SA'AT HATI BICARA 07
(Tien Kumalasari)
Maruti merasa, ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Untuk sesa'at ia tak bisa mengucapkan apapun.
"Ruti, kamu masih disitu?" Laras dari seberang sana sedikit heran.
"Oh.. eh.. ya, tentu aku masih ada dan mendengarkan kamu," jawab Maruti gugup.
"Kok kamu kayak lagi bengong?"
"Bukaaan.. aku hanya terkejut.. tadi dia tidak mengatakan apapun."
"Ya,pastinya agak sungkan, tapi seharian ini dia seperti orang kebingungan, ibunya memaksa mas Panji menikah dengan gadis pilihannya. Seorang dokter."
"O.. Tapi kenapa bingung? Mas Panji nggak suka ?"
"Ya nggak suka lah, kalau suka pasti dia nggak kebingungan kayak tadi. Pergi kesana kemari nggak jelas jluntrungnya. Dan nggak kekantor juga. Padahal dia cantik lho."
"Nggak kekantor? Padahal tadi bilang dikantor banyak kerjaan.. dan belum sempat makan, lalu aku disuruhnya menemani makan."
"Ya itulah, namanya orang bingung. Seharian dia dirumah aku."
Maruti nggak tau lagi harus bicara apa, itu kan bukan urusannya, walau sedikit mengoyak hatinya. Cuma sedikit kok.. Tapi lewat tengah malam Maruti baru bisa memejamkan matanya.
***
"Panji, dari kemarin ibu bicara, tapi kamu belum juga menjawab pertanyaan ibu," kata bu Anjar yang menunggui Panji di teras pagi itu.
"Apa bu ?" Panji pura2 tidak mengerti.
"Itu, Santi kan sudah ibu anggap seperti anak sendiri. Bertahun tahun ibu menjadi pasiennya, dan ibu dirawatnya dengan baik. Ibu ingin menjadikannya menantu."
"Panji belum ingin memikirkan berumah tangga bu, masih ingin memajukan perusahaan peninggalan bapak."
"Itu saja jawabanmu, isteri kan tidak akan mengganggu usahamu le."
"Ya mengganggu lah.. ," jawab Panji sambil berlalu, menuju mobilnya yang sudah diparkir dihalaman.
"Panji, ibu belum selesai bicara."
"Panji harus kekantor bu. Itu dipikirkan kapan2 saja," jawab Panji dari kejauhan.
"Tapi ibu ingin ketegasanmu, kapan2 menjalaninya ya nggak apa2. Dia itu cantik, pintar.. kamu kan juga sudah mengenalnya? Kalau kamu mau, nanti ibu akan bicara sama dia."
"Nanti saja bu," jawab Panji sambil masuk kedalam mobilnya, dan menjalankannya pelan keluar dari halaman.
Bu Anjar masuk kedalam sambil bersungut sungut.
"Apa maunya anak itu, umur sudah lebih dari dewasa, disuruh menikah muter saja jawabannya. Apa dia sudah punya pacar?" gumam bu Anjar.
***
Pagi itu baru saja duduk, pak Agus sudah memanggilnya kedalam ruangannya. Maruti berdebar, apakah dia berbuat kesalahan?
"Duduk Maruti,"
Maruti duduk menunggu atasannya mengatakan sesuatu. Agus seperti sedang membuka buka file, tapi kemudian dihentikannya dan menghadapi Maruti sambil menatapnya tajam.
"Kamu sudah lama kenal Panji?"
Lhoh, kok tentang Panji? Tapi Maruti menjawabnya juga.
"Belum pak.."
"Oh, kayaknya sudah sangat akrab."
"Sepupunya mas Panji teman sekolah saya dulu. Kami baru beberapa hari kenal."
"Oh... kirain..." dan Agus pun tersenyum, entah apa yang dipikirkannya.
"Baiklah, kamu boleh kembali ketempatmu. Oh ya, nanti kalau ada telephone dari pak Komar, bilang barangnya sudah aku siapkan, disini. Kamu boleh memberikannya kalau dia datang," Agus meletakkan sebuah map dimejanya.
Maruti mengangguk dan berlalu.
***
Dirumah, Dita sedang melayani ibunya makan siang. Sepagi tadi mereka menyelesaikan pesanan yang harus selesai sebelum jam 12.00, dan Dita sudah mengirimnya. Itu pesanan terakhir dibulan ini, seperti anjuran Maruti sebelum mulai bekerja.
"Ini ayam goreng yang kemarin, masih enak ya," kata bu Tarjo.
"Kalau enak mengapa ibu makannya cuma sedikit ?"
"Sudah kenyang tuh. Akhir2 ini perut ibu sering mual, dan sedikit pusing." Bu Tarjo menyuapkan nasi terakhir kemulutnya.
"Ibu, kemarin mbak Ruti mengajak ibu ke dokter, tapi ibu tidak mau.Sebaiknya ke dokter saja, supaya jelas penyakitnya, dan jelas juga obatnya. Bukan seperti ibu yang selalu saja minum Parasetamol setiap kali pusing."
"Tapi setelah itu kan rasanya jadi lebih enak."
"Tapi itu hanya menghilangkan pusing atau demam, tidak menyembuhkan penyakitnya. Orang merasa panas atau pusing itu pasti disebabkan karena penyakit. Nah, penyakit itu yang harus dicari bu."
Bu Tarjo tersenyum, tak menyangka gadis kecilnya bisa bicara seperti itu.
"Pintar kamu.. Terus.. ibu merasa sifat kolokan kamu nggak kelihatan kalau sudah ngomong seperti itu."
"Dita hanya menirukan apa yang pernah dikatakan mbak Ruti sama ibu. Ya kan?"
***
Sorenya sambil menunggu Maruti pulang, bu Tarjo dan Dita duduk bersantai diteras rumah. Bu Tarjo merasa lebih sehat, setidaknya setelah minum obat andalannya. Parasetamol.
"Bu, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta?" tanya Dita tiba2, dan itu mengejutkan ibunya.
"Kamu?Jatuh cinta?"
"Nggak tau, kan aku nanya sama ibu, rasanya bagaimana.."
Bu Tarjo tentu saja bingung menjawabnya.
"Bagaimana ya, ibu sudah lupa tuh.."
"Ibu.. "
"Apa kamu sedang jatuh cinta?"
"Entahlah.."
"Kamu suka seseorang?"
"Sama kah suka sama cinta?"
"Ya beda dong. Suka itu ya suka, seperti kalau kamu suka makan roti kacang, atau mie rebus.. itu suka."
"Bukan makanan bu.. orang." Dita protes.
"Ya sama saja... misalnya kamu suka sama si A.. karena dia lucu.. suka sama si B karena dia baik hati.. suka sama C karena dia ramah.. gitu aja."
"Kalau cinta?"
"Cinta itu ya.. lebih luas.. suka.. masih ditambah... apa ya.. kadang rindu.. trus.. apa yang dia punya.. kamu suka.. apa yang dia mau.. kamu ingin menurutinya.. terus... apa ya.. kalau ketemu hati berdebar debar...terus ada lagi.. sering kali rasa cinta itu diiringi rasa ingin memiliki. Nah terkadang rasa ini juga bisa mengotori hati kita...teruuus...mbuh ah.. ibu sudah lupa.."
Dita terdiam, barangkali sedang mencerna apa yang dikatakan ibunya.
"Dita, tolong ambilin minyak gosok ibu dong," tiba2 kata bu Tarjo
"Ibu pusing?"
"Sedikit mual, ingin di bau2in saja minyak gosoknya."
Dita bergegas kebelakang. Sa'at itulah Maruti datang.
"Ibu.. lagi nungguin Ruti ya?" kata Maruti sampil mencium tangan ibunya.
"Iya, ada yang nganterin kamu?"
"Nggak lah bu, naik ojek.. Mana Dita?"
"Weee.. sudah datang.. bawa oleh2 apa lagi?" kata Dita yang tiba2 muncul lalu menyerahkan minyak gosok pada ibunya.
"Oleh2 saja yang kamu pikirin," kata bu Tarjo sambil menerima obat gosok yang dimintanya.
"Ibu kenapa?" tanya Maruti dengan khawatir.
"Cuma ingin bau2 minyak angin ini.."
"Ibu sering merasa mual mbak, makannya cuma sedikit, dan juga sering pusing."
"Tuh, ibu kalau diajak ke dokter susah sih. Dita, aku mandi sebentar, minta ibu ganti baju, dan kita ke klinik sekarang." kata Maruti sambil melangkah kebelakang.
"Ayo bu, jangan membantah lagi, ini kan demi kesehatan ibu," kata Dita sambil menarik tangan ibunya. Sepertinya kali ini bu Tarjo menurut.
***
Memang agak ramai di klinik itu. Maruti sudah mendaftar, dan minta dokter umum untuk memeriksa ibunya. Ia berharap penyakit ibunya biasa2 saja, jadi belum perlu ke dokter spesialis.
"Aku nggak mau lho kalau pakai disuntik segala."
"Nggak bu, nggak semua dokter suka menyuntik, jawab Maruti sambil tersenyum. Ia tau ibunya paling takut disuntik. Trauma ketika melahirkn harus sering disuntik.. kata ibunya pada suatu waktu.
Ketika nama bu Tarjo dipanggil, Maruti segera memapah ibunya kearah yang ditunjuk suster jaga. Ketika itu seorang wanita paruh baya baru keluar dari sana, dan seorang dokter cantik mengantarnya sambil memegangi lengannya. Mereka tampak sangat akrab.
"Bener lho nak, ibu pengin sekali punya menantu seperti nak Santi, nak Santi nggak keberatan kan jadi suami Panji," kata wanita paruh baya itu sambil memandangi dokternya.
Tapi dokter itu hanya tertawa.:"Ibu ada2 saja, hati2 ya bu.. jangan lupa obatnya diminum. Lho. ibu sendirian?"
"Sama sopir, tuh nungguin disana. Habisnya Panji itu kalau pulang sore, kadang menjelang maghrib baru sampai rumah.
Wanita itu berlalu, dan Maruti yang mendengar percakapan itu mulai menduga duga. Ia sempat membaca tulisan di pintu ruangan.. dr. Susanti.
***
No comments:
Post a Comment