Friday, June 17, 2022

Suamiku Jadul

*cerbung hikmah disela ramadan*
Suamiku Jadul

Part 53

Pagi harinya, kami sudah sampai di kota salak Padang Sidempuan. Kami singgah di rumah makan khas Tapanuli Selatan untuk sarapan pagi. Begitu kami turun dari mobil, kami didatangi dua orang pria memegang salak. 

"Salak sibakkua, dipangan sada mangido dua," katanya seraya memberikan salak untukku. 

Kuterima dan ... 

"Coba saja dulu, Bu," kata pria tersebut. 

Kukupas dan kumakan. Waw! Enak, manis dan sedikit kelat. 

"Sini, Bu, sini, ini salaknya," kata pria itu lagi. 

Kuikuti saja, seraya menggendong si Butet, sementara Bang Parlindungan bawa si Ucok ke kamar mandi. 

"Berapa, Pak?" tanyaku kemudian. 

"Satu sumpit dua puluh ribu, beli tiga lima puluh ribu," jawabnya. 

"Satu sumpit itu berapa?"

"Oh, ini, Bu, ini sumpitnya," kata pria itu seraya menujukkan wadah anyaman. 

"Aku ambil tiga," kataku. 

Dengan cekatan pria itu membungkus tiga sumpit. Kubayar dan membawanya ke mobil. 

"Aku beli salak, Bang, manis salaknya," laporku pada suami ketika kami sudah di meja makan. 

"Oh, ya," kata suami. 

"Kenapa, Bang, macam gak percaya aja Abang salaknya manis," kataku lagi. 

"Percaya, Dek, percaya saja, nanti adek ngomel," kata suami lagi. 

Kami sarapan nasi pulut pakai ikan teri sambal, Bang Parlin bilang namanya "kotan". Sehabis sarapan aku ke mobil, mengambil satu sumpit salak tadi,  untuk cuci mulut sekaligus ingin kutunjukkan pada Bang Parlin rasa salak ini. 

"Ini, Bang, rasain, dulu, salaknya beda dengan yang biasa dijual orang di Medan," kataku seraya memberikan sebuah salak padanya, dan kuambil juga satu untukku. 

Akan tetapi rasanya kok lain, tidak sama dengan yang kumakan tadi, rasanya kelat, batunya juga tidak hitam seperti tadi. Bang Parlin pun kulihat sampai memejamkan mata makan salak tersebut. Astaga, aku ditipu, pasti penjual itu kasih contoh salak yang enak. Kulihat Bang Parlin justru tertawa. Sebel. 

Kuambil lagi salaknya, mau kukembalikan ke penjual tadi. Akan tetapi Bang Parlin justru mencegah. 

"Gak usah, Dek," begitu kata Bang Parlin. 

"Nggakkk, Bang, harus diberi pelajaran itu tukang salak, merusak citra Padang Sidempuan kota salak," kataku sok peduli. 

Aku datangi penjual itu, Bang Parlin mengikuti dari belakang. Bang Parlin justru menarik tanganku dia yang bicara dengan tukang salak tersebut. Mereka bicara dalam bahasa Batak Angkola. 

"Penipu, kasih contoh yang enak, jualnya yang tidak enak," kataku sengit. 

"Begini saja, silakan pilih salaknya, ganti  yang tadi, kalau dikembalikan tidak bisa," kata penjual salak itu. 

Aku jadi bingung, bagaimana cara pilih salak yang manis, gak mungkin juga aku cicipi satu-satu. Lagi-lagi Bang Parlin punya solusi.

"Kami ambil yang itu saja," kata Bang Parlin seraya menunjuk salak satu karung di bawah meja mereka. 

Wajah penjual itu tampak kesal, dia angkat karungnya. "Ini salak pilihan ya," katanya kemudian. 

"Ya, yang kalian kasih contoh juga pilihan," kata Bang Parlin. 

"Bagaimana perasaan kalian kalau istri atau anak kalian ditipu begini, ini penipuan namanya," kata Bang Parlin lagi. 

"Ya, udah, ambil saja tiga sumpit, gak usah ceramah segala," kata penjual tersebut. 

"Kami beli satu karung ini," kata Bang Parlin seraya mengangkat karung tersebut. "Tolong bungkus pakai ini," sambung Bang Parlin seraya menunjuk sumpit. 

Akhirnya kami memborong salak pilihan, ada sepuluh sumpit semuanya. 

"Bang, ingat kebutuhan sama keinginan," kataku pada suami ketika kami sudah dijalan. 

"Itu untuk memberikan pelajaran untuk mereka, terpaksa mereka tak jualan lagi hari ini, karena salak contoh sudah kita bawa semua," kata suami. 

Menjelang siang kami tiba di kota Panyabungan, ibukota kabupaten Mandailing Natal. 

"Kita singgah sebentar ya, beli toge," kata supir kami. 

Dalam hati aku berpikir, "buat apa dia toge?" akan tetapi mobil bukan singgah di pasar sayur, melainkan di warung, ternyata toge itu cendol khas Panyabungan. Cendol campur pulut dan tapi ubi, segar juga rasanya. 

Jam satu siang baru kami tiba di kebun Bang Parlin, ternyata mobil belum bisa masuk ke kebun, Ria dan kakakku justru di sekolah. Bang Parlin membagikan salak yang kami borong tadi. Para karyawan tampak senang sekali. 

Aku ditinggal di bangunan sekolah tersebut, Bang Parlin dan beberapa karyawan pergi ke kebun dengan berjalan kaki. 

"Habis semua, Nia, habis, aku menyesal sekali, pernah aku salah omong," kata kakakku sambil menitikkan air mata. 

"Salah omong bagaimana, Kak?"

"Itu abangmu kusuruh belanja ke kota, tapi abangmu gak mau, alasannya gak bisa tinggalkan sapinya, aku terpaksa pergi sendiri, sebel, kan, jauhnya lagi kota terdekat, lebih sayang dia sapi dari pada istrinya." kata kakakku. 

"Terus?"

"Terus kubilang gini, " Makan tu sapi, Mudah-mudahan mati semua sapimu, istri dibiarkan pergi sendiri, sapi malah ditemani," kataku karena kesal."

"Duh, kok ngomong gitu sih, Kak?"

"Itulah, Nia, mulut ember ini," kata kakakku seraya menampar mulutnya sendiri.

Ucapan itu memang do'a, kita tidak tahu do'a kita yang mana yang akan cepat terkabul, jadi Hati-hatilah bicara. Kakakku sudah merasakan sendiri, dua hari setelah dia ngomong begitu, sapi mereka mati tenggelam, hanya dua yang bisa diselamatkan. 

Bang Parlin sudah kembali, dia bilang sapinya selamat semua, kini sudah berada di tempat yang lebih tinggi. Akan tetapi kebun sawit masih banyak  yang tergenang air. 

Ketika kumpul di sekolah Abang iparku lebih banyak diam, dua sapinya diikat di halaman sekolah. 

"Bagaimana, Bang?" tanya Bang Parlin. 

"Ya, mau bagaimana lagi, terima nasib saja, ini pelajaran bagiku, nanti sudah tahu bagaimana menghadapi bencana, juga pelajaran buat kakakmu," kata Abang ipar seraya menunjuk kakakku yang menundukkan wajah. 

"Kenapa dengan kakak?" tanya Bang Parlin. 

Aku lalu menceritakan semua, Bang Parlin tampak senyum. 

"Uang sekolah memang mahal," kata Bang Parlin. 

"Sekolah ini gratis ya, Parlin, gak pernah aku kutip uang sekolah satu rupiah pun, sesuai amanah kalian, semua gratis, gaji kami dari hasil sawit kalian." kata kakakku. 

Duh, kakakku sudah salah mengerti, aku tahu yang dimaksud Bang Parlin. 

"Hei, belum jera juga mulutmu itu ya, jaga itu mulut, aku aja ngerti maksud perkataan Parlin," Abang iparku tampak marah. 

"Apa lagi, ngapain singgung sekolah mahal, karena aku kepala sekolah ini kan?"

"Begini, Kak, pengalaman itu guru yang paling berharga, berguru tentunya sekolah, pengalaman kalian ini tentu sudah jadi guru bagi kalian, ya, bayarnya sapi mati, kan mahal, itu maksudku, Kak," Bang Parlin akhirnya menerangkan. 

"Aduh, mulut ini, aku jadi malu, aku yang sarjana sudah dikuliahi tamatan SD," kata kakakku seraya pergi keluar.

Sepeninggal kakakku, abang ipar lalu bercerita kronologi banjir tersebut, dia sudah berusaha menggiring sapi keluar, akan tetapi sapi tidak mau, hanya dua yang bisa dia seret. Maksudnya dia mau keluarkan sapinya satu persatu, akan tetapi air besar keburu datang. Hanya dua sapi yang selamat, sembilan belas sapi jadi bangkai. Karena dikurung di kandang. 

Menurut Abang ipar dia sudah kubur semua sapi tersebut. Sedih mendengar cerita abangku. 

"Bang, gini aja, Bang, kalau abang mau ya, itu sawit kan sudah saatnya panen. Tapi masih banjir, jadi gini, Bang, kalau Abang bisa panen sendiri, uangnya untuk Abang semua. Untuk modal beli sapi baru." kata Bang Parlin. 

"Benar, Parlin?"

"Iya, Bang, hanya begitu yang bisa kubantu, ajak karyawan kita, gaji lebih dari yang biasa," kata Bang Parlin lagi. 

"Terima kasih, Parlin," kata Abang iparku. Dia memegang matanya, aku tahu dia menangis. 

Kami juga sebenarnya rugi banyak, tiga truk rusak karena terendam air. Sapi juga musti diobati. Selama dua hari Bang Parlin sibuk membersihkan kebun dan mengurus sapi, sementara Abang ipar sibuk memanen. Setelah tiga hari baru bisa kami ke rumah panggung yang di tengah kebun. Rumah itu tidak rusak. Biarpun terbuat dari kayu akan tetapi tahan juga. 

"Kita akan lama di sini, Dek," kata Bang Parlin di suatu malam. 

"Iya, Bang, gak apa-apa, aku istri yang ikut suami, jangankan di sini, di tempat gersang pun Abang ajak aku mau," kucoba menenangkan suami. Aku tahu dia lelah mengurus sapi tersebut. Rumput harus dicari karena karena baru banjir. Ada satu truk sehari rumput untuk pakan semua sapi. 

"Hmmm, tumben,"

"Tumben apanya, Bang,"

"Biasanya manja,"

"Gak lah, Bang, abang capek, sini adek urut," kataku seraya memegang tengkuknya. 

"Hihihi," Bang Parlin justru tertawa. 

"Kenapa, Bang?" 

"Geli, tenagamu gak ada, Dek,"

"Hmmm, kalau gak kupijak-pijak aja, Bang," 

"Jangan, bisa pecah nanti perutku," 

"Abang hina badanku, ya, karena aku gemuk,"

"Lo, kok menghina?"

"Abang gitu, ya," 

"Gak lah, Dek, abang sangat bersyukur lo punya istri seperti adek,"

"Hmm, oh, ya,"

"Iya, Dek, gak perlu beli kasur lagi, ini udah empuk," kata suami seraya membaringkan kepalanya di dadaku. 

"Ihs, Abang."

"Dek, kapan kita punya bayi lagi?"

"Ya, ampun, Bang, si Butet masih tujuh bulan itu,"

"Memang tujuh bulan, Dek, tapi dia sudah minta adek," 

"Gak, ogah,"

"Ogah apaan?"

"Ogah, gak mau,".

" Wah, sepertinya harus cari Nunung baru ini,"

"Nunung apaan, Bang? Mau kawin lagi, ya, kepotong ini nanti,"

"Ampun, Dek, ampun, Nunung sapi indukan kok, Dek, abang mau cari sapi indukan yang baru,"

"Hmmm, jangan bercanda soal poligami, Bang, adek gak suka,"

*wah..wah.. bang pain dah mulai gak jadul nih...*

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER