Suamiku Jadul
Part 46
Kembali ke Medan, kota tempat aku lahir dan dibesarkan, kota yang jadi pilihan tempat tinggal kami. Sampai di Medan, ternyata suami ka sih suprise, kejutan yang tak kusangka-sangka.
"Siapa ini, Bang?" tanyaku pada suami. Begitu melihat seorang
wanita setengah tua menunggu di depan rumah kami.
"Ini bahasa halusnya temanmu di sini, bahasa keren ya Asisten rumah tangga," kata Bang Parlindungan.
"Bahasa kasarnya pembantu," sambung wanita tersebut seraya menyalamiku.
"Kapan Abang cari ini?" aku masih bingung.
"Itulah gunanya ini, Dek, dipergunakan dengan baik, bukan untuk menggosip," kata suami seraya menunjukkan HP barunya.
"Kok ...?"
"Begini, Dek, si Ucok kan lagi lasak-lasaknya, si Dede mau data ng, adek pasti kerepotan, makanya Abang ajak ibu ini," kata Bang Parlin ser aya membuka pintu dan mempersilahkan masuk.
Ibu tersebut masuk seraya membantu mengangkat barang kami. Aku masih tak habis pikir, Bang Parlin bayar ART tanpa minta persetujuannya.
"Namaku Ratna, Bu," Ibu itu memperkenalkan diri.
"Rumah ibu di mana?" tanyaku kemudian.
"Di sana, Bu jauh di tembung sana," jawab Ibu tersebut.
"Kapan, di mana bertemu suamiku?" tanyaku lagi.
"Oh, sudah lama, Bu, tapi Bapak itu bilang ditunda dulu, karena mau pulang kampung, tadi bapak itu telepon, makanya aku datang," kata Bu Ratna.
"Ya, Udah," kataku kemudian.
Wanita itu mulai mengerjakan pekerjaannya, dia mulai nyapu, n gepel, aku istirahat karena memang capek sekali.
Aku makin dimanja saja, sudah ada ART, Bang Parlin kembali si buk di bisnis barunya, dia tetap bekerjasama dengan abangku. Kalau kerja suamiku ini orang yang total, pantas saja dia sukses seperti sekarang. Dia ki ni sudah mulai berubah, HP tak pernah lepas dari tangannya. Mulai sering k eluar untuk urusan pekerjaan. Sering juga menerima tamu rekan bisnisnya.
"Abang sudah berubah sekarang," kataku di suatu malam.
"Abang masih yang dulu, Dek," jawab suami.
"Abang gak sayang adek lagi,"
"Lo, adek kok ngomong gitu?"
"Iyalah, Bang, gak pernah lagi Abang ayun si Ucok, gak pernah lagi nyanyi ungut-ungut biar adek tidur,"
"Tapi kan, adek yang bilang, tambah usaha biar makin banyak
orang terbantu,"
"Iya, sih, Bang, tapi Abang berubah, ini aja adek gak bisa tidur,"
kataku manja.
"Hmmm, sini Abang tidurkan," kata Bang Parlin.
Dia pun mulai bernyanyi, nyanyiannya masih seperti dulu. Bang Parlin memperlakukan aku seperti bayi, pantatku ditepuk-tepuk sambil dia b ernyanyi. Aku coba tidur. Sementara si Ucok kami bersama Bu Ratna.
Entah apa mauku memang, kadang aku merasa diri ini egois ju ga. Suami gak ada kegiatan, terus kudorong supaya cari kegiatan lain. Kini dia sibuk, aku pula ingin dimanja. Rasanya ini terbalik, biasanya istri yang ke loni suami, yang terjadi padaku suami yang keloni aku.
Tengah malam aku dibangunkan suami, kukira dia mau minta j atah, akan tetapi yang dia tunjukkan justru HP-nya.
"Lihat ini, Dek," kata suami seraya menunjukkan status ke aku
di Facebook. Captionnya gini.
(Seorang ayah bisa mengurus empat anak, tapii empat anak ti dak bisa mengurus seorang ayah) begitu isinya, ditulis seseakun bernama alak Kita.
"Memang kenapa, Bang, sering kok ada kata-kata begitu di Fac ebook," kataku pada suami.
"Tapi pas kali empat anak," kata suami lagi, ternyata bisa juga
suamiku ini tersinggung dengan status orang.
"Hanya kebetulan kali, Bang?" kataku menenangkan suami, dia
Tampak marah.
"Bukan kebetulan, Dek, ini orang dari desa kita," kata suami lagi seraya menunjuk foto profil.
lya juga, ya, apa mungkin begitu tanggapan orang desa terhad ap keluarga suami. Padahal Ayah mertua yang tak mau diurus, beliau yang idak mau merepotkan anaknya. Akan tetapi pandangan orang mungkin lai 1, punya empat anak sukses, tapi yang urus orang tua justru orang lain.
"Udah, Bang, biarkan saja, tidur, yuk," kataku menenangkan sua mi. Aku pun lanjut tidur.
Pagi harinya selesai solat Subuh, aku masih malas-malasan di t empat tidur, memang suamiku ini tahu kali kebutuhanku, tahu dia hamilku k ali ini bawaannya malas, dia gaji ART. Dia sudah bertindak sebelum sempat
aku pikirkan.
"Dek, lihat ini, Dek?" kata suami lagi. Dia bangunkan aku di pagi itu.
"Apa itu, Bang?" tanyaku seraya melihat HP-nya.
Ternyata ada, status baru lagi isinya begini.
(Percuma kaya harta, tapi miskin iman, mereka sia-siakan jalan
menuju sorga)
"Memang siapa dia, Bang, kok lemes kali mulutnya?"
"Dia ustadz di kampung kita, Dek,"
"Ustaz kok gitu?"
"Barangkali dia gak tahu situasinya, mungkin maksud dia baik,
mau ceramah gitu,"
"Ah, masih saja Abang berprasangka baik?"
"Abang jadi gak tenang ini, Dek, mungkin di desa kami sudah j adi bahan cemooh orang," kata suami lagi.
Biasanya suamiku ini orang yang tidak peduli dengan omongan orang, bahkan bila dianggap orang miskin, dia akan bersikap orang miskin. Akan tetapi soal orang tua ini Bang Parlin tampak serius sekali.
Aku berinisitif menghubungi Fatimah, bertanya apa ada tangga pan orang seperti itu. Fatimah menerangkan, memang sering dia dengar or ang bicara begitu, bahkan sering orang bertanya pada Ayah, kenapa gak ti nggal bersama anaknya. Akan tetapi jawaban Ayah mertua selalu ingin sen diri tak menyusahkan anaknya.
Bang Parlin benar-benar tak tenang. "Dianggap miskin bisa Aba ng terima, tapi dianggap durhaka pada orang tua, Abang gak bisa terima," begitu kata Bang Parlin.
Baru kali ini kulihat suami segalau ini, dia tak tenang mulai sem alam. Sampai akhirnya kulihat dia menelepon Bang Nyatan. Mereka berbicar a dalam bahasa batak, aku sudah mulai paham sedikit-sedikit bahasa ini int inya Bang Parlin mengadu ke Bang Nyatan tentang masalah tersebut.
Beberapa saat kemudian, HP-ku bergetar, ada panggilan video dari Kak Sofie, istrinya Bang Parta. Ketika layar HP kugeser ternyata Bang P arta yang telepon. Ternyata masalah ini sudah sampai ke Kalimantan.
"Nia, mana si Parlin?" tanya Bang Parta.
"Itu, Bang, lagi galau," jawabku jujur.
"Iya, wajar galau kalau begini, itu yang posting itu ustadz di desa, berarti sudah banyak orang berpikir kami ini anak yang menelantarkan o rang tua, kami tak bisa terima, besok aku terbang ke Medan," kata Bang Parta.
Keluarga suami jadi heboh, hanya karena status Facebook dari seorang ustadz, luar biasa memang. Kadang aku jadi berpikir bagaimana bi sa orang asal posting status yang dia tak tahu bagaimana kebenarannya. K arena status tersebut sekeluarga jadi heboh.
Mereka mupakat jarak jauh, empat orang bersaudara video call, aku hanya pendengar yang baik. Sudah mulai paham apa yang mereka bic arakan, karena sudah sering mendengar bahasa itu. Lama juga mereka bicar a, pembicaraan mereka serius sekali.
"Bagaimana, Bang?" tanyaku begitu mereka selesai bicara.
"Besok Bang Parta datang, dia mau jemput Ayah," kata Bang Parlin.
"Kalau Amang Boru tidak mau, bagaimana?"
"Kata Bang Parta dipaksa, dari pada kami malu," kata Bang Parlin.
"Mana mungkin dipaksa, Bang, cukup jelaskan ke orang desa, A yah yang mau tinggal sendiri," kataku kemudian. Aku sungguh tak setuju bila harus dipaksa.
Hanya karena status Facebook? Akan tetapi kenapa bukan mint a penjelasan ke yang memposting status? Kupinjam HP suami, coba kirim inbox pada orang yang mereka sebut ustadz itu..
(Assalamu'alaikum) pesanku.
(Waalaikumsalam, Parlindungan, alhamdulillah, pesanku sampai juga, mungkin hatimu sudah tergerak karena baca statusku) balasannya sangat cepat.
(Apakah Anda sudah kroscek ke yang bersangkutan?) tanyaku
kemudian.
(Kroscek apanya, sudah jelas di depan mata, seorang lelaki tua yang sudah tak bisa berjalan malah tinggal sendiri di desa, padahal anaknya empat orang, kaya-kaya lagi, apakah kalian pikir, uang kalian bisa membeli kebahagiaan orang tua kalian? Kalian kasih dia perawat cantik yang bukan mahramnya, sungguh tak terpuji tindakan kalian) pesannya langsung panjang kali lebar.
(Hei langsung men-judge gitu, apa sudah pernah kau tanyakan pada bapak itu kenapa tinggal sendiri?) geram juga aku sama orang ini.
(Sudah, kita masih ada hubungan keluarga, ingat itu, tentu saja sering kutanya, kasian bapak itu, jawabannya klise, tak mau menyusahkan a nak, padahal itu cuma alasan untuk menjaga marwah anaknya, orang tua b erbohong demi anak itu sudah biasa) pesannya lagi.
(Heh, ustaz apaan kau, sok tau kau apa isi hati orang, kau tau gara-gara status kau itu satu keluarga jadi heboh, tau kau Bang Parta sama Bang Nyatan sampai mau perkara untuk memperebutkan hak asuh bapak itu, mereka rebutan, orang rebutan harta warisan, mereka rebutan mengurus
orang tua, tapi Bapak itu memilih tinggal sendiri,) aku makin kesal akhirnya. Keluar juga jiwa bar barku.
(Tapi semua orang tua ingin tinggal bersama anaknya) balasny
a lagi.
(Apa kau, sok tahu yang orang inginkan, jangan samakan pand anganmu sama pandangan orang lain, sekarang kau hapus statusmu itu, b uat klarifikasi, atau kita jumpa, minta maaf kau sama Bang Parta, Bang Nya tan, Bang Dame, juga Bang Parlin. Kalau tidak, awas kau) meledak juga akhi mnya amarahku.
(Ini siapa, bukannya ini, Parlin) dia baru sadar ternyata.
(Heh, ini istrinya, aku sudah lihat sendiri dengan mata kepala, mereka rebutan hak asuh orang tua mereka, kau tahu apa)
(Oh, maaf kalau gitu, aku yang salah)
(Cepat telepon Bang Parta, Bang Nyatan, mereka semua!)
(lya, baik,)
Galaunya.
Malam harinya Bang Parlin tampak gembira, tak keliatan lagi
"Ustaz itu sudah minta maaf, Dek, dia telepon kami satu persa tu, Bang Parta batal datang," katanya.
Aku ikut senang, ternyata begini rasanya jadi pahlawan.
Akan tetapi tiba-tiba bersambung
No comments:
Post a Comment