iih.. mas Panji jahat deh..."
Laras cemberut. Maruti menutup mulutnya karena merasa lucu melihat tampang sahabatnya.
"Nggak.. aku nggak mau sekretaris kayak kamu."
"Maaas... " Laras cemberut..
"Nanti aku ajari kamu bekerja, aku sedang memikirkan sebuah cabang perusahaan ditempat lain. Kalau kamu bisa menjalankan, oke banget, tapi harus belajar dulu."
"Oh.. apa itu?"
"Nanti aku akan bicarakan, kalau kita banyak waktu, ini sudah hampir sampai bengkel."
"Maruti juga ingin mencari pekerjaan lho mas..." tiba2 kata Laras mengejutkan Maruti. Aduh.. malunya... mengapa Laras juga mengatakan hal itu...
"Oh ya? Benar Maruti?" Panji melongok kearah kaca spion didepannya, agar bisa melihat wajah Maruti.
"Oh.. nggak.. nggak... Laras cuma bercanda..." gugup Maruti menjawabnya..
"Maruti gimana sih.. katanya tadi...."
"Nggak.. aku nggak bersungguh sungguh kok..." Maruti buru2 memotong kata2 Laras.
Mereka sudah sampai didepan bengkel itu. Laras melihat mobilnya sudah siap diujung halaman, tapi ia tidak segera turun.
"Mas, bolehkah aku minta tolong?" Laras menatap wajah sepupunya yang masih duduk didepamn kemudi.
Pnnji memandang Laras tanpa bertanya pertolongan apa yang diinginkannya.
"Aku harus mampir membelikan ibu makanan, tolong mas antar Maruti pulang ya?" kali ini Maruti benar2 ingin menghambur turun. Untung pintu mobil itu masih terkunci.
"Nggaaaak.. nggak.. aku bisa naik taksi..."
"Jangan bawel Maruti, kakakku ini baik hati, dia bisa marah kala ada orang menolak kebaikanya. Ya kan mas?"
"Ya, kenapa tidak.. biar aku yang antarkan Maruti."
Laras membuka pintu mobil, lalu menoleh kearah Maruti
"Ruti, ma'af banget ya.. bener nih.. aku lupa ibu memesan sesuatu...Nanti aku telpon kamu. Oh ya.. nitip salam buat bu Tarjo ya.. aduh.. tadi nggak sempat mampir. Juga salam buat si centil Dita."
Laras sudah menutup kembali pintu mobilnya, dan Maruti dibuat kebingungan oleh ulahnya.
"Ma'af, biar aku naik taksi saja." gemetar Maruti mengatakannya.
"Nggak boleh, aku sudah janji untuk mengantarkan kamu, jadi akan aku antar kamu sampai kerumah.Oke?"
Tanpa menunggu jawaban Panji sudah menjalankan mobilnya.
***
Maruti diam2 merasa kesal pada sahabatnya, karena memaksanya berada dalam situasi kaku seperti ini. Tak sepatahpun kata mampu diucapkannya hampir disepanjang perjalanan pulang.
"Benar kamu ingin mencari pekerjaan?" tiba2 Panji memecahkan suasana kaku itu.
"Oh.. nggak.. nggak.. aku hanya lulusan SLTA.. bisa apa?" terbata Maruti menjawabnya.
"Kamu mempunyai keahlian lain?"
Maruti menggeleng. Panji melihatnya dari kaca spion.
Komputer barangkali?
"Apa?"
"Bisa mengoperasikan komputer ?"
"Mm.. sedikit.. tapi tidak.. jangan repot karena aku."
"Barangkali nanti ada kesempatan, aku akan membantu."
"Stop..stop... mm..mas.. itu rumahku." tiba2 Maruti berteriak, rumahnya sudah terlewat beberapa puluh meter kedepan.
Mobil berhenti tiba2.
"Dimana rumah kamu?" Panji menoleh kebelakang
"Disana, agak disana, biar berhenti disini saja."
Tapi Panji mengundurkan mobilnya pelan.
"Yang mana?"
"Sudah, disini saja."
Panji turun dan membukakan pintu mobil , mempersilahkan Maruti turun. Aduuh.. seperti juragan saja pakai dibukakan pintu mobil. Tapi Maruti tak bisa menolaknya. Ia kemudian turun, sedikit tersipu karena Panji memandanginya lekat.
"Mengapa kamu seperti ketakutan begitu ?" kata Panji sambil tersenyum.
"Terimakasih banyak mas.. " hanya itu yang bisa diucapkannya.
"Aku nggak dipersilahkan mampir?" senyum itu sungguh mnggoda.
"Oh..eh.. mampir...sill..lahkan.." Maruti mencoba tersenyum. Kecut barangkali karena bercampur dengan perasaan gugup tak menentu.
"Terimakasih, lain kali aku akan kemari bersama Laras."
Maruti melangkah pergi. Panji heran karena ternyata mereka tidak berhenti didepan rumah Maruti. Masih agak kesana. Panji mengikuti dari belakang, sampai Maruti membuka pintu pagar.
"Oh.. disini? Jauh amat berhentinya.." gumam Panji yang kemudian membuat Maruti tersenyum.
"Lain kali aku kesini ya.." Panji melambaikan tangan dan berlalu.
Maruti menghela nafas lega. Mencoba menenangkan debar didadanya.
Tiba2 terdengar teriakan keras dari arah rumah.
"Mbak Ruti... itu tadi siapa ?"
Itu suara Dita...
***
No comments:
Post a Comment