BAGAI REMBULAN 25
By: Tien Kumalasari
Mobil itu terus melaju, dan Dayu merasa heran, karena salon yang dimaksud sudah lewat.
“Lho, dimana salonnya? Bukan itu tadi?”
“O... disana Mbak... agak kesana.”
“Mengapa Liando ke salon dulu? Masa dia tidak membawa jas ketika ke kantor?”
“Saya nggak tahu Mbak, mungkin ketinggalan.”
“Aneh.. dia itu sudah rencana mau datang mengapa tidak disiapkan sejak awal?”
“Itulah.. Pak Liando..”
“Lho.. kok jauh banget ini?” tiba-tiba Dayu merasa curiga. Mobil itu semakin jauh meninggalkan kampus..
“Kemana kita?”
“Sudahlah Mbak, jangan bawel.”
Dayu terkejut melihat perubahan sikap orang yang duduk disampingnya. Ia menoleh, dan melihat orang itu melepas jas yang tadi dipakainya. Bau apak tercium olehnya. Dayu mulai curiga, melihat senyum menyeringai dari lelaki disampingnya. Senyum dengan deretan gigi kuning karena endapan nikotin. Bulu kuduk Dayu meremang.
“Tolong, saya turun disini saja,” kata Dayu bergetar.
“Lho.. turun bagaimana, kita belum sampai kok turun.
Hati Dayu menciut. Dia sadar sedang berada ditangan orang-orang jahat. Tangannya meraih tombol kunci pintu, tentu saja tak berhasil.
“Mana bisa kamu membuka pintunya cantik, itu kan dikunci dari depan. Sudahlah, jangan rewel, menurut saja. Seseorang sedang menunggu disana.”
“Tolong biarkan aku turun...”
“Nanti kita akan turun kalau sudah sampai. Sudahlah diam.”
“Toloooong....” Tolooooong..” Dayu berteriak-teriak sekeras-kerasnya sambil memukul-mukul kaca jendela.
“Hahahahaaaa...” laki-laki disampingnya tertawa gelak. Tawa itu terdengar seperti merobek isi dadanya.
“Ya Tuhan... Toloooong...” Dayu terus berteriak.
“Hahaa... teruslah memanggil Tuhanmu, cantik... aku yakin dia pun tak akan bisa mendengar teriakanmu.
“Tolooong... “ Dayu mulai menangis, tangannya yang memukul-mukul kaca jendela mulai terasa sakit. Dan tawa laki-laki disampingnya terasa semakin mengiris.
“Diam cantik..” kata laki-laki itu sambil memegang lengannya.
Dayu mengibaskannya dengan jijik. Lalu dia mengambil ponselnya. Ia harus mengabari Liando. Tapi baru saja dia mengeluarkan ponselnya, laki-laki itu merebutnya.
“Eitt.. jangan coba-coba menghubungi siapapun cantik, diam dan tenanglah, nanti kamu akan senang setibanya disana.”
“Mana ponselkuuuuu !”
“Jangan berteriak, lihat, ponselmu sudah mati,” kata si penjahat yang sudah mengambil simcard dari ponsel Dayu dan membuangnya.
“Tolooong... turunkan aku.. tolonglaaah..” Dayu meratap-ratap.. tapi tak seorangpun perduli.
Dayu mencoba meraih kedepan, mencengkeram pengemudi mobil itu.
“Tolong hentikan..”
“Heeiii.. jangan mengganggu pengemudi, kalau kita jatuh ke jurang bagaimana?” kata laki-laki disampingnya sambil kembali menarik lengan Dayu.
Dayu mulai putus asa.
“Ya Tuhan... tolonglah hambamu ini..” ratapnya.
***
Mobil Aliando memasuki halaman auditorium. Matanya mencari-cari, apakah Dayu menunggunya disuatu tempat.
“Dimana Dayu menunggu aku? Kok nggak kelihatan?”
Aliando memarkir mobilnya, turun sambil terus mencari-cari..
“Apa dia sudah masuk?”
Karena diluar tak ada, Aliandopun masuk. Diatas panggung acara wisuda sudah dimulai.
“Karena ingin melihat Kakaknya diwisuda, maka Dayu pasti memilih masuk lebih dulu,” pikir Liando.
Ia terus melangkah kearah depan. Dideretan depan ia melihat Indra, Seruni, Tikno dan Surti, lalu Yayi dan Susan juga ada. Tapi ia tak melihat Dayu.
Ada kursi kosong disebelah Yayi, dia duduk disitu.
“Eh, Liando? Mana Dayu?” tanya Yayi, dan mereka semua menoleh kearah Liando. Pertanyaan itu mengejutkan Liando.
“Dia belum masuk ?”
“Kami sedang menunggu.”
“Apa tidak bareng sama kamu?” tanya Indra.
“Tidak pak, Dayu berangkat duluan, pak Karjo saya suruh nganter, takutnya nggak keburu bisa menyaksikan saat Kakaknya diwisuda, soalnya saya masih ada urusan dikantor, sebentar. Tapi kok dia belum sampai disini?”
“Kok aneh, barangkali agak dibelakang, coba cari,” saran Indra.
“Pak Karjo saja ditanya, Dayu sudah diantar belum?” usul Susan.
Liando berdiri dan melangkah keluar. Ia harus bertanya pada Pak Karjo, tapi didalam kan suaranya berisik, jadi dia harus keluar.
“Hallo, Pak Karjo?”
“Ya mas , saya sudah dirumah. Ibu mau belanja sama simbok.”
“Tadi Pak Karjo sudah mengantar Dayu?”
“Sudah Mas, Mas telpon langsung saya berangkat.”
“Turun dimana dia?”
“Didepan auditorium Mas.”
“Dia langsung masuk?”
“Saya tidak tahu Mas, ketika saya pergi, Mbak Dayu masih berdiri didepan, sepertinya menunggu Mas Liando.
“Oh, ya sudah Pak, terimakasih.”
Liando menutup ponselnya dengan rasa cemas. Kok tidak ada ya. Lalu ia dengan nekat mendekat kearah MC, tapi mikrofon sedang dipergunakan untuk acara wisuda. Liando berjalan mondar-mandir kearah depan dan belakang, berharap seandainya Dayu duduk disuatu tempat maka pasti bisa melihat dia. Tapi tak ada yang memenggil namanya, dan tak tampak yang dicarinya.
Melihat Liando mondar-mandir, Indra berdiri menghampiri. Liando keluar lagi. Ada penerima tamu yang menghadapi meja dengan buku tamu, Liando bertanya.
“Adakah tadi Dayu sudah masuk?”
“Dayu?”
“Anandayu..”
“Lho, bukankah tadi dijemput sama seseorang?” kata salah seorang yang kebetulan melihat ketika Dayu dijemput.
“Apa?” Liando terkejut.
“Dijemput? Siapa?”
“Tadi ada seseorang naik mobil, katanya karyawan mas Liando. Dia bilang disuruh menjemput Dayu.”
“Lho.. kok Dayu mau? Sementara saya memintanya menunggu disini?”
“Katanya ditunggu di salon, supaya bisa datang bareng, gitu.”
Liando merasa lemas, ia terduduk dikursi yang ada didekat situ. Indra yang mendengarkan percakapan itu ikut-ikutan cemas.
“Apakah sebaiknya lapor polisi?”
“Saya bingung Pak,” kata Liando lemas.
“Ayo aku antar melapor saja. Eh Mbak, mobilnya tadi mobil apa?”
“Warna hitam Pak, tapi jangan tanya nomornya, kan kami sambil menerima tamu jadi nggak sempat mencatat. Lagi pula kami tidak mencurigai apapun.
***
Liando merasa jiwanya melayang-layang. Barangkali kalau tubuh itu tidak kokoh pasti sudah terjatuh ditanah. Indra memegang bahunya.
“Liando, kamu harus kuat. Kita akan terus berusaha,” kata Indra yang terus menuntun Liando kearah mobil. Indra tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang ada didalam, karenanya ia tak ingin mengatakan apapun saat mengantar Liando kekantor polisi.
Tapi Seruni yang tiba-tiba ditinggalkan Indra merasakan sesuatu yang tak enak.
“Pasti sesuatu telah terjadi. Sejak tadi Dayu tak kelihatan,” pikir Seruni.
“Ada apa Bu?” tanya Yayi.
“Nggak tahu Ibu, tiba-tiba Bapak mengikuti Liando dan sekarang entah pergi kemana.”
Gempita bahagia memecah suasana siang itu. Membuat ruang ber AC tetap terasa pengap. Para wisudawan sudah menghambur turun, mencari orangtua dan orang-orang yang dicintainya.
Adit bersimpuh, merangkul kaki Bapak dan Ibunya sambil menitikkan air mata haru. Tikno menariknya berdiri, memeluknya erat, demikian juga Surti. Sementara itu Naya yang bersimpuh dihadapan Ibunya, mencari-cari.
“Dimana Bapak?”
Seruni menarik tangan Naya, yang kemudian disambut pelukan pula oleh Susan.
“Selamat ya sayang,” bisik Susan.
“Terimakasih, mana Bapak?”
“Mungkin dibelakang, sebentar... nanti pasti kembali,” kata Seruni yang sebenarnya juga tak yakin akan kata-katanya sendiri, karena sudah terlalu lama Indra pergi bersama Liando, sementara Dayu tak kelihatan sejak awal mereka datang.
“Selamat, Mas Adit..” Kata Yayi..
“Terimakasih, cinta.”
“Mana Dayu?”
“Itulah, sejak tadi kami juga mencari-cari. Malah Bapak ikut menghilang bersama Liando.” Kata Yayi.
Ketika acara berfoto bersama, suasana kehilangan Dayu masih belum terasa. Mereka masih mengira Dayu pergi bersama Liando. Tapi ketika kemudian Indra juga lama tak kembali, kepanikan mulai tampak pada wajah-wajah mereka.
“Kemana sih Bapak?”
“Tadi keluar bersama Liando. Sepertinya Liando mencari Dayu tanpa hasil.”
Wajah Surti sudah pucat pasi oleh rasa khawatir. Tikno menuntunnya agar duduk, lalu mengambilkannya segelas minuman dari hidangan yang disediakan.
Seruni mempersilahkan semuanya makan dulu, sementara dia menelpon suaminya.
“Dimana sih Mas, kok tiba-tiba menghilang.”
“Acara sudah selesai?” tanya Indra dari seberang.
“Sudah, tapi kami semua bingung mencari Mas dan Dayu.”
“Itulah, tadi Liando mencari Dayu, yang sudah diantar pak Karjo sopirnya kerena Liando terlambat datang. Liando meminta agar Dayu menunggu, tapi dia tak ada. Kata penerima tamu didepan, Dayu dijemout oleh seseorang yang mengaku karyawannya Liando. Dia bilang Liando sedang menunggu Dayu di salon.
“Ya Tuhanku.. sekarang belum ketemu?”
“Belum, kami sedang melaporkannya ke kantor polisi setempat.”
“Aduh, bagaimana ini, semua panik.”
“Aku juga tak bisa meninggalkan Liando, dia sangat shock, aku terus mendampinginya.”
“Ya Mas, sekarang sedang pada makan, aku akan membawa mereka pulang kerumah saja ya?”
“Ya, aku segera menyusul.”
Naya dan Susan mendekati Seruni.
“Bagaimana Bu?”
“Tampaknya Dayu diculik.”
“Apa?” teriak keduanya bersamaan.
“Penculiknya mengaku anak buahnya Liando yang disuruh menjemput Liando di salon.”
“Lalu bagaimana Bu? Kasihan Dayu, dibawa kemana dia?”
“Bapak dan Liando sedang melaporkannya ke polisi.”
“Jangan-jangan ini ulah Mama sama Anjas.”
“Addduh.. Mama kamu tuh,,” omel Seruni, membuat hati Susan semakin tak enak.
“Naya, ayo ikut aku kerumah Mama, semoga belum terlambat.”
Susan menarik tangan Naya, yang segera mengambil mobilnya lalu dipacunya kerumah Lusi.
***
“Sedih aku mikirin Mama.. kenapa nggak mau berhenti.. terus saja membuat susah orang lain.”
“Jangan dulu mengumpat Mama, Susan.. belum tentu itu perbuatan Mama kamu.”
“Naya, kamu belum tahu Mama aku..”
“Ya sudah, kita buktikan saja dulu..”
“Hati kamu terlalu baik Naya, itulah sebabnya walau aku lebih tua dari kamu, tapi aku sangat mencintai kamu. Aku ingin kamu bisa membimbing aku dalam melangkah, karena aku berangkat dari dunia yang kotor.”
“Susan...”
“Itu benar.”
Mobil Naya segera sampai dirumah Lusi, tapi rumah itu tampak terkunci. Susan turun, dan membuka pintu rumah, karena diantara Susan, Anjas dan Mamanya, masing-masing memiliki kunci rumah yang samai, sehingga setiap pulang entah dari mana tidak perlu berteriak kedalam minta dibukakan pintu.
Tapi rumah itu kosong. Naya mengikutinya dari belakang.
“Kosong.. dan seperti sudah berhari-hari tidak ditinggali.”
“Benar, bisakah kamu menghubungi Mama atau Kakak kamu, barangkali bisa mengatakan sesuatu?”
“Tidak mungkin bisa, pasti mereka sudah berganti nomor, dan aku hampir yakin memang merekalah pelakunya.”
“Mengapa harus Dayu?”
“Karena Dayu, maka Aliando menolak aku. Jadi Mama sangat membenci Dayu.”
“Apa kamu tidak membencinya?”
“Tidak, Dayu anak baik, dan aku tidak suka sama Liando.”
Keduanya keluar dari rumah itu karena tak menemukan apapaun.
“Kemana kira-kira mereka?”
“Mana aku tahu?”
Tapi Susan juga mencoba meghubungi Mama dan kakaknya.
“Tuh kan, nomornya mati. Pasti sudah ganti pula.,”
“Dua-duanya?”
“Dua-duanya.”
Keduanya pergi dengan kecewa. Tapi Susan merasa sangat tidak enak. Ia hampir yakin kalau Mamanya atau Anjas berperan dalam kejadian itu.
“Kamana kita?” tanya Naya.
“Aku tidak tahu harus mencari kemana. Kalau dia melakukannya, dia pasti bersembunyi disuatu tempat yang tak seorangpun bisa menduganya.”
“Bagaimana ini..”
“Aku berharap Tuhan segera memperingatkan Mama, entah seperti apa ujud dari peringatan itu.”
***
“Kemana ini.. mau dibawa kemana aku?” teriak Dayu tak henti-hentinya.
“Diam, kalau tidak aku perkosa kamu disini juga.”
Dayu terkesiap. Kata-kata itu membuat perutnya mual. Hatinya semakin miris.
“Toloooong..!” teriaknya lagi.
“Diam! Kita hampir sampai. Jangan takut aku memperkosamu yang pertama kali, aku hanyalah anak buah, pasti akan mendapat sisa-sisanya,” kata-kata itu membuat pengemudi mobil ikut tertawa terkekeh.
Dayu merasa dunianya sudah selesai.
” Kalau benar mereka akan melakukannya, lebih baik aku mati.” Kata Dayu dalam hati. Sekarang Dayu benar-benar lemas. Mobil itu memasuki sebuah halaman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon besar, sehingga sebuah rumah seperti tersembunyi dibaliknya.
Ketika mobil itu berhenti, Dayu tetap duduk ditempatnya, tapi laki-laki itu menarik tangannya kuat-kuat. Dayu meronta-ronta, tapi apa dayanya?
Mereka melemparkannya kedalam rumah dan membuat Dayu tersungkur dilantai. Tiba-tiba dari dalam rumah muncul dua orang. Anjas dan Lusi, dengan penampilan yang berbeda. Anjas dengan rambut gondrong yang diikat kebelakang, dan Lusi dengan potongan rambut cepak seperti laki-laki, dan berwarna kecoklatan. Kemarahan Dayu memuncak. Matanya menatap Anjas dan Lusi berganti-ganti, dengan amarah yang menyala-nyala. Tapi hatinya menjadi kecut, manakala disadari bahwa dirinya hanya sendirian ditempat itu.
“Kalian boleh pergi dan jangan datang kalau aku tidak memanggilmu!” perintah Anjas yang kemudian membuat laki-laki yang bersama Dayu beserta pengemudi mobil itu pergi.
Ketika keluar dari halaman, dilihatnya seorang laki-laki tua sedang berjongkok.
“Pengemudi mobil membuka kacanya dan berteriak.
“Hei.. ngapain kamu??”
“Oh.. ini.. sepeda motor.. ngadat..”
Bawa saja pergi dari sini, jangan jongkok disitu!” kata pengemudi mobil dan berlalu.
Mata laki-laki tua itu berkilat.
***
Anjas menutup pintu rumah dan menguncinya.
“Mama, calon permaisuriku sudah dandan dengan sangat cantik bukan?” tanya Anjas sambil cengar-cengir lalu mengelus rambut Dayu. Dayu menghindar.
“Jauhkan tangan kotormu dariku, berandal!” hardik Dayu.
“Ya ampun, cantik.. kamu bisa galak rupanya? Apa kamu tahu, bahwa kamu akan terus berada disini selama menurut, atau kamu aku habisi kalau tidak menurut?” kata Lusi sambil mengelus pipi Dayu.
“Aku tidak mengira, perempuan secantik kamu ternyata memiliki hati yang busuk seperti kotoran !” umpat Dayu. Sekarang Dayu tak bisa melawan, itu pasti, jadi Dayu sudah memilih kematian daripada terhina dengan kelakuan Anjas yang tidak bermoral.
“Cantik, bukankah kamu berdandan cantik karena sudah tahu bahwa akan menjadi pengantin aku?”
Dan tanpa diduga Anjas segera membopong tubuh Dayu, lalu membawanya masuk ke kamar dan melemparkannya ke atas ranjang.
Air mata Dayu mulai menitik.
“Ini adalah akhir hidupku. Dayu mencari-cari, dan ingat ada tusuk konde dihiasan rambutnya. Ia mencabutnya dan menggenggamnya erat ditangannya.
Ia bangkit dari ranjang dan melawan sejadi-jadinya.
“Heiii.. ya ampuun... kamu seperti kuda binal ya.. Mama.. tolong pegangi dia Mamaa” teriak Anjas.
Bersambung
No comments:
Post a Comment