Resmi bercerai, Keputusan berat. Benar-benar pahit bagi Nunuk. Padahal keduanya masih sama-sama mencintai.
Nunuk dan Bayu memutuskan pindah kos-kosan. Mereka tidak mau diketahui teman-temannya telah berpisah. Mengingat usia pernikahan mereka baru seumur jagung.
Baik Nunuk dan Bayu sepakat untuk tidak menjalin komunikasi lagi. Bahkan Nunuk mempersilahkan mantan suaminya menikah lagi.
Keduanya juga sepakat untuk menutup kabar perceraian dari keluarga. Kecuali keluarga Nunuk saja yang mengetahuinya. Hal itu dilakukan demi menjaga nama baik keluarga Bayu.
“Kami tidak gembar gembor di luar soal perceraian. Biarlah perceraian itu menjadi rahasia kami. Yang jelas, makhluk halus itu telah mengetahui bahwa kami sudah berpisah. Dia tahu kami tidak bersama lagi. Jadi dia tidak bisa lagi menyerang Mas Bayu.”
Hari demi hari dilalui Nunuk. Hari berganti minggu. Dan minggu berganti bulan. Tidak terasa sudah setahun sejak perpisahan tersebut. Meski begitu, Nunuk masih terus memantau kabar mantan suaminya.
“Kabar yang saya dapat dari teman-teman, kondisi Mas Bayu baik-baik saja. Tidak ada suatu halangan apapun dalam hidupnya. Perpisahan itu berhasil menyelamatkan nyawa Mas Bayu dari bahu laweyan. Bahkan kabarnya Mas Bayu sudah memiliki pacar baru dan akan segera mengakhiri masa dudanya. Walau pahit dan menyesakkan hati, ini jalan satu-satunya yang harus saya tempuh. Saya turut bahagia mendengarnya.”
***
Urusan Nunuk dengan Bayu telah berakhir. Tidak ada kado perpisahan. Tidak ada kata-kata manis. Semua berakhir dengan kebahagiaan.
Lelaki yang dicintainya selamat dari resiko kematian. Sebaliknya jika pernikahan diteruskan, Nunuk tidak yakin dapat menanggung resiko kematian pasangannya.
Nunuk kembali pada kehidupannya. Kembali menyendiri. Kembali menyepi. Kembali mengosongkan hatinya.
Pintu hati ditutup rapat-rapat untuk laki-laki. Itu cara dia menyiksa makhluk yang bersemayam di tubuhnya, yakni dengan tidak menjalin hubungan dengan laki-laki.
Kali ini perasaannya makin kuat melawan makhluk halus tersebut. Dia rela menjanda seumur hidup asal tidak ada lagi pasangannya yang menjadi korban keganasan bahu laweyan.
Nunuk sangat paham bahwa makhluk halus itu sudah haus akan darah korbannya. Namun dia tidak akan mau memenuhi permintaan makhluk halus tersebut.
“Biarlah saya menjadi janda. Tidak menikah selamanya. Asal makhluk itu tidak lagi mencari mangsa baru.”
Sayangnya, komitmen yang dipegang Nunuk ‘tidak menikah selamanya’ terbentur oleh suatu keadaan. Ya, keadaan itu benar-benar memaksanya kembali menikah untuk kelima kalinya.
Ceritanya suatu hari Nunuk ditelepon bapaknya. Diminta untuk segera pulang ke rumah. Kabarnya dia mau dilamar tuan tanah di kampungnya.
“Kamu harus pulang, Nuk. Kamu mau dijadikan istri Pak Bondo.”
Nunuk kaget mendengarnya.
“Kenapa bapak mau menerimanya. Bukannya semua orang sudah tahu kondisiku sekarang ini. Apa mereka tidak takut dengan resikonya?” Tanya Nunuk.
“Aku sudah menjelaskan pada Pak Bondo. Tapi dia tetap ngotot mau menikahimu.”
“Bapak kan bisa menolaknya!” Seru Nunuk.
“Bukan soal menolak, Nuk. Masalahnya bapak punya utang pada Pak Bondo. Dia bilang utang dianggap lunas jika kamu bersedia menjadi istrinya. Soal kondisimu sudah bapak jelaskan ke Pak Bondo. Dia tidak percaya bahu laweyan.”
“Tapi saya tidak kenal dengan Pak Bondo. Saya juga tidak mencintainya Pak,” Nunuk mengiba agar lamaran itu diurungkan.
“Kalau kamu tidak mau tidak apa-apa. Cuma Pak Bondo mengancam akan menyita rumah kita, Nuk,” jawab bapaknya memelas.
Mendengar jawaban bapaknya, Nunuk langsung lemas.
“Saya sebenarnya ragu untuk menikah lagi. Bukan soal cinta mencinta. Ini soal nyawa yang dipertaruhkan. Saya tahu bapak punya utang banyak pada Pak Bondo. Apakah Pak Bondo bersedia menanggung resikonya. Apalagi dia sudah punya keluarga. Sejauh yang saya tahu, Pak Bondo sudah beristri dua. Saya mau dijadikan istri ketiganya.”
***
Nunuk memutuskan untuk pulang kampung. Keputusan menikahi tuan tanah sudah dibuat. Asalkan utang-utang bapaknya bisa lunas. Namun sebelum pernikahan itu terjadi, Nunuk harus bertemu dulu dengan calon mempelai pria.
Di rumah, Nunuk dipertemukan dengan Pak Bondo. Pria itu perawakannya tinggi besar. Tubuhnya tambun. Perutnya buncit ke depan. Wajahnya ditumbuhi jambang. Usianya agak tua. Sedikit lebih muda dari bapaknya.
Setiap bertemu orang, Pak Bondo selalu senyum sumringah. Tapi di balik senyumannya itu meninggalkan kesan merendahkan.
Angkuh.
Sombong.
Mungkin Pak Bondo bersikap begitu karena dia termasuk orang kaya. Sehingga sikapnya yang mengesankan arogan merupakan sikap bawaan.
Nunuk tidak mempermasalahkan sosok Pak Bondo. Baginya, menjadi istri ketiga atau kesepuluh tidak menjadi masalah asalkan utang-utang bapaknya bisa lunas. Bahkan menjual diri pun dia siap.
Toh, dengan menikahi Pak Bondo dan menjadi istri simpanan, Nunuk sebenarnya telah menjual diri. Meski jual diri itu dibalut dengan sebuah pernikahan.
“Saya tidak masalah menjadi istri ketiga Pak Bondo. Saya cuma tidak mau bapak menderita. Rumah disita karena utang. Saya merasa kasihan dengan adik-adik yang masih kecil. Biarlah saya menikah lagi asal utang-utang bapak lunas.”
Namun sebelum pernikahan digelar, Nunuk sempat bertanya ke calon suaminya. Mengingat pernikahan yang sebelum-sebelumnya berakhir dengan kegagalan.
“Apakah bapak serius menikah dengan saya. Orang di kampung menganggap saya perempuan bahu laweyan. Setiap menikah dengan lelaki, mereka semua mati,” Nunuk bertanya sekaligus memastikan.
“Ah, itu hanya mitos, Nuk. Saya tidak percaya bahu laweyan,” jawab Pak Bondo dengan yakin.
Pak Bondo sepertinya tidak bisa berpikir jernih, bahwa Nunuk adalah seorang bahu laweyan.
Tampaknya pria itu telah terpikat dengan kemolekan Nunuk.
Ya, kemolekan janda muda itu membuat darah muda Pak Bondo semakin mendidih. Selain molek, Nunuk juga memiliki paras rupawan. Kulitnya kuning langsat.
Meski Nunuk seorang bahu laweyan, namun di balik auranya yang bengis itu tersimpan aura bak dewi. Tapi, dewi kematian. Bisa jadi aura itu datangnya dari makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya. Aura itu yang mampu memikat lawan jenisnya.
Pak Bondo telah terpikat. Dia sudah tidak sabar untuk menjatuhkan diri ke pelukan seorang bahu laweyan. Sehingga Pak Bondo dibutakan dengan kondisi calon istrinya. Selain itu Pak Bondo sepertinya terbiasa dengan pernikahan.
Santer berhembus kabar, Pak Bondo dikenal pria yang doyan menikah. Mungkin itu bagian dari pesugihannya. Menikahi para janda. Tapi Nunuk tidak mau memusingkan hal itu. Jawaban Pak Bondo sudah cukup meyakinkan dirinya. Bahwa pria itu rela menikahi bahu laweyan apapun resikonya.
“Saya sudah cukup mendengar jawaban dari Pak Bondo. Bahwa dia bersedia menanggung segala resikonya jika menikahi bahu laweyan. Hari itu saya putuskan bersedia dinikahi Pak Bondo menjadi istri simpanannya.” [bersambung]
No comments:
Post a Comment