Friday, June 10, 2022

Suamiku Jadul

_part 38_
Suamiku jadul

CERBUNG HIKMAH DISELA RAMADAN

Perjalanan santai kami lanjut terus, kali ini kami singgah di kota Lubuk Sikaping, ibukota kabupaten Pasaman. Di kota ini kami cari tempat istirahat. Ada rumah makan yang menyediakan tempat solat dan tiduran. 

"Uni, tempat wisata yang enak di sini di mana saja?" tanyaku pada seseorang wanita yang melayani kami makan. 

"Oh, Bayang Aia, Air terjun Ciracai, terus ada Rimbo Panti," jawab wanita tersebut. 

"Yang dekat mana, Uni?" 

"Bayang Aia, hanya setengah jam dari sini, di sana enak, airnya jernih,"

"Oh, terima kasih, Uni," kataku kemudian. Ingin juga melihat Bayang Aia ini seperti apa. 

"Dek, adek kenal wanita tadi?" tanya Bang Parlin, seraya bermain dengan anaknya. 

"Gak, Bang, siapa pula yang kukenal di sini?"

"Kok adek tau namanya?"

"Mana adek tau, Bang,"

"Tapi adek tadi panggil Uni, namanya Uni ya?"

"Ya, Allah, Bang, Bang, Uni itu panggilan untuk perempuan di di sini, makanya, Bang, jalan-jalannya sering-sering,"

"Di sini manggil anak perempuan "Upik" manggil laki-laki Buyung," kata Bang Parlin lagi. 

"Beda, Bang, itu panggilan untuk anak-anak," 

"Suka-sukamulah, Dek,"

"Ada tempat wisata Bayang Aia, Bang, ke sana, Yuk," kataku kemudian. 

"Gak usahlah, Dek, ada si Ucok ini, repot kita nanti," jawab Bang Parlin. 

"Iya, ya, Bang, tapi kira-kira Bayang Aia itu artinya apa?"

"Bayangan si Dia," 

"Si Dia siapa?"

"Entah,"

Perbincangan ringan kami terhenti karena HP suami berbunyi, ini sesuatu yang jarang terjadi. Yang berbunyi adalah HP jadul Nokia tipe 1100 tersebut biarpun suami sudah punya HP baru, dia memang masih memakai alat komunikasi tersebut. 

"Dari siapa, Bang?" tanyaku seraya melihat layar HP. Tak ada nama, berarti nomor yang belum diberi nama. 

"Hallo, Assalamu'alaikum," sapa suami. 

"Hidupkan speaker-nya, Bang, adek mau dengar," kataku. 

Suami lalu menghidupkan speakernya, lalu terdengar suara dari seberang, akan tetapi suaranya tak jelas, seperti suara orang ramai dan bising. 

"Halo, halo, ini siapa?" kata suami lagi. 

"Ini Ria, Bang,"

"Si Ria rupanya," kata suami seraya menyerahkan HP tersebut padaku. 

"Ada apa, Ria?" tanyaku. 

"Bapak, Kak, ayahnya Bang Parlin,"

"Kenapa, kenapa Amang Boru?"

"Jatuh, sekarang kami lagi di jalan mau ke rumah sakit Panyabungan," 

"Amang Boru, Bang, jatuh, ayo kita pulang, Bang," kataku kemudian. 

Perjalanan kami terpaksa harus putar balik, dari lubuk Sikaping kami pulang ke arah Sumatra Utara. Kali ini tak banyak istirahat lagi, suami juga lebih banyak diam di balik kemudi. 

Melewati kembali Panti, Rao, Tapus, Muara Sipongi, Kotanopan sampai akhirnya sampai di Kota Panyabungan. Panyabungan adalah ibukota kabupaten Mandailing Natal. Perjalanan dari Lubuk Sikaping ke Panyabungan memakan waktu sekitar lima jam. Kami sampai menjelang isa. Langsung ke rumah sakit. 

Di rumah sakit, semua sudah berkumpul, ada, Ria dan suaminya, kakakku dan suaminya, ada juga beberapa karyawan Bang Parlin. 

"Bapak masih di ICU, belum bisa ditemui," kata Ria 

Bang Parlin tampak gelisah, dia berjalan mondar-mandir, tak bicara sepatah kata pun. 

"Bagaimana bisa jatuh?" tanyaku pada seorang karyawan. 

"Terpeleset, Kak, bapak mau naik ke rumah, kan ada tangganya, tiba-tiba bapak jatuh, mungkin tangga itu licin," kata karyawan ini. 

Rumah itu memang rumah panggung terbuat dari kayu. Ada satu meter setengah tinggi lantainya dari tanah, menurut Bang Parlin, untuk jaga-jaga jika banjir atau serangan binatang buas. 

Ternyata Ayah mertua tak bisa sembuh lagi, menurut dokter beliau akan di kursi roda selamanya. Bang Parlin tampang sedih. 

"Bodoh kali aku, kubiarkan orang tua sendirian di kebun," kata Bang Parlin. 

"Jangan salahkan dirimu, Bang, Bapak yang mau begitu." aku coba menenangkan suami. 

Memang Ayah mertua sudah sering diajak  anaknya, akan tetapi beliau tidak mau tinggal bersama anak, dia tetap bersikeras tinggal di kebun. Katanya satu hari tak kerja, badannya sakit semua. 

Dua minggu di rumah sakit, kami bawa Ayah mertua pulang ke Medan. 

"Maaf, Dek, aku akan mengurus Ayah di sisa hidupnya," kata Bang Parlin. 

"Iya, Bang, tak perlu minta maaf, itu memang sudah kewajiban anak," kataku kemudian. 

Suami Ria--adikku jadi pengganti Ayah mertua, dia diberi amanah mengurusi kebun sawit. Mengurus pemupukan, mengurus gaji tukang panen. 

Keseharian kami jadi berubah, setiap hari Bang Parlin mengurus segala keperluan Ayah mertua, mulak dari popok sampai memandikan. Bang Parlin tak membolehkan aku ikut membantu. 

"Tolong, Dek, biarkan aku ambil surgaku," begitu kata suami ketika aku menawarkan bantuan. 

Setiap pagi Bang Parlin akan membawa Ayah mertua ke musholla untuk salat subuh. Mendorong kursi roda tersebut. Satu yang tak bisa Ayah mertua hentikan adalah rokok. 

"Bang, kalau di rumah, janganlah Amang Boru merokok, kan kita punya balita," kataku di suatu hari. 

"Bagaimana ya, Dek, di satu sisi abang ingin menyenangkan orang tua di masa tuanya. Di sisi lain, Abang juga bertangungjawab kesehatan anak." kata Bang Parlin.

Ternyata pembicaraan kami didengar Ayah mertua, beliau memanggil aku. 

"Maen, sini dulu, Maen," 

Aku mendekat dan duduk di dekatnya. 

"Di sini kau ratunya, Maen, kalau dalam adat kami, kau itu boru ni raja, jadi gak usah sungkan bila aku berbuat salah, tegur saja, Maen, demi Maen dan Opung Doli aku akan berhenti merokok," kata Ayah mertua. 

"Maaf, Mang Boru,"

"Gak usah minta maaf, Maen, aku yang berterima kasih, akhirnya ada alasan untuk berhenti merokok," kata Ayah mertua. 

Aku sangat bersukur sekali, punya mertua yang pengertian. Beliau benar-benar berhenti merokok, tak pernah lagi kulihat asap rokok di rumah. Menurut Bang Parlin Ayah mertua masih merokok sesekali, tapi kalau merokok dibawa Bang Parlin jauh. 

(Nia, sharlok lokasi kalian, kami mau datang ke Medan)  pesan dari istri Bang Parta. 

Wah, bakalan ramai ini. Segera kuberikan alamat lengkap. Dua jam kemudian Bang Nyatan juga menelepon, katanya mereka mau datang juga, mereka berjalan darat dari Jambi ke Medan, sudah di perjalanan, sedang Bang Parta naik pesawat dari Pontianak. 

"Bang, bakalan ramai ini, Bang Parta dan Bang Nyatan mau datang," laporku pada suami ketika mereka baru pulang bawa Ayah mertua berobat. 

Segera aku belanja untuk menyambut tamu kami, akan kumasak masakan terbaikku, yaitu soto Medan. Bang Parlin pergi menjemput Bang Parta ke Kuala Namu, Bang Nyatan sudah sampai duluan. 

Begitu sampai langsung salim dan menangis ke Ayah Mertua. Lalu mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku lanjut memasak. Tak berapa lama kemudian Bang Parlin jugak sudah sampai. Tangis haru pun terjadi. 

Keesokan harinya kami berkumpul di ruang tengah. Bang Nyatan sebagai anak tertua mulai bicara. 

"Untuk menghargai Nia dan para menantu lain, kita bicara bahasa Indonesia ya," kata Bang Nyatan. 

"Yes, setujuuu," kataku langsung. 

"Begini, aku akan bawa ayah ke Jambi, akan kurawat Ayah di sana," kata Bang Nyatan. 

"Tidak bisa, aku juga datang mau jemput Ayah, aku ingin berbakti juga," kata Bang Parta. 

"Tidak bisa, aku yang rawat di sini, selama ini juga aku yang rawat, kata Bang Parlindungan. 

Wah, tiga orang bersaudara lagi rebutan, bukan rebutan harta, tapi berebut menguruskan orang tua mereka. Entah kenapa aku jadi terharu. Kulihat istri Bang Nyatan juga sampai menitikkan air mata. 

"Gantianlah, Parlin, aku juga ingin merasakan nikmatnya mengurus orang tua, aku akan berhenti kerja demi orang tua, akan kurawat beliau di sisa umurnya," kata Bang Parta. 

"Aku yang paling berhak, aku anak tertua, pokoknya Ayah kubawa ke Jambi," kata Bang Nyatan. 

Duh, bakalan panjang ini. Kami para menantu hanya diam menunggu Para suami berebut mengurus ortu tua yang sudah tak bisa jalan. Jika di luar sana orang berebut harta warisan. Keluarga ini justru berebut mengurus Ayah mereka. 

Belum ada kata sepakat, masing-masing tetap pada pendiriannya, saling beradu argumen diselingi air mata. Aku dan dua kakak ipar hanya diam menunggu. Aku sudah ihklas sekiranya Bang Parlindungan yang memenangkan rebutan ini. Akan kubantu Bang Parlindungan menggapai surga-Nya. 

"Bakal alot ini pembahasan," kata istri Bang Nyatan. 

"Iya, sepertinya gak ada yang mau mengalah," sambung Istri Bang Parta.

*semangkin seruuu....*

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER