SA'AT HATI BICARA 35
Juni 28, 2019
SA'AT HATI BICARA 35
(Tien Kumalasari)
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Agus
"Sebentar Pras, baru aku pikirkan."
Keduanya kembali ketempat duduk. Ketika itu Maruti dan Dita sudah keluar dari ruang perawatan. Wajahnya kusut, bekas2 air mata masih tampak.
"Apa kata dokter?" Laras lah yang bertanya duluan.
"Parah Laras, ibu juga gegar otak karena waktu jatuh kepalanya menimpa lantai dengan keras."jawab Maruti pilu.
"Lalu bagaimana?"
"Ya tetap masih akan dirawat, hari ini juga masuk ICU."
"Ya Tuhanku..." keluh Laras trenyuh.
"Ibu juga belum sadar," lanjut Maruti. Dan Dita yang hanya diam kembali menangis sesenggukan.
"Dita, diamlah, jangan menangis lagi. Berdo'a saja untuk ibu,"
"Aku yang salah, aku yang salah."
"Bukan, ini sudah kehendak Tuhan, tak bisa kita mengingkarinya. Ayo berdo'a saja, ibu pasti akan baik2 saja," Laras terus menerus menghibur Dita.
"Tadi Dita bilang ada simbok, mana dia?"
"Mas Panji menyuruhnya pulang pakai taksi, kasihan simbok kalau kelamaan disini."jawab Laras.
"Laras, kayaknya aku harus pulang dulu, ada yang harus aku selesaikan. Kamu masih mau disini?" tiba2 Panji menyela pembicaraan mereka.
"Ya mas, aku disini menemani Maruti dan Dita."
"Maruti, aku juga mau kembali kekantor dulu. Berkas yang tadi kita bawa tertinggal dirumah makan," kata Agus ketika tiba2 diingatnya map yang tadi dibawanya.
"Oh, iya pak, saya mohon ma'af untuk tidak kembali ke kantor dulu." jawab Maruti.
"Nanti akan aku suruh orang mengantarkan ponselmu kemari,"
"Termakasih," jawab Maruti lalu kembali duduk disamping Dita.
Panji terlihat sedikit lega, melihat sikap Maruti yang tampak tak begitu perhatian sama perginya Agus. Apakah Agus yang mengejarnya? Kemudian terbayang lagi ayunan dengan bocah diatasnya, lalu Panji mengibaskannya, dan berlalu bersama Agus.
Maruti heran melihat sikap Panji,mengapa sedikitpun tak menoleh kearahnya ataupun Dita, dan langsung pergi, tapi mengingat keadaan ibunya dikibaskannya perasaan itu. Kini mereka sedang menunggu sa'at bu Tarjo dibawa ke ruang ICU.
***
"Jadi nggak ada ya onkolog bernama Baroto dan yang sedang pergi keluar negri?" tanya Panji hampir disetiap rumah sakit yang dikujungi.
Kemarahannya memuncak. Dia tidak tau mengapa Santi mengarang cerita yang menghancurkan hati banyak orang ini.
Mobil Panji melunjur kearah rumah sakit dimana Santi berpraktek. Masih ada dua orang pasien, kemarahan Panji sudah memuncak, tapi dia kasihan kepada pasien yang masih menungguinya, dan pasti sudah lama. Panji duduk dikursi sudut, menjunggu sampai dua pasien tersebut selesai diperiksa. Pikirannya melayang layang kemana mana. Dari apa maksudnya Santi mengarang ceritera, sampai dia hampir saja melamar Dita. Ini sebuah kebodohan, Santi yang membodohi semua orang. Gila benar, apa maksudnya? Panji kembali memijit kepalanya. Bu Tarjo terkena musibah, ini juga ada sambungannya dengan kebohongan Santi. Ini tak bisa didiamkan, dia harus diseret ke pengadilan, Ini kriminal.
Tiba2 ponselnya berdering. Dari Agus.
"Hallo Pras.." jawab Panji. Bagaimanapun Agus telah membantunya berfikir tentang dokter bernama Baroto. Ia harus mengubah sikapnya.
"Bagaimana? Sudah ketemu dengan onkolog itu?"
"Nggak ada, aku sudah memasuki beberapa rumah sakit, nggak ada onkolog itu."
"Lalu mengapa Santi mengarang semua itu?"
"Ini yang sedang aku urus. Aku lagi dirumah sakit tempat Santi berpaktek, masih menunggu satu pasien lagi nih."
"Sebenarnya bagaimana sih cerita selengkapnya, aku tuh tau hanya sepotong2."
Kemudian Panji bercerita tentang semuanya, ketika Dita katanya divonis umurnya paling lama hanya tinggal 6 bulan, sampai kemudian Dita ternyata mencintai Panji lalu Maruti menangis nangis agar Panji mau mencintai Dita, bahkan minta agar mau menikahinya untuk memberikan kebahagiaan di akhir hidupnya, sehingga dia menyanggupinya, tapi belum kesampaian terjadi musibah dirumah Maruti ketika Panji sedang berniyat melamarnya.
Agus termenung mendengarnya. Apakah Santi sejahat itu? Apa maksudnya?
"Mau aku temani?" akhirnya kata Agus.
"Nggak.. nggak usah, dan ma'af sebelumnya, kayaknya aku mau menyeret bekas isterimu ke pengadilan."
"Ya Tuhan.. sampai begitu?"
"Pras, ini tindakan kriminal. Karena tindakannya aku nyaris menikahi Dita karena tangis Maruti, dan bu Tarjo mengalami musibah yang tidak ringan. Ini karena perbuatannya Pras."
"Yah, mau bagaimana lagi. Dia memang keterlaluan. Aku akan mendukungmu Panji."
Panji menutup telephonnya karena pasien terakhir sudah keluar. Panji langsung memasuki ruangan Santi, tapi begitu membuka pintu, bukan Santi yang ada didalam. Panji tertegun.
"Mau periksa?" Tanya dokter itu.
"Oh, bukan, saya kita dokter Santi yang praktek." kata Panji
"Dokter Santi ijin buru2, katanya ada keperluan mendesak,saya dokter Nita, tapi kalau bapak mau periksa, barangkali saya bisa membantu."
"Tidak, bukan mau periksa, baiklah, ma'af."
Panji berlalu dengan perasaan tak menentu.
Dipacunya mobil kearah rumah Santi. Pasti dia sedang ada dirumah. Mengapa harus pamit buru2? Apakah dia bersembunyi karena merasa bahwa aku mencurigainya?
Mobil Panji berhenti didepan rumah mungil yang didiami Santi. Tapi pintu pagar tertutup dengan gembok. Tak ada mobil didalam pekarangan, dan kelihatannya memang rumah itu kosong. Panji masih duduk dibelakang kemudi, Dia ingin menelpon, tapi tadi dia meminjam ponsel Agus. Sehingga ia harus menanyakannya pada Agus.
"Hallo Pras," sapanya.
"Bagaimana? Jawab Agus dari seberang sana.
"Nggak ada dia, ini aku didepan rumahnya. tadi aku sudah ke rumah sakit, tapi setelah lama menunggu ternyata yang paktek bukan dia, katanya pamit buru2. Aku kira pulang kerumah, ternyata tidak.""
"Waduh, mungkinkah dia melarikan diri?"
"Pras, tolong aku minta nomer tilponnya Santi ya."
"Oke, tunggu aku SMS kan ya.."
Panji sudah menerima nomor Santi, dan segera ditelponnya, tapi telponnya mati. Tak ada suara Santi kecuali operator yang memberitahukan bahwa telpon yang dia panggil sedang tidak aktif.
Kecurigaan Panji memuncak. Dia sedang berfikir akan apa yang harus dilakukannya. Tadinya ia ingin berbicara dulu karena ingin tau apa maksudnya, tapi karena tampaknya dia menghindar, tak ada cara lain kecuali melaporkannya pada yang berwajib.
***
Sementara itu setelah mendapat keterangan dari Panji tentang kejahatan Santi, lalu Panji mengatakan bahwa ia ingin menikahi Santi karena penyakit Santi, tiba2 dia teringat kata2 Santi waktu tiba2 datang ke kantornya. Santi bilang, kalau memang tertarik pada Maruti, ada peluang kok, karena Panji justru suka pada adiknya. Mengapa Santi mengatakan itu? Pikir Agus. Tiba2 saja harapan untuk memiliki Maruti lepas dari angan2nya. Kalau semuanya terbongkar, tak mungkin Panji mau menikahi Dita, dan pasti balik pada Maruti.
"Papaaaaa..." teriakan melengking itu mengejutkannya, karena Sasa tiba2 sudah ada didepannya, ketika Endang si perawat membukakan pintu ruangannya.
"Sasa? Kok sudah sampai disini ?"
"Iya, kan mau ajak tante Maruti jalan2. Mana tante Maruti?" tanya Sasa sammbil memandang sekeliling. Karena diluar tidak ada, Sasa mengira Maruti ada diruangan papanya.
"Tante Maruti lagi nggak masuk Sasa," jawab Agus sambil menahan kekecewaan dihatinya.
"Tante Maruti sakit?"
"Ibunya yang sakit, jadi tante Maruti harus menungguinya dirumah sakit."
"Kalau begitu ayo kita kesana pa.."
"Kerumah sakit?" tanya Agus, dan Sasa mengangguk angguk.
"Tidak boleh anak kecil yang sehat masuk kerumah sakit."
"Kenapa papa?"
"Dirumah sakit itu kan banyak orang sakit, jadi banyak penyakit disana. Itu sebabnya anak kecil dilarang kesana, karena penyakit itu bisa menular."
"Kenapa tante Maruti juga kesana, bagaimana kalau tertular juga?"
"Kalau sudah besar itu, badannya sudah kuat, jadi tidak gampang tertular penyakit. Sekarang papa mau siap2 dulu dan kita jalan2 ya."
"Nggak mau, kita pulang aja, jalan2nya nunggu tante Maruti aja."
Waduh, Agus benar2 bingung, bagaimana kalau Sasa terlanjur suka sama Maruti dan selalu minta agar Maruti bersamanya?
***
Maruti dan Dita masih menunggui ibunya dirumah sakit. Sedih melihat ibunya belum juga sadarkan diri, sementara separo tubuhnya terbalut perban, dan selang2 infus bergelantungan disekitar tubuhnya.
"Ibu akan selamat kan mbak?" rengek Dita memelas.
"Tentu Dita, teruslah berdo'a untuk ibu." hibur Maruti sambil mengelus kepala adiknya.
"Dita sangat menyesal mbak, itu salah Dita.."
"Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri Dita, sudahlah, yang harus kita lakukan sekarang adalah berdo'a."
Tiba2 ponsel Dita berdering.
"Dari siapa nih mbak, nggak ada namanya," kata Dita yang merasa ragu2.
"Mungkin dari temanmu yang menanyakan keadaan ibu, angkat saja Dit."
"Tapi Dita nggak kenal nomornya."
"Barangkali ada yang perlu, kalau bukan siapa2 atau telepon itu mengganggumu, boleh langsung ditutup."
"Hallo.." kata Dita sambil mengangguk.
"Ini kamu Dita? Nggak kenal suaraku lagi?"
"Oh, dokter Santi. Nggak tau, soalnya nomernya ganti. Dokter, ini aku lagi dirumah sakit, ibu kena tumpahan sayur panas, dan itu parah."
"Oh, ya sudahlah, aku ikut prihatin, tapi dengar, ada yang ingin aku katakan dan itu penting."
***
besok lagi ya, Maruti ngantuk.
No comments:
Post a Comment