KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 57
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد
Pengiriman Mush’ab bin Umair
Setelah baiat terlaksana dengan sempurna, semua orang kembali ke perkemahan masing-masing sambil menyimpan kejadian itu baik-baik di dalam hati.
Musim haji pun segera selesai. Ketika rombongan Muslim Yatsrib berangkat pulang. Rasulullah menyertakan seorang duta pertama. Tugas duta ini adalah mengajarkan syariat Islam dan pengetahuan agama kepada kaum Muslimin. Selain itu, ia juga berkewajiban menyebarkan ajaran Islam kepada orang-orang yang masih menyembah berhala.
Rasulullah memilih Mush’ab bin Umair untuk melaksanakan tugas ini. Mush’ab termasuk pemeluk Islam pertama dan terpercaya dalam pengetahuan tentang hukum-hukum Allah, bacaan Al-Qur’an, serta ketaatannya.
Setelah sahabat Rasulullah itu datang, semakin banyak orang Yatsrib memeluk Islam. Seiring dengan itu, persatuan Aus dan Khazraj semakin kuat sampai akhirnya hilanglah rasa permusuhan di hati mereka masing-masing.
Jum’at Pertama
Melihat Islam berkembang demikian pesat, orang-orang Yahudi Yastrib amat khawatir. Mereka takut agamanya lenyap terdesak oleh Islam. Oleh karena itu, setiap hari Sabtu mereka berkumpul di suatu tempat dan mengadakan keramaian untuk menunjukkan keagungan agama mereka.
Ketika mendengar hal ini, Rasulullah memerintahkan Umair untuk mengumpulkan kaum Muslimin setiap hari Jum’at untuk mengerjakan shalat dua rakaat berjamah. Mush’ab segera mengumpulkan kaum Muslimin di Hazmun-Nabit.
Itulah shalat jum’at pertama dalam sejarah Islam. Shalat pertama itu diikuti oleh empat puluh orang.
Abdurrahman bin Auf
Rasulullah juga pernah memerintahkan Abdurrahman bin Auf secara diam-diam pergi ke daerah Damatul Jandal untuk berdakwah. Selama tiga hari, Abdurrahman bin Auf berdakwah sampai akhirnya pemimpin mereka Al Ashbag pun masuk Islam.
Baiat Aqabah Kedua
Satu tahun berikutnya, jumlah jama’ah haji dari Yatsrib lebih banyak, termasuk dalam rombongan itu tujuh puluh lima muslim. Dua di antaranya kaum perempuan.
Saat itu tahun 622 Masehi, tiga belas tahun sudah Rasulullah berdakwah dengan lemah lembut, mengalah terhadap segala siksaan, serta menanggung semua kesakitan dengan kesabaran dan pengorbanan.
Tidak selamanya Allah mengajarkan umat-NYA untuk terus mengalah. Suatu saat pukulan harus dibalas pukulan, serangan pun harus dibalas serangan. Dengan tujuan inilah Rasulullah mengadakan pertemuan dengan ketujuh puluh lima Muslim itu.
Mereka bersepakat bertemu tengah malam di bukit Aqabah pada hari-hari tasyriq. Hari Tasyriq adalah tiga hari berturut-turut setelah hari Raya Qurban (Idhul Adha).
Kali ini mereka tidak bertemu di kaki bukit, tetapi di puncaknya. Semua orang mendaki lereng-lereng Aqabah yang curam, termasuk kedua Muslimah tersebut. Saat itu, Rasulullah disertai pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Abbas menyadari bahwa pertemuan ini dapat berakibat perang terhadap orang yang memusuhi keponakannya.
“Saudara-saudara dari Khazraj,” demikian Abbas berkata, “posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah diketahui bersama. Kami dan mereka yang sepaham dengannya telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Namun, dia ingin bergabung dengan Tuan-Tuan juga. Jadi, kalau memang Tuan-Tuan merasa dapat menepati janji seperti yang Tuan-Tuan berikan kepadanya dan dapat melindungi dari mereka yang menentangnya, silahkan Tuan-Tuan laksanakan. Akan tetapi kalau Tuan-Tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat Tuan-Tuan, dari sekarang lebih baik tinggalkan saja.”
Orang-orang Yatsrib pun menjawab, “Sudah kami dengar yang Tuan katakan. Sekarang silahkan Rasulullah bicara. Kemukakanlah yang Tuan senangi dan disenangi Allah.”
Setelah membaca ayat Al-Qur’an dan memberi semangat Islam, Rasulullah bersabda,
“Saya minta ikrar Tuan-Tuan untuk membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak Tuan-Tuan sendiri.”
Kesetiaan Kaum Anshar
Saad bin Ubadah, seorang pemimpin Anshar berkata kepada Rasulullah,
“Hanya kepada kamilah Rasulullah menghendaki sesuatu. Demi jiwaku yang ada ditangan-NYA, andaikan engkau menyuruh agar kami menceburkan diri ke dalam samudra, tentulah kami akan melakukannya.”
Dialog Sebelum Ikrar
Seorang pemuka masyarakat yang tertua disitu, Al Bara’ bin Ma’rur, berkata,
“Rasulullah, kami sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami warisi dari leluhur kami.”
Namun, sebelum Al Bara’ selesai bicara, Abu Haitham bin Tayyihan menyela,
“Rasulullah, kami memutuskan perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Namun, apa jadinya kalau apa yang kami lakukan ini lalu kelak Allah memberikan kemenangan kepada Tuan, apakah Tuan akan kembali kepada masyarakat Tuan dan meninggalkan kami?”
Rasulullah tersenyum dan berkata,
“Tidak, saya sehidup semati dengan Tuan-Tuan. Tuan-Tuan adalah saya dan saya adalah Tuan-Tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang Tuan-Tuan perangi dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang Tuan-Tuan ajak berdamai.”
Tatkala mereka siap berikrar, Abbas bin Ubadah menyela,
“Saudara-saudara dari Khazraj, untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia untuk melakukan perang terhadap yang hitam dan yang merah (perang habis-habisan melawan siapa pun). Kalau Tuan-Tuan merasa bahwa jika harta benda Tuan-Tuan binasa dan para pemuka Tuan-Tuan terbunuh, Tuan-Tuan hendak menyerahkan dia kepada musuh, lebih baik dari sekarang tinggalkan saja dia. Kalau pun itu yang Tuan-Tuan lakukan, ini adalah perbuatan hina dunia dan akhirat.
Sebaliknya, jika Tuan-Tuan dapat menepati seperti yang Tuan-Tuan berikan kepadanya itu, sekali pun harta benda Tuan-Tuan habis dan para pemimpin Tuan-Tuan terbunuh, silahkan saja Tuan-Tuan terima dia. Itulah suatu perbuatan yang baik, dunia dan akhirat.”
Orang-orang pun menjawab,
“Akan kami terima, sekali pun harta benda kami habis dan bangsawan kami terbunuh. Namun, Rasulullah, kalau dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?”
Rasulullah menjawab dengan tenang dan pasti, “Surga.”
Kepribadian yang Mengagumkan
Kesetiaan kaum Anshar pada saat baiat menunjukkan begitu dalamnya kepercayaan yang tertanam dalam hati mereka kepada Rasulullah. Rasulullah memiliki kepribadian yang daya pesonanya tidak dapat dijangkau kedalamannya. Siapa pun yang bergaul dengan beliau, pasti akan luluh dalam pesona itu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment