*cerbung hikmah disela ramadan*
Suamiku Jadul
Part 52
"Setelah berusaha, selanjutnya kita berdoa dan terus bertawakkal." begitu kata suami ketika kutanya amalan apa yang dia lakukan semalaman. Dia hampir tak tidur, baru kali ini kulihat suami segeilsah itu.
"Kasihan Kakak, sapinya mati tenggelam," kataku dengan raut wajah sedih.
"Iya, Dek, Abang lupa kasih tahu, Abang jadi ikut merasa bersalah, seharusnya dikasih tahu juga sapinya jangan dikandangkan atau diikat jika ada bencana. Bencana banjir atau kebakaran, sapi tak boleh diikat, karena binatang juga punya naluri bertahan hidup." kata suami.
"Mungkin karena kakak gak ikhlas yang pelihara sapi itu, Bang, sudah sering dia bilang muak dengan kotoran sapi," kataku lagi.
"Jangan bicara begitu, Dek, gak boleh itu,"
Ah, gak asik bangett ini suami, gak bisa diajak ghibah atau gosip. Padahal menurutku benar begitu. Kakak sudah berulangkali bilang capek urus sapi. Tiba-tiba HP-ku bergetar, ada panggilan dari kakakku.
"Mau laporan keadaan sekolah, sekolah kita berlumpur semua, mungkin harus diliburkan dulu atau tiga hari." kata Kakaku.
"Iya, Kak, bagaimana sapi kakak, adakah yang bisa diselamatkan?" tanyaku.
"Ada, dua ekor digiring abangmu waktu mau ngungsi,"
"Kenapa gak digiring semua, Kak?"
"Mana bisa, Nia, mau ditarok di mana, tempat terbuka sudah banjir semua,"
"Seharusnya kakak lepas sapinya, baru sapi itu menyelamatkan diri sendiri," kataku lagi.
"Iya, sih, tapi panik, mau bagaimana lagi, kata mereka banjir seperti ini hanya terjadi sepuluh tahun sekali,"
"Iya, Kak, Bang Parlin juga bilang begitu, jadi bagaimana, Kak?"
"Ya, mau bagaimana lagi, iklaskan saja, aku belajar dari Parlin, dia ikhlas ketika sapinya dicuri orang, kami akan mulai dari nol lagi," kata kakakku.
Kasihan juga kakakku ini, mereka belum sempat dapat hasil dari sapi, baru modal yang kembali, ketika mau untung, datanglah musibah begini. Ternyata Abang iparku tak patah semangat, menurut kakakku dia akan mulai dari nol lagi. Aku jadi kasihan juga.
"Bang, orang yang tertimpa musibah itu berhak dapat zakat gak?" tanyaku pada suami.
"Iya, Dek, itu termasuk fakir, karena mereka sudah tak punya apa-apa,"
"Kasihkan lah Bang zakat kita untuk kakakku, kasihan dia," kataku kemudian.
"Iya, Dek, Abang mau pulang kampung dulu nanti sore," jawab suami.
"Aku ikut, Bang," kataku. Karena semenjak menikah kami belum pernah berpisah, kemana saja aku selalu ikut.
"Gak bisa, Dek, habis banjir begini, medannya berat, kasihan si Butet."
"Tapi, Bang,"
"Udah, Dek, tinggal dulu sekali ini, ya, kan ada Bu Ratna, Abang akan bilang Bu Ratna untuk tidur di sini saja dulu." kata suami.
Aku akhirnya mengalah, berat rasanya melepas suami, akan tetapi selalu ada pertama kali untuk semua. Betul juga kata Bang Parlin, aku ikut pun akan jadi beban untuk Bang Parlin.
"Bang, cepat pulang ya," kataku ketika melepas Bang Parlin pergi. Dia pergi bersama seorang sopir. Bawa obat untuk peternakan dan pertanian.
"Iya, Dek, jaga si Ucok ya," kata suami.
"Iya, Bang," kataku dengan wajah sedih. Seakan mau pisah selamanya saja.
"Bang, aku ikut napa, janji, Bang, aku gak rewel, gak minta naik kerbau," kataku lagi. Entah kenapa berat rasanya perpisahan ini.
"Aduh, Dek, jalannya saja belum tahu apa bisa dilalui," kata suami.
"Ya, udahlah, Bang, telepon adek ya, Bang," kataku akhirnya.
Mereka berangkat juga, sedih rasanya, tak ada yang menidurkan si Ucok lagi, aku memang istri yang kelewat manja. Kuusap air mata seraya masuk rumah.
"Hei, Ucok, Butet, jangan ada yang rewel ya, gak ada lagi ya nyanyi ungut-ungut," kataku pada kedua anakku.
Si Ucok hanya bengong, si Butet tentu saja gak mengerti, karena baru enam bulan. Bu Ratna justru tertawa. Duh, aku ditertawai ART-ku sendiri.
Kulihat air kemasan galon yang belum diangkat ke tempatnya, aku langsung teringat suami. Duh, padahal baru lima belas menit mereka pergi. Ya, Allah, bagaimana aku bisa melewati ini seminggu?
Tiba-tiba mobil Mitsubishi Strada suamiku balik lagi, terdengar klakson khasnya, ada yang tinggalkah?
"Kenapa, Bang, ada yang ketinggalan?" tanyaku setelah suami masuk rumah.
"Iya, ada yang tertinggal," jawab suami.
"Apa, Bang? HP, charger, atau uang?" kataku seraya melihat sekeliling.
"Bukan, Dek, yang tertinggal belahan jiwaku,"
"Apaan sih, Bang?"
"Cepat bersiap, adek ikut saja, kita hadapi bersama," kata suami.
"Yessss," reflek aku mengepalkan tinju dan bersorak gembira. Bu Ratna hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Dia pun membantu aku bersiap.
Suamiku seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, dia putar balik karena tak bisa juga tinggalkan aku, duh, rasanya berbunga-bunga. Melayang terbang di awan.
"Bang, kenapa Abang berubah pikiran, karena gak bisa tinggalkan aku, kan?" tanyaku ketika sudah dalam perjalanan.
"Nggaklah, kalau adek gak ikut kurang rame, udah biasa diomeli, gak ada yang omeli rasanya kurang abdol," kata suami.
"Ish, alasan, bilang aja Abang gak bisa pisah denganku, walau cuma seminggu." kataku pede. Padahal akulah yang gak bisa pisah dengan suami.
Telepon jadul Bang Parlin berbunyi, dia suruh aku yang terima, ternyata dari Ria.
"Jadi kakak ikut ya?" kata Ria begitu telepon tersambung.
"Iya, Ria, abangmu gak bisa pisah denganku," kataku sok kepedean.
"Aku yang bilang tadi Kak, karena jalan sudah lancar, tadi datang alat berat dari dinas, jalan sudah dibetulkan, sisa banjir sudah dibersihkan, aku bilang samabBang Parlin, kakak ikut saja, karena aku kepingin lihat si Butet," kata Ria.
Seketika suasana hatiku berubah, ibarat terbang di awan, tiba-tiba sayap patah, ibarat hati berbunga, tiba-tiba bunganya layu.
"Oh, gitu ya, Ria, ya udah, aku datang," kataku tak bersemangat lagi.
Kulihat Bang Parlin, dia justru tertawa cekikikan. Sebel.
Perjalanan kami lancar, kami memlih lewat lintas barat, yaitu melewati kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara dengan danau Tobanya. Di tengah jalan aku sesak mau buang air. Kubilang Bang Parlin, dan Bang Parlin bilang sama sopir supaya berhenti bila ada Mesjid atau SPBU. Tapi mobil tak berhenti juga, sementara udara dingin membuat aku sudah tak bisa tahan lagi.
"Udah, berhenti di mana saja," kataku akhirnya.
Mobil berhenti di sebuah warung, ada beberapa pria duduk di warung tersebut, ada yang main gitar, ada yang menyanyi. Ternyata kami berhenti di pakter tuak.
"Boleh numpang kamar mandi, Pak?" tanya Bang Parlin.
"Boleh, boleh, marga apa kau, biar tau aku bertutur," kata Bapak yang punya warung.
"Siregar, Pak, ini boru Harahap," kata Bang Parlin seraya menunjukku. Kenapa sih harus perkenalan lagi? Orang sudah kebelet pipis?
"Bah, hula hula rupanya, orang rumahku boru regar, sebentar kupanggil," katanya seraya berteriak memanggil istrinya.
Seorang perempuan datang, lalu membawa aku ke toilet di rumah yang jauhnya sekitar dua puluh meter dari warung tersebut. Ketika aku sudah selesai, Bang Parlin dan penjaga warung tampak berbicara akrab. Luar biasa kekerabatan orang batak ini, baru kenalan sudah seperti saudara. Hanya karena istri pria tersebut satu marga dengan suamiku.
Sebelum kami pergi, Ibu tersebut memberikan dua botol air mineral.
"Ini ito, untuk minum di jalan, aku tahu ito tak bisa makan di sini, mau kuajak pun makan," kata wanita itu.
Wah, biar berbeda agama, persaudaraan tetap ada, hanya karena satu marga. Luar biasa.
Bang Parlindungan menerima air mineral tersebut seraya berterima kasih dalam bahasa Batak, kemudian Bang Parlindungan memberikan uang biru satu lembar ke anak wanita itu. Aku makin terkagum-kagum. Sudah seperti jumpa saudara saja. Padahal baru kenal.
Ketika memasuki wilayah Tapanuli Selatan, aku minta sopir menghentikan mobil di warung, aku mau beli pampers untuk anakku.
"Aku boru Harahap," kataku memperkenalkan diri ketika beli pamfres di warung. Aku juga ingin merasakan rasa persaudaraan semarga, siapa tahu yang punya warung semarga denganku.
"Oh, aku boru Jawa," jawabnya.
"Boru Jawa?" tanyaku dengan kening berkerut
'Iya, Boru Jawa kelahiran Sumatra," jelasnya lagi.
"Ohh,"
"Boru jawa dia katanya, Bang," kataku pada Bang Parlindungan ketika sudah kembali di mobil.
Bang Parlindungan hanya tersenyum.
"Bang, aku jadi ingin belajar bahasa Batak, mana tau nanti jika belanja di pasar jumpa sama temen semarga, dapat harga murah, Abang hanya karena semarga dikasih Aqua gratis," kataku lagi.
"Hahaha," kali ini supir kami yang tertawa.
"Kenapa, ada yang lucu?" tanyaku.
"Kadang itu hanya modus, kadang memang betul tulus, tapi kebanyakan modus, orang jualan gak mungkin kasih gratis ke orang yang lewat, dia kasih karena dia yakin Bang Parlindungan akan bayar dengan harga lebih," kata supir tersebut.
Ooooo ....!
*hepiwiken...dan menjalani ibadah ramadhan....*
No comments:
Post a Comment