Sunday, June 19, 2022

Suamiku Jadul

*AKHIR "CERITA BERSAMBUNG" SUAMIKU JADUL*

_Part 58_

Ada hikmah di balik Bang Parlindungan sakit itu, kini dia mulai menjaga kesehatan. Tak lagi langsung kerja sehabis makan. Makan pun tak buru-buru lagi seperti biasa. 

"Dek, tau adek usus buntu?" tanya Bang Parlin di suatu pagi, saat itu aku lagi menyuapi si Butet sarapan. 

"Ya, taulah, Bang,"

"Semua bagian tubuh kita ada gunanya diciptakan Tuhan, kalau usus buntu apa gunanya?" tanya Bang Parlindungan lagi. 

Aku mulai berpikir, tapi tak juga kutahu apa itu guna usus buntu. Setahuku banyak orang yang usus buntunya dibuang, tapi tak ada pengaruh apa-apa, sebelum dan sesudah dibuang. 

"Tunggu, Bang," kataku tak mau kalah, kuketik 'kegunaan usus buntu' di kolom pencarian Google. Ternyata memang tak ada gunanya, para ahli pun masih banyak berdebat tentang kegunaan usus buntu ini. Bahkan aku dapat jawaban tak masuk akal. Usus buntu katanya berkaitan dengan teori darwin, sisa dari evolusi manusia. Ah, ini tak benar. 

"Apa, Dek?" tanya Bang Parlin lagi. 

"Gak ada, Bang," kataku akhirnya. Orang yang sudah dipotong usus buntunya memang tak ada masalah. Di situ pun usus buntu tak membantu pencernaan. Dipotong pun pencernaan tak masalah. 

"Setiap anggota tubuh kita pasti ada gunanya, kuku saja ada gunanya, untuk menggaruk dan kecantikan." kata Bang Parlin lagi. 

"Ish, Abang, tumben bicara masalah berat gitu,"

"Abang sedang merenung, Dek, apa guna usus buntu, setelah dioperasi, perut Abang jadi lebih enak. Jadi selama ini usus buntu itu tak ada gunanya?" 

"Ah, malas bahas itu, Bang, biar aja itu urusan mereka ahlinya," kataku lagi. 

"Menurut Abang usus buntu itu diciptakan Tuhan untuk rem bagi kita, supaya makan jangan terlalu kenyang, habis makan jangan langsung tidur, jangan pula langsung kerja, supaya makan tak tergesa-gesa." kata Bang Parlin. 

"Ooo, iya, juga ya, Bang,"

Menjelang siang, ada mobil berhenti di depan rumah, saat itu aku lagi mencabut rumput yang mengganggu pertumbuhan sayur di halaman rumah. Sedangkan Bang Parlin dan dua anakku ada di rumah. 

"Kak Rara!" pekikku tertahan. 

Rara datang tanpa pemberitahuan lebih dulu, dia juga datang sendiri. Ada apa ini? 

"Nia, kudengar Parlin sakit sampai dioperasi kok gak kasih kabar, sih?" kata Rara seraya memelukku dan cipika-cipiki. 

"Oh, sudah baikan, kok, hanya operasi usus buntu," kataku kemudian. Kubantu angkat tasnya masuk ke rumah. 

"Bang, Kak Rara datang ini," teriakku kemudian. 

Bang Parlin keluar dari kamar, dia menggendong Si Butet kami. Seperti biasa pertemuan mereka selalu mengharukan, tak ada salaman, yang ada air mata. Entah bagaimana hubungan kedua orang ini, unik. 

"Bagaimana, Bang Pain, udah baikan? kan Bapak juga dulu sudah peringatkan Bang Pain, habis makan itu jangan langsung kerja," kata Rara. 

Perhatian Rara justru membuat aku sedikit cemburu. Aku masih belum mengerti bagaimana hubungan mereka, katanya anggap saudara, tapi Bang Parlin selalu ingat Rara, Rara pun sepertinya begitu. Operasi usus buntu saja dia sudah terbang dari Bandung. 

Sebagai tuan rumah yang baik, kujamu Rara dengan baik, kumasak masakan terbaikku. 

"Kak, boleh tanya, jangan marah ya," tanyaku ketika kami di dapur berdua. 

"Oh, ya, silakan,"

"Apa Kak Rara mencintai suamiku?" kuberanikan bertanya juga, hal yang sudah sekian lama mengganggu pikiranku. 

Rara terdiam, dia mungkin tak menyangka aku akan bertanya seperti itu. 

"Entah bagaimana mengatakannya, Nia," kata Rara. 

"Jujur saja, Kak, aku siap, kok," 

"Baiklah, aku kenal Bang Pain ketika aku masih umur lima tahun, dia saat itu sudah kelas satu SD, aku memanggilnya Bang Pain karena saat itu aku gak bisa bilang huruf R, hahaha,"

"Terus ..?"

"Karena anak baru di desa, tak ada yang mau berteman denganku karena aku gak ngerti bahasa Batak, hanya Bang Pain yang mau, dia berlaku seperti Abang bagiku, membelaku bila di-bully orang. Mengajariku bahasa batak. Sampai aku sekolah, selalu Bang Pain yang bantu aku, bantu kerjakan PR pun Bang Pain bisa. Jujur saja, ketika aku mulai dewasa, aku jatuh cinta sama Bang Pain, tapi dia tak merespons, dia justru jaga aku dari godaan pemuda lain." Rara menghentikan ceritanya, meneguk minuman yang ada di depannya. 

"Sampai sekarang aku tak tahu bagaimana perasaan Bang Pain padaku, apakah dia anggap saudara seperti yang selalu dia katakan? Akan tetapi jujur aku kagum padanya, ketika aku akhirnya nikah, aku terkejut dapat kabar ternyata Bang Pain belum menikah, kukira dia sudah nikah duluan, memang tak ada komunikasi," kata Rara lagi. 

"Terus," tanyaku lagi. 

"Sekarang jelas sudah anggap saudara, masing-masing sudah ada pasangan, aku bahagia, Bang Pain juga bahagia, gak usah khawatir Nia, hubungan kami hanya sebatas itu," kata Rara lagi. 

"Drajat cinta paling tinggi adalah merelakan, mencintai paling rahasia adalah mendoakan," tiba-tiba Bang Parlin sudah ada di belakang kami. Ternyata dia menguping pembicaraan kami. 

"Ya, merelakan, itulah hubungan unik kami Nia, seperti kata Bang Pain itu, merelakan dan mendoakan, kami saling mendoakan, saling merelakan, jadi tolong gak usah cemburu, aku gak punya saudara, biarkan Bang Pain jadi saudaraku," kata Rara lagi. 

Aku merasa terharu, merasa tertampar dengan hubungan unik mereka. Terngiang di telinga perkataan Bang Parlin, mencintai paling rahasia adalah mendoakan, drajat cinta paling tinggi adalah merelakan. Jujur saja, aku tak bisa begitu, kadang aku ingin melihat mantan menderita.

Akhirnya aku bisa terima, bisa memaklumi hubungan unik tersebut, mungkin inilah salah satu kelemahan Bang Parlin, mencintai orang secara rahasia. Biar sajalah, asal jangan dia berusaha memiliki apa yang dia cintai tersebut. Toh cinta Bang Parlin tak berkurang padaku, cintanya sama Rara hanya di do'a, cintanya padaku nyata dan ada. 

Tiga hari di Medan, Rara tak pernah menginap di rumah, dia justru menginap di hotel. Kami membawa Rara keliling kota Medan. Mulai dari peternakan buaya Asam Kumbang, Istana Maimoen sampai mesjid raya Medan. 

"Jangan blokir lagi nomornya ya, Nia, percaya saja sama suamimu dia tak mungkin mengganggum istri orang," kata Rara ketika kami melepas dia hendak pulang ke Bandung. 

"Iya, Kak, maaf telah cemburu pada kakak selama ini," kataku. 

"Wajar itu, Nia, cemburu itu wajar, itu berarti kau mencintai Bang Pain, aku senang, Bang Pain di tangan orang yang tepat," kata Rara. 

"Oh ya, Kak, kenapa Kakak disebut orang si merah?" tanyaku. 

Dia justru menatap Parlin, lalu tertawa ngakak. 

"Rara itu bahasa Indonesianya merah. Pasti si Lolom yang bilang kan?"

"Siapa si Lolom?" 

"Dame, dia hitam, makanya namanya si Lolom. 

"Hahaha," 

*Setiap yang ada permulaan, pasti ada penghabisan. Begitu juga cerita ini, sudah saatnya selesai..*

*Mohon maaf bila endingnya sangat datar,  karena cerita bersambung ini memang konfliknya ringan, tidak seperti "IKATAN CINTA*
*dan hanya memberikan "HIKMAH DI SELA SELA IBADAH RAMADAN"*

*Terima kasih untuk semua pembaca, kalian hebat,  mampu bersabar menunggu setiap episode/part. Maaf lahir batin yang selama ini tak berkehendak dan  sudah terganggu*


EPISODE SELANJUTNYA :
Masih cerita Bang Parlindungan Siregar dan Nia Harahap, 
namun dalam CERITA PENDEK ( THE SERIES) yang hadir dan habis setiap episode.
In syaa Allah setelah Iedul Fitri.

πŸ™πŸΌπŸ™πŸΌπŸ™πŸΌπŸ™πŸΌπŸ™πŸΌ

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER