Monday, June 13, 2022

Suamiku Jadul

Suamiku Jadul

Part 44

Ternyata sekolah yang kami dirikan sudah mulai tercoreng. Ada guru yang jatuh cinta pada pengurus sekolah. Padahal kakakku yang bertugas sebagai ketua yayasan, suaminya hanya bantu-bantu. Tak disangka ada guru yang jatuh cinta pada suami kakakku tersebut. 

"Kak, ada masalah ya?" tanyaku pada kakak lewat sambungan telepon. 

"Iya, Nia, sepertinya di sini kekurangan laki-laki, laki orang pun mau dia ambil," jawab kakakku, suaranya terdengar berat. 

"Pecat saja, Kak," 

"Dipecat pun percuma, kalau memang dia suka lakiku mau dibilang apa,"

"Jadi kakak mau diduakan?"

"Gak lah, Nia, tunggu respon dari abangmu, semua tergantung laki-laki, kalau dia mau poligami, ya, cerai, tapi  katanya dia gak tahu menahu, padahal gosipnya sudah heboh di sini," kata kakak lagi. 

"Ohh, tapi sepertinya wanita itu tidak baik ya Kak?"

"Baik, dia guru yang baik, murid suka padanya, entahlah, mungkin abangmu terlalu tampan di sini, hahaha," 

Kakakku itu masih bisa tertawa juga, harus bagaimana lagi. Jika dibiarkan, Lama-lama suami kakakku itu bisa tergoda. 

"Coba tanya dulu si Parlin, biasanya dia selalu dapat solusi," kata kakak lagi, seraya memutuskan sambungan telepon.

Bang Parlin suamiku yang jadul ini memang selalu dapat solusi jitu, akan tetapi dia kini gak jadul lagi. Dia bahkan lebih cepat tahu gosip daripada aku. Dipikir-pikir nekat juga wanita itu, masak dia minta pendapat ke suamiku?  Padahal dia tahu suamiku masih bersaudara dekat dengan orang yang dia taksir. 

Abang iparku itu memang tampan, apalagi setelah tinggal di kampung, dia sudah berubah jadi alim. Mungkin di daerah perkebunan dialah orang tertampan.

"Bang, bagaimana menurut Abang soal Abang ipar itu?" akhirnya kutanya juga pada suami. Saat itu kami lagi menemani si Ucok bermain di halaman rumah. 

"Siapa namanya tadi cewek itu?" tanya Bang Parlin. 

"Fatimah," 

"Oh, menurutku si Fatimah itu pecat saja, tapi  kasihan dia, pecat jadi guru, bawa ke Medan, kita jadikan dia asisten apa namanya, sekretaris pribadi, kan Abang butuh sekretaris, usaha jual beli tanah makin maju," kata suami. 

"Kok solusi Abang gak masuk akal kali ini?"

"Gak masuk akal bagaimana, Dek, dia kan pekerja yang baik, siapa tahu bila dia kerja untuk kita, kita makin jaya, usaha makin maju, makin banyak orang terbantu," kata suami lagi. 

"Aku kok curiga sama Abang?"

"Curiga apa, Dek?"

"Kenapa harus dibawa kemari, biar bisa Abang dekati ya, Abang mau selingkuh ya, mau kawin lagi, ya, gara-gara aku belum bisa kasih anak cewek ya,"

"Ampunnn!" kata suami seraya memegang kepalanya. 

"Ayo, ngaku aja, Bang, awas ya, kupotong dua nanti ini," kataku seraya memegang selengkangannya. 

"Oiii, ampun nyonya, ampun," kata suami seraya tertawa. 

"Abang, sih, sini dulu lihat HP Abang, entah berhubungannya Abang sama dia?" kataku seraya mengambil HP dari kantong celananya. Entah kenapa aku jadi parnoan begini. 

Kuperiksa HP itu dengan teliti, mulai dari WA, messenger, nomor kontak telepon. Tapi gak ada yang aneh. 

"Sebaiknya adek periksa dulu," kata Bang Parlin. 

"Periksa apa, Bang,"

"Periksa ke dokter, Dek, ada yang aneh dengan adek?"

"Apa, Bang, maksud Abang aku gila gitu ya, abang gak asyik kali diajak bicara,'

"Adek mudah marah gitu,, mungkin hamil lagi, Dek, coba periksa dulu," kata suami. 

Apa iya, segera kuambil vario-ku, "bentar ke apotik ya, Bang," pamitku pada suami. Aku baru sadar sudah dua minggu aku terlambat, mungkin aku hamil, makanya jadi sensi begini. Beli test pack dan langsung pulang ke rumah dan terus ke kamar mandi. 

"Bang!" teriakku seraya berlari dan memegang test pack yang sudah bergaris dua. 

"Aku hamil, Bang," kataku seraya memeluk suami. 

"Alhamdulillah, apa kubilang," kata suami. 

Anak kami sudah berumur satu tahun empat bulan, aku hamil lagi, senang rasanya, tadinya aku sudah takut tak bisa hamil lagi. 

"Bibit Abang tokcer, kan," kata Bang Parlin lagi. 

"Rahimku yang subur, Bang," jawabku. 

"Ibarat tanah, biarpun subur, kalau bibitnya gak bagus ya, gak jadi juga," 

"Ibarat bibit, biarpun bagus, kalau tanah tak subur, ya, gak tumbuh," kataku tak mau kalah. 

"Pokoknya bibit Abang yang tokcer," kata suami. 

"Tidak, pokoknya rahimku yang subur," seperti ini memang kami, kadang berdebat untuk masalah yang tak jelas. 

"Udah cocok dicari asisten ini, Dek?" kata suami ketika kami sudah lelah berdebat. 

"Asisten apa, Bang?"

"Asisten, yang bantu Abang kerja, adek kan hamil, gak bisa bantu lagi,"

"Iya, juga ya, Bang, siapa yang cocok ya,"

'Itulah si Fatimah itu, dari pada bikin rusuh dia di kampung," kata suami seraya melirikku. 

Aku tahu dia sedang mau bercanda, tapi candaannya justru membuat aku sebel. 

"Fatimah lagi, bilang aja Abang pengen dia," kataku seraya berdiri dan menggendong si Ucok. 

"Ayo, Cok, ayahmu lagi kasmaran," kataku lagi. 

"Sini sama Ayah aja, Cok, Omakmu lagi positif," kata suami. 

"Sensitif, Bang, sensitif, kok positif pula,"

"Ini apa bukan positif namanya ini, Dek?" kata suami seraya menunjuk test pack bergaris dua tersebut. 

"Oh, iya, ya," suamiku ini sudah makin pintar saja sekarang, aku jadi sering kalah debat. 

Entah kenapa kehamilan selalu membuat aku sensitif, sering curiga sama suami. Seperti hari itu, kami baru pulang dari dokter. 

"Sudah sepuluh minggu, Bang," kataku sambil mengelus perut yang masih rata. 

"Iya Dek, semoga anak perempuan, Abang ingin punya anak perempuan," kata suami. 

"Oo, mau Abang bikin namanya Rara kan?"

"Gak lah, Dek," 

"Udah, Bang, ngaku aja,"

"Gak, kok,"

"Ngaku, Bang, ngaku,"

"Iyaa, deh, Abang ngaku,"

"Oh, jadi gitu, kurang apa lagi aku, Bang, kurang apa, kenapa harus Rara lagi?"

"Duh, Abang harus bagaimana lagi, Dek, dibilang nggak, disuruh ngaku, tiba ngaku jadi gini pula," kata suami. 

Tiba di rumah, entah kenapa aku masih kesal, mungkin benar ini bawaan hamil, kasihan juga suamiku. Aku masuk kamar dan mengunci pintu. Tak kupedulikan lagi Bang Parlin memanggil. 

Beberapa saat kemudian, HP jadul sua berbunyi. HP itu jarang berbunyi, kalau berbunyi berarti ada sesuatu yang penting. Karena  yang tahu nomor itu hanya saudara dekat saja. 

"Dek, ada telepon dari kampung,"  teriak suami. 

"Gak percaya aku, Bang, hanya akalan Abang itu biar kubuka pintu," kataku. 

"Dek!" seketika suara suami mengeras, diikuti suara ketukan di pintu yang cukup keras. 

Aku takut juga, kubuka pintu, lalu HP jadul itu diberikan suami. Ternyata panggilan dari perawat yang mengurus Ayah mertua. 

"Kak, aku gak tahan lagi, aku mau berhenti kerja, tolong cari penggantiku," katanya dari seberang. 

"Kenapa, kenapa gak tahan?"

'Pokoknya gak tahan aja, tolong cari penggantiku, kalau tidak datang penggantiku di akhir bulan ini, aku pergi," katanya lagi. 

Duh, di mana lagi di cari, orang yang mau tinggal di desa sangat sulit dicari, segera kuhubungi beberapa kenalan. Tak ada. Sampai tiga hari kemudian tak ada juga dapat, sementara akhir bulan sudah tiba. 

"Kita pulang kampung aja, Bang," kataku pada suami. 

"Iya, Dek, entah kenapa rezeki anak kita begini, harus terguncang terus waktu janin," kata suami.

Kami harus pulang kampung, gak mungkin dibiarkan Ayah mertua tanpa perawat. Ayah mertua sudah tak bisa jalan, sehari-hari hanya di kursi roda. Betul juga mungkin kata Bang Parlindungan. Rezeki anakku selalu terguncang di waktu janin. Perjalanan semalaman lagi.

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER