BAGAI REMBULAN 23
By: Tien Kumalasari
Teriakan Lusi membuat bingung suster perawat. Tak seorangpun tahu kapan Susan pergi. Dan tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi.
Satpam rumah sakit ditugaskan mencari. Tanpa hasil.
Lusi terduduk di sofa di ruangan itu. Badannya bagai tertindih selaksa beban. Sama sekali tak disangkanya Susan bisa kabur. Lalu Lusi bergegas keluar. Didalam mobil Anjas masih terkantuk-kantuk. Lusi membanting pintu mobil sekuat-kuatnya, membuat Anjas hampir terlempar dari jok belakang tempat dia terbaring dan pulas.
“Ada apa sih Ma?”
“Tidurlah terus sepanjang hidupmu,” hardik Lusi sambil memacu mobilnya, pulang.
“Kemana kita?”
“Pulang, bodoh!! Susan kabur dari rumah sakit,”
“Kabur? Apa msksudnya?”
“Kabur ya kabur, artinya dia minggat!!”
“Lhoh, kok bisa?”
Lusi tak menjawab, ia merasa bahwa anak laki-lakinya benar-benar tak berguna. Ia terus memacu mobilnya pulang. Pikirnya, Susan pasti pulang ke rumah.
Ia memasuki halaman rumah, tapi dilihatnya rumahnya masih terkunci.
Lusi turun, diikuti Anjas yang masih saja mengucek-ucek matanya. Ketika membuka pintu, dilihatnya kopor Susan sang semula teronggok di depan pintu sudah tak ada. Lusi memasuki kamar Susan, berharap anaknya sudah tidur di kamarnya, tapi tak ada. Lusi teringat ada tas Susan yang semula tertinggal ketika dia mengangkat tubuh Susan saat pingsan, dan tas itu juga tak ada. Lusi menyesal tidak menyimpan tas itu. Barangkali ada uang didalamnya, atau ATM... atau apa... yang membuat Susan berani minggat.
“Aneh.”
“Gimana Ma?”
“Susan sudah pulang, lalu kembali kabur setelah mengambil barang-barangnya. Benar-benar anak setan!” Lusi kembali mengumpat Susan. Rasa sayang ketika melihatnya pingsan lenyap diterjang air bah kemarahan yang memuncak.
“Kemana dia?”
“Mana Mama tahu, bodoh! Bukankah kamu juga tahu bahwa Mama sedang bingung?’
Ketika didengarnya suara mobil berhenti di depan rumah, Lusi setengah berlari keluar. Ia berharap Susan kembali, tapi yang muncul adalah Indra bersama Naya. Susan terkejut, rupanya anak muda yang bersama Susan di rumah makan itu adalah anaknya Indra.
“Lusi, aku mau bertemu Susan.”
“Siapa anak muda itu?”
“Anakku. Mana Susan?”
“Kamu tidak usah berpura-pura Indra, kamu maling berteriak maling bukan?”
“Apa maksudmu?”
“Bukankah kamu menyembunyikan Susan, lalu pura-pura datang kemari untuk mencari Susan? Kamu kira aku ini orang bodoh?”
“Kamu bukan bodoh, tapi kamu dungu, pengecut dan penjahat.”
“Apa?”
“Katakan dimana Susan!”
“Aku sedang mencari Susan!! Mana yang dungu diantara kita?”
“Tak mungkin kamu mencari Susan. Dia sakit berhari-hari di rumah sakit saja kamu tak perduli. Kalaupun kamu mencari kamu pasti hanya akan menyakiti dia.”
“Orang gila! Pergilah atau aku laporkan kamu ke polisi karena telah menculik anakku.”
Indra terdiam, melihat kemarahan Lusi, yang tampaknya memang kehilangan Susan. Mungkin Susan sudah kembali, lalu kabur, atau entahlah. Tapi kabur kemana? Indra menghela nafas.
“Aku bingung karena Susan tak masuk kerja, aku pikir dia masih sakit karena baru saja keluar dari rumah sakit.”
“Pergilah, kamu membuat kepalaku bertambah pusing.”
Indra menggamit tangan Naya, mengajaknya pergi dari sana.
***
“Kemana kita?” tukang taksi bertanya kepada Susan yang sejak tadi tak mengatakan akan pergi kemana.
“Bawa saja yang jauh dari sini. Jauh...”
“Jauh kemana Mbak,” tanya tukang taksi bingung.
“Jalan saja... dan jangan berhenti kalau aku tidak menyuruh kamu berhenti.”
“Baiklah, tapi nanti ongkosnya bisa berlipat.”
“Tak apa Pak, aku punya uang.”
Susan masih merasa lemas, kepalanya terasa berat dan pusing. Harus ada tempat untuk ia menumpang, dimana? Rumah Indra? Rumah Tikno, semuanya membuatnya sungkan. Lalu Susan minta berhenti disebuah hotel. Setelah membayarnya, ia meminta tolong agar sopir taksi menolong membawa kopernya kedalam.
Susan memesan sebuah kamar, tubuhnya mulai limbung, dan pasti akan terbanting keras apabila seseorang tidak menangkap tubuhnya.
“Susan?”
Susan membuka matanya yang terasa berat, tapi sempat menangkap wajah itu. Wajah sok ganteng yang pernah dibencinya. Bagaimana dia bisa berada disini? Ia tak sempat bertanya karena kemudian ia benar-benar pingsan. Petugas hotel mengantarkan Liando yang membopong Susan kedalam kamar yang dipesannya. Liando membaringkan tubuh Susan diranjang. Mata itu masih terpejam. Liando bingung akan melakukan apa.
“Susan.. Susan...”
Lalu Liando memanggil dokter keluarga langganannya agar pergi ke hotel itu.
“Susan..” sesekali dipanggilnya nama itu, tapi tubuh itu masih tetap diam tak bereaksi. Liando semakin bingung, lalu ditelponnya Dayu.
“Dayu, kamu dimana?”
“Dalam perjalanan pulang dari mengantarkan makanan Ibu. Katanya kamu ada meeting dihotel? Mau pulang?”
“Tidak, kamu datanglah ke hotel.”
“Apa? Mengapa aku harus ke hotel?”
“Aku sudah selesai meeting, cepatlah kemari, Susan pingsan.”
“Kamu bersama Susan?” suara Dayu meninggi.
“Dayu.. kamu belum-belum sudah ingin mencakar aku ya? Dengar, aku baru mau pulang ketika melihat Susan memasuki hotel lalu pingsan sebelum masuk ke kamarnya.”
“Bukankah dia sudah pulang ke rumahnya?”
“Ayolah Dayu, jangan banyak bertanya, segera kemari, aku bingung.”
“Mengapa tidak dibawa ke rumah sakit saja?”
“Aku sudah memanggil dokter, tapi aku butuh kamu Dayu.”
***
Dayu memasuki kamar hotel setelah Liando memberi petunjuk. Dilihatnya seorang dokter sedang memeriksa keadaan Susan. Liando menarik tangannya mengajaknya duduk di sofa.
“Aku sudah mau pulang, tiba-tiba melihat dia mau pingsan. Aku bawa dia ke kamarnya,” Liando mengulangi keterangannya, khawatir Dayu curiga.
“Mengapa dia memesan kamar hotel? Apa dia tidak pulang?”
“Entahlah, aku belum sempat bicara sama dia. Tampaknya dia lemah sekali.”
“Sudah mengabari Mas Naya?”
“Belum. Aku bingung .”
Ketika LIando mau mengambil ponselnya, dokter sudah selesai memeriksa Susan.
“Bagaimana dok?”
“Tekanan darahnya lemah sekali, saya sarankan Anda membawanya ke rumah sakit.”
“Oh, baiklah dokter, terimakasih.”
“Bagaimana keadaan Mama?”
“Sehat dok, kapan-kapan datanglah ke rumah.”
“Baik. Sekarang akan saya panggilkan ambulan agar membawa dia ke rumah sakit.”
“Terimakasih banyak dok.”
***
“Ini benar-benar aneh. Susan lenyap tak berbekas, tak bisa dihubungi, sementara Mama nya ketika aku datang malah menuduh aku menculiknya. Gila nggak sih.” Kata Indra kesal.
“Kalau begitu apa sebaiknya lapor polisi saja Mas,” kata Seruni.
“Gimana aku mau melapor, ada Mamanya yang juga kehilangan. Pastilah Mamanya juga sudah melapor.
“Berkali-kali Naya mncoba menelpon tidak bisa. Naya yakin pasti ponselnya tertinggal di rumahnya, Naya tahu biasanya Susan menyimpan di tas yang tertinggal itu.
Ya sudah Naya, kamu tenang dulu.. jangan panik.
Ketika ponsel berdering, Naya segera mengangkatnya.
'Hallo.. Liando?'
_'Naya, kamu dimana?'_
'Dirumah.. aku baru bingung mencari Susan..'
_'Susan bersamaku.'_
'Apa?'
_'Aku dan Dayu bersamanya, sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.'_
'Apa? Sakit apa lagi dia?'
_'Belum jelas, aku ketemu ketika dia masuk hotel dalam keadaan limbung dan kemudian pingsan. Cepat menyusul ke rumah sakit sekarang.'_
'Baiklah..segera.'
"Susan sakit?” tanya Indra...
“Iya bapak, tapi belum jelas bagaimana ceritanya. Naya kesana dulu.”
“Ya sudah, hati-hati, kabari Bapak kalau ada apa-apa.”
“Baik Bapak..” kata Naya sambil bergegas pergi setelah mencium tangan Bapak dan Ibunya.
“Apa yang terjadi pada anak itu?” tanya Seruni.
“Aku juga bingung. Tapi pasti terjadi sesuatu di rumah Susan. Kita tunggu saja sampai Susan bisa mengatakan semuanya.”
“Perlukah Mas mengabari Lusi?”
“Tidak, kita harus tahu dulu permasalahannya, jangan-jangan Susan justru kabur dari Ibunya.”
***
Dayu dan Aliando duduk di ruang tunggu. Susan sedang dirawat. Ini disebuah rumah sakit langganan keluarga Bu Diana, berbeda dengan rumah sakit dimana Lusi membawa Susan ketika pingsan.
Keduanya tak berbicara apapun, karena semua pertanyaan tak akan bisa terjawab sampai Susan bisa membuka mulutnya.
Ketika Naya datangpun, tak banyak yang bisa dikatakan Liando.
“Ada apa sebenarnya?”
“Kami juga belum tahu. Tadi aku meeting di hotel dari jam 9 sampai jam setengah duabelas, lalu ketika aku mau pulang, aku melihat Susan dengan diiringi sopir taksi yang membawakan kopornya. Aku heran melihat Susan memesan kamar, tapi sebelum melangkah ke kamar yang dipesan, dia terlihat limbung. Aku sempat menangkapnya sebelum tubuhnya terbanting ke lantai. Lalu aku membawanya ke kamar yang telah dipesannya. Aku memanggil dokter keluarga, dan juga memanggil Dayu untuk menemani aku.”
“Lalu..?”
“Dokter menyarankan agar Susan dibawa ke rumah sakit. Tapi aku belum mendapatkan keterangan apapun tentang kejadian yang sesungguhnya.”
“Mas Naya tenang saja, Mbak Susan sudah ditangani, dia akan baik-baik saja,” kata Dayu menenangkan Naya yang tampak kalut.
“Terimakasih Dayu.”
Beberapa saat lamanya merekapun terdiam, dan hanya bisa menunggu. Naya sesekali berdiri, dengan gelisah.
“Naya, duduklah, Susan tak apa-apa,” kata Liando.
Naya baru saja meletakkan kembali pantatnya di kursi tunggu, ketika suster yang keluar dari ruang ICU menyebut namanya.
“Adakah yang namanya Nayaka?”
Naya berdiri dan bergegas menghampiri.
“Saya Nayaka.”
“Pasien menyebut-nyebut nama Bapak.”
“Baiklah,” dan Nayapun menghambur masuk kedalam. Dilihatnya Susan memejamkan mata, wajahnya pucat.
“Susan..” bisik Naya lirih.
“Naya.. aku..”
“Bagaimana perasaan kamu?”
“Aku ingin melihat wajahmu...”
“Ini aku Susan...“
“Aku mohon, jangan sampai Mama tahu bahwa aku dirawat lagi.”
“Dirawat lagi? Setelah peristiwa di depan rumah makan itu?”
“Tidak... aku... dikeram didalam kamar selama dua hari, lemas tidak diberi makan... ”
“Ya Tuhan, Mama kamu melakukannya?”
“Aku pingsan lalu Mama membawaku ke rumah sakit. Tapi ketika Mama pulang dan aku sadar, aku melarikan diri. Aku bisa mengambil kopor dan tas yang tertinggal, lalu pergi tanpa tujuan,” kata Susan tersendat.
“Mengapa tidak ke rumahku? Bapak sama Ibu pasti akan menerima kamu.”
“Aku menuju ke sebuah hotel, pingsan disana, dan untungnya bertemu Liando.”
“Susan, alangkah sengsaranya hidup kamu.”
“Aku tak punya siapa-siapa, ketika Mama yang melahirkan aku begitu tega menyiksa aku.”
“Kamu punya aku Susan, aku cinta kamu,” bisik Naya ditelinga Susan.
Susan mengangkat tangannya, memegangi kepala Naya.
“Kamu istirahatlah dulu, dan harus segera sehat. “
“Terimakasih Naya. Tolong, ada uang di tas aku, ada ATM yang entah ada berapa isinya, tolong bayarkan ke hotel itu.”
“Sudah, itu nanti aku yang urus, sekarang kamu tidur. Perawat akan segera membawamu ke ruang inap.”
***
Indra dan Dayu heran mendengar penuturan Naya tentang Susan.
“Mengapa Susan dikeram oleh Ibunya?”
“Masa memperlakukan manusia seperti hewan peliharaan saja?”
“Apa lagi dia anak kandungnya. Kok tega-teganya.”
Liando dan Dayu mengomentari berganti-ganti.
“Tapi apa ya sebabnya Susan dikeram? Tidak boleh bekerja, apa begitu?” tanya Liando.
“Sepertinya Susan bermaksud pergi dari rumah, karena aku melihat kopor yang sudah disiapkan didepan pintu,” kata Naya yang sudah memasuki rumah itu sebelum dikunci.
“Ooh... ya, Susan ingin pergi dari rumah, tapi kemudian Mamanya menghalangi.”
“Untunglah Mas Naya sudah ke rumah itu sebelumnya, jadi bisa mengira-ira kejadiannya.”
“Aku kesana karena Susan tidak masuk kerja. Bapak mau menelpon, takut dikira minta segera masuk kerja. Jadi akulah yang menelpon berkali-kali tanpa hasil. Sampai dua hari aku masih mengira dia masih sakit dan belum siap bekerja. Tapi aku merasakan sesuatu yang tak enak., Entah mengapa sore setelah pulang membantu Bapak di kantor, aku nekat ke rumahnya. Aku melihat rumah itu kosong, lalu ada kopor tergeletak di depan pintu, dan sebuah kamar yang terbuka tapi kosong. Aku tak menemukan siapapun ketika itu. Oh ya, ada tas tangan Susan tergeletak di kamar itu. Saat itu aku mengira Susan diculik. Aku mengajak Bapak ke rumah itu lagi tapi rumahnya sudah terkunci. Entah apa yang terjadi.”
“Susan pasti tak akan mau pulang ke rumahnya.”
“Biar di rumah aku saja,” kata Dayu.
“Atau dirumah aku,” kata Naya.
“Bagus, banyak sahabat yang bersedia membantu, jadi kita tak perlu mengkhawatirkannya. Sekarang tinggal menunggu Susan sembuh, dan kita serahkan saja pada dia, dia mau tinggal dimana,” kata Liando.
***
“Seruni, aku berangkat ke kantor ya,” Indra berpamit kepada istrinya.
“Naya tidak perlu ikutkah?”
“Naya sedang sibuk mengurus Susan, biarkan saja.”
“Tapi keadaannya semakin membaik kan?”
“Katanya sudah lebih tenang, walau masih tampak lemas.”
“Kasihan anak itu, untunglah Dayu mau menemani. Katanya nanti malam Yayi juga mau ikut menemani di rumah sakit.”
“Ya sayang, biar dia merasa punya banyak orang yang mengasihinya. Semula kan dia merasa sendirian. Semoga dia sudah nyaman dan cepat pulih.”
“Aamiin, semoga hanya satu Lusi saja Ibu yang tega kepada anaknya, dan semoga dia segera sadar.”
“Ya sudah, aku berangkat dulu, kalau ada apa-apa Naya suruh mengabari Bapak ya.”
Tapi baru selangkah Indra turun dari teras, dilihatnya sebuah mobil polisi berhenti didepan pagar. Indra dan Seruni terkejut, polisi itu melangkah mendekati mereka.
“Selamat pagi,” sapa salah seorang polisi dari dua orang yang mendekat.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” kata Indra.
“Benarkah ini rumah Bapak Indra?”
“Sayalah Indra.”
“Maaf Pak, saya membawa surat penangkapan untuk Bapak.”
Indra dan Seruni terkejut.
Bersambung
No comments:
Post a Comment