Suamiku Jadul
Part 41
Deg-degan aku menunggu respon suami, chat itu sepertinya sudah terbaca. Akan tetapi dia sudah tertidur lelap. Aku tak dapat tidur. Fitnah itu sangat mengganggu pikiranku.
Ini sepertinya orang dekat, sampai tahu jumlah mantanku, tapi siapa dia? Semua teman sudah keselidiki tak ada yang mengaku.
Dulu, waktu remaja memang aku sering gonta-ganti pacar, tapi bukan berarti aku gak perawan lagi ketika menikah. Pacaran bagiku masih dalam hal yang wajar. Masa SMA saja aku sudah pernah dekat dengan tiga pria. Belum lagi masa kuliah, benar yang akun misterius itu, aku punya mantam sebelas orang. Tapi kan kadang hanya dua bulan, tak ada yang bertahan lama.
Ketika subuh tiba, seperti biasa suami bangun dan mandi, lalu mendirikan salat subuh. Aku makin deg-degan, karena suami tak mengajakku salat. Biasanya kami salat subuh berjamaah. Apakah dia percaya dengan chat tersebut?
"Dek, salat dulu," kata suami seraya menggoyang bahuku. Padahal aku tak tidur. Semalaman aku tak bisa tidur karena mencari dan menyelidiki akun bertulisan Korea tersebut. Aku bahkan tak bisa sebut namanya, karena tulisan Korea.
"Iya, Bang," sahutku seraya berdiri dan berjalan ke kamar mandi.
Selesai salat, kegiatan suami seperti biasa olah raga, akan tetapi olahraganya mencangkul di depan rumah. Dia sebut itu olahraga.
Kumasak sarapan, kuhidangkan segelas kopi. Aku akan membicarakan ini baik-baik. Tak boleh dipendam. Karena bagaimana pun juga Bang Parlindungan pasti terpengaruh.
Akan tetapi aku segan untuk bertanya, mauku Bang Parlin yang bertanya, baru kujelaskan semua. Akan tetapi dia tak bertanya juga. Obrolan kami pagi itu seperti biasa.
"Bang, Abang pande bahasa Korea?" kucoba memancing pembicaraan.
"Mana pande Abang, Dek,"
"Kenapa teman Facebook Abang ada yang orang Korea?" pancingku lagi.
"Mana ada, Dek?"
Ah, bagaimana lagi caraku untuk memancing, kenapa aku harus menunggu ditanya? Akan tetapi jika suami tak keberatan. Buat apa aku pikirkan?
Ketika kami sedang asyik berbincang di halaman rumah. Abang tertuaku datang, begitu datang aku langsung salim. Abangku ini memang sudah mulai berubah, semenjak kena mental dibuat Bang Parlin, abangku ini tak pernah lagi meremehkan, akan tetapi dia seperti menjauh dari kami.
"Kudengar Parlin sekarang jual beli tanah?" tanya Abangku.
"Iya, Bang, tapi masih mulai," aku yang menjawab.
"Ada tanah di sana, luasnya tiga rante, masih tiga ratus ribu satu meter," kata Abangku.
"Lokasinya sudah ramai, Bang?" tanya Bang Parlin.
"Belum sih, tapi bakal ramai, aku yakin dua tahun lagi akan ramai, harganya jadi naik seratus persen." kata Abangku.
"Berapa kena semua?" tanya Bang Parlin.
"Satu meter tiga ratus ribu, satu rante berarti seratus dua puluh juta, kali empat rante jadi empat ratus delapan puluh juta." terang abangku.
"Begini saja, Bang, Abang urus itu semua, kita beli, Abang yang urus, saranku, jual jadi kaplingan. Untungnya kita bagi dua," kata suami.
"Lihat dulu lokasinya, Bang, mana bisa langsung setujui, gak pake nawar pula," kataku protes. Karena heran melihat suami yang begitu mudah setuju. Biasanya kalau soal jual beli suami orang yang sangat teliti.
"Aku serahkan ke Abang, jika sudah final nanti, aku kasih duitnya, pokoknya itu tanah dijual kembali kaplingan," kata suami lagi, dia tak gubris ucapanku.
Abangku pulang, dia terlihat semangat sekali, aku takut kami ditipu lagi. Bang Parlin tak biasanya seperti ini.
"Abang kok mudah kali percaya, bukannya dilihat dulu tanahnya, ditawar dulu, ini langsung setuju," omelku kemudian.
"Abang itu sudah berubah Dek, dia datang kemari bukan sebagai Abang, tapi sebagai agen. Abang mau uji dia dulu,"
"Haaaa, empat ratus delapan puluh juta untuk uji orang? jangan terlalu lugu, Bang, gak semua orang lurus-lurus pikirannya kek Abang," kataku lagi.
"Udah, Dek, kita lihat saja dulu, mana mungkin Abang beli tanah kalau gak beres, kan Abang itu juga ikut berpartisipasi, karena dia yang akan jualkan lagi, percaya aja sama abang, pining Abang kuat,"
"Pining?"
"Iya, apa istilahnya? Yang bilang firasat itu?"
"Oo, feeling, Bang,"
Ya, sudah, kalau Bang Parlin sudah bicara begitu, aku bisa apa lagi, biarpun aku was-was juga. Akan tetapi memang benar, Bang Parlin tak pernah gagal dalam berusaha. Justru aku yang baru mulai sudah kena tipu ratusan juta.
Seminggu kemudian, Abangku datang lagi dia datang bersama yang punya tanah di sini kulihat keseriusan Bang Parlin. Dia periksa berkas itu satu persatu dengan teliti, baru bertanya banyak hal.
Sebelum membayar kami cek juga ke lokasi. Memang benar lokasi cukup bagus, aku justru melihat peluang bangun perumahan di sini, akan tetapi aku takut bicara. Karena sudah pernah gagal. Tanah itu akhirnya kami beli, baru kemudian dikapling untuk dijual lagi, semua abangku yang urus.
Suatu malam aku razia lagi, ingin kulihat isi HP suami. Ya, Tuhan, inbok dari akun Korea itu datang lagi, isinya lebih menyeramkan.
(Anda tahu, Niyet itu hanya mau uangmu, pikir dulu secara logika, dia cantik, montok, berpendidikan, kenapa dia mau sama Anda yang hanya tamat SD? karena dia lihat kau bisa dimanfaatkan)
(Niyet itu tak perawan, aku lihat sendiri dia bagaimana dulu pacaran, gonta ganti laki-laki,)
(Aku tahu Anda baca ini, tapi tak merespons, karena aku tahu Anda takut istri)
(Niyet memang luar biasa, dia bisa buat pria kekar sepertiku takluk di antara selangkangannya)
(Hei, siapa kau?) akhirnya coba kubalas.
(Tak penting siapa aku, yang penting adalah siapa istrimu?)
(Aku mau bertemu, minta bukti) Pancingku lagi.
(Gak perlu bertemu, tapi jika Anda ingin buktikan, ini baru permulaan) lalu ada foto masuk.
Astagafirullah, itu fotoku waktu SMA, saat itu kami lagi merayakan selesai ujian, coret seragam, aku memang berfoto di antara tiga lelaki. Foto itu sepertinya diambil dengan kamera HP, diambil dari foto yang ada di dinding. Tunggu dulu, aku kenal dingding tersebut. Warna ungu di dinding itu sepertinya tak lain. Aku berdiri, berlari ke kamar lain. Ya, Allah, foto itu diambil di rumahku, foto yang selama ini kusimpan di rumah. Siapa dia?
"Belum tidur, Dek?" suami terbangun, membuat aku terkejut.
"Ada apa, Dek?" tanya suami lagi.
Aku bingung harus apa, tak tahu bagaimana? apakah suamiku sudah berubah jadi Facebooker ulung, yang buat akun fake untuk menerorr. Ah, pikiranku makin gila saja.
"Dia inbox lagi, ya, Dek?" tanya suami lagi.
"Dia siapa, Bang?"
"Itu yang akun Korea itu,"
"Abang tahu?"
"Ya, tahulah, Dek,"
"Abang tahu siapa dia?"
"Ya, tahulah, Dek?
Bagaimana bisa, orang yang baru pandai main medsos bisa tahu, aku saja yang sudah belasan tahun tahu Facebook tak bisa tahu.
"Siapa, Bang? kenapa Abang tak cerita padaku?" tanyaku kemudian.
"Abang gak tega merusak suasana hatimu, Dek, lagian Abang gak percaya sama sekali yang dia katakan, Abang yang rasakan, kok, Abang lihat darah perawan,"
"Siapa dia, Bang?" kataku setengah berteriak.
"Gak usah, Dek, yang begitu lebih baik kita tak tahu, gak usah pedulikan,"
"Bagaimana Abang bisa tahu?" tanyaku seraya menatap tajam kedua bola matanya.
"Kan dia inbok jelek, dia gak mau bilang dia siapa, Abang bawa HP Abang ke si Anto, itu tetangga kita yang kuliah komputer itu, Abang suru dia lacak dan cari tahu, ternyata Risda," terang suami lagi.
"Astagfirullah, Risda?"
"Iya, Dek, betul kan, suasana hati adek jadi tak bagus,"
"Bagaimana si Anto bisa tahu?"
"Gak ngerti Abang, Dek, tapi dia tunjukkan ini," kata suami seraya menunjuk foto screenshot alamat e-mail. Risda17394. Itu yang tertulis.
No comments:
Post a Comment