“Sampaikanlah
olehmu apa yang datang dariku, walau hanya satu ayat”
Memahami
Makna Tabligh
Dalam kegiatan
rutin keagamaan, kita sudah sangat akrab dengan istilah tabligh. Kita juga
sudah sangat akrab dengan istilah Tabligh Akbar, dan mengenal satu kelompok
jama’ah yang menamakan diri sebagai jama’ah Tabligh. Lalu, apa sebenarnya yang
dimaksud dengan tablîgh?
Secara bahasa,
kata tabligh berasal dari kata ballagha-yaballighu-tablîghan yang
berarti menyampaikan. Secara etimologis (asal-usul bahasa), sebenarnya
kata tabligh merupakan bentuk transitif (muta’adi) dari kata
intransitif (lazim) yaitu dari kata balagha-yablughu-bulûghan yang
berarti sampai. Jadi, secara sederhana, tabligh berarti
menyampaikan sesuatu (pesan) yang harus disampaikan kepada pihak-pihak tertentu
(mukhâthab) sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Pembicaraan yang
sesuai dengan tuntutan keadaan serta menggunakan kata-kata yang fasih disebut kalâm
balîgh (KH.A.Wahab Muhsin&Drs.T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balaghah
hal. 21). Tuntutan keadaan atau situasi dan kondisi yang
dimaksud misalnya:
1. Keadaan menyanjung, menuntut panjang
lebar pembicaraan;
2. Keadaan mengejek, menuntut juga
panjang lebar pembicaraan;
3. Berbicara di hadapan orang yang
cerdas menuntut uraian singkat;
4. Kedunguan orang yang diajak
bicara (mukhâthab), menuntut pembicaraan yang jelas dan diulang-ulang;
5. Keingkaran orang yang diajak
bicara (mukhâthab), menuntut pembicaraan yang diperkuat (bertaukid).
6. Dan sebagainya.
Dalam Al-Quran,
pembicaraan disebut qoul atau qoulan sedangkan dalam kehidupan
sehari-hari disebut kalam. Perbedaan makna antara qoulan dengan kalam
adalah: qoulan meliputi pembicaraan lisan dan tulisan, sedangkan kalam
hanya meliputi pembicaraan lisan saja. Karena itu, sesuatu yang akan
dibicarakan atau akan dipidatokan atau akan dipresentasikan secara tertulis
disebut maqâlah yang populer dengan istilah makalah.
Bentuk-bentuk
pembicaraan (qoulan) dalam Al-Quran, amat kaya dan relatif bervariasi
tergantung pada tuntutan situasi dan kondisi apa dan bagaimana, serta kepada
siapa pembicaraan itu ditujukan. Ketika kita berbicara dengan seseorang yang
berada di bawah kita, dalam arti umurnya, pengalamannya, dan pengetahuannya,
sementara dia amat memerlukan bimbingan kita, maka gunakanlah pembicaraan yang
simpel, yakni mudah dipahami dan disampaikan secara arif dan bijaksana, yang
dalam Al-Quran disebut qoulan ma’rûfan (lihat QS.4:5). Ketika berbicara
dengan seseorang yang secara psikologis menjadi bagian dalam hidup kita,
misalnya dengan keluarga kita, tetapi pembicaraan yang akan dismpaikan
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan masalah hak dan kewajiban, maka
gunakanlah pembicaraan yang efektif, yakni pembicaraan yang tepat kena sasaran
(to the point), yang dalam Al-Quran disebut qoulan sadîdan (lihat
QS.4:9). Ketika kita berbicara dengan lawan politik atau hendak menyampaikan
pidato politik (kampanye) yang dimaksudkan untuk meyakinkan masa (publik)
tentang misi, visi, dan perjuangan politik kita dan sekaligus untuk melemahkan
lawan-lawan politik, maka gunakan pembicaraan yang berbekas, dalam arti yang
meninggalkan kesan yang mendalam dan diplomatis, yang dalam Al-Quran disebut qoulan
balîghaa (lihat QS.4:64). Ketika kita berbicara dengan penguasa yang
otoriter dan diktator seperti Fir’aun, gunakanlah pembicararaan yang lemah
lembut yang menyentuh hati dan perasaan serta membangkitkan kesadaran
kemanusiannya, yang dalam Al-Quran disebut qoulan layyinan (lihat QS.20:44).
Dan ketika kita berbicara di hadapan seseorang yang secara moral dan etika
patut kita hormati; mungkin karena faktor usia yang lebih tua, atau boleh jadi
karena pengalaman dan pengetahuannya, atau mungkin karena kedudukannya, maka
gunakan pembicaraan yang penuh saya hormat dan tidak menggurui, yang dalam
Al-Quran disebut qoulan karîman (lihat QS.17:23). Dan masih banyak
bentuk-bentuk pembicaraan yang dicontohkan dan diajarkan Al-Quran yang amat
memperhatikan dan sangat menyesuaiakan dengan tuntutan situasi dan kondisi yang
dihadapi.
Contoh-contoh tersebut
di atas, sekaligus memberi pelajaran bahwa ketika kita mempelajari Al-Quran,
maka yang semestinya kita pelajari, bukan hanya isi (conten) atau pesan
moralnya saja, tetapi harus kita pelajari juga tentang bagaimana cara
menyampaikan (men-tabligh-kannya) kembali ajaran Al-Quran itu kepada
orang lain secara baik dan benar. Bahkan agar kita dapat menyampaikan kembali
hikmah dan pelajaran Al-Quran secara baik dan benar, serta mampu memberikan
kesan yang mendalam (atsar) dan memberikan pencerahan dan solusi
kehidupan umat manusia, selain harus dipelajari secara teoritis dan praktis,
seorang muballigh patut juga melengkapi dirinya dengan latihan-latihan (riadhah)
spiritual seperti mengintensifkan shalat malam (tahajjud), rajin membaca,
memahami, dan menghayati ayat-ayat Al-Quran, dan lain-lain, niscaya Allah Yang
Maha Agung akan menganugrahi kepada orang tersebut pembicaraan yang berbobot,
yang dalam Al-Quran disebut qoulan tsaqîlan. Mengapa demikian? Sebab,
pesan atau misi yang akan disampaikan bukan pesan manusia, melainkan pesan atau
risalah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, diperlukan adanya penyesuaian
akhlak dan kepribadian dari sang penyampai pesan-pesan tersebut. Mari kita
simak, pesan Allah SWT berikut ini:
“Hai orang yang
berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit
dari padanya, yaitu setengahnya atau kurang dari setengahnya, atau lebih dari
setengahnya, dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami
akan menurunkan kepada-Mu perkataan yang berbobot” QS.73:1-5).
Adapun secara akademik,
ilmu yang mempelajari tentang metoda dan gaya pembicaraan yang efektif serta
sesuai dengan tuntutan keadaan disebut ilmu balahgah, atau dalam ilmu
komunikasi disebut ilmu retorika.
Mengenal Sosok Muballigh dan Muballighah
Dengan demikian,
setelah kita mengikuti uraian tersebut di atas, kita mulai mengenal siapa
sebenarnya sosok muballigh dan muballighah itu. Ternyata, mereka bukan golongan manusia biasa,
melainkan golongan manusia yang amat istimewa dalam pandangan Allah dan
Rasul-Nya. Mereka juga adalah golongan yang patut mendapat tempat yang mulia
dan terhormat di hadapan manusia dan patut didukung segala kifrah dan
perjuangannya. Karena, dipundak merekalah tanggung jawab kehidupan umat dan
perbaikan masa depan kehidupannya. Muballigh/ muballighah merupakan profesi
yang bukan saja diakui keberadaannya oleh manusia, tetapi difasilitasi oleh
Allah SWT. Selama mereka komit pada perjuangannya, maka setiap derap langkahnya
selalu diback up, dipandu, dan ditolong oleh Allah. Karena itu, di
setiap zaman dan pada setiap tempat, manusia sangat membutuhkan kehadiran
mereka; Mereka tak ubahnya pelita bagi kehidupan; Mereka benar-benar wakil
Allah dan pelanjut estapeta perjuangan Rasulullah SAW. Untuk itu, mari
bergabung bersama mereka! Mari belajar lebih bersungguh-sungguh lagi untuk
menjadi seperti mereka.
Secara
teoritis, seseorang yang layak disebut muballigh atau muballighah adalah Pembicara
yang berbakat merangkai kalimat-kalimat atau susunan pembicaraan yang baik,
benar (fasih), dan indah, serta sesuai dengan tuntutan keadaan (KH.A.Wahab
Muhsin&Drs.T. Fuad Wahab, Pokok-pokok Ilmu Balaghah hal. 21). Karena itu,
dalam ilmu balaghah, seorang muballigh atau muballighah disebut mutakallim
balîgh. Dengan demikian, seseorang layak disebut muballigh atau muballighah
apabila dalam dirinya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menguasai materi pembicaraan,
yakni sesuatu yang akan disampaikan;
2. Menguasai keadaan, situasi dan
kondisi yang dihadapi, yang dalam istilah komunikasi disebut menguasai masa;
3. Mampu menyampaikan pebicaraan
secara komunikatif, efektif, dan menarik;
4. Mampu meninggalkan kesan
pembicaraan yang mendalam, mencerahkan, dan memberikan solusi bagi setiap orang
yang mendengarkannya;
5. Mampu
meningkatkan kedewasaan (keteladanan) bagi orang yang menyampaikan
pembicaraannya. Karena, secara filosofis, tabligh, muballigh, dan muballighah,
merupakan sebuah proses menuju kedewasaan. Demikian, Wallaahu
a’lam .
No comments:
Post a Comment