Monday, June 13, 2022

Suamiku Jadul

Suamiku Jadul

Part 42

Ternyata Risda, adik iparku sendiri, istri dari adikku yang nomor dua dari bawah. Sejak dia gagal pinjam uang dari suami, Risda memang tak pernah datang ke rumah lagi. Selalu nyindir di grup keluarga. 

Harus kuakui ketenangan suami, aku sudah kalang kabut mencari tahu, dia justru tenang, cukup temui hacker. Ah kenapa tak terpikirkan olehku seperti itu. 

"Ini sudah fitnah, Bang, harus diberi pelajaran," kataku pada suami. 

"Udah, Dek, biarin aja, capek dia cerita, Abang gak percaya, kok, soal mantan itu wajar, Abang juga punya mantan,"

"Tapi, Bang ...?" getaran kecil di HP suami menghentikan bicaraku. Ada pesan baru lagi, kulihat jam sudah menunjukkan angka dua belas. 

(Kasihannya dirimu, Niyet itu selingkuh) begitu isi pesan tersebut. 

Wah, ini sudah keterlaluan, harus diberi pelajaran. Kuketik balasan. 

(Aku bayar sepuluh juta bila kamu bisa buktikan Nia selingkuh) 

Sudah dilihat, tapi belum ada balasan, mungkin dia lagi berpikir bagaimana bisa dapat bukti. 

(Atau gini saja, datang ke rumahku, kita bicarakan ini, atau aku yang datang ke rumahmu) 

Sedang mengetik ...  akan tetapi balasan tak kunjung datang, aku yakin dia sudah panas dingin di sana. 

(Atau gini saja, aku buktikan kau fitnah orang, mencemarkan nama baik, kubawa ke polisi isi WA-mu ini) pesanku lagi. 

(Kau Nia?) dia akhirnya sadar. 

(Ya, dan aku tahu siapa kau, polisi juga pasti tau, kau kurang cantik mainnya)  balasku lagi. 

(Siapa, coba?) 

(Hahaha, teknologi sudah canggih, kau pikir dengan buat tulisan Korea orang gak akan tahu, ada polisi ciber crime, ada hacker, semua bisa kugunakan, kau tahu kan, aku punya uang) balasku lagi. 

Tak ada lagi balasan, tapi aku yakin dia baca pesanku. Aku belum puas, ingin juga kutemui dia. Keesokan harinya aku pergi ke rumah adikku, sengaja tak kuajak suami, aku pergi naik vario-ku. Begitu sampai di sana, kulihat adikku lagi panaskan motor, mungkin bersiap hendak berangkat kerja. 

"Kak Nia, tumben?" sapa adikku tersebut. 

"Mana Risda?"  tanyaku langsung 

"Itu di dalam, ada apa ya?" 

"Panggil dulu,"

"Risda keluar tanpa dipanggil, mungkin dia mendengar kedatanganku, kulihat raut wajahnya seperti pucat, dia mungkin tak menyangka aku bisa tahu yang dia lakukan. 

"Kita itu saudara, apapun yang terjadi, kita tetap saudara, tapi tolong ajari istrimu, jangan fitnah orang seenaknya," kataku kemudian. 

Dia melihat istrinya, lalu melihatku lagi. 

"Belum cukup kah kakak permalukan aku?" kata adikku. 

"Tanya saja dulu Risda, apa yang dia lakukan?" kataku lagi. 

"Fitnah teriak fitnah," kata Risda. 

"Boleh lihat HP-mu!" kataku kemudian. 

"Ngapain, untuk apa?"

"Untuk buktikan kalau kamu telah memitnah saudaramu sendiri," kataku. 

Risda tak mau memberikan HP-nya, adikku justru seperti curiga, dia meminta paksa HP tersebut dan membuka.  Facebook-nya tak ada yang nama Korea. Aku tak kehabisan akal, kulihat dari lite, benar saja ada akun dengan nama Korea, langsung kubuka dan kuperlihatkan pada adikku. 

"Risda! kenapa kau?" 

"Aku benci mereka, lihat itu, dari dulu kita dianak tirikan, semua saudara sudah dibantu, hanya kita yang tak dibantu, padahal kita juga sudah datang ke sana, aku benci mereka, benciii!" Risda jadi histeris. Ternyata adikku tak tahu kelakuannya. 

Memang tinggal mereka yang belum dibantu Bang Parlin, dua saudariku sudah dibantu, abangku juga diajak bisnis. Adik bungsuku sudah kerja buka bengkel dimodali suami. Ternyata itu membuat Risda sakit hati, coba memisahkan aku dan suami. Beruntung sekali aku punya suami yang baik, yang tak percaya dengan omongan orang.

"Kau sudah keterlaluan, aku juga sakit hati, tapi memitnah itu bukan solusi," kata adikku. 

Kutinggalkan mereka, mereka masih sibuk bertengkar, aku pulang, ada rasa puas sendiri ketika melabrak orang yang mencoba pisahkan aku dan suami. Ketika aku sampai di rumah, Bang Parlin lagi berdiri di depan pagar seraya menggendong si Ucok. 

"Dari mana?" tanya suami. 

"Mmm, dari tempat Risda, Bang," jawabku jujur. 

"Jangan lagi ya, Dek, jangan pernah pergi keluar rumah tanpa minta izin sama suami," kata suami. Dia kelihatan serius, padahal aku hanya pergi satu jam. 

"Iya, Bang, maaf," kataku seraya mengambil si Ucok dari gendongannya. 

Aku baru sadar, baru kali ini aku keluar rumah tanpa minta izin, aku sangat merasa bersalah sekali. Bagi pasangan lain itu mungkin biasa, tapi bagi kami baru ini terjadi. 

"Bang, maafin adek ya, Bang, adek pergi ke rumah Risda melabrak dia," kataku lagi pada suami. Kutemui dia di dapur yang lagi masak sarapan. 

"Iya, Dek, dimaafkan, tapi adek harus menebusnya," kata suami. 

"Duh, Abang, tebus pakai apa?"

"Adek harus minta maaf ke Risda dan suaminya," kata suami. 

"Gak sudi, dia sudah fitnah, mau pisahkan kita, kenapa harus adek yang minta maaf?"

"Dalam adat kita, Dek, Batak Angkola, pihak saudara laki-laki istri itu adalah Mora, di Batak Toba disebut hula-hula. Orang yang harus dihormati, yang kekurangannya ditutupi yang kelebihannya dikurangi." kata suami lagi. 

Ah, gak habis pikir aku dengan adat suami ini, masa kekurangan orang ditutupi, kelebihan orang dikurangi, akan tetapi dalam hati kecilku aku salut dan kagum. 

"Adek itu boru ni raja, orang tuanya tentu saja raja, saudaranya ya pangeran, di adat kami Abang ini namanya anak boru. Kerjanya mangalap nalobi, pataru nahurang," 

"Translate, Bang,"

"Itu tadi, kerjaan Abang sebagai anak boru menutupi kesalahan pihak mora, dan adek itu ikut Abang sebagai anak boru, kemudian Risda itu ikut suaminya sebagai Mora."

Aku justru makin bingung dengan penjelasan suami. Akan tetapi kuiyakan saja. 

"Iya, Bang, iya, adek akan minta maaf," kataku kemudian. 

Biarpun rasanya aneh, ya, jelas aneh, masa orang sudah fitnah kita, kita yang minta maaf, kuikuti saja keinginan suami, karena katanya itu sebagai penebus kesalahanku yang keluar rumah tanpa minta izin suami. 

Malam harinya kami pergi ke rumah Risda, suami malah beli oleh-oleh duku dan rambutan. 

"Adek masih merasa aneh, Bang," kataku ketika kami dalam perjalanan. 

"Aneh bagaimana, Dek?"

"Bagaimana Abang bisa pergi minta maaf ke orang yang sudah memitnah kita? Ilmu macam apa yang Abang anut?" kataku seraya melihat matanya. 

"Ilmu dalihan natolu, Dek" 

"Dalihan natolu?"

"Iya, Dek, sistem kekerabatan masyarakat Batak, dalihan natolu itu adalah Kahanggi, Mora, dan Anak Boru. Manat markahanggi, Hormat marmorat, elek maranak boru,"

"Gak ngerti adek, Bang, ada gak kamus bahasa Batak?"

"Tanya gugel, Dek," 

Ya, Tuhan, suamiku yang dulu jadul kini sudah menyuruh aku tanya gugel. Ah, dunia memang harus berubah, akan tetapi perubahan pada suamiku ini membuat aku jadi malu sendiri. Ketika aku pusing mikir siapa akun Korea, dia justru sewa hacker. 

Kami sampai di rumah Risda, suami turun dari mobil, aku ikut di belakang sambil menggendong si Ucok. 

Tok ... tok. 

"Assalamu'alaikum," salam dari suami. 

Tak ada sahutan, suami coba ketuk sekali lagi tak jua ada sahutan. Kau coba lihat dari jendela. Risda ada di rumah, dia seperti ketakutan, duduk di sudut rumah sambil memegang dua lutut. 

Pintu terbuka juga, anaknya yang buka pintu, kami masuk, akan tetapi Risda tampak masih ketakutan. Mungkin dia mengira kedatangan kami mau mempolisikan dia. Di saat bersamaan, adikku datang, ternyata dia tadi beli nasi bungkus. 

"Kedatangan kami kemari hendak minta maaf, mungkin ada tindakan kami yang salah, ataupun membuat hati kalian sakit, untuk itu kami minta maaf dari hati yang paling dalam." kata suami seraya menyikutku pelan, aku tahu maksud sikutannya, dia suruh aku ikut minta maaf. 

"Iya, Risda, kami minta maaf," kataku singkat. 

Tiba-tiba Risda menangis sesunggukan, dia seperti tak bisa berkata, hanya menangis, suaminya coba menenangkan, akan tetapi dia terus menangis. 

"Betul juga yang dibilang orang, kalian memang Malaikat, baru kali ini kulihat dengan mata kepala sendiri, orang yang difitnah justru minta maaf, aku tak bisa berkata-kata lagi," kata Risda di sela isak tangisnya. 

Adikku ikut menangis, "Maafkan kami, Kak, Bang," katanya seraya memegang matanya. 

Pertemuan itu jadi ajang tangis-tangisan, ternyata meminta maaf kepada orang yang jahat kepada kita bisa seperti pedang yang mengiris hati orang. Sungguh aku dapat pelajaran baru dari Bang Parlindungan. Akan tetapi harus kuakui, butuh jiwa yang besar untuk minta maaf jika kita bersalah. Butuh jiwa yang luar biasa untuk minta maaf kepada orang yang menjahati kita. Jiwa yang luar biasa itu ada pada suamiku.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER