SA'AT HATI BICARA 42
(Tien Kumalasari)
Maruti terpaku ditempat duduknya, bagaimana mungkin menjadikan Sasa sebagai umpan? Bagaimana kalau Sasa celaka?
"Jangan mas, itu berbahaya,"kata Maruti khawatir.
"Sa'at ini Santi sedang ingin mendekati Sasa. Kita bisa menjebaknya. Aku dan Agus sudah berbicara dengan orang2 yang ahli. Kamu jangan khawatir."
Tapi tetap saja Maruti khawatir. Bagaimana nanti cara menjebaknya? Entahlah..
"Kalau begitu aku akan menyusul Pras kerumah sakit. Mungkin lebih baik daripada hanya menelpone."
"Ya mas, silahkan saja, semoga berhasil ya mas, aku sangat menghawatirkan keselamatan Dita juga. Apalagi ibu menanyakannya terus menerus."
"Berdo'alah agar semuanya baik2 saja."
Panji menatap Maruti. Marutipun menatapnya. Ada kerinduan tersimpan pada tatapan itu. Ada harapan akan hidup bersama pada suati hari nanti. Bisakah?
***
"Mas, aku kan sudah besar, mengapa mas memberi aku hadiah boneka sebesar ini?" kata Laras dengan wajah berseri, sambil memeluk boneka Hello Kitty yang diserahkan Agus. Ada tulisan disana, SEMOGA LEKAS SEMBUH, KENANGLAH SELALU AKU.
Wouw... Laras memeluknya erat2, seakan bukan boneka itu yang dipeluknya tapi orang yang memberinya. Laras benar2 seperti orang yang sedang jatuh cinta.Atau memang kan dia sedang jatuh cinta?
"Boneka ini akan mewakili aku, jadi kamu bisa merasa seakan akulah yang menemani kamu disini," jawab Agus sambil tersenyum. Herannya Laras, mengapa senyum itu tampak selalu memikat, seperti menghipnotisnya menjadi seorang yang sangat pemalu. Laras mengalihkan pandangannya kearah lain. Ada debar yang seperti memukul mukul dadanya.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Senang, eh... baik.." jawab Laras gugup.
"Luka lecet itu masih kemerahan, belum pulih benar.." kata Agus sambil mengamati luka dilengan kanan Laras.
"Iya, kan belum lama, masih sedikit nyeri.."
Tiba2 terdengar seseorang mendehem, dan Panji tiba2 sudah ada didalam kamar itu.
"Panji..?"
"Aku mengganggu ya?" goda Panji.
"Iya mas, kamu mengganggu, soalnya datang tanpa bawa oleh2," sela Laras sambil cemberut.
"Lho, kalau aku bawa oleh2, nanti boneka mu itu ada saingannya. Pasti marah dia."
Panji dan Agus tertawa.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya kepada Laras.
"Baik mas..pusing dan mualnya sudah berkurang."
"Syukurlah.. Oh ya Pras, aku tadi kekantormu.. hanya ketemu Maruti."
"Kamu memang ingin menemui Maruti kan, bukan aku?"
"Kamu ini gimana, ayo keluar dan kita bicara so'al rencana itu."
"Rencana apa tuh?" tanya Laras.
"Kamu lagi sakit, nggak usah ikut2an. Sekarang tidur saja, aku akan membawa mas Agusmu pergi sebentar.
***
"Dokter, biarkan aku menelpon mas Panji.."
"Kamu itu tergila gila sama dia, maunya menelpone saja," hardik Santi.
"Bukan, saya nggak lagi punya perasaan apapun sama mas Panji, saya hanya ingin agar kita bisa pulang dokter, saya tak tahan lagi," isak Dita.
"Aku tidak percaya sama dia, bisa saja dia bilang iya..iya.. pada akhirnya nanti mencelakakan kita. Kita, aku sama kamu, bukan cuma aku, mengerti? Kamu juga berperan dalam hal ini, jangan dikira cuma aku yang bersalah.
"Nanti itu kita bicarakan dokter, yang penting kita pulang dulu."
"Nggak, aku sedang berfikir akan mengajak Sasa," kata Santi tandas.
"Anak dokter, yang masih kecil? Apa dokter tidak kasihan membawanya ditempat terasing seperti ini?"
"Bukan, bukan seperti ini, aku akan membawanya pergi jauh."
"Dokter," Dita masih ingin bicara, tapi kemudian Santi meninggalkannya. Santi kelua dari rumah itu, dan tak lupa mengunci pintunya.
Dita terduduk lemas. Sudah berhari hari dia mngikuti Santi tinggal ditempat itu. Tak bisa keluar, atau sekedar melihat hawa diluar rumahpun tidak. Kalau Dita pergi, tak pernah dibawanya mobilnya. Dia menaiki taksi atau kendaaan umum lainnya. Setiap kali kembali dan membawa makanan dan minuman, Dita hanya memakannya sedikit. Tak ada sesuappun nasi bisa tertelan sementara hatinya gelisah tak menentu.
Siang itu Santi pergi entah kemana. Kalau ia membuktikan ucapannya ingin mengambil Sasa, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Kalau dirinya dilepaskan dan Santi pergi jauh, itu melegakan, bagaimana kalau ia harus mengikutinya kemanapun Santi pergi? Santi benar2 seperti orang gila. Cara berfikirnya juga tidak wajar. Sekarang ini tiba2 ia ingin sekali membawa Sasa anaknya.
***
Siang itu Sasa sedang bermain disebuah arena bermain. Hanya bersama Endang, perawatnya. Agus dan Panji yang menyuruhnya. Ditempat agak jauh, ada beberapa orang mengawasi gerak gerik Sasa. Mata mereka nanar, apabila melihat seseorang mendekati Sasa. Tapi tak ada tanda2 Santi pergi kesana.
"mBak, aku mau pulang saja.." kata Sasa yang sudah kelelahan bermain.
"Sasa mau makan?"
Tapi Sasa menggeleng. Ia memeluk perawatnya, minta gendong. Endang membawanya kepinggir, tempat para orang tua sedang menunggui anaknya bermain.
"Sasa lapar?"
Sekali lagi Sasa menggeleng.
"Minum ya, ini mbak bawakan susunya."
Sasa menerima botol susu itu dan meminumnya. Tiba2 dilihatnya orang sedang menjajakan balon agak jauh didepannya. Balon yang berwarna warni, juga bentuk yang sangat menarik.
"Aku mau itu.." Sasa melepaskan botolnya dan menuding kearah penjual balon.
"Jangan, dirumah kan masih ada. Kemarin habis beli, ada tiga lho.. masa masih mau lagi." Endang memegangi tangan Sasa yang ingin berlari.
Tukang balon itu tak kalah pintar. Ia tau anak2 kecil tertarik pada dagangannya, tapi banyak diantara orang tua melarangnya. Tukang balon itu mengeluarkan sebuah balon yang lain, dan ketika dipencet mengeluarkan bunyi yang keras dan menarik. Teet..teet...teet..teeet...
"Mbaaaak... aku mau.. aku mauuu..." Sasa merengek sambil berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Endang.
"Baiklah, baiklah.. beli satu saja ya....
Endang mengambil tasnya, lalu membuka dompet yang ada didalamnya. Tapi lepas dari pegangan Endang, Sasapun melesat pergi.
"Sasaaaa.." teriak Endang.
Tapi mana penjual balon itu? Sasa mencari cari.. tapi tak ditemukannya. Ia seperti lenyap ditelan bumi.
"Mana dia?" Endangpun bingung mencarinya.
"Aku mau balon.. aku mau balooon..." Sasa menangis keras.
"Sasa, diamlah, penjual balon itu sudah nggak ada.. nanti kalau ada kita beli ya.."bujuk Endang.
"Aku mau baloon.. aku mau baloon..."
Endang menggendong Sasa. Sebelah tangannya merogoh sakunya, untuk mengambil ponselnya..
"Diam sayang, aku panggilkan papa ya.. biar papa yang beli balon itu..."
"Hallo mbak, ada apa?" suara Agus dari seberang.
"Sasa menangis minta balon pak, saya mau belikan tapi penjualnya sudah pergi."
"Ya sudah, kamu tunggu disitu, aku segera datang."
Tak lama setelahnya, Agus memang datang. Ia membujuk Sasa agar mau dibelikan disebuah toko mainan.
"Sudah jangan nangis, kita beli disana ya?"
Agus membawa Sasa kesebuah toko mainan.
"mBak, suruh Sasa memilih mana yang disukainya."
Agus menurunkan Sasa kemudian mengangkat ponselnya, karena ada dering telephone memanggilnya.
"Hallo, Panji? Iya, lagi mengajak Sasa beli mainan, nangis dia minta balon, sedangkan penjualnya sudah pergi. Apa? Telpon dari siapa? Oh, ya ampun.. aku nggak tau, bagaimana? Ada yang sudah menangkap Santi? Benar? Oke.. haaa? Penjual balon itu? Baiklah, ya.. ya.. aku akan segera kesana.
Agus menutup ponselnya. Dilihatnya Sasa sudah membeli sesuatu, tergesa Agus menggendong Sasa.
"mBak, kita kekantor. Nanti kamu menemui mbak Maruti, ajak Sasa bermain disana dan jangan pergi kemana mana ataupun pulang tanpa aku. Mengerti?"
"Ya pak."
***
Agus menuju kesebuah rumah yang ditunjukkan Panji. Ia melihat mobil Panji sudah lebih dulu diparkir disana. Beberapa laki2 berwajah garang sedang berbincang dengan Panji. Agus mendekati mereka.
"Bagaimana? Mana dia?" tanya Agus.
"Dia ada didalam, silahkan bapak melihatnya,." kata salah seorang diantaranya.
Panji dan Agus masuk kedalam rumah itu. Dilihatnya seorang perempuan duduk, membelakangi pintu. Perempuan itu memakai kerudung yang ditutupkannya pada mukanya. Ada beberapa balon yang teronggok disudut ruangan. Terdengar perempuan itu menangis pelan.
Agus tak sabar, membuka kerudung itu.
"Astaga, dia bukaaaan.." teriak Panji.
***
No comments:
Post a Comment