Cerbung hikmah disela Ramadha
_Suamiku Jadul_
_#Part 50_
Sepulang dari klinik bersalin, suami benar-benar mempersiapkan parsiduduan tersebut. Rempah-rempah khusus dibakar di atas baskom seng. Aromanya unik, yang paling terasa adalah bau sre dibakar. Entah apa saja ramuannya aku tak tahu.
Suami menuntunku turun dari ranjang. Lalu berdiri ngangkang di atas bara api, dengan hanya memakai sarung. Rasanya memang hangat.
"Awas sarungnya terbakar, Dek," kata suami.
"Iya, Bang, iya," kataku.
Aku masih berpegangan pada suami sambil ngangkang.
"Berapa lama ini, Bang?"
"Tiga jam, Dek,"
"Apaaaa, aku harus ngangkang gini tiga jam?"
"Hahaha, Abang bercanda, Dek, lima menit saja," kata suami.
Setelah selesai marsidudu rasanya badan lebih ringan. Benar juga pengobatan tradisional ini masih manjur, jaman boleh maju, akan tetapi pengobatan seperti ini tetap dipertahankan.
Biarpun kami sudah punya ART, akan tetapi suami tetap mengurus dengan telatan, dia tak memperbolehkan ART mencuci pakaianku. Katanya itu tanggung jawabnya.
"Bang, namanya ini ratus," kataku ketika suami mengangkat parsiduduan itu lagi.
"Gak, Dek, beda itu, ratus itu uap, ini asap,"
"Kok tau, Abang,"
"Taulah, Dek, Abang juga udah tanya gugel,"
"Oo, udah pande Abang ya,"
Iseng-iseng kufoto suami lagi mempersiapkan parsiduduan tersebut. Lalu kuposting di Facebook dengan caption.
(Kata suami namanya Parsiduduan, di tempat kalian apa namanya, Gaes?"
Ramai komentar orang, rata-rata bilang namanya ratus, akan tetapi adanya justru di salon atau spa, tak ada lagi di rumah. Ada juga yang bilang itu ritual orang mau nikah. Ternyata parsiduduan itu ada hampir di seluruh Indonesia. Hanya namanya yang berbeda-beda.
Dua hari kemudian, Rapi datang ke rumah, aku tentu saja heran, biarpun berteman dari dulu, dia ini tak pernah datang kalau gak ada keperluan penting.
"Ada apa, Rapi?" kudengar suami bertanya.
"Ini, Bang Parlin, sebenarnya aku malu bilangnya, itu parsiduduan itu boleh minjam," kata Rapi.
"Untuk apa?"
"Istriku, konon kata orang bisa juga obat untuk biar cepat hamil," kata Rapi.
Aku keluar dari kamar, ingin juga aku ikut pembicaraan mereka.
"Memang belum bisa juga, Rapet?"
"Belum, udah hampir tiga tahun, umur sudah tiga lima, kapan lagi punya anak ini," kata Rapi.
"Ini obat untuk orang baru lahiran, bukan untuk yang mau hamil," kata Bang Parlin.
"Tapi, ada yang komen di statusmu itu, dipakai juga untuk orang yang mau nikah, biar subur, gitu," kata Rapi.
"Udah, kalau gitu bawa saja," kataku akhirnya.
Rapi bawa baskom seng tersebut, sama arangnya juga dia bawa. Suami hanya senyum dan geleng-geleng Kepala melihat tingkah rapi itu..
"Bilang sama Rapi, kalau kita sakiti perempuan, PHP-in perempuan, ada karma untuk kita, salah satunya ya itu susah untuk dapat keturunan," kata suami.
"Maksudnya, Bang?"
"Bilang sama si Rapet itu, mintak maaf sama orang untuk dia sakiti sewaktu lajang," kata Bang Parlin.
"Ohh, gitu, mantannya banyak, termasuk si Rina," kataku kemudian.
"Haa, cobalah minta maaf sama Rina," kata suami lagi.
Iya juga ya, saran yang masuk akal, Rina dulu sangat sakit hati sewaktu Rapi akan menikah. Sebulan sebelum Rapi menikah, mereka masih pacaran. Segera kuhubungi si Rapi.
"Rapet, ini ada petuah dari ahlinya, dengar ini," kataku seraya menyerahkannya HP pada Bang Parlin.
"Lo, kenapa abang, Dek?"
"Abang yang ngomong, biar dia ngerti," kataku seraya menghidupkan speaker.
"Begini, Rapi, kalau kita menyakiti atau menyia-nyiakan perempuan akan ada balasan sama kita, perhatikan sekelilingmu, kalau gak cerai, gak punya anak, atau banyak masalah, cobalah minta maaf dulu sama para mantan, InsyaAllah kalian akan dikaruniai keturunan," kata Bang Parlin.
"Iya, Bang, akan kucoba, terima kasih, Bang," kata Rapi dari seberang sana.
Keesokan harinya, Rina menelepon, katanya Dame- suaminya marah-marah karena Rapi terus menelepon mereka. "Sudah gak mau aku angkat, dia telepon terus berulang-ulang, sampai Bang Dame marah, ada apa dengan si Rapi itu, Nia?" Begitu kata Rina.
"Bang Parlin itu," jawabku keceplosan.
"Kok, Bang Parlin?"
"Jadi, si Rapet udah jadi ngomong sama kau?" Tanyaku.
"Gak, udah diblokir Bang Dame nomornya,"
"Hahaha," aku justru tertawa, tak tahu lagi aku bagaimana menerangkannya. Akhirnya kuserahkan HP sama Bang Parlin, orang yang punya solusi di hampir setiap masalah.
"Gini, Rina, mana si Dame?"
"Ini, Bang, dia marah," kata Rina dari seberang.
Lalu Bang Parlin berbicara dalam bahasa Batak, aku tahu kira-kira maksudnya. Intinya menerangkan pada dame bahwa Rapi menelepon untuk meminta maaf, bukan untuk yang lain-lain. Beberapa saat kemudian Rina menelepon lagi. Dia bilang blokir sudah dibuka, dan Rapi sudah menelepon dan minta maaf. Rina bilang minta maafnya sampai nangis.
Hari berlalu, anakku sudah empat puluh hari. Namanya Naduma Sari Oloan Siregar, nama yang cukup panjang. Akan tetapi Bang Parlin justru memanggilnya Butet. Lengkap sudah anak kami sepasang, satu namanya Sutan Pinayungan Siregar, nama di akte Pahlevi Siregar. Dan yang nomor dua Naduma Sari Oloan.
Aku terkejut dengan kedatangan Rapi, kali ini dia datang bersama istrinya. Mereka bawa oleh-oleh Martabak Mesir dan peci. Aneh juga, ada apa ini.
"Tumben, Rapet?" tanyaku.
"Kami datang mau berterima kasih pada Bang Parlin, mana dia?"
"Berterima kasih untuk apa?"
"Aku hamil, Mbak Nia," istrinya yang menjawab.
"Alhamdulillah, tapi Bang Parlin lagi keluar, katanya tadi mau ke tempat abangku," kataku kemudian.
"Saran dari Bang Parlin itu manjur sekali, langsung setelah itu istriku tak datang bulan lagi, benar-benar manjur, padahal kami sudah habiskan uang banyak untuk berobat, tak ada hasil, ini hanya minta maaf." kata Rapi lagi.
Mereka ngotot menunggu Bang Parlin datang, hadiah untuk Bang Parlin harus diberikan sendiri, yaitu peci dan martabak manis. Lucu juga pilihan hadiah mereka. Bang Parlin akhirnya datang, begitu datang langsung menyalami para tamu.
"Terima kasih, Bang Parlin, istriku sudah hamil," kata Rapi.
"Oh, alhamdulillah,".
"Ini sekedar hadiah dari kami," kata Rapi seraya menyerahkan peci putih dan martabak manis dua piring.
"Kok pakai hadiah segala?"
"Tolong jangan hina kami dengan penolakan, Bang Parlin tolong," kata istri Rapi.
"Oh, saya Terima, terima kasih banyak," kata Bang Parlin seraya memakai peci putih itu.
Martabak itu dimakan Bang Parlin juga, dia habiskan satu piring. Aneh juga, jarang Bang Parlin makan serakus ini.
Setelah Rapi dan istrinya pergi, kuperhatikan Bang Parlin. "Bang?" sapaku.
"Dek, memakai dan memakan langsung pemberian orang, salah satu bentuk penghargaan pada yang memberi." kata suami seakan tahu apa yang kupikirkan.
Bang Parlin lalu berdiri, memakai peci putih tersebut dan berdiri di depan cermin.
"Dek, Abang jadi pengen,"
"Pengen apa, Bang, pengen naik haji?" tanyaku.
"Iya, Dek, tapi kan kita daftar sekarang belum tentu sepuluh tahun lagi berangkat, kita umroh saja, Dek,"
"Tapi ini?" kataku seraya menunjuk dua anak kami.
"Iya, ya, tapi lihat si Rapet bahagia, abang jadi pengen,"
"Pengen apa lagi, Bang,"
"Pengen punya anak lagi,"
"Ya, Allah, Bang, si Butet masih belum dua bulan,"
"Iya, juga, Ya," kata suami seraya menggaruk kepala.
"Dek, bagaimana hasil parsiduduan itu?" tanya suami.
"Bagus, Bang, badan jadi enteng,"
"Terus?"
"Iniku juga jadi wangi,"
"Terus?"
"Cepat rapet kembali,"
"Si Rapet gak kembali lagi malam ini, Dek, dia sudah pulang,"
"Hahaha," aku tahu suami mau bercanda.
"Memang wangi, Dek, memang rapet ya,"
"Iya, Bang,"
"Abang kok gak percaya ya,"
"Ihs, Abang gak percaya aja,"
"Iya, Dek, mana buktinya rapet, mana buktinya wangi?"
"Abang Parlin, Abang jadul, kalau mau minta bilang aja terus terang, Bang, gak usah pake modus segala, tapi tidurkan dulu itu si Ucok." kataku kemudian. Aku tahu kemana arah pembicaraan Bang Parlin.
"Sarapan pagi hanya bubur. Minumnya jus alpukat. Cepatlah Nak, cepat tidur. Tak taukah kau ini malam jum'at."
Begitu nyanyian Bang Parlin menidurkan si Ucok kami. Nyanyiannya itu justru membuat aku tertawa ngakak. Sehingga membangunkan si Ucok yang hampir tidur.
_*udah part 50.... kurang dari 10 part lagi parlin sang jadul akan menjadi tak jadul lagi.. selamat menikmati diakhir kejadulan...*_
No comments:
Post a Comment