_part 37_
Suamiku Jadul
CERBUNG HIKMAH DISELA RAMADAN
Ternyata suami Rara yang dulu kini sudah berubah. Dia sudah bisa memahami keunikan hubungan Rara dan Bang Parlin. Akan tetapi aku masih sulit untuk memahami. Banyak pertanyaan dalam benakku. Bang Parlin selalu menyebut Rara sebagai orang dari masa lalunya. Orang yang menyemangati hidupnya, aku ingat perkataan Bang Parlin "Sama yang gak jelas saja aku bisa setia, apalagi yang jelas di depan mata," apa maksud kata setia-nya?
Akan tetapi aku makin bingung, ternyata Rara itu sudah ditabalkan marga Siregar. Setahuku semarga itu tak boleh pacaran. Alasan penambalan marga untuk Rara juga masuk akal. Karena Bang Parlin sekeluarga tak ada anak perempuan. Sedangkan Rara ingin jadi orang Batak.
"Aku sudah kebal, biar saja, hubungan mereka unik dan positif. Tak mengurangi cinta pada pasangannya," kata suami Rara, "selama ini jika cerita kampung selalu Bang Parlin yang disebut, setalah kenal Bang Parlin baru aku paham." sambung suami Rara lagi.
Apakah aku juga harus terima saja, kuakui memang, betul juga, biarpun ada Rara, cinta dan kasih sayang suamiku tak pernah berkurang. Menghubungi Rara pun selalu lewat aku. Tak pernah mereka bertelepon atau bicara berduaan.
Ternyata kedatangan Rara karena pesan terakhir bapaknya, masih ada sepetak sawah milik mereka di desa ini. Sawah itu sudah dua puluh tahun di usahai orang. Ayah Rara berpesan supaya dijual, dan uangnya disedekahkan. Wah, orang kaya yang aneh, uang sawah pun mau disedekahkan. Ternyata kedermawanan Ayah Rara yang ditiru Bang Parlin.
"Desa ini sudah jauh berubah, Padang rumput sudah banyak berkurang," kata Rara ketika kami meninjau sawah tersebut.
Sawah itu hanya satu bun-bun. Bun-bun adalah ukuran tanah jaman dahulu di daerah Tapanuli bagian selatan. Satu bun-bun itu sekitar seperlima hektar. Mengukurnya masih pakai hasta, yaitu panjang tangan direntangkan, atau bahasa bataknya" Sangkolak".
Yang menggarap tanah itu selama ini, bersedia membelinya. Harganya tiga puluh juta. Itulah yang mau disedekahkan. Aku usulkan cara sedekahnya seperti Bang Parlin. Diberikan kepada satu orang. Rara tidak setuju, dia justru menyumbangkan ke Masjid yang ada di desa itu. Untuk dipergunakan membangun MCK. kata Rara, ketika dia tinggal di desa ini dulu yang paling sulit adalah MCK. Itu juga sesuai pesan bapaknya, memudahkan urusan orang semoga jadi pahala untuk almarhum.
Rara dan keluarganya pulang, kami berpisah, mereka pulang ke Medan naik bus travel, kami lanjutkan liburan yang tertunda. Keliling Sumatra Barat.
Di kota Padang Sidempuan kami singgah semalam. Menginap di hotel mempersiapkan diri. Perjalanan kami akan banyak singgah, perjalanan santai, karena kali ini Bang Parlin nyetir sendiri. Supir sudah pulang ke Medan.
"Bang, nanti di daerah Sumatra Barat bahasanya lain," kataku ketika kami istirahat di hotel di kota Padang Sidempuan yang terkenal dengan salahnya.
"Emang Adek pandai bahasa Minang?"
'Pande, sikit-sikit,"
"Cobalah dulu, Dek,"
"Aden suko jo wang," kataku.
"Itu Abang ngerti,"
"Apa, coba Abang artikan,"
"Adek suka uang,"
"Bukan, Bang, salah, artinya aku suka sama kamu, gitu,"
"Gak usah malu, Dek, semua orang suka uang,"
"Ish, Abang, gak asik,"
"Coba Abang ajari adek bahasa Batak," kataku seraya berbaring di pangkuannya. Sementara si ucok kami sudah terlelap tidur.
"Gak usah, Dek, rumit,".
"Halongonan artinya kesayangan ya, Bang, tadi kulihat nama desa Halongonan,"
"Bukan, kesayangan itu Haholongan, kalau halongonan itu artinya yang sepi,"
"Oh,"
Keesokan paginya, sehabis salat subuh, kami berangkat, dari Padang Sidempuan terus ke Panyabungan, lanjut terus ke Kotanopan. Hari sudah beranjak siang. Kami istirahat untuk melepas lelah. Singgah di sebuah rumah makan.
"Gak jauh lagi dapatlah perbatasan Sumut--Sumbar, Bang, di sana nanti ada pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." kataku pada suami.
"Iya, Dek, iya,"
"Sini adek ajari bahasa Minang," kataku lagi. Dulu waktu kami kecil memang sering diajari almarhum ayah bahasa Minang, ditambah pula tinggal kami di Medan banyak tetangga orang Minang.
"Iya,"
"Gini Bang, bahasa Minang itu gak sulit, setiap akhiran A digantikan jadi O, akhiran as diganti jadi Eh. Contohnya, pedas jadi padeh, malas jadi maleh, apa jadi apo, Akhiran At diganti jadi ek, contohnya Padat jadi Padek, rapat jadi rapek." kataku coba menjelaskan.
"Ohh,"
"Tapi jangan salah, tidak semua begitu, contohnya gini, Rancak bana adiak awak, coba Abang bilang,"
"Rakuih bana adiak awak," kata Bang Parlin.
"Ish, Abang, Rakuih Abang bilang, Abang pandenya,"
"Saketek,"
"Apa ketek?"
"Sedikit, Dek, cem mana yang gurunya ini mau ngajari gak pande,"
"Dari mana Abang tau bahasa Minang?"
"Di pesantren dulu banyak teman Abang orang Minang, terus kebun kita itu daerah pesisir, bahasanya mirip Minang,"
Ah, ternyata aku yang sok pandai mengajari.
"Bang, ajari adek bahasa Batak, adek kan dah jadi boru harahap." kataku lagi.
"Baik, Dek, Bekbekmi do Anggi mambaen au magogo mangan,".
"Artinya, Bang,"
"Itu, Pe er mu, Dek,"
"Ish, gak asik, pake peer segala,"
Iseng kuketik apa yang jadi peer tersebut, langsung kukirim ke Rapi, menanyakan artinya,.
(Bekbek mi do anggi mambaen au magogo mangan, artinya Cerewetmu itu Dek, membuat Abang tambah selera makan) begitu pesan dari Rapi. Duh, suamiku.
Aku merasa seseorang terus melihat ke arah kami, seorang pria bersorban duduk dua meja dari kami, hanya kami yang ada di rumah makan itu. Entah karena bahasa kami lain, atau apa, akan tetapi ketika kulihat lagi pria itu, dia masih menatap kami, ada apa ini?
"Bang, lihat itu orang itu, dari tadi liatin kita terus, entah mau rampoknya," bisikkku pada suami
Suami lalu melihat pria tersebut, Bang Parlin justru mendatangi pria bersorban itu, aku mulai khawatir, mereka bicara dalam bahasa Batak, seperti biasa suaranya keras. Akan tetapi mereka justru lalu berpelukan sambil tertawa, bahkan Bang Parlin menghapus matanya. Astaga, dia menangis, siapa pria ini.
"Kenalkan ini, Dek, ini teman Abang satu pondok dulu di pesantren, lima tahun kami tinggal serumah," pertanyaan di hatiku akhirnya terjawab.
"Aku tadi ragu, si Parlindungan kah ini? tapi kok putih kali, mau kutegur duluan takut salah," kata pria itu.
Akhirnya perjalanan kami tertunda lagi, teman Bang Parlin tersebut mengajak kami ke rumahnya, desa yang berjarak sekitar empat kilometer dari jalan raya. Kami melewati sawah bertingkat yang sangat luas. Rumah teman Bang Parlin ini berada di pinggir sawah. Sangat asri sekali. Ternyata dia seorang ustadz. Aku tahu karena orang menyapanya Ustadz Kodir.
Di sini kami dijamu bak raja dan ratu, dia menjala ikan mas yang ada di kolam belakang rumahnya. Kami makan dengan menu ikan mas panggang. Akan tetapi aku lebih banyak diam, karena mereka juga istri ustadz ini selalu berbicara dalam bahasa Batak Angkola.
"Si Parlin ini dulu santri teladan, kesayangan ustadznya, tapi dia keluar dari pesantren, padahal dua tahun lagi tamat," kata teman Bang Parlin ini.
"Dia tak jadi ustadz memang, tapi saya yakin dia masih menerapkan ilmu yang dia dapat dulu,".
"Teringat kata kyai kita dulu, silakan jadi polisi, tapi polisi yang beriman, silakan jadi pengusaha, tapi pengusaha yang beriman, bahkan silakan jadi artis, tapi artis yang beriman," kata Bang Parlin.
Kami lanjutkan perjalanan sehabis isya, rencananya kami akan cari hotel untuk menginap malam ini. Untung juga anakku tidak rewel, dia justru kelihatan suka jalan-jalan terus.
Dari Kotanopan kami berjalan terus ke arah Sumatra Barat. Singgah di Muara Sipongi dan menginap di penginapan. Bahasa orang di sini sangat aneh, tidak bahasa Minang, tidak juga bahasa Batak.
"Dari mano?" tanya seorang ibu-ibu ketika kami duduk-duduk di kedai kopi dekat penginapan.
"Oh, dari sono, Bu," jawab Bang Parlin.
"Ndak ka mano?"
"Jalon-jalon, bertamaso, liburon, turuti keinginon, istro," kata Bang Parlin. Si ibu itu tampak bingung, aku juga ikut bingung.
"Kalau di sini, Dek, o semua," bisik suami.
"Gak gitu juga kali, Bang," balasku dengan berbisik.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Melewati perbatasan Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
"Di sini ada kuburan dua baleh kata orang," kata suami ketika melewati perbatasan tersebut.
"Kuburan dua baleh bagaimana, Bang?"
"Dulu sering orang tua cerita itu, ceritanya dua orang dapat rusa. Satu orang Minang satu lagi orang Batak, orang Minang ini bilang gini, " Sabala di ang, sabala di aden, kapalanyo kita baleh duo," jadi datang orang batak, "Daong songoni, samboa diho samboa di ahu, ulunai hita bokka dua, padahal artinya sama. Mereka tetap pada pendirian masing-masing, akhirnya bertengkar, rusa jadi lari, mereka meninggal dan dikubur di sini, itulah kuburan dua baleh itu," suami bercerita.
"Oh, inti ceritanya jangan memakai bahasa masing-masing, pakai bahasa Indonesia, gitu, Bang,"
"Iya, kurang lebih seperti itulah,"
"Itu Abang, suka kali pakai Bahasa Batak sama orang, orang kan jadi salah mengerti, adek pun tak mengerti, makanya, Bang, pakai bahasa Indonesia,"
"Abang menyesal, Dek,"
"Menyesal apa, Bang, menyesal liburan ini, ya?"
"Bukan, Dek, menyesal menceritakan cerita itu, akhirnya Abang yang kena,"
Memasuki daerah Sumatra Barat, kabupaten Pasaman timur. Kota kecil Panti, di sini juga ternyata banyak kebun sawit. Bahasa di sini juga sudah campuran, ada yang berbahasa Batak, ada juga yang berbahasa Minang. Kami istirahat di kota Panti.
"Ada istilah begini, Dek, Boratdo namar pantion," ternyata begini maksudnya.
"Apa, Bang, karena adek gemuk ya, makanya berat?"
Nantikan lanjutan keseruan Parlin dan Nia keliling Indonesia. Mengenai adat budaya yang ada di Indonesia.
*lanjut mumpung libur*
No comments:
Post a Comment