Ikhlas Dicerai
NUNUK tidak bisa tidur. Semalam suntuk terjaga. Sholat malam, setelah itu ngaji. Perasaannya diliputi was-was. Kehadiran Gendro Swara Pati siang tadi, membuat Nunuk harus menjaga ketiga buah hatinya. Dia tidak ingin buah hatinya dirasuki makhluk jahat tersebut.
Sesekali Nunuk menghentikan ngajinya. Melihat jam dinding. Sudah larut. Suaminya belum juga pulang. Hingga mendekati Subuh, Iksan tidak kunjung pulang. Nunuk makin khawatir. Tidak ada kabar dari Iksan. Ponselnya juga mati.
Selepas Subuh terdengar suara ketukan pintu.
“Assalamualaikum”, sapa seseorang di balik pintu.
Suara itu tidak asing.
“Mas Iksan....”, buru-buru Nunuk bangkit. Langkahnya dipercepat.
“Waalaikumsalam,” Nunuk membukakan pintu.
“Mas Iksan”, sapa Nunuk langsung memeluk suaminya. Pelukan itu sedikit banyak telah mengobati ketakutannya.
Iksan membalas pelukan istrinya dengan memeluk erat.
“Maaf ya, Dik, aku pulang pagi”, jawab Iksan.
“Aku takut, Mas”, balas Nunuk tidak mau melepas pelukan.
“Aku tahu...", Iksan kemudian melepas pelukan dan menggandeng istrinya ke ruang tamu.
Sebentar Nunuk pergi ke belakang dan kembali membawa secangkir kopi.
Kopi itu diseruput Iksan. Lalu sebatang rokok dinyalakan. Nunuk memperhatikan gerak gerik suaminya. Tak sabar ingin mengetahui jawaban dari suaminya mengenai Gendro Swara Pati.
“Dik, sepertinya aku harus melepas kamu...”, kata Iksan menarik nafas dalam-dalam.
“Maksudnya apa, Mas!”, seru Nunuk.
“Aku harus menceraikanmu, Dik”.
Kata-kata itu bagai petir menyambar. Tidak pernah terpikirkan di benak Nunuk suaminya bakal menceraikannya. Menjadi pasangan setia dan mesra itu tidak mudah. Tapi Iksan bisa menjaga keharmonisan rumah tangga selama 9 tahun. Iksan benar-benar tahu bagaimana cara mengistimewakan istri seperti yang dilakukan Nabi SAW.
Keteladanan Rasulullah selalu menjadi pijakan Iksan dalam berrumah tangga. Rumah itu disulap Iksan menjadi rumah penuh berkah dan bertabur cinta.
Memang dalam setiap rumah tangga pasti ada konflik dan perselisihan. Itu bumbu-bumbu cinta. Dan, Iksan tidak pernah melibatkan emosi. Saat Nunuk emosi, Iksan yang pertama kali mengucapkan kata ‘maaf’, meski kesalahan itu tidak dilakukannya. Iksan selalu menjaga perasaan istrinya.
Tidak pernah terlontar kata-kata kasar dan menyakitkan dalam rumah tangga. Bahkan, Iksan biasa memijit hidung Nunuk jika dia marah, meniru apa yang dilakukan Rasulullah.
Ya, di tengah kesibukan mengurus umat, Iksan mampu menjaga keintiman bersama istri.
Sayangnya, fokus Iksan terbelah-belah, hingga dia tidak memperhatikan Gendro Swara Pati. Iksan lengah. Anaknya Fatimah, siang tadi, hampir menjadi korban Gendro Swara Pati. Beruntung Aisyah berhasil mengusirnya. Namun, hal itu tetap membuat Iksan terpukul.
“Mas Iksan benar-benar sayang pada anak. Jika dia diganggu tidak masalah. Bahkan dibunuh Gendro Swara Pati, dia rela. Tapi jika menyangkut anak-anak, dia tidak ikhlas. Saya juga tidak ikhlas....”.
Hingga, keputusan cerai itu diambilnya.
*
Pagi itu menjadi pagi yang panjang dan menyesakkan bagi Nunuk. Perempuan bahu laweyan itu sempat menanyakan alasan Iksan menceraikannya.
“Apakah cerai adalah solusinya, Mas?”, tanya Nunuk.
“Sepertinya begitu, Dik,” Iksan melepas kopyahnya, rokok dihisap dalam-dalam. Ada raut kekecewaan di sana, tapi dia tetap berusaha tegar.
“Jika aku tidak melepasmu, anak-anak kita yang akan menjadi korban Gendro Swara Pati”.
“Apakah tidak ada jalan lain untuk mengusir mereka?”, Nunuk bertanya lagi.
“Gendro Swara Pati sekarang berada di luar sana. Sulit mengusirnya. Tidak seperti waktu dia berada didalam tubuhmu. Dia sekarang bersama ribuan bangsa jin, dan mungkin di antara mereka sedang mengawasi kita saat ini”.
“Lalu, Mas!...”.
“Sebenarnya aku tidak khawatir jika Gendro mau mencelakakanku. Cuma yang aku takutkan dia balik menyerang anak-anak. Dan, seperti ceritamu siang kemarin, Aisyah berhasil mengusirnya. Itu belum apa-apa, dia pasti akan datang kembali.”
“Iya, Mas...”, airmata Nunuk mulai menetes di pipi.
Nunuk tidak bisa membayangkan anak-anaknya kini menjadi sasaran Gendro Swara Pati. Makhluk itu sepertinya sudah putus asa karena tidak bisa mengganggu Iksan maupun Nunuk. Akhirnya menimpakan kekesalannya pada anak-anak.
“Mas Iksan sebenarnya tidak khawatir dengan keselamatan dirinya. Saya yakin Gendro Swara Pati sudah kehabisan akal melawan Mas Iksan. Hanya saja Mas Iksan tetap khawatir makhluk itu bisa datang sewaktu-waktu untuk menganggu. Dan yang ditakutkan benar-benar jadi kenyataan. Anak-anak hendak diserang. Mas Iksan hanya ingin menyelamatkan anak-anak dari Gendro Swara Pati. Saya sebenarnya bingung. Disatu sisi, rumah tangga kami baik-baik saja. Disisi lain, kami khawatir dengan keselamatan anak-anak.”
Nunuk menyeka airmata hingga habis. Dia kembali bertanya: “Mengapa makhluk itu mau menyerang anak-anak, Mas?”.
“Dia tahu kelemahan kita, Dik. Kelemahan yang dimiliki semua manusia didunia!”, seru Iksan.
“Apa itu, Mas?”.
“Anak-anak. Itulah kelemahan manusia paling besar. Anak-anak adalah anugerah bagi para orangtua. Anak juga amanah dan perhiasan, sekaligus kebanggaan dan penyejuk hati di kemudian hari. Namun anak juga bisa menjadi fitnah atau ujian, bahkan menjadi musuh bagi orangtua. Semua itu sudah dijelaskan di Alquran,” kata Iksan.
“Tapi anak-anak tidak punya dosa dan salah!”, timpal Nunuk.
“Bukan dosa atau kesalahan anak-anak. Sikap orangtua yang terlalu sayang pada anak-anak melebihi apapun hingga membuat silau akan segalanya. Dunia direguk, akherat digulung. Manusia lupa pada Tuhannya. Manusia rela korupsi demi anaknya, manusia rela berbuat kejahatan demi anaknya. Dosa paling besar, manusia menyekutukan Tuhan karena anaknya. Ingat cerita Nabi Ibrahim yang begitu sayang pada Nabi Ismail. Bagaimana bila semua manusia di dunia ini diberi ujian seperti Nabi Ibrahim. Saya yakin tidak ada manusia yang mampu melakukan tugas Nabi Ibrahim.”
“Apa salah kita sayang pada anak, Mas?”.
“Tidak salah, Dik. Kelak, anak-anak bisa menjadi amalan kita yang kekal di akherat. Ini lebih baik pahalanya di sisi Tuhan serta lebih baik untuk menjadi harapan setiap orangtua. Karena itu aku akan bawa anak-anak kita ke pesantren, Dik.”
“Kalau memang itu keputusan Mas Iksan, kita tidak perlu bercerai”, iba Nunuk.
“Saat ini kita telah terlena pada anak-anak, Dik. Kita tidak tahu kapan makhluk itu akan kembali. Yang jelas dia akan kembali saat kita lengah. Aku juga tidak bisa menjagamu dan anak-anak. Sebab aku ada tugas mengurus umat. Karena itu keputusan ini terpaksa aku ambil dan aku perlu persetujuanmu...”.
Nunuk terdiam. Dia tidak mampu menjawab. Airmata kembali meleleh. Iksan melihat itu. Dan membiarkannya.
“Keputusan Mas Iksan bercerai sudah bulat. Menurutnya, Gendro Swara Pati tidak akan berhenti sebelum anak-anak celaka. Tapi Gendro Swara Pati akan berhenti, jika Mas Iksan menceraikan saya. Makhluk itu akan berpikiran Mas Iksan menyerah dan kalah.”
Iksan memang sengaja mengambil keputusan ini, setelah sebelumnya dia meminta saran pada romo kyai di pesantrennya. Keputusan berat. Sebab tidak ada alasan bagi Iksan menceraikan istrinya. Pilihannya antara istri atau anak.
Bercerai adalah satu-satunya cara untuk mengelabui Gendro Swara Pati agar tidak lagi menjadikan anak-anak sebagai sasaran. Dan yang paling dikhawatirkan Iksan, jika makhluk itu menjadikan anak-anaknya sebagai perempuan bahu laweyan seperti ibunya. Ya, mau tak mau Iksan harus mengorbankan cintanya.
“Apakah setelah bercerai, dia akan kembali merasukiku, Mas?”, tanya Nunuk terbata-bata sembari menyeka airmatanya yang mulai mengering.
“Insya Allah tidak, jika kamu selalu ingat pada Allah SWT. Tidak ada makhluk apapun di dunia ini yang mampu menandingi kuasaNya. Setidaknya makhluk itu tidak lagi menyerang anak-anak. Dia akan menganggap aku menyerah. Aku bukan lepas tangan dan membiarkanmu melawan sendirian makhluk itu, Dik. Tapi ijinkan aku fokus pada umat dan menjaga anak-anak kita. Biarkan anak-anak kudidik di pesantren, dan menjadikan mereka sebagai penyejuk hati bagi orangtua dan orang lain,” pinta Iksan.
Nunuk sebenarnya berat melepas suami dan anak-anaknya. Dia terlalu sayang pada mereka. Tapi mau bagaimana, semua ini harus dilakukan demi keselamatan keluarganya.
Jika dia melepas suami dan anak-anaknya, maka fokus Gendro Swara Pati akan kembali ke Nunuk. Mungkin Gendro Swara Pati akan merasuki tubuhnya untuk menyelesaikan tumbal terakhir.
Sebelum Nunuk menyiyakan keputusan bercerai, Iksan buru-buru mengatakan sesuatu yang sangat penting. Pesan itu dari romo kyai agar disampaikan pada Nunuk. Betapa pentingnya pesan itu sampai-sampai Iksan harus berbisik ke telinga Nunuk.
Iksan sengaja berbisik agar tak seorangpun mendengarnya, terutama jin-jin yang ditugaskan Gendro Swara Pati untuk menguping pembicaraan mereka.
“Dia…mati…!?#@&!”, bisik Iksan.
Nunuk mendengarkan dengan seksama.
“Dia…dia…!?#@&!”
Nunuk manggut-manggut.
“Romo…isyarah…!?#@&!”
“Kamu yakin, Mas!”.
“Dia…akan…!?#@&!”
“Kapan, Mas?”, Nunuk membalas dengan kencang. Tapi Iksan tetap berbisik.
“Jika…wali…!?#@&!” Bisik Iksan lagi.
“Jadi aku harus menunggu?”, Nunuk tersenyum mendengar bisikan suaminya.
“Tunggu…data…!?#@&!”
Nunuk terus manggut-manggut.
“Dia…tugas…bunuu…!?#@&!”
Bisikan itu diakhiri dengan pelukan.
“Aku sayang Mas Iksan", kata Nunuk.
“Aku juga sayang kamu, Dik!”, balas Iksan.
Tidak jelas apa yang dibisiki Iksan ke Nunuk. Namun bisikan itu telah membangkitkan semangatnya yang telah tercabik-cabik. Meski keputusan berpisah terasa berat, Nunuk akhirnya ikhlas dicerai. Setidaknya ada harapan baru yang menguatkannya untuk melepas suami dan anak-anaknya.
[bersambung]..
No comments:
Post a Comment