Tuesday, March 24, 2020

Lastri 10

LASTRI  10
(Tien Kumalasari)
Pak Marsudi melongok keluar jendela, mencari siapa yang memanggilnya. Benarkah dirinya yang dipanggil? Suara itu seperti pernah dikenalnya. Selang tiga mobil dibelakangnya, seseorang melambaikan tangannya. Pak Marsudi mengingat-ingat, siapa dia, seorang laki-laki memakai kacamata besar, hampir selebar wajahnya. Ketika ia  membuka kacamatanya,  pak Marsudi langsung mengenalinya.
"Nak Sapto ?" Teriaknya. Yang dipanggil melambaikan tangannya.
Pak Marsudi ingin menghampiri. Ia seperti mendapat ide cemerlang. Tapi mobilnya masih berada dalam antrian. Baiklah, baru maju lagi selangkah. Pak Marsudi akan lebih dulu  keluar dari antrian itu.
"Aku mau bicara, disitu !!" kata pak Marsudi sambil menunjuk kearah jalan, agak ketepi, setelah keluar dari antrian pastinya.
Dilihatnya Sapto mengangguk. Pak Marsudi tampak berseri. Ia berfikir akan menemukan jalan yang dicarinya. Harapannya adalah, agar Sapto mau menerima sarannya. Mudah-mudahan, pikirnya.

 
Tapi bagaimana kalau Sapto menolak seperti Timan? Harus ada tawaran yang menarik. Tapi apa ya. Pak Marsudi masih terus berfikir sampai ketika tiba gilirannya mengisi bahan bakar.
Pak Marsudi mencari tempat agak ke pinggir, menunggu Sapto keluar dari antrian. Ia belum menemukan kata-kata yang pas supaya Sapto tertarik pada tawarannya.
Tak lama kemudian mobil Sapto sudah ada dibelakang pak Marsudi. Sapto keluar, lalu berjalan mendekati.
"Mau kemana pak, mengapa mengisi bahan bakar sendiri?" sapa Sapto setelah dekat.
"Iya nak, kemarin lupa menyuruh sopir kantor untuk mengisi. Tunggu nak, masuklah, bapak mau bicara," kata pak Marsudi sambil mempersilahkan Sapto masuk ke mobilnya. Sapto duduk disebelah kemudi, agak heran melihat pak Marsudi tampak ingin sekali berbicara dengannya.
"Bapak mau kemana?"
"Cuma mau jalan-jalan saja, habisnya dirumah sendirian, semua pada pergi belanja. Nak Sapto mau kemana?"
"Saya juga cuma mau jalan-jalan pak."
"Kok lama nggak main kerumah? Ada yang nyari tuh," pancing pak Marsudi.
"Siapa ya pak?"
"Siapa lagi, Lastri ..."
Sapto tertawa.
"Masa sih pak?"
"Iya bener, kapan itu nak Sapto kan kerumah, ngajakin Lastri jalan, mengapa nggak pernah lagi kerumah?"
"Nggak pak, lagi sibuk."
"Oh ya, dulu bapak mengira nak Sapto tertarik sama Lastri."
Sapto tertawa. 
"Iya kan?"
"Sebentar pak, saya boleh bertanya? Lastri itu bukan anak bapak kan?"
"O, bukan, dia hanya pembantu yang kami sekolahkan sampai lulus SMA, kami tawarkan kuliah dia nggak mau."
"Oh, kirain dulu itu dia adiknya Bayu."
"Ah, bukan nak. Anak bapak cuma satu, ya Bayu itu."
"Iya, Bayu kalau ditanya selalu bilang bahwa Lastri itu adiknya. Kemudian saya kebetulan mendengar dia bicara dengan seseorang, ternyata dia hanya seorang pembantu."

 
"Bayu memang begitu, saya khawatir dia suka sama Lastri."
"Masa dia suka sama pembantu? Tadinya saya sih suka, dia tuh kelihatannya kan cantik, sederhana, dan itu gadis seperti yang saya impikan. Tapi setelah tau bahwa dia pembantu, saya memilih mundur pak."
"Jadi nak Sapto nggak suka karena dia pembantu?"
"Ma'af pak, bukan karena saya merendahkan derajat seorang pembantu, tapi rasanya saya harus mencari isteri yang sepadan dengan kedudukan saya."
Pak Marsudi mengangguk-angguk. Rupanya Sapto nggak pernah lagi datang karena tau bahwa Lastri hanya seorang pembantu. Sama dengan dirinya yang tak ingin puteranya menyukai seorang pembantu.
"Iya sih, apa nanti kata orang kalau nak Sapto punya isteri seorang gadis yang tak punya derajat."
"Kalau untuk main-main sih, boleh saja," kata Sapto yang kemudian diikuti dengan tawa ngakak berkepanjangan. 
"Ma'af pak, ma'af, saya kan masih muda, jadi saya merasa bahwa masa muda saya harus saya habiskan dengan memenuhi semua kesenangan saya."
"Betul, harusnya memang begitu. Jadi besok kalau punya isteri, tinggal baik-baiknya saja ya nak."
"Iya pak. Tapi ngomong-ngomong, mengapa bapak memanggil saya hanya untuk membicarakan Lastri?"
"Nggak apa-apa nak, Lastri itu kan sudah dewasa, bapak  ingin menikahkan dia, lalu bapak teringat dulu kayaknya nak Sapto suka, tapi ya nggak apa-apa kalau ternyata nggak cocog sama nak Sapto."
Pak Marsudi kehabisan akal untuk mencarikan jodoh bagi Lastri, karena ternyata Sapto juga menolaknya.
"Ya sudah nak, bapak minta ma'af, bukan maksud bapak merendahkan nak Sapto lho, saya pikir.. Lastri itu kan cantik. Sekali lagi ma'af."
"Nggak apa-apa pak, cuma kurang pas saja, tapi kalau Lastri mau diajak ber senang-senang saja ya nggak apa-apa," kata Sapto lalu tertawa lagi.
"Ma'af pak, ma'af, saya cuma bercanda," lanjut Sapto.
"Nggak apa-apa nak," kata pak Marssudi karena kehabisan kata-kata.
"Baiklah pak, kalau nggak ada lagi yang ingin bapak katakan, saya mohon diri.,"kata Sapto sambil bersiap untuk keluar.
"Silahkan nak, tapi sering-seringlah kerumah ya."
Pak Marsudi membiarkan  Sapto pergi dengan perasaan kecewa. Ia merasa salah sasaran lagi. Kemudian distarternya mobilnya untuk pergi, tapi tiba-tiba terpateri kata-kata Sapto... kalau untuk main-main ya nggak apa-apa...  Dan tiba-tiba juga kalimat itu menumbuhkan sebuah ide dihati pak Marsudi.
***
"Lastri kok makan cuma sedikit ?" tanya bu Marsudi ketika dirumah makan itu dilihatnya Lastri tidak menghabiskan makanannya.
"Sudah kenyang bu, porsinya sangat banyak."
"Bukan bu, Lastri takut gemuk.Padahal biar gemuk, Lastri itu kan tetap cantik ya bu?"sambung Bayu.
Lastri tertunduk malu. 
"Cantik itu, cantik lahirnya, juga cantik batinnya," jawab bu Marsudi.
"Kalau menurut ibu, Lastri itu cantik luar dalam nggak?"

 
"Lastri itu begini," jawab bu Marsudi sambil mengacungkan jempolnya.
"Ibu, bisa saja," Lastri melirik kearah Bayu, majikan tampan itu tersenyum, dan senyum itu selalu membuat darah ditubuh Lastri semakin cepat mengalir. Wajahnya kemerahan, lalu ditundukkannya lagi . Ya Tuhan, anugerah ini janganlah berlalu, walau aku hanya pembantu, aku akan tetap mengabdi dan mencintai dalam hati. Bisik batin Lastri, karena memiliki hanyalah mimpi.
"Oh ya Yu, besok biar ibu saja yang mengantar Lastri ke bank."
"Nggak apa-apa, yang penting uang Lastri aman. Bukan begitu Lastri?"
"Saya berterimakasih karena mendapat perhatian begitu besar dari keluarga ini. Tapi sebenarnya saya kecewa. Yang memecahkan vas kan saya, mengapa mas Bayu yang harus mengganti?"
"Lastri, kamu itu jangan bawel ya, kamu memecahkan kan tidak sengaja, kalau sengaja ya kamu yang aku minta untuk mengganti."
"Mana mungkin saya sengaja,"
"Itulah, jangan diulang -ulang lagi.kata-kata itu. Pokoknya uang kamu harus kamu simpan dengan aman."
"Iya, besok ibu juga punya keperluan ke bank, jadi sekalian saja."
Setelah makan itu mereka langsung pulang kerumah. Dilihatnya pak Marsudi belum ada. Bayu segera memasang vas yang dibelinya ditempatnya semula. Vas itu mirip sekali dengan yang pecah, bahkan lebih bagus dan artistik. Bu Marsudi senang barang kesayangannya mendapat ganti. Memang sih, yang pecah adalah kenang-kenangan yang tak mungkin tergantikan, tapi apa mau dikata, keadaan mengharuskannya demikian. 
"Bu, Bayu mau bicara."
Bu Marsudi yang sedang mengamati vas barunya terkejut karena Bayu menariknya duduk dikursi tamu, lalu Bayu duduk disampingnya sambil memegangi tangannya.
"Ada apa?"
"Salahkah kalau Bayu suka sama Lastri?"
Bu Marsudi terkejut. Ia menoleh kebelakang, takutnya Lastri mendengar perkataan Bayu. Ternyata tidak, mereka hanya berdua.
"Bayu serius bu."
Bu Marsudi memelototi anaknya.
"Apa kamu tau bapakmu tak akan suka ini?"
"Bayu tau bu, bantulah meluluhkan hati bapak. Lastri itu juga manusia. Kalau terjadi perbedaan derajad diantara Bayu dan dia, itu hanya penilaian manusia, sesungguhnya kita ini sama dimata Tuhan, bukan?"
 "Kamu betul, tapi itu kan katamu. Mungkin ibu sependapat, tapi tidak dengan bapakmu. Yakinlah akan terjadi huru hara kalau kamu melanjutkan keinginanmu."
Bayu menghela nafas, wajahnya tampak sedih. Bu Marsudi memegang tangannya dan menepuknya lembut.
"Kamu kan punya teman banyak, cantik-cantik.. atau.. bapak katanya pernah menawarkan anaknya teman ibu, apa kamu tak sedikitpun tertarik?"

 
"Cinta itu beda bu. Biar cantik kalaau Bayu ntak cinta?"
"Tapi itu sulit Bayu. Lastri belum tentu bersedia, dan bapakmu sudah jelas akan menentangnya."
"Lastri nggak mau? Aku melihat sorot matanya, dia tidak menolak, tapi dia takut. Lastri tau diri, Bayu mengerti itu."
"Bagaimana dengan bapak?"
"Bantulah Bayu bu," kata Bayu sambil menjatuhkan kepalanya dipangkuan ibunya, seperti anak kecil merengek untuk dibelikan balon warna warni. 
Bu Marsudi mengelus kepala anaknya, lembut. Trenyuh merasakan derita cinta yang kemungkinan besar akan kandas.
"Kamu kan tau bapakmu itu seperti apa?"
"Bantulah Bayu, ibu pasti bisa."
"Ibu nggak janji... sepertinya sulit Yu, kamu harus bersiap untuk itu."
"Bayu tak akan sanggup bu."
"Jangan begitu Yu, kamu laki-laki, harus tegar."
"Ini masalah  hidup Bayu, tolong bu..."
Bu Marsudi semakin trenyuh, ini bukan rengekan untuk minta dibelikan mainan. Uang tak akan bisa menghapus kesedihannya.
Bayu masih tetap menenggelamkan kepalanya dipangkuan ibunya, sampai kemudian pak Marsudi datang, dan melihat aadegan mengherankan itu.
"Ada apa ini?" tanyanya.
Bu Marsudi masih tetap duduk.
"Nggak apa-apa, sepertinya agak pusing."
Lalu bu Marsudi memijit-mijit kepala Bayu.
"Mengapa tidak tiduran dikamar saja?"
"Iya, mau aku suruh tiduran dikamar, supaya Lastri mengerokinya," kata bu Marsudi memancing.
"Apa? Jangan melakukan hal-hal yang tak pantas !" hardik pak Marsudi sambil terus berjalan kekamarnya.
"Tuh, kamu dengar kan, ibu baru memancing, tapi teriakannya sudah terdengar sampai ke  langit," bu Marsudi berbisik ditelinga Bayu.
Bayu melingkarkan kedua tangannya dipinggang sang ibu.
***
"Mas Timan, aku beli jeruknya sekilo, pilihkan yang bagus ya," kata Lastri ketika berada dipasar pagi itu.
"Waduh, sudah selesai belanjanya?"
"Iya, tinggal beli buah. Tapi aku nggak mau kalau dikasih, nanti aku dimarahi sama ibu ," kata Lastri.
"Sekali-sekali gratis kan nggak apa-apa?"
"Sekali-sekali apa, sudah berkali-kali, tau?! Sudah,  pilihkan yang bagus dan manis, nggak mau gratis," kata Lastri tandas. 
Timan tertawa, lalu memilih-milih buah jeruk yang dianggapnya bagus, lalu dimasukkan kedalam kantong plastik.
"Ini.."
"Kok nggak ditimbang sih? Sekilo saja, kok segini banyak?"
"Iya itu sekilo, sudahlah."
"Jangan bohong kamu mas, ini lebih dari sekilo, mana timbangannya, biar aku timbang sendiri."
"Nggak boleh, mana ada pebeli menimbang sendiri."
"Mas Timan gitu ya," kata Lastri cemberut, lalu menyerahkan uang ratusan ribu, setelah itu Lastri berlalu.
"Eeeh, tunggu.. kembaliannya belum."
Tapi Lastri tetap berlalu. Timan mengejarnya.
"Lastri jangan begitu, ini kebanyakan, sekilo cuma duapuluh lima ribu."
"Tapi ini lebih dari sekilo. Kalau begini caranya naanti aku dimarahi ibu, dikira aku ngerayu tukang buah."
"Ya sudah, tapi tetap ada kembaliannya nih, kata Timan sambil menyerahkan uang limapuluhan ribu.
"Ogah, ini ada kalau empat kilo, banyaknya segini, besar-besar lagi."
Lastri tetap melangkah sambil cemberut.  
"Nggak ada empat kilo Lastri, ini terima saja."
Keduanya terlihat seperti kejar-kejaran dipasar itu. Orang-orang yang mengenal Timan memandangi mereka sambil berbisik-bisik.
"Itu pacarnya Timan."
"Masa? "
"Iya, perjaka tua yang ganteng, rupanya sudah menemukan gadis yang cocog."
Tapi keduanya tak mendengar gunjingan itu.
Lastri sudah sampai dijalan, dan Timan terus mengikutinya.
"Lastri, kalau kamu tak mau menerimanya, aku akan mengantarkan kembalian ini kerumah," ancam Timan

Lastri langsung berhenti, dan melotot marah kearah Timan. Timan tertawa melihat mata bulat cantik itu  memelototi dirinya
"Kamu kalau marah bertambah cantik lho Tri," canda Timan.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didekat Lastri. Lastri terkejut.
***
Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER