_part 39_
*Suamiku Jadul*
CERBUNG HIKMAH DISELA RAMADAN
_#edisiwiken_
Musyawarah itu masih buntu, belum ada jalan keluar, masing-masing merasa punya hak untuk mengurus Ayah mereka di hari tuanya. Ada satu anak lagi, yaitu Pardamean, dia belum datang, padahal kata Rina, Dame juga sudah gelisah di sana. Sudah berencana mau ke Medan.
"Boleh bicara?" kataku seraya tunjuk tangan.
"Silakan," kata Bang Nyatan.
"Begini, menurutku digilir saja, dua bulan di sini, dua bulan di tempat Bang Parta, dua bulan lagi di tempat Bang Nyatan. Terus jangan lupa, masih ada yang paling bungsu, Dame," kataku kemudian.
"Gak bisa, Nia, Ayah sudah sakit begitu, mana mungkin dibawa perjalanan jauh lagi kami semua berjauhan, kecuali satu kota, mungkin bisa begitu," kata Bang Parta.
"Satu tahun di sana, satu tahun di sini," usulku lagi.
"Gak bisa juga, satu tahun itu waktu yang lama, bagaimana nanti Ayah tak sampai umurnya satu tahun lagi, aku tak bisa maafkan diriku tak mengurus Ayah," kata Bang Nyatan.
Tiba-tiba HP-ku, bunyi, ternyata dari Rina.
"Kami sudah di Tebing Tinggi, Nia, tiga jam lagi sampai," kata Rina lewat telepon.
Segera kulaporkan pada tiga bersaudara tersebut, satu lagi saudara mereka akan datang. Memang rasanya janggal, masa mereka bertiga yang musyawarah, sementara masih ada satu lagi saudara mereka.
"Baik kita tunggu dulu, si Dame, mana tau dia seperti namanya bawa perdamaian," kata Bang Parlindungan akhirnya.
Mereka benar-benar bersaing jadi orang yang mengurus Ayah mertua di sisa hidupnya. Aku jadi terharu sekaligus terkagum-kagum. Bahkan istri Bang Parta ikut seperti kampanye, berusaha meyakinkan Ayah mertua bahwa mereka bisa mengurus. Dari keempat bersaudara ini, Bang Parta memang yang lebih kaya, semua kaya, akan tetapi Bang Parta melebihi.
"Pak, Bang Parta akan seharian mengurus Bapak, yang urus kerjaan aku kok, Pak, di sana juga kita punya dokter pribadi yang bisa mengontrol kesehatan bapak, andaikan nanti disuruh pilih, pilih kami ya, Pak," kata Istri Bang Parta. Saat itu kami para menantu sedang menemani Ayah mertua di teras.
Ayah mertua hanya membalas dengan senyuman, akan tetapi ada bulir bening di sudut matanya, aku yakin beliau sedang menangis terharu.
"Pilih kami saja, Mang Boru, sebagai sesama orang Batak, pasti Mang Boru lebih enak tinggal bersama kami, akan kumasak ikan sale dan daun Ubi tumbuk," kata istri Bang Nyatan.
"Terima kasih semua Parumaen,," kata Ayah dengan suara bergetar. Beliau mungkin lagi menahan supaya tidak menangis, aku saja jadi terharu. Ternyata bukan hanya anaknya yang rebutan, menantunya pun ikut rebutan. Ah, aku tak boleh kalah.
"Amang Boru, di sini saja, ngapain jauh ke Kalimantan, ke Jambi, di sini dekat, kalau rindu kampung juga dekat," kataku kemudian.
Akhirnya kami semua mengatakan keunggulan masing-masing, istri Bang Parta sebut ada dokter pribadi mereka, istri Bang Nyatan mengandalkan masakannya, aku tak mau kalah, kuandalkan kedekatan dengan kampung. Karena pesan Ayah mertua bila beliau meninggal dikuburkan di samping kuburan Ibu mertua.
Ibu mertua memang meninggal ketika Bang Parta dan semua saudaranya masih remaja. Ayah mertua tetap bertahan dan setia, tak menikah lagi sampai sekarang, padahal umurnya waktu Ibu mertua meninggal masih empat puluhan.
Dame sampai juga, begitu sampai tangis haru terjadi seperti biasa. Dame salim dan bersujud di kaki Ayahnya. Akan tetapi Dame ternyata tak ikut rebutan hak asuh Ayah mereka. Dia mengaku terus terang tidak mampu. Rina sedang hamil, seharian dia kerja di kebun. Tinggal mereka juga di pelosok yang jauh dari fasilitas kesehatan.
Empat bersaudara berikut menantunya berkumpul semua. Musyawarah kembali dilanjut. Akan tetapi tetap buntu, semua tetap merasa berhak. Akhirnya Dame angkat bicara.
"Kenapa bukan kita tanya Ayah saja, di mana mau dia tinggal?" kata Dame.
Lobi ke Ayah pun dimulai, Bang Parta tetap bersikukuh kesehatan Ayah terkontrol di tempatnya, dia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya. Sementara Bang Nyatan tetap mengandalkan masakan istrinya yang cocok di lidah mertua.
"Ayah, biarkan aku mengurus Ayah, selama ini aku telah jauh dari Ayah, tolong, aku ingin menebus waktu selama ini," kata Bang Nyatan.
"Anak-anakku, menantuku dan cucuku semua, aku sangat terharu dengan perhatian kalian, akan tetapi aku tetap harus memilih, digilir pun aku sudah tak kuat, jadi aku pilih tinggal sendiri saja, aku tak ingin menyusahkan kalian, aku akan pulang ke desa. Menggaji seorang untuk mengurusku," kata Ayah mertua.
"Tapi, Ayah," kata Bang Parlindungan.
"Maaf, Anak-anakku semua, sudah begitu keputusanku. Tinggal di desa lebih damai, Maen Nia kuberikan amanah jadi bendahara sekaligus menggaji orang yang akan menjagaku. Uang dan perhiasan masih ada, Semoga cukup untuk biayaku di sisa hidup ini," kata Ayah Mertua.
Keputusan Ayah mertua ini mengejutkan kami semua, di saat anak-anaknya berlomba-lomba mengurusnya, beliu justru memilih tinggal sendiri di kampung halaman. Beliau tak mau menyusahkan anaknya. Bahkan bayar gaji pengasuh jompo pun pakai uangnya. Beliau memang punya uang banyak. Aku yang simpan ketika kami mau ke Medan.
Keputusan Ayah mertua sudah bulat, dia mau tinggal di desa, tak mau memberatkan semua anaknya. Perawat jompo pun dicari, dapat. Bang Nyatan yang mendapat kepercayaan mengantar Ayah sampai ke desa, sekalian mereka pulang ke Jambi.
"Ayah yang menang, kita semua kalah," kata Bang Parta ketika mereka bersiap pulang ke Kalimantan.
"Kita harus menghormati keinginan Ayah, Bang," kataku kemudian.
"Iya, memang, akupun jika tua nanti kalau bisa aku tak ingin menyusahkan anak," kata Bang Parta lagi.
"Memangnya berapa uang Ayah kau simpan itu, Nia?" tanya istri Bang Parta.
"Sekitar tiga puluh juta lagi, sama emas sekitar dua puluh gram," jawabku.
"Cukup itu?" tanya Bang Parta.
'Cukuplah, Bang, satu bulan gaji perawat tiga juta, biaya makan tiga juta, jadi cukup untuk lima bulan," laporkan kemudian.
"Lima bulan cuma, tiga juta cukup biaya makan satu bulan? bagaimana kalau ada biaya mendadak?" kata istri Bang Parta.
"Dia mungkin terbiasa di tempat yang biaya hidup mahal, padahal tiga juta sebulan kalau di desa itu sudah mewah sekali."
"Nanti ku-transfer ya, Nia, pasti kurang itu," kata istri Bang Parta.
Bang Parta juga akhirnya pulang ke Kalimantan, tinggal Dame dan Rina, Rina yang orang Medan pergi ke rumah orang tuanya.
(Gila juga si Rina itu ya, Niyet) pesan WA dari Rapi.
(Gila apanya, Rapet)
(Tadi kulihat dia, naik innova pula itu, dah besar aja perutnya)
(Angek kau kan, Rapet)
(Bukan angek, cuma iri)
(Ya, sama saja)
(Sementara istriku belum berisi juga sudah setahun lebih)
(Mampus, makanya, jangan iri dengki)
(Iya, kuusulkan hari itu si Rina, karena ingin melihat dia sengsara, mantan bahagia itu menyakitkan, ternyata dia justru jaya,)
(Jujur kali kau, Rapet, terima lah nasibmu, iri dengki itu dikurangi sikit)
(Iya, Niyet, sakit hatiku lihat dia turun dari Innova dengan perut buncit, aku masih motor yang lama, istriku justru pipinya yang makin gemuk, perutnya tetap rata.)
(Hahaha, awas ya, kutunjukkan chat ini pada istrimu)
(Jangan!)
Kedatangan Rina kembali ke Medan membuat heboh bekas geng kami, Rapi dan semua teman bicarakan Rina yang makin cantik biarpun hamil. Rina juga naik Innova, mereka pikir karena di pelosok akan tertinggal jauh.
"Ayah gitu ya, Bang, gak mau diurus anaknya?" kataku pada suami di suatu malam. Saat itu kami lagi duduk santai di teras rumah.
"Iya, Dek, memang Ayah dari dulu begitu, tak mau menyusahkan anak,"
"Bang, tadi Bang Parta transfer ke rekening Adek, katanya untuk biaya Bapak di kampung."
"Iya, Dek, adek memang berbakat jadi bendahara,"
"Banyak kali, Bang,"
"Berapa?"
"Dua puluh lima juta,"
"Oh,"
"Kalau ada keperluan Ayah segera beli, kirim ke kampung,"
"Siap Bang,"
"Dek, kapan ada adek sie Ucok ini?"
"Ish, Abang, Ucok masih delapan bulan
, Bang,"
"Iyalah, Dek, umur kita sudah masuk tua, udah tiga puluhan, seharusnya selagi bisa genjot terus, Abang ingin punya anak banyak,"
"Mau punya anak berapa lagi, Bang?"
"Minimal kek kamilah, Dek, empat orang,"
Pembicaraan kami terhenti karena ada tamu, tiga orang pria berpakaian Ormas, aku kenal tiga orang ini, mereka terkenal begundal di daerah kami
"Horas, Bang Parlin," kata seseorang sok ramah.
"Horas," jawab Bang Parlin.
"Kami dari organisasi, memberi perlindungan bagi warga di sini, tapi harap saling memaklumi,"
"Ya, terus?" kata Bang Parlin.
"Ya, Abang taulah saling menguntungkan,"
"Keuntungan apa?" Bang Parlin sepertinya belum mengerti, ketiga orang ini mau minta uang.
"Mereka minta uang, Bang," bisikku ke telinga Bang Parlin.
"Begini, Bang, kami kan organisasi di sini, Pemuda setempatlah istilahnya, semua orang kaya di sini setor sama kami,"
"Oh, kalian mau minta uang,"
"Haa, gitu kata kasarnya,"
"Gak malu sama Ibu itu," kata Bang Parlin seraya menunjuk seorang Ibu penjual jagung rebus yang kebetulan lewat.
"Kenapa harus malu?" kata salah satu di antara mereka.
"Lihat ibu itu, dia kerja jualan, mendorong gerobak demi uang, kalian yang sehat yang kuat justru minta-minta,"
"Kami gak minta-minta ya, kami jual jasa,"
"Jasa apa yang kalian jual? Jasa menakuti orang?"
"Kalau gak mau ngasih ya gak usah, gak perlu ceramah segala, tapi ingat ya, kami gak jamin keselamatan kalian," kata salah satu di antara mereka lagi.
Aku takut juga makin panas, kuambil dompet dan memberikan uang merah dua lembar. Mereka lalu pergi.
"Abang paling bencil orang seperti itu," Bang Parlin masih tampak geram.
"Gak apa-apa, Bang, uang stabilitas namanya,"
"Itulah yang membuat mereka malas," kata Bang Parlin.
"Mereka tak punya kerjaan, Bang,"
"Abang jadi ingin gabung mereka, biar kuajari dulu mereka,"
"Gak usah, Bang,"
"Biar ada kegiatan, Dek,"
"Kegiatan Abang membuat adik untuk Ucok aja, Bang," kataku seraya melirik nakal.
"Ish, Adek,"
Itu kamusku, Bang,"
Kami masuk rumah, suami menggendong si Ucok yang sudah tidur.
No comments:
Post a Comment