*Cerbung hikmah disela ramadan*
*Suamiku Jadul*
_Part 51_
Makin bahagia rasanya setelah kelahiran anakku yang kedua. Pengobatan parsiduduan atau ratus itu juga sangat manjur. Badan jadi ringan.
"Bang, adek mau diet," kataku pada suami di suatu hari. Saat itu kami lagi makan bersama.
"Diet?"
"Iya, Bang, badan makin besar aja,"
"Gak kok, Dek, perasaan Abang tetap segitu kok,"
Memang benar, berat badanku tak pernah naik, naik hanya lima kilogram, itupun waktu hamil tua. Akan tetapi aku merasa badan sudah terlalu besar. Ingin juga langsing seperti orang-orang.
"Kok gak makan, Dek?"
"Kan sudah kubilang, Bang, adek mau diet,"
"Begini sudah bagus, Dek, ngapain diet,"
"Iyalah, Bang, biar makin cantik, biar Abang makin senang."
"Hahaha,"
"Ketawa, Bang?"
"Abang suka sapi gemuk, kalau gak gemuk, kasihan aja lihatnya,"
"Aku bukan sapi, Bang,"
"Yang bilang sapi siapa, Dek?"
"Ish, Abang,"
Akhirnya kuambil nasi satu piring dan makan dengan lahapnya. Sudah dari pagi aku belum makan nasi. Kupikir Bang Parlindungan akan senang kalau aku diet.
"Gak jadi dietnya, Dek,"
"Gak!"
"Udah, jadi niyet aja, gak usah diet, tetap cantik kok,"
"Iya, Bang, iya,"
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, anak keduaku yang dipanggil Bang Parlin si Butet kini sudah enam bulan. Dia montok seperti ibunya. Kesukaan Bang Parlin mengayun sambil menidurkan anak terus berlanjut. Karena seringnya dia menyanyi, aku jadi hapal lirik lagunya, biarpun aku tak mengerti sepenuhnya. Saat itu Bang Parlin lagi bawa si Ucok jalan-jalan. Si Butet rewel. Coba kuayun dan menyanyi.
"Bue ... Bue.. da inang bueee...
Campong ale campong camporong lampu dingding. Ondepe ami ro, mangalap koda bajing-bujing."
Begitu kunyanyikan sebait, akan tetapi si Butet tak tidur juga, dia justru ajak bermain. Kulanjutkan nyanyian.
"Bue, bue, da inang bueeee, taru lomlom peda borukkon tolu kabupaten manyapaion,"
Kulirik ke ayunan, si Butet belum tidur juga, sebel. Kucoba lagu lain, lagu dangdut Terlena, lanjut ke lagu pop, sampai akhirnya aku yang tertidur tepat di bawah ayunan.
Ketika terbangun aku sudah berada di atas tempat tidur. Kulihat si Ucok juga tidur di sampingku. Kulirik ke ayunan, si Butet juga sudah terlelap. Bagaimana cara Bang Parlin angkat aku kemari? Beratku sudah tujuh puluh kilo gram. Diangkat pula sampai aku tak terbangun.
"Banggg!" teriakku seraya turun dari tempat tidur dan berjalan ke ruang tamu.
"Eh, udah bangun, Dek," kata suami, ternyata dia lagi asyik dengan HP-nya.
"Bagaimana Abang angkat aku dari bawah ke tempat tidur?"
"Siapa yang angkat, Dek, orang adek pindah sendiri kok,"
"Ohh,"
Aku duduk dekat suami, waktu seperti ini sangat jarang dapat, dua anak sudah tidur, ART juga sudah pulang.
"Lihat apa, Bang, serius kali," kataku seraya menatap ke layar HP-nya.
"Ini, Dek, lihat ini, ada berita online katanya hujan sehari semalam di daerah kebun kita," kata suami seraya menunjukkan isi HP-nya.
"Udah hubungi mereka, Bang?" tanyaku. Mereka yang kumaksud adalah saudara yang dipercaya mengurus kebun.
"Udah, Dek, gak aktif, mungkin karena hujan, gak ada sinyal di sana?" kata suami.
"Mudah-mudahan gak apa-apa, Bang,"
"Abang takut seperti dulu, pernah dulu di sana banjir besar, waktu itu banyak ternak yang hanyut," kata suami, wajahnya tampak gelisah.
"Cari informasi lain, Bang," kataku seraya mengambil HP, coba cari informasi. Akan tetapi tak ada yang bisa dihubungi mereka semua.
Tiba-tiba HP jadul suami berbunyi, perasaanku jadi tak enak, HP itu bunyi bila ada masalah penting. Kuambil dan keterima.
"Halo, assalamu'alaikum," salam dan sapaku.
"Waalaikumsalam, ini aku Ria, kami sudah mengungsi, sungai meluap," kata Ria dari seberang.
"Ya, Allah, bagaimana keadaan kalian?"
"Kami selamat,"
Bang Parlin lalu meminta dia yang bicara. Wajahnya tampak gelisah sekali, kuberikan seraya menghidupkan speaker.
"Ria, mana suamimu?"
"Ini, Bang,"
"Bagaimana sapi," tanya Bang Parlin.
"Bagaimana lagi, Bang, mana bisa kami selamatkan, masih di kandangnya," jawabnya dari seberang.
"Gini, sekarang kalian sudah di mana?"
"Ini di tempat yang agak tinggi?"
"Banjirnya sudah sampai mana?"
"Kebun kita sudah selutut, Bang, hujan masih turun, akan naik lagi kata orang itu,".
"Mana si Lokot sama si Sangkut?"
"Ini, Bang,"
'Gini, sebelum banjirnya makin dalam, tolong lepaskan sapi semua, jangan ada yang diikat atau dikurung di kandang, tolong dulu kalian ke sana, biarkan sapi itu menyelamatkan hidupnya sendiri, tolong," kata Bang Parlin.
"Iya, Bang, kami ke sana sekarang," katanya lagi.
Bang Parlin mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu, dia tampak gelisah sekali, baru kali ini kulihat suami seperti ini.
"Sabar, Bang, itu harta hanya titipan Tuhan," kataku coba menenangkan.
"Bukan masalah hartanya, Dek, kasihan sapi itu jika masih diikat, masih dikurung, bisa mati tenggelam mereka semua, kalau dilepas mereka mungkin bisa bertahan, karena sapi bisa berenang, tapi akan hilang hanyut ke hilir,"
"Sama saja, Bang, hilang atau mati tenggelam,"
"Tidak sama! hilang gak apa-apa, tapi kalau mati karena diikat, aku tak bisa maafkan diriku. Biarkan sapi menyelamatkan hidupnya sendiri." kata Bang Parlin dengan suara keras.
Tiga jam kemudian, HP jadul itu bunyi lagi, Bang Parlin yang terima, dia berbicara menggunakan bahasa batak, aku yakin temannya bicara itu si Lokot, pemuda yang bekerja urus sapi. Deg-degan aku menunggu apa yang akan terjadi.
"Bagaimana, Bang?" tanyaku kemudian.
"Sapi sudah mereka lepas, pintu pagar juga dibuka, jika banjir makin besar, sapi bisa selamatkan dirinya, tapi akan hanyut, Dek, taulah adek jika hanyut, mungkin sapi akan kesasar, tak tau jalan pulang, bisa juga diambil orang, kita hanya berdoa, Dek, semoga banjirnya cepat surut," kata suami. Ada bulir bening di sudut matanya, yang sayang kalilah Bang Parlin sama sapinya.
Suami lalu ke kamar mandi, ambil wudhu lalu duduk bersimpuh di ruang salat, salat sunah dua raka'at, terus berdoa yang sangat panjang.
Sementara itu hari sudah malam, akupun salat Magrib, suami masih saja bersimpuh di ruang salat, entah apa saja doanya sampai sepanjang itu.
"Makan dulu, Bang," kataku seraya menyiapkan makan malam.
"Iya, Dek, makanlah duluan," kata suami.
"Kalau Abang gak makan, adek juga gak mau makan," kataku kemudian. Tentu saja aku khawatir dengan kesehatan suami.
Bang Parlin akhirnya makan juga, lalu kembali ke ruang salat, dia berzikir, aku hanya memperhatikan saja. Sampai akhirnya suami tertidur di ruang salat tersebut, aku juga tertidur.
Ketika aku terbangun, anakku masih tidur, kulihat popoknya sudah berganti. Kulirik jam, jam tiga dini hari, mana suamiku. Ya, Allah, dia lagi salat, mungkin salat tahajud. HP Nokia 1100 itu berbunyi lagi, cepat-cepat aku terima.
"Halo, bagaimana di sana?" tanyaku.
"Banjirnya sudah surut, Kak, alhamdulillah, sapinya gak ada yang hanyut, hanya terendam banjir," kata Ria dari seberang.
"Alhamdulillah," kataku seraya memberikan HP itu pada suami yang sudah selesai salat.
Lalu suami berbicara dalam bahasa batak, mungkin dengan si Lokot itu.
"Bagaimana, Bang?" tanyaku begitu dia selesai bertelepon.
"Suami Ria, dia betul-betul hebat, dia jaga sapi itu semalaman ini, tak tidur, dia manjat ke pokok sawit, memperhatikan sapi itu sambil bawa senter, kata mereka, jika banjirnya makin besar, dia akan turun dan buka pintu gerbang, biar sapi hanyut dan menyelamatkan dirinya, tapi alhamdulillah, tak sampai begitu, banjirnya hanya satu meter." kata Bang Parlin.
"Alhamdulillah,"
Pagi harinya, kakakku menelepon, dia menangis sapi mereka mati tenggelam, tempat mereka memang lebih rendah dari pada kebun Bang Parlin. Mungkin mereka masih ikat atau kurung di kandang ketika banjir datang.
*Lanjut part 52 besok ya....😁*
No comments:
Post a Comment