اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم
KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 103
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد
Khubaib bin Adiy
Khubaib bin Adiy sedang berada di dalam penjara. Orang-orang Mekah menyeretnya keluar untuk disalib di hadapan umum.
Sebelum naik kayu salib, Khubaib bertanya,
“Dapatkah kamu membiarkan aku sekedar melakukan shalat dua rakaat?”
Permintaan itu dikabulkan. Khubaib melakukan sholat dua rokaat dengan baik dan sempurna. Setelah sholat ia membalikkan badannya, menghadapi semua orang. Lalu berkata,
“Kalau bukan karena kamu akan menyangka aku sengaja memperlambat karena takut dibunuh, niscaya aku masih akan shalat lebih banyak lagi.”
Setelah itu, orang-orang Quraisy menaikkan ke atas tunggak kayu.
Dengan mata sayu, Khubaib memandangi orang-orang yang menontonnya sambil berseru,
“Ya Allah hitungkan jumlah mereka itu, binasakan mereka dalam keadaan tercerai berai, jangan biarkan hidup seorang pun!”
Mendengar suara yang keras itu, para penonton gemetar. Sebagian dari mereka bahkan merebahkan diri seolah-olah takut terkena kutukan. Sesudah itu, Khubaib dibunuh.
Seperti halnya Zaid, Khubaib pun gugur sebagai syahid yang memegang teguh amanat Allah
ﺎﻌﺗو ﻪﻧﺎﺤ ﺳ. Dua roh suci ini melayang memasuki surga yang dijanjikan.
Seandainya mau, terus saja mereka dapat menyelamatkan diri mereka. Keduanya tinggal berkata bahwa mereka akan kembali ke agama nenek moyang, dan orang-orang Quraisy bersenang hati menerima para prajurit segagah mereka.
Namun keyakinan keduanya kepada Allah ﺎﻌﺗو ﻪﻧﺎﺤ ﺳ dan hari kemudian sudah sedemikian tinggi. Keimanan mereka sudah sekokoh karang dan tidak bisa lagi dikikis oleh siksaan atau tawaran harta duniawi.
Mereka melihat maut bukan sebagai akhir segalanya, namun justru sebagai cita-cita hidup di dunia ini. Lagi pula mereka yakin bahwa darah mereka yang tumpah akan memanggil-manggil saudara-saudara muslim mereka supaya memasuki Kota Mekah sebagai pemenang.
Saudara-saudara muslim mereka akan menghancurkan pertahanan dan perbuatan syirik. Kesucian sebagai rumah Allah akan dipulihkan. Tidak ada lagi nama berhala yang disebut kecuali nama-nama Allah yang Mahasuci.
Rasulullah Berduka
Rasa duka menyelimuti Madinah, awan tampak bergumpal-gumpal. Mendung di hati Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin membuahkan air mata duka yang membasahi pipi. Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit membacakan syair-syair duka untuk mengenang kepergian enam orang syuhada itu.
Beban di benak Rasulullah terus bertambah berat. Beliau khawatir kejadian seperti itu akan terulang lagi. Orang-orang Arab yang masih membenci kaum muslimin akan terdorong melakukan hal serupa di kemudian hari.
Tiba-tiba datanglah Abu Bara Amir bin Malik seorang pemuka masyarakat di daerah Najd. Rasulullah ﷺ pun menawarkan kepadanya, agar ia mau memeluk agama yang mulia ini. Namun Abu Bara menolak.
Meskipun demikian Abu Bara tidak menunjukkan sikap yang memusuhi Islam. Ia bahkan berkata,
“Muhammad saya mempersilahkan engkau mengutus sahabat-sahabatmu ka Najd dan mengajak mereka itu mau menerima ajaranmu.
Saya berharap banyak orang yang akan memeluk Islam.”
Ini adalah sebuah peluang besar, namun Rasulullah ﷺ masih khawatir. Beliau takut akan terjadi penghianatan lagi terhadap para sahabatnya. Dia tidak bisa segera menjawab permintaan Abu bara. Melihat keraguan di wajah Rasulullah ﷺ. Abu Bara pun mengerti.
“Saya menjamin mereka!” tegas Abu Bara.
“Kirimkanlah utusan ke sana untuk mengajak mereka menerima ajaranMu”
Rasulullah ﷺ melihat kejujuran di mata Abu Bara, beliau juga tahu bahwa Abu Bara adalah orang yang dapat dipercaya. Dia adalah orang yang ditaati masyarakatnya. Setiap kata-katanya akan dituruti orang-orang Najd. Siapa pun yang sudah pernah diberikan perlindungan oleh Abu Bara, tidak pernah diganggu oleh orang lain.
Berdasarkan pertimbangan ini dan peluang besar berkembangnya Islam di Jazirah Arabia. Rasulullah ﷺ memanggil Al Mundir bin Amr dari bani Sa’idah. Beliau menugasi Al Mundir memimpin 70 orang muslim pilihan untuk menyebarkan ajaran Islam di Najd.
Rombongan dai itu pun berangkat dengan penuh harap akan datangnya kebaikan. Apakah benar mereka akan diterima dengan baik atau sebaliknya, malah dikhianati.
Tragedi Bi’ir Maunah
Ketika tiba di Najd, tepatnya di Bi’ir Ma’unah, ke 70 muslim itu berhenti. Daerah itu terletak di antara wilayah Bani Amir dan Bani Sulaim. Al Mundir mengutus Haram bin Milhan menemui Amir bin Ath Thufail, pemimpin bani Sulaim. Haram ditugasi menyampaikan surat Rasulullah ﷺ kepada pemimpin-pemimpin Najd, Namun Amir bin Ath Thufail sama sekali tidak membaca surat Rasulullah ﷺ itu. Ia bahkan memerintahkan agar Haram bin Milhan dibunuh.
Setelah itu Amir meminta bantuan Bani Amir untuk membunuh kaum muslimin yang lain. Bani Amir menolak karena mereka adalah suku Abu Bara. Mereka tidak ingin melanggar perlindungan yang diberikan pemimpin mereka sendiri.
Amir bin Ath Thufail cepat berpaling ke suku-suku Najd yang lain. Beberapa suku menyatakan dukungan atas penghianatan Amir. Dengan cepat mereka berkumpul dan berangkat mengepung sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ di Bi’ir Mau’nah.
Mulai curiga karena Haram bin Milham tidak kunjung kembali, kaum muslimin di Bi’ir Mau’nah mulai meningkatkan kewaspadaan. Namun segala tindakan untuk menarik diri dari
tempat itu sudah terlambat, karena dari segala penjuru para prajurit Najd muncul mengepung.
Segera saja kaum muslimin mencabut pedang dan siap bertarung. Pertempuran tidak seimbang segera pecah. Para Dai itu bertempur mati-matian tanpa sedikit pun niat untuk menyerah. Al Mundir yang saat itu tengah menengok ternak yang menjadi perbekalan mereka, berlari dan terjun ke pertempuran. Hampir seluruh sahabat Rasulullah ﷺ di Bi’ir Mau’nah gugur kecuali dua orang.
Kaab bin Said disangka telah mati, namun begitu pasukan Najd pulang, Ka’ab bangun dan pulang ke Madinah dengan tubuh di penuhi luka.
Satu orang lagi bernama Amir bin Umayyah.
Di tengah perjalanan pulang ke Madinah Amir bin Umayyah bertemu dua orang yang mencurigakan. Dikiranya kedua orang itu termasuk pasukan yang menyergap dan membunuh para sahabatnya. Pada tengah malam Amir menyerang dan berhasil membunuh kedua orang itu.
Sampai di Madinah Amir mengakui semuanya, termasuk dua orang yang ia bunuh. Namun kedua orang itu ternyata bukanlah musuh. Mereka justru termasuk suku bani Amir yang telah terikat perjanjian jiwar atau bertetangga baik dengan kaum muslimin.
Bersambung
Semoga Kita Mendapat Barokah Alloh
آمينَ يا رَبَّ الْعلَمِيْنَ
بَارَكَ اللهُ فِيْك
No comments:
Post a Comment