BAGAI REMBULAN 24
By: Tien Kumalasari
Seruni berteriak dan memegangi lengan suaminya.
“Mengapa? Memangnya suamiku salah apa?”
“Ada tuduhan penculikan, aku menculik siapa?” kata Indra sambil menepuk tangan istrinya, setelah membaca surat yang diberikan polisi tadi.
“Bapak bisa menerangkannya nanti di kantor polisi.”
“Baiklah, tapi saya akan mengendarai mobil saya sendiri. Kalau Bapak takut saya kabur, salah satu dari Bapak ini boleh ikut di mobil saya,” kata Indra.
“Sebaiknya Bapak ikut saya saja,” polisi itu tampaknya keberatan.
“Ya sudah, saya ikut Bapak, Seruni kamu tak usah khawatir, suami kamu tak melakukan sebuah kejahatanpun.”
“Baiklah, tapi tunggu, aku akan membawa mobil kamu,” kata Seruni yang kemudian masuk kedalam, berganti pakaian sekenanya lalu mengunci pintu rumah dan mengikuti mobil polisi itu. mBak Darmi sedang kepasar, dia membawa kunci sendiri, jadi Seruni tak usah khawatir.
“Ini pasti ulah Lusi. Ia menuduh Mas Indra menculik Susan. Dasar orang yang tidak pernah waras,” gumam Seruni sambil terus mengikuti mobil polisi itu.
Ketika itu Naya ada di rumah sakit, dan Yayi sudah berangkat ke kampus. Seruni tak ingin mengabari kejadian itu kepada Yayi.
“Jangan sampai Yayi juga panik. Tapi tampaknya aku harus mengabari Naya. Naya bersama Susan, nanti Susan yang akan bisa membebaskan Mas Indra dari tuduhan,” gumam Seruni sambil terus memacu mobilnya. Ia belum sempat mengabari Naya karena jalanan sedang ramai. Saatnya anak-anak masuk sekolah dan orang pergi ke kantor.
Seruni mencoba menenangkan hatinya. Bagaimanapun, berurusan dengan polisi sangat membuatnya takut. Namun dengan keyakinan bahwa suaminya tak bersalah, Seruni merasa agak lebih tenang.
Ketika tiba di kantor polisi Indra sudah menghadap polisi , dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
Seruni duduk agak jauh, dan mencoba menghubungi Naya, tapi diurungkannya, karena tampaknya polisi akan menemui Susan di rumah sakit.
***
“Bagaimana sekarang rasanya?” Tanya Naya yang setia menunggui kekasihnya.
“Lebih merasa enak, tapi aku masih merasa lemas. Tekanan darahku belum naik juga ya?”
“Kalau kamu tenang, senang, kamu pasti akan segera pulih. Apa rencanamu setelah ini? Maukah tinggal dirumahku?”
“Tidak Naya, mana mungkin aku tinggal di rumah kamu, nggak enak aku.”
“Bapak sama Ibu tak akan keberatan.”
“Tapi kita tak bisa tinggal serumah Naya, aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut ada setan lewat..” dan Naya tertawa lucu.
“Lalu apa rencana kamu setelah ini?”
“Aku akan mencari tempat kost saja.”
“Sebenarnya mengapa kamu disekap Mama kamu? Bukankah kamu baru kembali dari rumah sakit?”
Susan menghela nafas sedih, teringat kejahatan yang dilakukan Mamanya. Ia memang belum sempat bicara banyak tentang awal kejadian itu, dan melihat kebaikan keluarga Naya, ia memang harus berterus terang, walau itu kejahatan Ibu kandungnya.
“Mama kamu melarang kamu bekerja?”
“Kalau melarang bekerja, itu memang sudah lama. Ini hal yang berbeda. Ketika aku memasuki rumah sepulang dari rumah sakit dan kamu sudah pergi setelah mengantar aku, aku melihat Mama sedang bersama Anjas dan teman-temannya yang berandalan. Aku sangat terkejut mendengar percakapan itu, karena ketahuan bahwa yang mengeroyok ketika kita keluar dari rumah makan itu adalah mereka, atas perintah Mama.”
“Haaa? Tapi mengapa?”
“Aku tidak tahu, mereka ingin menghajar kamu, tapi aku ikut terkena, itu membuat Mama memarahi mereka dan aku mendengar kata-katanya. Lalu aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Aku membenahi pakaian yang pantas aku bawa, dan semua uang, tapi ketika aku mau keluar, Mama menyuruh mereka menghalangi aku, lalu mereka menyekapku didalam kamar.”
“Ya Tuhan, sayang, pasti kamu sedih sekali,” kata Naya iba.
“Aku menangis meraung-raung tapi Mama tak mau mendengar. Dua hari aku disekap dan Mama entah lupa atau sengaja, tidak memberi aku makan dan minum.”
“Ya Tuhan..”
Ketika aku sadar, aku sudah ada di rumah sakit. Mungkin Mama menyesal membuat aku pingsan gara-gara tak makan minum selama dua hari. Tapi begitu aku sadar, dan Mama sedang tak ada didekatku, aku kabur dari rumah sakit. Aku pulang ke rumah, dan untunglah rumah itu kosong, mungkin Mama dan Anjas sedang ke rumah sakit atau kemana entahlah, aku masuk rumah, mengambil kopor yang untunglah belum berubah tempatnya, dan untung pula tas tanganku masih tergeletak di kamar. Aku naik taksi tak tentu arah, lalu minta diberhentikan di hotel. Tuhan menolong aku karena ada Aliando disana. Cerita selanjutnya kamu sudah tahu kan?”
“Aku tak bisa mengerti Mama kamu bisa melakukan hal sekejam itu,” kata Naya sambil meremas tangan Susan dan menciumnya lembut.
Tiba-tiba Naya melihat Ibunya masuk ke ruangan itu. Naya terkejut karena Ibunya tidak sendiri. Ada polisi mengikutinya.
Naya berdiri dan menghadapi Ibunya.
“Ibu, ada apa?”
“Bapak kamu ditangkap polisi.”
“Apa?”
“Lusi menuduhnya telah menculik Susan.”
“Ya Tuhan.. Mama..” pekik Susan.
“Aku mengantarkan Bapak-bapak ini untuk bertemu Susan, agar semuanya menjadi jelas.”
“Bapak-bapak, ini yang bernama Susan, yang Bapak kira telah diculik oleh suami saya. Silahkan bertanya tentang kebenarannya,” kata Seruni.
“Bapak mana Bu, tanya Naya khawatir.
“Bapak masih ada di kantor polisi, nanti setelah semuanya menjadi jelas, Bapak baru boleh pulang.”
“Biarlah Naya menemani Bapak.”
“Baiklah, kasihan Bapak kamu.”
“Itu siapa?” tanya salah satu dari polisi yang datang bersama Seruni.
“Itu Naya, anak saya. Dia yang selalu menemani Susan disini, bergantian dengan anak saya yang perempuan.”
“Ibu, Naya pergi dulu.”
“Ya Nak, biarlah Bapak-bapak ini berbicara dengan Susan. Susan, katakan semuanya apa yang terjadi kepada Bapak-bapak ini.”
“Iya Bu Indra, saya minta maaf telah menyusahkan Pak Indra dan Bu Indra,” kata Susan sedih.
“Tidak apa-apa Susan, kebenaran harus dipegang, kejahatan harus diungkapkan. Maaf kalau nanti Mama kamu terbawa dalam kasus ini.”
“Tidak apa-apa..bu Indra.”
“Silahkan Bapak-bapak, saya akan menunggu disini,” kata Seruni yang kemudian duduk menjauh dari ranjang Susan.
***
“Lega aku sekarang Njas, saat ini Indra pasti sudah ditangkap polisi.”
“Biar dia rasakan Ma, dia kan tidak berhak mengatur hidupnya Susan.”
“Benar, Susan anakku, bukan anak dia. Kalau dia menguasai Susan, itu salah, dia tak berhak apapun atas Susan.”
Tiba-tiba suara dering ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Tomy menelpon Anjas.
“Ada apa? Jangan bilang kamu minta uang lagi gara-gara luka kamu belum sembuh.”
“Tidak, aku hanya ingin memberitahu, diluar ada polisi.”
“Polisi? Mau apa dia?”
“Aku tidak tahu Bos. Aku baru mau masuk kemari tapi melihat mereka berhenti disebelah timur pagar.
“Bagaimana ini Ma, katanya ada polisi datang kemari.”
“Jangan bodoh, polisi datang kemari kan karena laporan Mama itu. Pasti mereka akan mempertemukan Mama dengan Indra yang sudah ditangkap duluan.”
“Tapi Mama harus hati-hati. Indra bukan orang bodoh. Menurut Anjas, lebih baik Mama bersembunyi saja.”
“Bersembunyi kemana? Aduh, mengapa kamu membuat Mama takut?”
“Mama lari saja, dibelakang ada kebun, dan pagar belakang kan dari pohon-pohon perdu, Mama lari dari sana. Cepat Ma, perasaanku tidak enak. Eh.. tidak.. tidak... masuk ke bagasi mobil saja.. cepat Ma..” kata Anjas yang kemudian juga merasa takut.
Tak urung tiba-tiba Lusi merasa panik. Ia mengambil tas dari dalam kamar lalu masuk kedalam bagasi mobil, meringkuk disana.
Anjas mengunci pintu, dan pura-pura tidur.
Ketika suara pintu digedor, Anjas berjalan kedepan dengan pelan-pelan.
Gedoran pintu masih terdengar, ketika Anjas membuka pintu sambil menguap.
“Oh, ada tamu... mau menjari siapa Bapak?” tanya Anjas pura-pura bangun dari tidur, dengan mengucek matanya sampai merah.
“Ini rumah Ibu Lusiana?”
“Ya, benar, ada apa ya, Mama lagi pergi.”
“Pergi kemana?”
“Saya tidak tahu Pak, Mama kan banyak bisnisnya. Jadi terkadang pergi sampai malam, atau kadang menginap sehari atau dua hari.”
“Itu mobilnya ada..”
“Mobil itu saya yang pakai Pak..”
Salah seorang polisi mendekati mobil, melongok-longok kedalam. Anjas dengan berdebar menatapnya.
“Kapan ya kembalinya?”
“Sungguh saya tidak tahu Pak..”
***
Indra sudah bisa pulang, karena orang yang katanya diculik sama sekali tak berhubungan dengan Indra sebelumnya. Mungkin sekarang polisi justru sedang memburu Lusi atas laporan palsunya.
“Maaf saya jadi merepotkan Bapak,” kata Susan kepada Indra yang langsung datang memenui Susan di rumah sakit sepulangnya dari kantor polisi.
“Tidak Susan, jangan pikirkan.. kamu kan sudah menjadi anakku..”
Titik air mata Susan mendengar kata-kata Indra. Susan, si anak terbuang, dipungut dari kehidupan yang keras dan membuatnya gundah, oleh keluarga terhormat yang berhati mulia.
“Jangan menangis Nak... tenangkan saja hatimu, supaya sehat, dan bisa kembali berkarya, kantor sepi tanpa kamu.”
“Masa sih Pak?”
“Iya benar.”
“Pasti karena saya cerewet...”
“Aku senang kamu sudah nampak segar. Semoga satu dua hari lagi bisa pulang.”
“Saya minta tolong Naya agar mencarikan tempat kost buat saya.”
“Tidak mau di rumahku?”
“Jangan Pak, kurang bagus kelihatannya. Lebih baik saya kost sendiri saja dan itu akan lebih nyaman buat saya.”
“Baiklah, nanti aku bilang sama Naya. Ya sudah... oh ya, Yayi ssudah kesini? Kalau aku pulang siapa yang mau menemani?”
“Saya pak Indra,” tiba-tiba Surti muncul bersama Dayu.
“Ya ampun, lihat, Bu Tikno sudah datang untuk kamu Susan,” kaya Indra sebelum pergi.
“Ada Pak Indra, mana Bu Indra?” Tanya Surti.
“Mungkin nanti mau kesini, aku mau langsung ke kantor. Dayu.. anak baik.. temani mbak Susan ya.”
“Iya Pak, sudah dari kemarin. Sama Yayi juga.”
“Aku bangga sama kalian. Yuk.. aku ke kantor dulu. Susan, bahagialah, banyak cinta diantara kamu.”
Indra melangkah menjauh, diiringi untaian air mata mengaliri pipi Susan.
“Nak Susan, mengapa menangis?”
Susan menatap wanita cantik bermata teduh disampingnya. Inilah Ibunya Dayu, yang Mamanya bilang adalah bekas pembantu.. tapi yang punya kebaikan tak terhingga, dan membuat jiwanya terpuruk oleh sesal yang membebaninya.
“Bu Tikno...maafkan saya..” isaknya.
“Sayang, sudahlah, untuk apa maaf itu. Kamu tidak bersalah. Kamu anak baik yang sedang tersesat, tapi sekarang sudah kembali melangkah di jalan terang. Kami akan terus bersamamu Nak,” kata Surti sambil mengelus kepala Susan, dan membuat air mata Susan semakin deras mengalir.
“Sudahlah, apa yang kamu pikirkan?”
“Saya minta maaf ya Bu.. besar dosa saya pada Ibu dan keluarga Ibu...” tangisnya sambil sebelah tangannya memeluk Surti. Susan ingat bahwa dia juga pernah ikut-ikutan Ibunya mengumpat keluarga Surti. Sekarang rasa sesal itu memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Rasa kotor dan rendah menyelimuti perasaannya.
“Sudah Nak, tak ada yang perlu dimaafkan. Saya yang minta maaf karena baru sekarang bisa menjenguk Nak Susan.”
“Ibu.. benarkah Ibu mau memaafkan saya?”
“Kamu tidak bersalah Nak, tidak ada yang harus dimaafkan. Dalam setiap langkah, pasti ada saja sandungannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita sadar bahwa jalanan itu berbatu, temukan jalan lain yang lurus, yang lapang, yang lempeng. Dan kalau sudah ditemukan jalan lempeng itu, maka kamu harus melepaskan semuanya.”
“Ibu sungguh bijak. Saya menemukan banyak keluarga yang berhati mulia.. saya menemukan dunia yang begitu indah dan penuh kebaikan serta cinta.”
“Inilah jalan dimana kamu bisa melangkah dengan penuh wangi bunga.” Kata Surti sambil mencium kening Susan.
“Aku akan melangkah dengan penuh wangi cinta...” bisik Susan sambil mengusap air matanya.
***
“Mama jangan pulang dan jangan pernah menampakkan diri, karena polisi sedang mencari Mama, kata Anjas disebuah rumah terpencil diluar kota yang dipergunakan untuk bersembunyi, kedua-duanya.
“Jadi aku kamu taruh didalam rumah terpencil ini, tanpa boleh keluar rumah, tanpa boleh bertemu siapapun biarpun itu kawan-kawan Mama?”
“Sebaiknya jangan dulu.”
“Mama akan mengubah penampilan Mama saja. Potong rambut Mama lebih pendek dan mengecat rambut Mama dengan warna coklat,” kata Lusi kesal.
“Terserah Mama saja, pokoknya aku sudah memperingatkan, jadi Mama harus berhati-hati.”
“Aku benci kehidupan ini, aku benci semua kegagalan, aku marah kepada setiap orang, aku ingin menghancurkan apapun yang ada dihadapanku.”
“Sabar Ma, saat untuk bertindak itu pasti ada.”
“Dan kebencianku kepada Dayu juga tak pernah berakhir. Gadis itulah yang mematahkan harapanku untuk berbesan dengan keluarga Diana.”
“Dayu itu bagianku Ma, Mama tenang saja. Kesempatan itu pasti ada.”
“Aku tidak sabar Anjas, belum puas rasanya kalau belum menyiksa dia dan keluarganya.”
***
Susan sudah boleh pulang, dan kost disebuah rumah yang tak jauh dari kantornya. Naya merasa lega, ketika membantu Bapaknya bisa seringkali bertatap muka dengan gadis yang dicintainya.
Tapi Adit ragu-ragu ketika Indra menawarinya pekerjaan di kantornya.
“Mengapa menolak Dit?” tanya Tikno.
“Nggak enak saja Bapak, masa sih aku harus merepotkan Pak Indra lagi?”
“Tidak merepotkan Adit, kamu bekerja, kamu dibayar atas pekerjaan kamu. Tapi Bapak tidak memaksa, kalau kamu bersedia ya baguslah, kalau mau cari sendiri ya Bapak tetap mendukung kamu.”
“Ya nanti Adit pikirkan, kan belum wisuda juga.”
“Sebentar lagi kalian wisuda. Bapak sama Ibu tidak lupa itu. Hm.. akhirnya anak-anak Bapak tumbuh dewasa dan berhasil menyelesaikan pendidikan yang bukan main. Bapak bangga atas kamu.”
“Terimakasih Bapak, ini semua atas dorongan dan doa yang tak pernah henti dari Bapak dan juga Ibu.”
“Doa orangtua tak akan pernah berhenti Nak. Sukseslah dan segera cari istri yang baik yang bisa mendampingi kamu selamanya.”
“Bapak membuat Adit berdebar. Besok kalau Adit sudah bekerja, Adit ingin melamar Yayi, apakah Bapak setuju ?”
“Apapun yang membuat kamu bahagia, Bapak akan mendukungnya. Bahagia kamu juga bahagia Bapak dan Ibu.”
Adit memeluk Ayahnya dengan terharu.
***
Hari untuk wisuda telah tiba. Susan berdandan cantik untuk menemani Naya. Demikian juga Yayi. Dua pasang orangtua bersiap dengan kebahagiaan yang meluap.
Keluarga Indra dengan senang hati menjemput keluarga Tikno, agar bisa berangkat dan pulang bersama. Namun Dayu memilih berangkat sendiri, karena Aliando akan menjemputnya.
Tapi tiba-tiba Liando menelpon, bahwa ada urusan mendadak di kantor. Ia menyuruh Pak Karjo untuk menjemput Dayu.
“Maaf Mbak Dayu, Mas Liando menyuruh saya mengantarkan Mbak Dayu sampai ke kampus, nanti Mas Liando akan menyusul, kira-kira setengah jam an lagi.”
“Baiklah Pak Karjo, terimakasih.”
Walau sedikit kecewa, Dayu pun berangkat diantar pak Karjo. Namun setelah sampai disana, Dayu belum ingin masuk kedalam. Ia akan tetap menunggu Liando.
Ia duduk disebuah kursi yang terletak agak kepinggir, sehingga bisa melihat kalau sewaktu-waktu Liando datang.
Tamu yang datang sudah banyak. Yang mau diwisuda sudah bersiap di baris depan.
Dayu menoleh ke arah jalan, tapi Liando belum tampak nongol. Tiba-tiba sebuah taksi berhenti didepan, seseorang dengan pakaian perlente turun dari taksi.
“Saya mau ketemu mbak Dayu, apa sudah ada didalam?”
Mendengar itu Dayu langsung berdiri.
“Saya Dayu, ada apa?”
“Saya anak buahnya pak Liando, diminta menjemput Mbak Dayu.”
“Lho, menjemput bagaimana? Dia katanya akan menyusul kemari.”
“Mas Liando hanya ada disalon dekat situ, dia ingin datang bersama Mbak Dayu.”
“Oh, dasar manja,” gerutu Dayu, tapi dia tetap saja naik kedalam taksi itu, yang kemudian membawanya melaju keluar dari kawasan kampus.
Bersambung
No comments:
Post a Comment