Sunday, June 5, 2022

Suamiku Jadul

*Suami'ku Jadoel*

_Part 25_

Akhirnya aku melahirkan secara normal, bayi laki² seberat tiga koma tiga kilo gram.
Ketika Bang Parlin mengadzankan bayi kami, suaranya sangat merdu sekali, sampai perawat menghentikan aktivitas mendengar suara adzan Bang Parlin.

Para keluarga datang menjenguk, Abangku yang tertua juga datang.
Sepertinya abangku ini sudah berubah, dia tak lagi bicara merendahkan, tak juga bicara meminjam.
Tak menyinggung soal kekayaan Bang Parlin sama sekali.

_*Suamimu membuat aku kena mental, Nia,*_
kata abangku menjawab pertanyaan di hati.

_*Kena mental ?*_

_*Iya, Nia, soal kebutuhan, soal keinginan, soal merendah, soal menilai orang dari penampilan.*_
_*Agkh, aku banyak belajar dari dia,*_
kata Abangku.

Keesokan harinya Ayah mertua juga datang dari kampung.
Beliau datang membawa oleh² ulos khas batak.
Mereka menyebutnya Parompa, bukan ulos baru, tapi ulos yang katanya sudah berusia enam puluh dua tahun, yang beliau dapat ketika lahir.
Luar biasa
Kain yang sudah enam puluh dua tahun masih kelihatan baik.

Dua hari kemudian kami pulang ke rumah, tamu terus saja berdatangan.
Bahkan Bang Panyahatan datang dari Jambi.
Anehnya hadiah mereka untuk anakku, semuanya sama, yaitu ulos batak, untuk apa anakku ulos sebanyak ini, dipakai pun tak bisa ?

Terjadi perdebatan ketika Ayah mertua memberikan nama untuk anakku.
Dia menamainya seperti orang dari jaman dahulu.
*Rakkaya Sutan Pinayungan Siregar*, itu nama yang diberikan ayah mertua.

_*Untuk menebalkan nama ini kita pulang kampung dulu, potong kerbau.*_
kata Ayah mertua.

_*Tidak setuju aku, Mang Boru,*_
protesku langsung.

_*Kenapa, Dek ?*_
tanya suami.

_*Tak adakah nama lain, kenapa harus nama orang jaman kerajaan ?!*_

_*Itu nama bagus, Maen,*_
kata Ayah mertua.

Mereka lalu berbicara dalam bahasa batak, aku jadi pendengar yang baik.
Eeeeh, tidak, pendengar yang kesal, mereka bahas nama anakku tapi tidak kumengerti, kesal kan ?

Setelah mereka berbicara panjang lebar, akhirnya mereka berhenti juga, mungkin sudah dapat keputusan.
Aku deg-degan menunggu nama apa yang akan mereka berikan pada anakku.
Biarpun Williams Shakespeare bilang *apalah arti sebuah nama ?* akan tetapi bagiku nama itu sangat penting.

_*Begini, Maen, orang batak Angkola biasanya punya dua nama, nama gelar & nama lahir nama gelar didapatkan setelah si anak di-upa-upa, atau diadati.*_
_*Jadi tadinya saya ingin sekaligus mengadati & memberikan nama, akan tetapi saran dari Parlin soal nama lahir diserahkan sama Maen, karena Maen bukan orang batak, jadi kami tak bisa paksakan.*_
_*Akan tetapi, nama gelar tetap kami yang buat & tabalkan,*_
kata Ayah mertua panjang lebar. 

Kutatap Bang Parlin, dia tersenyum, aku lega, suamiku ini memang selalu punya solusi jitu.
Aku dapat hak memberikan nama untuk anakku.
Soal nama gelar ya, terserah mereka.
Akan tetapi siapa nama yang akan kuberikan pada anakku ini ?
Hari itu pernah suami bilang namanya *Ahcin Pani*, singkatan dari buah cinta Parlin & Nia.
Akan tetapi nama itu menurutku terlalu lebay.

Akhirnya kutemukan nama yang tepat, yaitu:
*Pahlavi Siregar*, masih ada pa-nya, akan tetapi lebih modern.
Suami setuju, dengan sarat nama gelar tak lagi kuganggu gugat.
Ayah mertua pulang, Bang Nyatan juga pulang.
Telah disepakati setelah anakku empat puluh hari akan digelar acara Mengayunkan & sekaligus menabalkan nama & upa-upa untuk anakku.

Mantan tetanggaku juga datang melihat anakku, akan tetapi dia justru pasang wajah masam.

_*Kenapa sih, Mbak Nia harus rahasia segala, aku jadi malu,*_
katanya.

_*Rahasia apa, Bu ?*_

_*Itu rumah kontrakan, kenapa gak bilang kalian yang punya, kok pura² miskin sih ?!*_

_*Oh, maaf, Bu, itu ayahnya anak ini,*_
kata seraya menunjuk anakku.

_*Kan aku datang ke yang punya rumah, mau minta keringanan, karena belum bisa bayar, eh, disuruh datang kemari, kutanya mau apa, katanya kalian yang punya rumah,*_

_*Sekali lagi, maaf, Bu,*_

_*Jadi kami minta keringanan dulu, Mbak Nia, dua bulan lagi baru narik jula-jula, dua bulan lagi kubayar ya, Mbak ?!*_
kata mantan tetangga ini lagi.

_*Oh, kalau masalah itu, tanya Bang Parlin, aku gak tau itu, Bu,*_
kataku kemudian.

Di saat bersamaan datang Bang Parlin bawa api di baskom seng.

_*Buat apa itu, Bang ? Oh, ya, ini Ibu ini mau bicara,*_
kataku kemudian.

Si Ibu mantan tetangga kami itu kemudian kembali mengutarakan maksudnya minta keringanan.

_*Boleh, boleh,*_
kata suami singkat.

Tamu itu akhirnya pulang.
Aku masih heran melihat Bang Parlin menyalakan api di baskom seng, aromanya juga seperti lain.

_*Apa itu, Bang ?*_
tanyaku lagi.

_*Parsiduduan, Dek,*_

_*Pakai bahasa Indonesia, Bang !*_

_*Gak tau aku bahasa Indonesianya, Dek, pokoknya ini obat orang baru melahirkan, biar rapet kembali.*_
kata suami lagi.

_*Obat, obat apaan, Bang ?*_
aku makin heran.

_*Gini, Dek, ini obat orang yang habis melahirkan, biar jalan lahir si Ucok itu kembali rapat, di kampung orang melahirkan selalu begini obatnya,*_
terang suami.

_*Yaa Tuhan, terus itu api diapain ?*_

_*Gini, Dek, ini asap, bukan api, sudah ada ramuan dibakar di sini, jadi setiap pagi & sore kau gini, Dek !*_
kata suami seraya memperagakan.
Dia ngangkang di atas bara api tsb.

_*Maksud Abang iniku diasapi biar cepat kering gitu ?*_
kataku seraya menahan tawa.
Sungguh baru kali ini kulihat & kudengar ada obat seperti ini.

_*Ya, begitulah, Dek, namanya marsidudu, Bahasa Indonesia yang Abang gak tau,*_

_*Gak mau, Bang, ini bukan tahun tujuh puluh, ini bukan di desa yang melahirkan pakai dukun beranak !*_

Akan tetapi Bang Parlin terus memaksa, akhirnya aku nurut saja, dengan hanya memakai sarung, aku berdiri seraya mengangkang di atas bara tsb. Rasanya hangat, entah ini pengobatan macam apa, aku nurut karena percaya pada suami.

Keesokan harinya, aku sudah menunggu parsiduduan tsb, akan tetapi suami tak bawa lagi.
Dia justru sibuk menggantikan popok anakku.

_*Mana Parsidudududuan itu, Bang ?*_
tanyaku. 

_*Abang buang, Dek,*_
jawab suami tanpa menoleh.

_*Lho, koq dibuang ?*_

_*Ternyata jaman sudah berubah, Dek, ilmu pengobatan juga makin canggih, itumu sudah dijahit dokter, gak perlu lagi parsiduduan,*_
kata suami.

_*Hahaha, hahaha,*_

_*Koq ketawa, Dek ?*_

_*Dari siapa Abang tau ?*_

_*Itu, Bou kan datang kemarin, jadi nampak dia aku angkat parsiduduan itu, dia tertawai aku, katanya obat yang begitu untuk yang melahirkan dibantu dukun beranak, Abang jadi malu, Dek,*_
kata suami lagi.

_*Hahaha, hahaha,*_
aku makin tertawa lebar.

_*Takut kali Abang punyaku gak rapat lagi, ya, Bang ?*_

_*Udah, Dek, jangan bahas lagi, Abang malu, ternyata jaman sudah berubah, Abang juga harus berubah, supaya kita tak ketinggalan zaman,*_
kata suami.

Ternyata insiden parsiduduan itu bisa merubah suami, dia mulai sering pegang HP-ku, tentu saja aku khawatir, karena bila suami bergaya bak orang jaman sekarang, akan banyak godaan, pelakor banyak bergentayangan di medsos.

_*Dek, ini, masukkan sim, katanya, sudah kubeli & kumasukkan, terus masukkan e-mail, katanya lagi, dimana lagi dimasukkan disini, Dek ? Terus E-mail-nya beli dimana ?*_
kata Bang Parlin di suatu malam, tiba² saja dia sudah bawa pulang HP baru.

Aku berusaha kuat menahan tawa, aku takut suami tersinggung bila aku tertawa, dia selalu dapat solusi tentang kehidupan, akan tetapi langsung buntu jika berhadapan dengan teknologi.

_*Ingat ! Kebutuhan atau keinginan, Bang ?*_
kataku seraya menunjukkan jari telunjuk.

_*Ini kebutuhan, Dek, Abang jadi malu disuruh gugel sama dokter,*_

_*Hahaha, hahaha,*_
akhirnya tawaku pecah juga.

*Ondé Mandé*
*Bersambuang*

5um1211764h

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER