Suamiku Jadul
Part 45
Kami terpaksa melakukan perjalanan lagi, Ayah mertua tak mungkin bisa sendirian, perawatnya tak mau menunggu barang satu bulan lagi pun. Entah apa masalah dia aku tidak tahu.
Adikku, suaminya Risda kami ajak ikut, kebetulan dia tidak kerja, jadi bisa gantikan Bang Parlindungan nyupir. Perjalanan yang akan kami tempuh bisa dua belas jam.
Dari Medan ke Tanjung Morawa, terus ke Lubuk Pakam. Di Pasar Bengkel kami singgah untuk beli oleh-oleh. Lanjut terus ke Tebing Tinggi. Kami pilih jalan lintas timur, melewati Kabupaten Asahan, Labuhan Batu Utara-, Labuhan Batu, terus Labuhan Batu Selatan. Baru memasuki kabupaten Padang Lawas Utara di sinilah tujuan kami. Sebuah desa yang terletak sekitar tujuh kilo meter dari jalan lintas.
Begitu kami sampai, Perawat itu sudah menunggu, dia bahkan sudah menyusun pakaiannya. Kami salim ke Ayah mertua, beliau tampak heran dengan kedatangan kami.
"Ada masalah apa, Dek?" tanyaku kepada perawat tersebut.
"Gak tahan aku di desa ini, Kak," jawabnya.
"Apakah Bapak itu bicara kasar atau apa?"
"Tidak, Kak, Bapak itu justru baik, beliau masih berusaha sendiri, mandi, ganti baju dia sendiri, yang aku gak tahan orang di desa ini, Kak, masa malam waktu tidur pun ada orang datang, garuk-garuk dinding." kata perawat tersebut.
"Gak kau adukan ke Bapak?"
"Udah, Kak, udah sering kuadukan, kata Bapak itu biasa, karena aku cantik,"
"Wah?"
"Iya, Kak, orang di desa ini aneh, masa ngajak kenalan di tengah malam?"
"Oh,, itu markusip?" kata Bang Parlindungan yang ternyata mendengar pembicaraan kami.
'"Markusip?"
"Iya, itu cara perkenalan dengan gadis di jaman dulu, mungkin karena dia gak pernah keluar rumah, ya dikusip orang," kata Bang Parlindungan.
"Tapi aku takut, Bang, masa orang datang tengah malam, garuk dinding, ada yang berpantun, ada yang nyanyi, gak bisa tidur semalaman," kata perawat itu lagi.
Perawat itu tetap ngotot pulang, dia sudah tak tahan, kuberikan gajinya, masih berharap dia mau tinggal. Akan tetapi dia tetap tak mau, katanya dia trauma. Jadilah Bang Parlindungan yang urus Ayah mertua. Untuk sementara kami tinggal di desa ini. Desa ini masih jauh dari kebun Bang Parlindungan, masih beda kabupaten, kebun itu di kabupaten Mandailing Natal, sedangkan desa Bang Parlindungan di kabupaten Padang Lawas Utara.
Adikku juga pulang ke Medan, tak mungkin dia tunggu kami terus, karena sepertinya ini akan lama.
"Mana si Butet itu?" tanya Ayah mertua. Butet yang dia maksud adalah perawat pribadinya. Panggilan Butet bisa juga untuk seseorang wanita yang kita tidak tahu namanya.
"Dia dikusip orang, Mang Boru, dia gak tahan," jawabku.
"Hahaha, sudah kubilang sama dia, itu biasa, karena dia gak pernah keluar rumah, pemuda desa di sini mau kenalan, jadilah dia dikusip,"
"Memang mangkusip itu seperti apa Mang Boru?"
"Itu pacaran orang jaman dulu, Maen, Amang Boru dulu sering begitu," kata Ayah Mertua.
"Wah, bagaimana caranya, Mang Boru?" aku jadi penasaran juga.
"Gini, Maen, gadis desa dulu kan gak pernah keluar rumah, kalau pun keluar ikut ibunya, jadi kalau kita mau merayu ya, kita datangi tengah malam, garuk dinding kamarnya, ada lubang kecil biasanya kalau kamar gadis. Kita rayu di situ, biasanya pakai pantun,"
"Pakai pantun, jadi Mang Boru masih ingat pantunnya?"
"Masihlah, Maen, tapi bahasa Batak, gak ngerti kau itu," kata Ayah mertua.
"Sepertinya asyik ya, Mang Boru,"
"Asiklah Maen, dulu almarhum boumu yang kukusip itu, banyak saingan, dia gadis tercantik di desa sana, Amang Boru yang berhasil, perjuangannya berat dulu, Maen, karena dia Boru Harahap, boru ni Raja di huta itu, ah, dia wanita yang hebat, tak tergantikan." Ayah Mertua seperti bernostalgia, beliau justru jadi menangis.
"Udahlah, Mang Boru, ini obatnya, diminum ya, Mang Boru," kataku mengalihkan pembicaraan.
Malam itu aku tidur di kamar perawat yang sudah pergi, kamar itu berdekatan dengan kamar Ayah mertua, sedangkan Bang Parlindungan tidur di ruang tamu bersama si Ucok. Seperti biasa Bang Parlin akan menyanyi menidurkan anakku. Nyanyiannya merdu, sampai aku pun ikut tertidur.
Aku terjaga, kudengar suara dinding kamar yang terbuat dari papan itu seperti ada yang ketuk, baru terdengar seperti suara kuku digarukkan ke dinding.
"Dek, orang mananya kau, boleh kenalan," kudengar suara orang dari balik dinding.
Ya, Tuhan, aku dikusip, mungkin mereka tidak tahu perawat itu sudah pulang, aku pula tidur di kamar perawat.
"Dari desa sampai ke kota, singgah dulu beli rambutan, duhai adek yang cantik jelita, bolehkah kita kenalan." terdengar suara pria di balik dinding. Pantas saja perawat itu tidak tahan, masa malam begini pun diganggu hanya untuk minta kenalan.
Kuambil HP, kuketik pesan buat Bang Parlindungan.
(Bang, adek dikusip)
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara ribut-ribut, aku dengar suara Bang Parlindungan, segera kubuka jendela, ternyata Bang Parlindungan marah, dia pukuli orang yang mengkusip tersebut.
"Naso labo do homu, adaboru nialak pe dukusip komu," begitu kudengar kata Bang Parlindungan. Aku paham kira-kira artinya. Istri orang pun kalian kusip, begitu kira-kira.
Kami semua terbangun di tengah malam itu, Ayah mertua justru tertawa ngakak.
"Biasa itu maen, Mang Boru dulu pernah lagi salah sasaran, dikira gadis yang tidur di kamar itu, ternyata neneknya,"
Mungkin mendengar kami pulang kampung, kakakku dan Ria datang ke desa kami. Begitu datang, kakakku langsung melapor tentang prilaku seorang guru yang jatuh cinta pada suaminya. Ria langsung setor hasil sawit yang memang sudah diurus suaminya.
"Bagaimana ini, Parlin, kau selalu ada solusi, cari dulu solusi ini, jangan pula kau bilang aku terima saja dipoligami," kata kakakku.
"Pecat saja, cari guru lain," kataku.
"Itu bukan solusi bijak," kata Ria.
"Jadi bagaimana lagi, apa memang Abang suka gitu," tanyaku.
"Abangmu gak mau memang, tapi kan lama-lama bisa tergoda juga,"
"Iya, betul, buaya sulit menolak bangkai," kata suami tiba-tiba.
"Apa, Bang, Abang juga gak bisa nolak ya?" kataku. Entah kenapa kalau soal perempuan aku jadi cepat sensi.
"Abang bukan buaya, Dek?" jawab suami.
"Jadi gimana nih, bisa-bisa nanti kucabei cewek itu," kata kakakku lagi.
"Tahan, Kak, jangan emosi, bila ribut nanti, sekolah kita tercemar, kalau bisa jangan sampai orang tua murid tahu," kata Ria.
"Mana nomor si Fatimah itu, biar kutelepon dulu," kata suami.
"Untuk apa Abang telepon dia, nanti sama Abang pula diam jatuh cinta," kataku protes.
"Abang cuma suka Nunung, Dek, gak ada yang lain," kata suami seraya mencolek daguku.
"Cie, cie, Nunung ni ye," Ria nyelutuk.
"Jadi untuk apa Abang telepon dia?" tanyaku lagi.
"Kalian perempuan memang sulit dimengerti, tadi minta solusi, ketika Abang mau kasih solusi, dicurigai," kata suami.
"Bukan curiga, Bang, cuma sayang," kataku kemudian, aku baru menyadari rasa curigaku yang berlebihan.
Ria kemudian memberikan nomor wanita tersebut, lalu suami menelepon, kudekatkan telingaku ke telepon suami. Akan tetapi sepertinya suami menyadari kekepoanku, dia menghidupkan speaker HP-nya.
"Hallo Fatimah, ini Parlin," kata suami memulai pembicaraan.
"Oh, Bang Parlin, ada apa ya, Bang, tumben," tanyanya dari seberang.
"Begini, Fatimah, aku mau minta tolong, sekaligus memberikan pekerjaan baru untuk Fatimah," kata suami.
Lah, bukannya dipecat, malah tawarkan pekerjaan baru, kukepalkan tangan seraya menunjuk Bang Parlin, "Awas ya" bisikku. Aku khawatir karena dia pernah bilang Fatimah mau jadi sekretarisnya.
"Oh, pekerjaan apa, Bang, semoga pekerjaan yang bisa membuat aku bisa meninggalkan perkebunan ini," kata Fatimah, dia terdengar antusias.
"Berapa gajimu yang guru itu?" tanya Bang Parlindungan lagi.
"Hanya satu juta, Bang,"
.
"Kunaikkan gajimu tiga kali lipat, sekaligus kubawa kau dari perkebunan itu, mau?"
"Mau, mau, aku memang sudah bosan di sini, ingin menjauh saja, biar bisa move on,"
Aku jadi makin curiga, suamiku ini mau bawa Fatimah ke Medan, ah, tak akan kubiarkan itu.
"Kerja apa, Bang, di mana?" tanya Fatimah lagi dari seberang.
"Kerja merawat orang tua, Fatimah, orang tua Abang butuh perawat, gajimu tiga juta sebulan, biaya makan ditanggung, kerjamu hanya merawat Ayah."
"Mau, Bang, mau," katanya dari seberang.
Aku lega sekali, Bang Parlindungan memang selalu punya solusi.
"Ini yang namanya sekali dayung, dua pulau terlampaui," kata Bang Parlin.
"Iya, Bang, Abang memang hebat, kakak jadi tenang, Ayah dapat perawat baru, aku ikut senang," kataku seraya menampar bahu suami. Entah kenapa aku lega sekali.
Begitulah, kami akhirnya kembali ke Medan, Ayah mertua tetap pada pendiriannya, sebisa mungkin tidak merepotkan anak-anaknya. Ayah mertua biarpun tak bisa jalan, akan tetapi masih bisa ke kamar mandi sendiri. Dia jalan dengan kursi roda. Mandi pun masih bisa dia gosok badan sendiri, hanya punggungnya yang tak bisa diluruskan.
No comments:
Post a Comment