Malam Pertama Yang Tidak Biasa
NUNUK dan Iksan menikah. Resmi. Disahkan KUA. Disaksikan banyak orang. Hanya keluarga dan sahabat saja yang hadir.
Tidak ada pesta. Tidak ada tayub. Tidak ada kuade pengantin. Sebab, Iksan memang dikenal sangat sederhana. Dia tidak suka keramaian kecuali urusan dakwah.
Di mata orang, Iksan dipandang sebagai mubaligh yang baik, ramah dan sabar. Meski usianya masih muda, ilmu agamanya sangat mumpuni.
Cuma, tidak sedikit yang merasa was-was dengan keselamatan ustad muda tersebut. Banyak yang menyayangkan keputusan Iksan menikahi bahu laweyan. Pasalnya, sosok bahu laweyan yang bersemayam di tubuh Nunuk selalu haus darah manusia.
Saat ini sudah enam orang meninggal gara-gara bahu laweyan. Itu yang dialami Nunuk. Sedangkan yang tidak diketahui masyarakat, korban Nunuk masih empat orang dengan suami-suami terdahulu. Kecuali Bayu yang diceraikan dan masih hidup. Dia tidak masuk hitungan. Dua peristiwa besar, yakni kematian dukun cabul dan bandar narkoba tidak seorang pun tahu. Ini rahasia Nunuk.
Artinya tumbal bahu laweyan tinggal satu lagi. Sekarang ustad muda itu bakal menjadi tumbal ketujuhnya.
Gendro Swara Pati pasti menikmati tumbal ketujuhnya. Apalagi Iksan adalah seorang ustad yang notabene tidak disukai para lelembut. Terlebih, Iksan belum pernah menikah. Masih muda dan perjaka. Ini akan menjadi tumbal terakhir sempurna bagi Gendro Swara Pati.
*
Sejak memutuskan menikah dengan Iksan, Nunuk tidak pernah berkomunikasi dengan Gendro Swara Pati. Sepertinya Nunuk dan Gendro sudah sepakat untuk saling menjauh. Nunuk dengan keputusannya bersedia dinikahi Iksan karena dilandasi cinta, dan tidak ingin diganggu. Sedangkan Gendro Swara Pati dengan kesiapsiagaannya memangsa korban baru.
Meski tidak menjalin komunikasi dengan makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya, Nunuk tetap memiliki keterikatan batin. Dia bisa merasakan Gendro Swara Pati sudah siap tempur melawan Iksan.
“Saya khawatir dengan keselamatan Mas Iksan. Dia orang baik. Disukai banyak orang karena ilmunya. Saat keputusan menikah itu saya ambil, saya dan Gendro Swara Pati tidak lagi menjalin komunikasi. Tapi saya bisa merasakan keberadaan Gendro Swara Pati sedang menyiapkan seluruh kekuatannya untuk melawan Mas Iksan.”
Di malam pertama itu. Saat semua tamu undangan sudah bubar. Saat semua orang mulai mengunci kamarnya masing-masing. Saat pintu-pintu rumah warga terkunci. Yang tersisa hanya suara dua sejoli yang tengah dibalut asmara.
Sebagai pasangan muda, malam pertama selalu dinanti. Nunuk tidak sabar. Tapi dia berusaha tetap sadar. Naluri kewaspadaan disiapkan. Nunuk tidak mau Gendro Swara Pati mengganggunya. Apalagi sampai mencelakkan suaminya.
Malam itu adalah malam paling mendebarkan bagi Nunuk. Dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dia juga tidak tahu akan membalas apa saat Iksan menyentuhnya.
Dengan pasangan-pasangan sebelumnya, Nunuk biasanya paling agresif. Itu karena dipengaruhi makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya. Namun malam itu, Nunuk mematung. Diam seribu bahasa. Antara takut dan malu, campur jadi satu. Menanti dengan harap-harap cemas. Menunggu sang suami bersikap layaknya pengantin baru.
Nunuk berharap suaminya segera mendatanginya. Bergumul dalam balutan asmara. Menikmati kidung kebahagiaan. Menggapai asa bersama.
Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh Iksan. Ustad muda itu malah mengenakan pakaian kebesarannya, sarung dan baju koko. Kemudian berbisik mesra ke istrinya.
“Kamu tidur dulu. Tidak usah menunggu aku. Aku mau ambil wudhu”, kata Iksan sebelum akhirnya mengecup kening istrinya.
Mendengar kata-kata itu, habislah harapan Nunuk mereguk malam pertama bersama suami tercinta. Dia tidak menyangka suaminya bersikap beda dari pasangan-pasangan sebelumnya. Tidak ada dekapan mesra, tidak ada ciuman mesra, tidak ada hasrat
Namun Nunuk tetap menghargai sikap suaminya. Dia masih penasaran dengan apa yang hendak dilakukan suaminya.
Sekian menit meninggalkan Nunuk, Iksan balik ke kamar. Wajahnya tampak berseri-seri setelah tersiram air wudhu. Bekas-bekas air wudhu itu masih menempel di wajah dan tangan Iksan. Laki-laki itu hanya tersenyum melihat istrinya. Dan dibalas istrinya dengan senyum.
Karena penasaran, Nunuk sempat bertanya. “Mas, mau apa?”
Iksan tidak langsung menjawab. Dia mengambil sajadah lalu dibentangkan.
“Aku sholat Isya dulu ya. Kalau kamu ngantuk, tidur saja dulu,” balas Iksan.
Nunuk memandangi suaminya. Setiap gerakan sholat tidak luput dari perhatiannya. Di akhir gerakan sholat, mata Nunuk tetap mengawasi.
Untuk sesaat, hati Nunuk serasa adem. Namun sesuatu lain justru membuatnya berontak. Itu kegelisan Gendro Swara Pati. Dia tidak suka melihat orang sholat.
Selepas sholat, Iksan tidak langsung menyudahi ibadahnya. Dia terus berdzikir dan berdzikir. Suaranya lirih. Iksan sengaja melirihkan suaranya agar tidak membangunkan orang tidur. Namun suara itu justru terdengar kencang di telinga Nunuk. Suara lirih itu lamat-lamat bagai petir menyambar di siang bolong. Memekikkan telinga.
Ya, malam itu menjadi malam panjang bagi dua sejoli. Nunuk dengan perasaannya yang dihinggapi was-was. Iksan dengan ketenangan hatinya yang selalu menyebut nama Allah Swt.
Malam itu, tidak ada urusan dengan malam pengantin. Tidak ada urusan dengan ranjang. Tidak ada urusan dengan hasrat atau birahi. Malam itu adalah malam mendekatkan diri pada Allah Swt.
Iksan tidak kunjung selesai. Mulutnya terus menyebut nama Allah. Selesai berdzikir, Iksan lantas meraih Alquran yang berada di meja. Dibacanya pelan-pelan.
Lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibaca Iksan terdengar syahdu. Suaranya membahana ke seluruh ruangan dan keluar menembus telinga-telinga manusia yang sedang terlelap. Ruh-ruh mereka digiring terbang melayang ke angkasa, dan singgah di atas arsy. Ruh-ruh yang sedang terlelap itu kemudian dikelilingi para malaikat. Sejuk dan damai.
Sayangnya, lantunan ayat-ayat suci tidak berlaku bagi Nunuk. Perempuan bahu laweyan itu justru merasakan sekujur tubuhnya panas. Suara itu bagaikan dentuman bom yang memekakkan telinga. Berkali-kali Nunuk mencoba menutupi telinganya.
Tidak bisa.
Lantunan ayat-ayat suci Alquran itu makin kencang. Bagai menembus seluruh pori-pori kulitnya. Masuk ke dalam pembunuh darah. Masuk ke rongga-rongga tubuh. Dan membuat getaran hebat.
Nunuk mengejang. Tubuhnya berguling-guling tidak kuat menahan panas. Meronta-ronta.
“Panas…panas…hentikan!!” Teriak Nunuk.
Matanya berubah merah. Mendelik. Bola matanya seperti mau copot. Nunuk kerasukan.
“Panas…panas…panas…” Nunuk terus meronta. Berharap suara itu segera berhenti. Tapi Iksan sepertinya acuh. Dia tidak mendengar jeritan istrinya. Dia seperti tidak terganggu dengan keadaan di sekelilinya. Alquran terus dibaca.
Tubuh Nunuk makin bergetar hebat. Tangannya mengepal kuat. Kakinya menjadi kaku. Untuk sesaat lamanya, tubuh itu pelan-pelan menjadi lemas. Matanya pelan-pelan terpejam. Nunuk pun tak sadarkan diri.
Suasana kembali tenang. Yang tertinggal hanya lantunan ayat-ayat suci yang dibaca Iksan. Suara itu terdengar lirih. Lama-lama tidak terdengar lagi. Iksan menyelesaikan bacaan terakhirnya sebelum akhirnya menyudahi dengan sholat malam.
Laki-laki itu bangkit. Melihat istrinya sedang tertidur lelap dengan kondisi acak-acakan. Tampaknya Iksan tidak kaget dengan kejadian tadi.
Pelan-pelan Iksan menggapai istrinya dengan penuh kasih. Membenahi pakaian istrinya. Menyelimuti. Dan mengecup kening istrinya.
Laki-laki itu lantas merebahkan diri di samping istrinya. Matanya menerawang langit-langit rumah sembari mulutnya tak henti-henti menyeru nama Allah…Allah…Allah…
Dan, Iksan pun terlelap dalam tidur.
[bersambung]..
No comments:
Post a Comment