Friday, June 10, 2022

Suamiku Jadul

Suamiku Jadul

Part 36

Rencana perjalanan kami sudah matang. Liburan kali ini akan lebih berkesan, kami akan ke Sumatra Barat, kampung leluhur orang tuaku Menurut cerita Ayah, kakekku dulu merantau ke Medan. Lalu menikah dengan gadis Melayu Deli. Pernah juga aku di ajak pulang kampung, waktu itu aku masih SD. 

Dulunya Ayah bekerja sebagai penjahit, ibu juga penjahit. Tak ada yang menurun sama kami kepandaian orang tua. 

"Kita harus sewa supir, Dek, gak mungkin Abang yang nyetir terus," kata suami. 

"Iyalah, Bang, ini perjalanan jauh, sambil melihat-lihat lokasi," kataku kemudian. 

"Lokasi apa, Dek?"

"Adek mau seperti istri Bang Parta, ada CV-nya," 

"Kalau seluruh Sumatra sudah susah lokasi, Dek, musti ke Papua lah sekarang kalau mau cari lahan baru." 

"Adek bukan mau berkebun sawit tapi mau dirikan pabrik pengolahan minyak sawit jadi minyak goreng," kataku mantap. 

"Bukan sedikit itu modalnya, Dek? bisa habis uang kita semua," 

"Adek gak minta modal ke Abang, Adek akan menjalin kerjasama dengan pemodal besar."

"Siapa pula pemodal besarnya?"

"Bang Parta sama Bang Nyatan,"

"Hahaha,"

"Kok ketawa, Bang?"

"Kukira adek mau loby Bupati,"

"Bangun sekolah kan orang itu mau bantu, Bang, istri Bang Parta sudah kutanya, dia oke, oke aja."

"Wah, istriku akan jadi bos minyak goreng, jadi juga nanti Abang kerja supir nyonya juragan ini," kata suami seraya tersenyum.

Ada panggilan video dari Rara, aku cukup terkejut juga, sudah lama Rara tak pernah menghubungi. Aku segera menjauh dari suami, tak ingin suamiku melihat Rara. Entah kenapa melihat mereka bicara saja aku sudah cemburu. 

"Assalamu'alaikum, Kak Rara?" sapaku kemudian setelah hubungan tersambung. 

"Waalaikumsalam, Nia, kami mau datang ke Medan ini," jawab Rara membuat aku makin terkejut. 

"Oh, ya, datanglah ke rumah, Kak," kataku basa-basi. 

"Iya, tapi hotel sudah kami pesan, kami mau liburan ke Danau Toba, sekalian mau lihat kampung Bang Pain," katanya lagi. 

"Ngapain pesan hotel ke rumah aja, Kak," kataku basa-basi lagi. 

"Okelah, kalau gitu, kami sampai sekitar empat jam lagi, jemput ke Bandara ya," kata Rara. 

Duh, basa-basiku jadi betulan. Bukan karena apa, tapi aku merasa Bang Parlin sama Rara masih menyimpan rasa. 

"Dari siapa, Dek?" tanya suami. 

"Dari Rara, Bang, mereka mau datang ke Medan," jawabku jujur. 

"Wah, pulang juga dia setelah puluhan tahun," kata Bang Parlin. Wajahnya tampak ceria, aku tak suka ini. 

"Iya, Bang, mereka sampai empat jam lagi, suruh kita jemput ke Kuala Namu," 

"Ya, udah, cepatan bersiap, biar kita jemput," kata suami. Lagi-lagi aku kesal, dia tampak semangat sekali mau bertemu Rara. 

Kami ke kuala Namu juga akhirnya, menjemput Rara orang dari masa lalu Bang Parlin. Entah bagaimana perasaanku, campur aduk, antara menghormati suami, menghormati tamu, cemburu sudah jelas. Akan tetapi aku ingat perkataan suami. Saling percaya saja. 

"Bang, kita harus berpikir ke depan, gak mungkin selamanya sawit terus berbuah, nanti kan tua juga, kita harus cari usaha lain," kataku pada suami ketika kami menunggu kedatangan Rara di Bandara. 

"Iya, Dek, Abang sudah antisipasi itu, lahan kita sudah ada kok yang baru, sawitnya sudah umur setahun lebih." 

"Wah, kapan itu, seingatku kemana-mana kita selalu bersama,  Bang,"

"Sudah lama, Dek, selesai ditanam itulah Abang datang kemari,"

"Di mana?" 

"Daerah kita juga, cuma lebih jauh ke pelosok,"

"Bagaimana kalau kita bangun pabrik kelapa sawit kek Bang Parta itu?" 

"Ilmu Abang gak sampe ke sana, Dek, lagian di daerah kita sudah banyak pabrik kelapa sawit, sawitnya yang kurang,"

"Kok Abang seperti udah mentok gitu, Bang?"

"Mentok bagaimana, Dek?"

"Ya, mantok, gak tau mengembangkan usaha, lihat itu Bang Parta, Bang Nyatan."

"Adek dah mulai gak bersyukur,"

"Adek bersyukur lo, Bang, bersyukur sekalipun, tapi itu tadi, mengembangkan usaha, biar lebih banyak orang yang bisa dibantu,"

Rara sudah datang, aku terkejut juga karena mereka datang lengkap bersama keluarga. Suaminya juga ikut. 

Seperti biasa, pertemuan Rara dan Bang Parlin selalu sedih, selalu ada air mata, akan tetapi tak ada pelukan, hanya salaman. 

"Melihat Abang, aku teringat Almarhum Bapak," kata Rara seraya menangis. 

"Om, rambut kita sama ya," kata Lindung--anak Rara seraya menunjuk rambut suami yang sudah mulai gobel lagi. 

"Iya, Lindung, ini rambut antik, hanya orang hebat yang punya rambut seperti ini," kata Bang Parlin seraya menggendongnya Lindung. 

"Om, mama bilang, rambutku akan dipotong karena mau sekolah," kata Lindung lagi. 

"Gak apa-apa, dah besar nanti buat rambut gini lagi," kata Bang Parlin. 

Gagal sudah liburan kami, tak mungkin ditinggal tamu yang datang. Suami Rara pun minta diantar keliling kota Medan. Sedangkan Rara mau ke danau toba. Akhirnya kami liburan bersama. Aneh rasanya, mantan jadi saudara. 

Akan tetapi aku terus waspada, tak kubiarkan Bang Parlin dan Rara sampai berduaan, terus kudampingi suami. Di mobil pun aku selalu duduk di depan. Mulai dari Mesjid Almahsun, Istana Maimun sampai lapangan Merdeka kami datangin. 

Besok paginya langsung berangkat ke Danau Toba. Menginap satu malam, baru berangkat menuju kampung halaman suami. Rara ingin melihat kampung masa kecilnya rumah tempat dia dibesarkan.

Ternyata di desa itu masih ada beberapa yang kenal Rara, akan tetapi orang memanggilnya si Merah. 

"Hei kau itu Merah?" sapa seorang wanita begitu kami sampai. 

"Iya, Kak,"

"Tega kali kau tinggalkan si Parlin," kata wanita itu. 

Rara kulihat jadi malu, Bang Parlin pun menunduk, suami Rara sepertinya marah. Semua jadi canggung. 

"Itu mangganya masih ada ya," kata Rara seraya menunjuk mangga yang di samping rumah. 

"Iya, masih ingat kau dulu yang jatuh itu Abang dari mangga itu," kata Bang Parlin. 

"Hahaha, iya, iya, gara-gara aku kepingin mangga, Bang Pain rela naik, sampai jatuh, celananya robek," kata Rara seraya tertawa. 

"Si Nunung dulu diikat di mangga itu," kata Bang Parlin. 

"Iya, sayang sekali dia sudah mati,"

"Abang sedih Rara, sampai dua puluh tahun Abang pelihara dia, Rara gak juga datang,"

Ah, ini sudah tak benar, pulang kampung ini jadi reuni mereka. Jelas aku cemburu. 

"Kak, Rara, yang lalu itu biarlah berlalu, boleh saja mengenang, tapi tolong hargai suamimu, lihat itu, dia jadi serba salah, mau marah dia segan, tapi kalian yang begitu." kataku akhirnya. 

"Maaf, Nia, kami cuma kakak adik kok, gak ada yang perlu dicemburui, Ayahku juga anggap Bang Parlin sebagai anak," kata Rara. 

"Benar, tapi Bang Parlin lain, dia lama nikah karena nunggu Rara, jelas aku cemburu, semua selalu tentang Rara, entah untuk apa kalian datang ke mari, hanya membuka luka lama," kataku kemudian. Aku lepas kendali juga. 

"Dek!" kata Bang Parlin setengah berteriak. 

"Apa, Bang," tantangku. 

"Jangan ngomong gitu, napa?"

"Jadi aku harus bagaimana, Bang, apa kubiarkan saja kalian bernostalgia kasih tak sampai gitu." 

"Bukan begitu, Nia," Rara coba bicara. 

"Bagaimana lagi, Rara, aku tahu semua, aku tahu perasaan kalian, hargai itu suamimu, mana bisa kau puji suami orang di dekatnya, tentu dia cemburu," aku makin lepas kendali. 

"Dek, kok gitu sih?"

"Ya, jelas begitu, kenapa bukan kalian saja yang menikah?"

"Niaaaa!" tiba-tiba suara suamiku keras, baru kali ini dia sebut namaku langsung, biasanya dia selalu panggil Dek. 

Aku menangis dan keluar rumah. Sungguh aku kesal, cemburu. Suami tak mencegahku pergi, aku makin kesal, sementara itu anakku masih di rumah. Akan tetapi ada yang mengikutiku, ketika aku berhenti, dia juga berhenti. Aku jalan lebih cepat, dia juga jalan cepat. Wah, siapa dia. Akhirnya aku singgah di sebuah warung. Pesan Teh botol lalu duduk. Orang tersebut terus saja mengikutiku. 

"Naibuat si Parlin do ho?" kata ibu yang punya warung. 

"Maaf, Bu, aku gak ngerti," jawabku. 

"Oh, orang Medan, lupa, kau itu istrinya si Parlin ya?" kata ibu itu lagi. 

"Oh, iya, Bu," 

"Si Parlin itu di sini aja mainnya itu dulu," 

"Oh ya, Bu,"

"Iya, sukses orang itu semua," 

"Iya, Bu, Oh ya, Bu, ibu kenal si Rara?"

"Oh, si Merah, kenallah, anak dokter itu, gara-gara si Parlin gak punya saudara perempuan, anak orang diangkat jadi saudara," kata Ibu tersebut. 

"Diangkat jadi saudara?" 

"Ya,  sudah boru regar itu, masih ingat aku namanya dulu, Naduma Sari Siregar," kata Ibu itu lagi. 

"Oh, bukan pacar Bang Parlin dulu,"

"Bukanlah, Regar sama Regar mana boleh, tau kau, Dek, kalau orang batak sudah satu marga itu sudah seperti saudara." 

"Jadi dokter itu?"

"Dokter itu tetap orang kota dia, yang minta ditabalkan Marga si merah," 

"Kenapa?"

"Mana kutahu, dia mau jadi orang batak mungkin, ceritanya ngapain kau kemari?"

"Gak ada, Bu, lihat-lihat aja,"

"Mardandi kau ya?"

"Iya, Bu," kataku seraya pergi. Biarpun aku tak tahu apa itu mardandi akan tetapi kuiyakan saja, aku ingin pulang cepat. Minta maaf pada suami, pada Rara. 

Orang yang mengikuti lalu mendekat, "Cepat kali mardandinya, Kak," katanya sambil mengikutiku. 

Oh, ternyata orang ini mungkin suruhan Bang Parlin.

"Siapa kau?" tanyaku

"Aku bodyguard from padang bolak, siap melayani," katanya seraya menghormat. 

Lah, aku dikawal bodyguard. 

"Naduma Sari Siregar?" kataku ketika sampai di rumah. 

"Dari mana kau tahu, Nia?" tanya Rara. 

"Cemburu itu wajar, dulu aku juga selalu begitu, itu tandanya cinta, tapi sekarang tidak lagi. Aku justru salut dengan hubungan unik mereka, saling mendoakan, saling mengingat, saling mengikhlaskan," kata suami Rara. 

Duh, aku jadi malu, tadi sudah kutuduh dia cemburu. Padahal aku yang cemburu. 

Catatan kaki

Mardandi = Merajuk. 

'

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER