Tada Aishiteru (7)
---------
Setelah dari Rumah Sakit, Renata memutuskan untuk kembali ke apartemen Shinji. Hampir pukul 11 malam ketika ia sampai di sana. Dan lelaki itu masih terlelap di tempat tidur.
Dengan sangat hati-hati, Ia melangkah mendekati ranjang, menatap sekilas, lalu meletakkan tas-nya di atas meja. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kening lelaki tersebut dengan perlahan.
Meskipun ia sudah mencoba hati-hati, tetap saja gerakan itu membuat Shinji terjaga.
Lelaki itu membuka mata dan secara reflek ia menarik tangan Renata dari atas keningnya. Temaram lampu kamar membuat ia menatap Renata lebih lama. Dan sekian detik kemudian ia terkesiap.
“Rena?” Ia mendesis tak percaya.
“Maaf, aku tak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya ingin tahu apa suhu badanmu sudah turun atau belum,” jawab Renata, sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Shinji. Namun rupanya lelaki itu seakan tak berniat melepaskannya. Ia menatap perempuan tersebut dengan lembut.
“Kau kembali lagi ke sini?” tanyanya.
Renata hanya tersenyum samar.
“Untukku?” Kali ini pria itu kembali memastikan.
Renata kembali tersenyum, sebelum menjawab, “Dia tak apa-apa. Kepalanya menerima beberapa jahitan. Tapi dokter bilang, itu tak bahaya. Ia akan sembuh dalam beberapa hari,” jawabnya kemudian. Ia melepaskan pegangan tangan Shinji dengan perlahan.
“Dan?” Shinji meminta penegasan pada perempuan itu dengan tak sabar.
“Dan kenapa kau kembali lagi ke sini?” Ia kembali bertanya.
Keduanya berpandangan.
“Aku__mengkhawatirkanmu,” perempuan cantik itu menjawab dengan ragu.
Shinji mengulum senyum. “Mengkhawatirkanku? Melebihi rasa khawatirmu padanya? Pada suamimu?” Ia bertanya dengan antusias.
Dan, perlahanpun Renata mengangguk. Dan itu lebih dari cukup untuk menyiratkan kebahagiaan pada kedua mata Shinji. Lelaki tampan itu tersenyum, Renata juga.
***
Shinji bangun pada keesokan paginya dengan kondisi tubuh yang mulai membaik. Sangat baik malah. Ia bahkan tak pernah merasakan sebaik ini sebelumnya. Terlebih ketika ia membuka mata, ia menemukan Renata di sana, terbaring dengan pulas di sofa yang berada di sisi tempat tidurnya.
Ternyata perempuan itu tak bohong. Semalam ia berjanji bahwa ia akan menemaninya, merawatnya. Dan ia benar-benar melakukannya.
Shinji tak berniat membangunkannya. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah menatapnya, dengan mata nyaris tak berkedip, takjub dengan keberadaan perempuan itu di kamarnya.
Sampai akhirnya Renata menggeliat dan terbangun dengan sendirinya karena alarm yang berbunyi tepat pukul 06.00 pagi.
“Ohayou (selamat pagi).” Shinji tersenyum dan menyapa terlebih dulu. Dengan sedikit kaget, Renata bangkit, merapikan rambutnya dan balas tersenyum ke arah Shinji. Ia sempat menoleh sekilas ke arah jam di dinding.
“Selamat pagi. Oh, maaf, aku kesiangan.” Ia bangkit lalu beranjak mendekati Shinji yang masih terbaring. Perlahan ia meletakkan telapak tangan ke keningnya.
“Syukurlah, panasmu sudah turun,” ucapnya lega. Shinji tersenyum.
“Berkat kau. Terima kasih karena kau mau merawatku,” ucapnya tulus.
“Well, that’s my job,” jawab Renata.
“Aku akan membuatkanmu sarapan agar kau bisa segera minum obat.”
Renata beranjak ke kamar mandi. Setelah mencuci muka dengan gaya kilat, perempuan itu beranjak ke dapur dan segera membuatkan sarapan.
“Apa kau akan menyuapiku lagi?” Lelaki itu bertanya dengan sedikit menggoda ketika Renata masuk ke dalam kamar dengan nampan berisi bubur ayam dan segelas susu hangat. Ia bangkit lalu duduk tanpa menunggu diperintah olehnya.
“Tentu saja jika kau berjanji akan memberikan bonus ganda di akhir bulan,” jawab Renata sekenanya.
Shinji terkekeh, ia tahu bahwa perempuan itu sedang bercanda.
“Tak masalah, asal kau merawatku dengan baik sampai aku sembuh benar,” jawabnya.
Renata terkikik. “Siap, Bos,” ucapnya seraya menyuapi Shinji dengan penuh perhatian.
Setelah lelaki itu selesai sarapan, Ia berniat mengambilkannya obat, namun langkahnya urung ketika Shinji keburu menarik tangannya.
“Ren,” panggilnya lembut. Ia membelai tangannya dengan lembut pula.
“Apakah ini akan menjawab pertanyaanku?” tanyanya dengan lirih.
“Pertanyaan yang mana?”
“Aku serius dengan perasaanku, Ren. Tolong beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu mencintaiku. Beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia bersamaku,” ucapnya lembut.
Renata terdiam. Ia hanya mampu menatap lelaki tampan di hadapannya dengan mata nyaris tak berkedip.
“Maukah kau memberikan kesempatan itu padaku?” Shinji mengulangi pertanyaannya.
Renata menghela napas, sesaat.
“Shinji, apakah kedatanganku semalam tidak cukup untuk menjawab semuanya?” ucapnya.
Kedua mata Shinji melebar. “Maksudmu, kau akan memberi kesempatan itu padaku?” Ia memastikan.
“Aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk bahagia,” jawab Renata.
“Kau bahagia bersamaku?”
“Haruskah aku menjawabnya?”
“Ya,” tukas Shinji.
Keduanya berpandangan. Perlahan Renata mengangguk yang tak ayal menciptakan binar terang di kedua mata Shinji.
Kesempatan itu masih ada.
***
Hasan makin membaik. Setiap hari, Renata selalu menyempatkan diri untuk menjenguknya di Rumah Sakit meski hanya sebentar. Biasanya pagi hari sebelum ia berangkat ke apartemen Shinji, atau terkadang setelah ia pulang dari bekerja. Tentu ia enggan berlama-lama di sana karena terkadang ada Anggi.
Pagi itu, Dokter sudah memperbolehkannya pulang.
“Aku sudah diperbolehkan pulang hari ini. Bisa kau bantu berkemas-kemas dan mengantar pulang?” ucap Hasan ketika Renata sudah berada di ruangannya.
“Oh, aku lupa, harusnya aku mengatakan ‘ayo, kita pulang sama-sama’. Toh, rumah itu juga rumahmu, kan?” Pria itu seakan meralat kalimatnya sendiri.
“Dia ke mana?” tanya Renata ketika tak dilihatnya Anggi di tempat tersebut.
“Anggi maksudmu?”
“Siapa lagi,” jawab Renata malas-malasan.
“Aku sengaja melarangnya untuk datang.”
“Kenapa?” Renata menatap suaminya sekilas.
“Karena dia bukan istriku. Dan aku ingin pulang dari Rumah Sakit dengan ditemani istriku.”
“Kenapa harus aku yang mengantarkanmu pulang? Toh selama ini ia yang merawatmu.” Renata kembali membantah.
“Kau masih sah sebagai istriku dan kau wajib melayaniku sebagi suamimu.” Kalimat Hasan terdengar ketus. Renata terkekeh, sinis.
“Sebentar lagi dia yang akan menjadi istrimu, kan?” jawabnya tanpa melihat ke arah Hasan.
Lelaki itu menatapnya dengan tajam.
“Aku tidak akan menikahinya dan aku tidak akan pernah menceraikanmu,” desisnya dengan gigi terkatub.
“Menikahinya atau tidak, itu terserah padamu. Yang jelas, kita akan bercerai. Titik.” Akhirnya Renata membalas tatapan Hasan.
“Kenapa? Apakah karena kau telah menemukan penggantiku sehingga kau ingin cepat-cepat bercerai denganku? Siapa? Pria keturunan Jepang yang kini menjadi atasanmu itu? Shinji?”
Renata mendesah kesal.
“Sudahlah, Mas. Jangan berdebat lagi denganku. Aku malas. Oke, aku akan mengantarkanmu pulang. Puas?” Perempuan itu beranjak, membantu Hasan merapikan baju-bajunya lalu memasukkannya ke koper. Ia masih sempat mendengar Hasan mengomel tentang sesuatu, tapi ia tak menggubris.
“Kau sudah mengurusi biaya rumah sakit?” Renata melipat sebuah kaos longgar lalu menjejalkannya ke koper.
“Karyawanku sudah melakukannya,” jawab Hasan enteng.
“Kita akan pulang naik apa? Taksi?”
“Tidak, aku juga sudah menyuruh karyawanku untuk menyiapkan mobil di luar sana,” jawab Hasan lagi. Renata mendesah kesal.
“Kalau semuanya sudah kau atur seperti itu, untuk apa aku harus mengantarkanmu pulang?” desisnya jengkel.
“Kau tak dengar kalimatku tadi? Aku ingin pulang dengan ditemani istriku, jelas, kan?” Hasan juga mulai terdengar emosi.
Renata kembali menarik napas kesal mendengar ocehan suaminya.
“Kecuali jika kau ada rencana kencan dengan lelaki itu,” lanjut Hasan.
“Oke, jangan pernah melibatkan dia lagi. Aku akan mengantarkanmu pulang.” Renata menyerah. Ia tutup koper dengan gemas lalu membawanya ke mobil, tentunya dengan dibantu beberapa orang karyawan Hasan.
Sebelum mobil meluncur, Renata masih sempat mengirimkan pesan singkat kepada Shinji.
:: Maaf. Aku akan terlambat bekerja hari ini.:: Tulisnya.
Dan tak lama kemudian, Shinji membalas pesan tersebut dengan kesan khawatir.
:: Ada apa? Apa terjadi sesuatu padamu? Kau baik-baik saja, kan?::
:: Suamiku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan aku mengantarkannya ke rumah.:: Renata membalas.
“Apa kau memberitahu lelaki Jepang itu bahwa kau membatalkan kencan kalian karena harus mengantarkanku pulang?” sindir Hasan ketika lelaki itu menyadari bahwa Renata asyik dengan ponsel di tangannya.
Renata menatap Hasan sekilas dengan sorot berkilat tanpa menjawab apapun. Ia tak membuka suara, bahkan ketika mereka telah sampai di rumah.
Perempuan itu sempat enggan memasuki rumah yang dulu juga pernah ia tinggali. Terlalu banyak kenangan di sana dan ia seakan tak sanggup untuk mengingatnya lagi.
“Tak ada yang kurubah sedikitpun tentang rumah ini. Semua masih sama seperti terakhir kali kau pergi. Semua barang-barangmu bahkan masih berada di tempatnya semula, tak berubah sedikitpun,” ucap Hasan seolah tahu kegundahan Renata.
Perempuan itu tak bersuara. Ia melangkahkan kakinya menyusuri ruang tamu, menuju ruang tengah, ruang baca, hingga berakhir pada kamar tidurnya. Dan kembali ia rasakan hatinya berderak. Sakit.
“Kau tak pernah mengajaknya ke sini?” ia bertanya tanpa melihat ke arah Hasan.
“Anggi?”
“Ya.”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Aku sudah mengatakan padamu alasannya, berulang-ulang. Rumah ini hanya untuk wanita yang kucintai, dan dia bukan,” jawab Hasan ketus.
Renata mendesah pelan. Sesaat kemudian ia dibuat kaget manakala ia memutar tubuh, ia menemukan sosok itu sudah berada tepat di hadapannya.
Lelaki itu memeluk pinggangnya erat lalu mendaratkan sebuah ciuman hangat di bibirnya.
“You’re the only one for me,” ucapnya dengan suara parau. Ia memeluk tubuh Renata dengan erat lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Untuk selanjutnya ia menindih tubuh perempuan mungil itu dengan badannya.
“Mas, apa yang kau lakukan?” jerit Renata.
“Menuntut hak-ku. Kau masih sah sebagai istriku. Dan aku menuntut hak-ku sebagai suamimu.” Ia menarik kedua tangan perempuan itu ke atas kepala lalu mencengkeramnya erat hingga ia tak berkutik. Dan ia mencium bibirnya kasar.
Renata menggeliat, mencoba meloloskan diri.
“Mas, hentikan!” Ia menjerit.
Hasan menatapnya tajam. Bukannya berhenti, ia malah kembali menyambar bibir Renata, melumatnya kasar.
Perempuan itu mengerang putus asa. Kedua matanya berkaca-kaca. Mencoba memalingkan muka menghindari ciuman Hasan walau tak berhasil.
Ia terus meronta.
Betapa dulu ia begitu mencintai Hasan. Memberikan segala yang ia punya, jiwa dan raga.
Tapi sekarang, hanya dengan memikirkan bahwa lelaki ini telah membagi cintanya, menyentuh dan mencumbu wanita lain, ia didera rasa jijik.
Membayangkan tangan itu juga menyentuh Anggi, bibir itu juga menciumnya, tubuh mereka bersatu, betapa ia muak luar biasa.
Air mata Renata menitik.
Hasan menatapnya, iba. Dan entah mengapa perlahan ia menyudahi ciumannya. Napasnya tersengal.
Keduanya berpandangan sesaat, hening.
Pria itu menyurukkan wajahnya di leher Renata dengan putus asa. “Tidak bisakah kau memaafkanku dan kembali padaku?” bisiknya.
“Aku sudah memaafkanmu, Mas. Tapi aku takkan bisa kembali padamu,” jawab Renata lirih.
“Karena lelaki Jepang itu telah merebut perhatianmu ketika kau jauh dariku?”
Kalimat Hasan membuat Renata meronta, sekali, lalu meloloskan diri dari rengkuhan Hasan. Ia mendorong tubuh lelaki itu agar menyingkir dari atas tubuhnya.
Perempuan itu segera bangkit. Setengah terhuyung, namun ia dapat menguasai diri.
“Aku sudah berkali-kali bilang padamu, Mas. Dia tak ada hubungan sama sekali dengan masalah kita. Jadi, jangan pernah melibatkannya lagi. Jika urusanmu denganku sudah selesai, aku akan segera pergi.” Ia beranjak.
Hasan menarik tangannya dengan perlahan.
“Haruskah aku berlutut padamu agar kau mau kembali padaku? Katakan padaku apa yang harus kulakukan agar kau mau kembali bersamaku, Ren!” Kedua mata itu berkaca-kaca.
Renata menggeleng pelan.
“Tak ada, Mas. Kau tak perlu melakukan apa-apa lagi untukku. Aku hanya berharap agar kau hidup bahagia setelah berpisah denganku. Anggi perempuan yang baik dan sempurna. Dan aku yakin bahwa kau akan bahagia bersamanya.” Ia berucap lirih seraya melepaskan pegangan tangan Hasan.
Perempuan itu meraih tasnya di kursi, lalu melangkah keluar dari rumah mewah tersebut. Dan Hasan hanya mampu menatapnya dengan putus asa.
°°°
Renata berdiri tercenung di pinggir jalan selama beberapa menit.
Sempat menatap kembali ke arah rumah mewah yang berada di belakangnya, hatinya kembali berserakan. Ah, terlalu banyak kenangan di rumah itu.
Larut dalam kesedihan, Ia sampai tak menyadari ketika sebuah mobil mewah berhenti mendadak di hadapannya dan Shinji keluar dari mobil tersebut.
Renata mengernyitkan dahi.
“Shinji? Bagaimana kau____?”
Sosok jangkung itu tak bersuara. Ia melangkah mendekati Renata, menggamit lengannya dan segera membawanya masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintu dengan kasar, ia segera menjalankan kendaraan itu menyusuri jalan raya tanpa berkata-kata.
“Bagaimana kau tahu tempat itu?” tanya Renata. Shinji tak menjawab. Tatapannya lurus tanpa ekspresi.
“Shinji?” panggil Renata lagi. Dan lelaki itu tetap tak bersuara. Sampai akhirnya ia membelokkan mobilnya ke sebuah jalan sepi dan berhenti di sisi jalan tersebut.
Segera lelaki itu menatap Renata dengan dalam.
“Aku mengkhawatirkanmu. Aku ke Rumah Sakit tempat suamimu dirawat. Tapi mereka bilang kalian sudah pulang. Jadi aku mencari tahu rumah suamimu dan akhirnya aku sampai di sana,” jawabnya lirih. “Kenapa kau harus menemuinya lagi, Ren? Sampai kapan kau akan menangis untuknya?” Kalimat Shinji terdengar kesal.
Renata membuang muka ke tempat lain dan menghapus sisa-sisa air matanya. Namun percuma, ia takkan bisa menyembunyikan lagi air mata itu dari Shinji.
“Aku hanya membantunya berkemas dan mengantarkannya pulang,” jawabnya pelan tanpa melihat ke arah lelaki di sisinya.
“Aku tak suka kau menemuinya,” ucapan Shinji terdengar kaku.
“Itu hanya pertemuan biasa.”
“Jika itu hanya pertemuan biasa, kenapa kau harus menangis lagi untuknya?”
“Aku tak menangis untuknya,” Renata mulai terlihat kesal. Ia menoleh dan menatap Shinji sekilas lalu kembali membuang pandangannya ke tempat lain.
“Jangan bertemu dengannya lagi.” Kali ini kalimat Shinji menyiratkan perintah dan amarah.
“Dan apa urusanmu? Kenapa kau harus marah?” tanya Renata jengkel. Perasaannya sudah tak enak sejak bertemu Hasan tadi dan ia tak siap memulai pertengkaran dengan Shinji ataupun orang lain.
“Aku takut, Ren!”
“Apa yang kau takutkan?!” Renata ikut berteriak seraya menatap kembali ke arah Shinji.
“Aku takut aku akan kehilanganmu lagi! Aku takut kau akan kembali padanya! Bukankah kau sepakat untuk memberikan kesempatan padaku? Bukankah kau sepakat untuk bersamaku lagi?!” Shinji kembali berteriak.
Keduanya berpandangan. Renata mendesah lalu kembali membuang pandangannya keluar jendela mobil.
“Sekali lagi, itu hanya pertemuan biasa. Aku hanya membantunya berkemas dan mengantarkannya pulang,” jawabnya, ia masih berusaha menjelaskan dan kembali tanpa melihat ke arah lelaki di sampingnya.
Tapi, sesaat kemudian ia tersentak ketika Shinji menyentuh dagunya hingga membuat ia memalingkan muka ke arah lelaki itu dan dalam hitungan detik, sebuah ciuman lembut mendarat di bibirnya.
Mendorong tubuh Shinji menjauh adalah hal pertama yang ia lakukan karena merasa kaget dengan ciuman yang tak terduga tersebut.
“Shinji___?”
“Aku berbeda dengan Shinji yang dulu, Ren. Sekarang aku adalah lelaki dewasa yang selalu yakin dengan apa yang kuperbuat. Aku konsisten dengan perkataanku. Jika aku ingin membuatmu bahagia, aku pasti akan melakukannya,” ucapnya lirih.
Lelaki itu menatap Renata dengan tatapan teduh, tak ada penyesalan dalam raut wajahnya.
Dan selanjutnya, ia kembali menangkup wajah Renata dengan tangannya lalu mendaratkan sebuah ciuman di bibir. Kali ini sebuah ciuman yang lebih pelan dan lebih lembut. Ciuman sarat dahaga yang menghendaki lebih.
Dan... bibir Renata yang responsif membalasnya.
***
To be continued.
No comments:
Post a Comment