LASTRI 04
(Tien Kumalasari)
Bu Marsudi menatap Sapto dengan penuh tanda tanya...
"Ya bu, saya mau ketemu Lastri.." Sapto mengulang kata-katanya.
Bu Marsudi mengangguk, lalu melangkah ke belakang. Tanpa dipersilahkan Sapto duduk di kursi teras, sambil sebentar-sebentar melongok kearah pintu.
Tapi didepan kamar Bayu bu Marsudi melihat Bayu keluar.
"Tamu siapa bu?"
"Itu, nak Sapto."
"Sapto?"
"Iya, katanya mau ketemu Lastri, baru mau ibu panggilkan."
"Jangan bu, nggak usah, biar Bayu keluar menemui dia."
"Baiklah. Tapi apa kamu sudah baikan?"
"Sudah bu, kan cuma masuk angin?"
Bu Marsudi urung melangkahkan kakinya ke belakang, sementara dengan wajah kusut
"Ngapain kamu siang-siang datang kemari? Nggak kerja?"
"Aduuh... ini kan sa'atnya istirahat bro. Aku akan mengajak Lastri makan siang."
"Gila kamu. Nggak. Nggak bisa !!"
"Ya ampun Yu, jahat bener sih kamu. Kalau kamu mau ayuk, kita makan siang bersama.Nanti pesen makanan yang anget-anget, biar kamu merasa sehat, kata ibu kamu sakit?"
"Cuma kecapekan saja."
"Ya udah, kalau nggak mau ikut, mana Lastri?"
"Enak aja, nggak, nggak akan aku ijinin kamu mengajak Lastri."
"Ya ampun Yu, kita kan masih bersahabat? Jahat banget sih kamu sama sahabat sendiri."
"Dengar Sap, aku tuh nggak percaya sama kamu. Sudah berapa kali kamu ganti-ganti pacar, dan sekarang mau ngedekatin Lastri? O... no...!!" kata Bayu sambil menggoyang-giyangkan jari telunjuknya.
"Sumpah aku kali ini jatuh cinta sama Lastri Yu, sungguh, percayalah aku mau mengajaknya makan, lalu akan aku lihat apakah dia suka sama aku atau enggak. Kalau enggak aku juga nggak akan memaksa kok."
"Nggak Sap, sudahlah, cari yang lainnya saja, jangan Lastri."
"Bayu.. kamu nggak percaya sama aku?"
"Lagian Lastri lagi sakit."
"Ya ampun, sakit apa? Biar aku menjenguknya."
"Woii... nggak usah... dia tuh ketakutan melihat kamu."
"Masa? Dia bilang begitu?"
"Iya."
Sapto menyandarkan tubuhnya disandaran kursi.
"Benar dia sakit ?"
"Silahkan nak, diminum.." tiba-tiba bu Marsudi keluar dengan membawa dua gelas sirup.
"Wah, ibu kok repot-repot sih, Sapto sudah mau pamit nih."
"Diminum dulu. Udara panas begini kan enaknya minum dingin segar. Tapi ini yang untuk Bayu nggak boleh dingin, dia lagi masuk angin."
"Terimakasih bu, tapi Lastri sakit apa?"
"O, Lastri sakit kakinya, tadi menginjak pecahan gelas," jawab bu Marsudi sambil berlalu.
"Kasihan Lastri, sudah dibawa ke dokter?"
"Alaa... jangan sok perhatian deh. Itu diminum saja dulu."
"Hm, kamu benar-benar jahat Bayu, aku tuh serius. Sumpah !!" kata Sapto sambil menenggak habis es sirupnya.
"Dengar Bayu, lain hari aku akan kemari lagi. Pokoknya aku mau sama adik kamu itu," kata Sapto sambil berdiri.
Bayu tertawa.
"Jangan mengejek aku Yu, sungguh aku serius. Adikmu itu sungguh unik. Cantik,manis,sederhana,lugu, pokoknya nggak seperti gadis-gadis lain. Aku nih sudah sa'atnya menikah, aku ingin isteri seperti dia."
"Sudah, sana kembali ke kantor kamu, semakin ngaco kamu ngomongnya."
Sapto melangkah keluar setelah menepuk bahu Bayu.
"Aku akan datang kembali."
Bayu masih duduk tegak di kursinya, memandangi mobil Sapto yang keluar dari halaman, sampai menghilang dibalik pagar.
Sapto benar-benar suka sama Lastri? Baru sekali ketemu? Tapi Sapto kan sesungguhnya laki-laki baik. Dia tampan sudah mapan, dan banyak di gandrungi gadis-gadis. Hanya karena dia selalu baik sama mereka maka dikiranya Sapto sering ganti-ganti pacar. Tapi tidak, Bayu memegang kepalanya yang kembali berdenyut. Bayu merasa dia tak akan merelakan Lastri pada Sapto. Lalu mengapa? Lastri sudah hampir lulus SMA. Dia juga sudah cukup dewasa. Tapi Bayu merasa bahwa ada perasaan lain dihatinya. Witing trisna jalaran saka kulina. Kata-kata ayahnya kembali berdengung ditelinganya. Celaka, apakah aku jatuh cinta karena bergaul setiap hari? Pikir Bayu.
Lalu ia teringat ketika memeluknya pagi tadi. Memeluk yang tidak sengaja tapi mengapa terasa nikmat? Ini gila.
***
Lastri sudah bisa melepas balutan di kakinya. Lukanya telah mengering, tapi bu Marsudi masih menyuruhnya menutupinya dengan plester.
"Nah, begitu, supaya luka yang masih sedikit menganga tidak kemasukan debu."
"Ya bu, "
"Kamu sudah selesai ujian. Kalau kamu lulus, apa kamu ingin melanjutkan kuliah?"
Lastri terkejut. Ia tau biaya kuliah tidak murah. Disekolahkan sampai SMA saja sudah merupakan anugerah bagi dirinya.
"Tidak usah bu, saya sudah menyelesaikan SMA saja sudah sangat berterimakasih. BIarlah sampai SMA saja, dan biarkan saya terus mengabdi disini tanpa diganggu oleh jadual sekolah saya."
"Kalau kamu ingin, ya nggak apa-apa, kan kamu itu pintar. Nilai kamu bagus-bagus. Nanti aku bilang sama bapak."
Lastri teringat kata-kata pak Marsudi yang didengarnya pada suatu pagi. Ia merasa pak Marsudi mulai membatasi ruang geraknya dirumah itu, terutama hubungannya dengan Bayu. Lastri tetap mengnggap bahwa Bayu juga majikannya, walau Bayu mengenalkannya dimana-mana sebagai adiknya. Tapi pak Marsudi tampaknya berfikir lebih jauh. Lastri tak ingin terus menjadi beban. Kalau ia ingin mengabdi selamanya, adalah karena dia berhutang budi.
"Bagaimana Tri?"
"Oh, tidak bu, jangan, Lastri nggak ingin kuliah, ini sudah cukup."
"Ya sudah, aku nggak akan memaksa kalau kamu nggak mau."
"Terimakasih bu."
Hari itu libur, Lastri meminta agar dia saja yang pergi ke pasar karena dia sudah bisa berjalan dengan baik, walau masih harus mengangkat sedikit tumitnya setiap kali melangkah.
"Kakimu kan masih sakit, biar aku saja yang ke pasar."
"Jangan bu, biar Lastri saja."
"Baiklah, biar aku tuliskan dulu catatannya. Hari ini Bayu ingin kita masak rawon."
Lastri mengangguk, lalu masuk kekamar untuk berganti baju yang lebih pantas. Bu Marsudi bilang setiap kali keluar harus berpakaian pantas, apalagi Lastri sudah menginjak dewasa, dan itu dilakukannya. Tak heran apabila banyak orang mengira bahwa Lastri adalah bagian dari keluarga Marsudi yang terpandang. Ditambah wajahnya yang cantik manis, benar-benar Lastri selalu tampak menawan.
Ketika Lastri keluar sambil membawa keranjang belanjaan, Bayu yang sedang duduk berdua dengan ayahnya diteras tiba-tiba berdiri.
"Biar aku antar," katanya.
"Bayu, kamu itu kenapa, cuma mau kepasar dan sangat dekat, kok mau mengantar segala," tegur ayahnya dengan wajah kurang senang.
Lastri tak menjawab, terus melangkah keluar rumah.
"Bayu, bapak kan pernah bilang, batasi kedekatanmu sama Lastri, nggak bagus itu."
"Kenapa nggak bagus bapak? Lastri kan sudah ber tahun-tahun menjadi keluarga kita."
"Kalian itu bukan lagi anak kecil. Dulu Lastri masih kanak-kanak, tapi sekarang dia sudah dewasa, jadi kalau kalian bergaul terlalu dekat, nanti akan ada rasa-rasa yang tidak semestinya."
Bayu terdiam, sebelum bapaknya mengatakan witing tresna jalaran saka kulina, Bayu berdiri dan berpamit dengan alasan mau mandi.
***
Lastri baru saja membeli daging, lalu dia pergi ketempat penjual sayur. Banyak yang harus dibelinya. Ia juga harus memilih kecambah yang belum begitu jadi, yang bagus untuk pelengkap rawon. Dia sedang me milih-milih ketika bahunya ditepuk dari belakang.
"Lastri !!"
"Aduh, mas Timan pasti membuat aku terkejut deh."
"Gitu aja terkejut," kata Timan sambil tertawa.
"Iya lah, habis mas Timan pakai menepuk bahuku keras sekali."
"Ya sudah, ma'af deh. Sudah selesai belanjanya? Banyak sekali nih, oh ya, ini hari Minggu, pasti ibumu masak besar."
"Ibuku.. ya ampun mas, majikanku, gitu lhoh."
"Iya, tapi kan kamu sudah dianggap keluarga?"
"Lha iya mas, memang aku sudah nggak punya keluarga."
"Sebenarnya dusun kamu dimana to Tri?"
"Jauh, kapan-kapan aku kasih tau. Sekarang aku lanjutkan belanja dulu ya, masih kuang beberapa macam nih."
"Oh ya, aku punya pisang ambon besar-besar Tri, tunggu, aku bawain satu," kata Timan yang kemudian menuju ketumpukan barang dagangannya yang tak jauh dari tempatnya bgertemu Lastri.
"Tadi nggak dipesan tuh mas, berapa nih harganya?" tanya Lastri begitu Timan menyerahkan selirang pisang ambon.
"Ini aku kasih, bukan aku suruh beli."
"Nggak ah mas, terimakasih, jadi nggak enak."
"Jangan begitu Tri, itu namanya menampik rejeki."
"Lha aku bawanya yang nggak bisa mas, belanjaanku kan banyak."
"Nanti aku antarkan saja kalau begitu. Aku kan sudah tau dimana kamu tinggal."
"Mas Timan nih.. kok nekat lho."
"Sudah, sana.. lanjutin belanjanya, pisangnya aku yang antar."
"Terimakasih mas, waduh.. pisangnya bagus sekali, ini matang dipohon ya mas."
"Iya, kalau nggak bagus nggak akan aku kasihkan ke kamu. Sudah sana, lanjutin belanjanya."
***
Belanjaan yang dibawa Lastri memang banyak, ditambah kakinya yang masih sedikit sakit, membuat jalannya ter tatih-tatih. Ia ingin memanggil becak, tapi merasa sayang karena rumah keluarga Marsudi tidak begitu jauh. Jadi ia terus saja berjalan, lalu kadang-kadang berhenti ketika merasa berat.
Ketika itu Lastri sedang berhenti sejenak lalu mengusap keringatnya dengan lengan bajunya. Keranjang belanjaan yang penuh diletakkan ditanah. Ia terkejut ketika tiba-tiba klakson mobil dibunyikan keras, tepat disampingnya.
"Lastri !!"
Lastri menoleh, dan mengenali siapa yang memanggilnya.
Lastri tersenyum.
Sebuah mobil pick up dengan bak terbuka berhenti disitu, dan pengemudinya dengan sigap melompat turun.
"Bawaanmu benar banyak ayo aku antar."
"Ini jam segini, sampeyan sudah mau pulang?"
"Aku tinggal sebentar, karena mau mengantarkan pisangnya tadi."
"Ya ampun mas Timan, itu kan merepotkan."
"Nggak, cuma sebentar, dan sudah aku titipkan penjual buah disebelahku. Ayo naik."
"Lho mas, sudah, itu sudah dekat kok."
"Lha kamu kelihatan kalau keberatan gitu, sudahlah jangan menolak, sekalian aku bawa nih pisang ambonnya.
Lastri tak bisa menolak, dia kemudian duduk disamping kemudi, setelah belanjaannya dinaikkan ke jok belakang oleh Timan.
Memang rumah keluarga Marsudi hanya tinggal beberapa meter didepan, tapi Lastri bersyukur karena bawaannya memang sangat banyak.
Ketika sampai didepan rumah, Timan turun dan membawakan keranjang belanjaan Lastri, beserta selirang pisang ambon yang tadi dijanjikannya.
Pak Marsudi yang masih duduk di teras heran melihat Lastri diantar oleh seorang laki-laki.
"Permisi pak, saya mengantar Lastri karena belanjaannya sangat banyak."
"O kamu siapa?"
"Saya Timan, penjual buah. Kasihan tadi Lastri membawa belanjaannya tampak keberatan."
"O, ya sudah, terimakasih ya." kata pak Marsudi yang menyapa tanpa berdiri dari tempat duduknya.
"Terimakasih ya mas," kata Lastri yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Timan, kemudian berlalu.
Bayu yang mendengar bapaknya bicara dengan seseorang segera keluar.
"Siapa tamunya?"
"Bukan tamu, kata Lastri sambil mengusung belanjaannya ke arah belakang. Pisang ambon yang diberi Timan diletakkan dimeja makan.
"Kalau bukan tamu lalu siapa tadi yang bicara sama bapak?" tanya Bayu setelah sampai di teras depan.
"Itu, Lastri diantar oleh penjual buah karena bawaannya banyak," jawab Pak Marsudi.
"Penjual buah?"
"Sepertinya bukan sekedar kasihan. Pasti itu pacarnya Lastri."
"Apa?"
Bayu tiba-tiba merasa hatinya panas, dikejarnya Lastri yang sudah berada didapur.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment