Monday, April 7, 2014

Hasrat Memimpin

Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta menjadi pemimpin sebab jika engkau dijadikan pemimpin karena permintaanmu, maka engkau akan terbebani. Tapi jika engkau menjadi pemimpin bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu untuk mengatasinya.”(HR. Bukhari Muslim)

Demikian suatu kali Rasulullah SAW menasihati seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah. Ketika itu, ia meminta untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. Melalui hadis ini, Rasul tak bermaksud melarang mukmin terjun ke politik.

Terutama bila niatnya didasari tujuan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Namun niat baik saja tentu tak cukup. Sebab, seorang pemimpin hendaknya memiliki kompetensi mumpuni terkait amanah yang diembannya.

Untuk menjadi pemimpin yang baik, idealnya seseorang tak mengandalkan kharisma, popularitas, atau faktor kedekatan dengan penguasa. Hal lebih penting adalah kemampuan dan integritas moral.

Rasul bersabda saat Abu Dzar meminta jabatan. ‘’Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu amanah yang pada hari akhir hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang mampu menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.’’ (HR Muslim).

Hadis ini menyiratkan implikasi kepemimpinan tanpa kemampuan, yang akan berbuah ketidakamanahan. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya untuk tidak menonjolkan diri agar terpilih menjadi pemimpin.

Apalagi pada zaman itu, begitu banyak pribadi pilihan dengan jiwa kepemimpinan kuat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan karena para sahabat dikader langsung Rasul, maka beliau memahami potensi mereka.

Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW tak pernah lepas dari arahan wahyu dalam setiap pengambilan keputusan penting terkait pergantian kepemimpinan, juga bermusyawarah dengan para sahabat.

Namun sekali lagi, bukan berarti Islam mengharamkan seorang mukmin mengajukan diri menjadi pemimpin. Seperti  digambarkan Alquran, Nabi Yusuf mengajukan diri untuk menerima kepemimpinan.

Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (integritas), lagi berpengetahuan (kompetensi).” (QS Yusuf : 55).

Tampak jelas, bolehnya seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin setidaknya harus memenuhi sejumlah kriteria. Yakni integritas moral yang tinggi, kompetensi,  dan kapabilitas yang mumpuni serta rekam jejak yang bersih dan telah teruji.

Dalam Alquran dikisahkan, Nabi Yusuf mengajukan diri menjadi pemimpin setelah terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara negara. Krisis ekonomi  yang menimpa bangsa Mesir membutuhkan pemimpin baru yang solutif.

Mereka menemukan jawabnya pada sosok pribadi menawan dan potensi kepemimpinan Nabi Yusuf. Memegang tampuk kepemimpinan menjadi amal yang sangat terpuji manakala dilaksanakan dalam koridor ketaatan pada Allah dan RasulNya.

Buah sistem kaderisasi yang Rasulullah rintis adalah pemimpin dengan tipikal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin thalib, dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka membuktikan, kepemimpinannya tak didasarkan syahwat berkuasa.

Sementara, pemimpin bangsa di dunia yang hanya bermodalkan ambisi dan dorongan syahwat berkuasa tanpa menaati rambu-rambu Allah dan RasulNya, ternyata membawa rakyatnya kepada kehancuran.

Kekuasaan mereka berakhir dengan cara paling nista dan  kehinaan serta penyesalan di hari kiamat kelak.  “Sesungguhnya kalian meminta menjadi pemimpin. Nanti kalian akan mendapatkan penyesalan pada hari Kiamat…” (HR Bukhari).

Oleh: N Imam Akbari
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/05/n3jf4q-hasrat-memimpin

Pulang KeharibaanNya , Sudah Cukupkah Bekal Kita ?

Biasanya, mendekati hari raya Idul Fitri, ramai orang mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung halamannya. Mulai dari yang mempersiapkan tiket perjalanan, uang saku, fisik, dan hal lain sebagainya. Semua nampak begitu matang dipersiapkan guna menyambut event tahunan ini. Pulang kampung. Rindu yang membuncah dalam dada, membuat setiap waktu dalam perjalanan, begitu berharga. Kita akan bertemu orang yang kita cintai dikampung halaman. Kita akan berkumpul dengan orang yang kita sayangi disana. Betapa bahagianya saat-saat itu, saat semua berkumpul menjadi satu, melepas rindu menghilangkan pilu.
 
Namun sayang. Euforia pulang ke kampung halaman, tidak dibarengi dengan persiapan pulang ke kampung akhirat . Padahal, itulah tempat tinggal kita sebenarnya, kampung yang nantinya akan kita huni selamanya. Kita, mungkin jarang  menyadari bahwa kampung akhirat pun sedang menanti kita, setiap saat.
Apakah kita sudah mempersiapkannya ? Mempersiapkan rencana perjalanan menuju kesana. Sama halnya dengan pulang ke kampung halaman, pulang ke kampung akhirat pun memerlukan tiket. Tiket yang mengantarkan kita pada akhir dari tujuan hidup kita di dunia. Surga, atau Neraka. Dua tempat yang disediakan untuk kita, kelak.

Sudah cukupkah persiapan kita untuk menyambut kepulangan ke negeri akhirat ? Jangan-jangan persiapan kita masih sangat kurang. Kita tidak benar-benar serius untuk mempersiapkan bekal menuju akhirat yang abadi. Justru sebaliknya, kita malah disibukkan denga perkara dunia yang melenakan. Mungkin memang benar, bahwa, kita lebih mengkhawatirkan kehidupan di dunia, dibanding dengan masa depan kita di akhirat nanti. saking khawatirnya kita dengan kehidupan dunia, sampai-sampai kita lupa untuk mempersiapkan pembekalan kita untuk pulang ke negeri akhirat. Menumpuk harta, mengejar tahta, bersenang dengan dunia dan seisinya. Astagfirullah…

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (Q.S Ar Rum :7)”

Sadarilah, bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Semua yang kita miliki akan sirna seiring berjalannya waktu. Kelak, harta, tahta dan kesenangan dunia, akan meninggalkan kita, disaat nyawa dicabut oleh-Nya. Sudah semestinya kita mulai mempersiapkan bekal kita menuju negeri akhirat.  Bekal yang mampu menolong kita dari siksa api Neraka, bekal yang dapat memasukkan kita ke dalam Surga-Nya yang indah.

Persiapkan amal terbaik kita selama hidup di dunia, taat dan tunduk pada syariat-Nya. Itulah bekal yang mesti kita persiapkan sedari sekarang. Tak ada waktu untuk menunda-nunda melakukan kebaikan, karena kita memang tidak pernah tau kapan nyawa ini terlepas dari jasad. Sungguh, perjalanan ke Negeri akhirat sangatlah jauh, maka bersiap-siaplah.

http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/pulang-keharibaannya-sudah-cukupkah-bekal-kita.htm#.U0HXhKLJFng

Menghitung Dosa

Mungkin sebagian orang menganggap menghitung dosa sebagai sesuatu yang sepele. Tak penting. Atau malah dianggap kurang kerjaan. Tapi, bila seseorang menyadari bahwa suatu saat hidup akan berakhir, tak mungkin selamanya ada di dunia, maka menghitung dosa akan menjadi aktifitas wajib harian. Bagi seseorang yang berorientasi akhirat, menghitung dosa, bukanlah aktifitas tanpa maksud dan tujuan. Tetapi menjadi bagian dari ibadah untuk memastikan bahwa tidak ada dosa, dan kemaksiatan yang sengaja kita pilih setiap hari. Menghitung dosa bermaksud menjadikan diri pribadi yang benar-benar menaatiNya tanpa syarat apapun. Memastikan bahwa setiap langkah sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Menghitung dosa adalah ajang muhasabah diri. Bisa setiap malam menjelang tidur dilakukan. Perhatikanlah dan tanyakan pada diri sendiri, segala ucap, sikap dan perilaku yang kita lakukan sepanjang hari, sepanjang hidup yang telah dijalani.

Renungkanlah sebuah hadits berikut : “Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan?; (2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan?; (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan?; dan  (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan?. (Sunan At-Tirmidzî).”

Mari kita jujur menjawab dan menelusuri. Sampai pada usia kita saat ini, apa saja yang telah kita lakukan? Bagaimana sholat kita?  Masih ditinggalkan, bolong-bolong dan seperti burung atau tidak? Untuk kaum adam, sudahkah selalu berjamaah di masjid kecuali ada uzur? Bagaimana puasa dan zakat kita? Sudahkah bagi yang mampu menunaikan ibadah haji? Ataukah kita lebih memilih menambah koleksi mobil baru, rumah baru dan harta duniawi lainnya? Sudahkah kita memenuhi hak-hak orang miskin? Hak-hak anak yatim yang ada di sekitar kita atau bahkan dalam tanggungan kita?

Ilmu yang kita miliki, sudahkah diamalkan? Ilmu tentang sedekah, infaq, menutup aurat, riba, pergaulan dengan lawan jenis, muamalah, dan lain-lain, sudahkah tidak sekedar teori dalam kata? Bagi para suami, masihkah bangga saat istri bersolek ketika keluar rumah? Senang kecantikan istri dikagumi orang lain? Rela kejelitaan istri dinikmati pria lain? Lalu dimanakah letak pengayoman dan perlindunganmu terhadap istri tercinta duhai para suami? Bukankah semua orang tahu suami adalah imam, pemimpin rumah tangga yang berkewajiban mendidik istri dan menyelamatkan keluarga dari api neraka?

Tentang harta kita, darimanakah kita peroleh? Dari cara yang halal atau haram? Dari pinjam di bank, membungakan tabungan di bank, menjadi rentenir, korupsi, mencuri, markup, kolusi, hasil suap atau mengambil yang bukan hak kita? Atau dari hasil berdagang, bekerja, bertani, menjadi kuli dan cara halal lainnya?

Lalu, kemanakah harta yang kita miliki dibelanjakan? Untuk infaq, membantu fakir miskin dan si yatim, untuk kepentingan dakwah, untuk dibelanjakan di jalan Allah? Atau untuk kesenangan diri saja, sering ke restoran top, ke diskotik,  membeli minuman keras, berjudi, melancong keliling dunia, ke tempat lokalisasi, menambah koleksi rumah, baju, mobil, motor, tas, sepatu meski sudah memiliki lebih dari cukup, yang mungkin selangit harganya untuk kesombongan dan melupakan kezuhudan? Atau mungkinkah kita termasuk orang-orang yang suka berkali-kali pergi umroh atas nama ibadah dan panggilan jiwa, sementara tetangga dan orang-orang sekeliling kita membutuhkan pertolongan, makan pun belum tentu sehari sekali, rumah tak punya atau hanya gubug reyot, putus sekolah, sakit-sakitan karena tak mampu berobat?

Tentang badan, untuk apa kita gunakan? Kaki dibawa melangkah untuk menuntut ilmu, mengaji, sholat ke masjid, dan ke tempat-tempat penuh keberkahan? Atau justru dibawa ke tempat-tempat pelacuran, perjudian dan penuh kemaksiatan? Tubuh ditutup auratnya dengan sempurna, atau justru dibuka penuh bangga karena kulit yang mulus, rambut yang indah, dan body yang aduhai? Badan dijaga kesuciannya hanya untuk suami/istri tercinta yang berhak, atau justru dibiarkan dilihat, disentuh, dipeluk, dicium oleh pacar atau orang yang tidak dan belum halal? Mulut digunakan untuk mengucapkan hanya yang baik-baik saja, atau justru untuk mencaci maki, melaknat, mengghibah, menjuluki orang lain dengan kata-kata buruk, mengajak dan mempengaruhi orang lain bermaksiat, serta diumbar mengikuti hawa nafsunya? Wajah digunakan hanya untuk bersolek bagi suami tercinta saat di rumah, atau justru sebaliknya? Didandani sedemikian rupa, ada lipstik bergayut di bibir, pemerah wajah merona, menggunakan bulu mata palsu, eyeshadow, bertabaruj berhias seperti orang-orang kafir saat keluar rumah, saat suami sebagai satu-satunya yang berhak menikmati kecantikan tak ada di sisi? Sekalipun untuk pergi sholat berjamaah saat hari raya, bersolek menghias wajah dan memakai wangi-wangian yang tercium pria non muhrim didampingi sang suami tetaplah salah. Allah tak memandang  sholat seseorang dari lipstik yang dipakai, atau dari wajah yang bersolek.

Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah padaNya. Jadi pastikan setiap langkah adalah untuk dan karena ibadah kepadanya. Allah Maha Tahu, lebih tahu tentang kita, tak mungkin menciptakan seperangkat aturan yang manusia tak mampu memenuhinya. Setiap diri kita pasti mampu menjalankan seluruh kewajiban yang Allah bebankan. Tinggal kita mau atau tidak. Setiap diri pasti mampu untuk sholat, puasa, menutup aurat dan bergaul sesuai aturanNya, hanya saja kita mau atau tidak menjalankannya. Setiap diri pasti mampu untuk mendapatkan harta dengan cara halal, hanya saja kita mau bersabar atau tidak.

Hitunglah dosa kita, selagi masih bisa melakukan. Selama nafas masih dikandung badan. Menghitung bukan untuk kesombongan dan merasa diri lebih baik dan suci dari orang lain. Namun, untuk memperbaiki diri terus menerus agar menjadi hamba yang mutaqqin. Untuk mengintrospeksi diri tiada henti, agar benar ucapan kita dalam sholat, bahwa hidupku matiku, hanya untuk Allah. Untuk menyelamatkan diri kita agar tidak semakin dalam terjerumus dosa dan kemaksiatan. Sesungguhnya perbuatan dosa ada dalam ranah pilihan manusia. Kemaksiatan ada dalam wilayah kekuasaan manusia. Manusia bebas memilih. Tak pernah Allah menciptakan manusia sebagai seorang pendosa, pelacur, koruptor, penjudi, artis pengumbar aurat dan lain lain. Tetapi manusia sendirilah yang mendholimi diri sendiri dengan memilih jalan yang salah. Bukankah Allah telah berfirman, telah Kutunjukkan dua buah jalan. Jalan kebenaran dan kemaksiatan. Telah disediakanNya pula dua tempat, Syurga dan Neraka. Kita bebas menentukan pilihan. Silakan pilih yang mana. Semua terserah kita. Wallahu’alam.

http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/menghitung-dosa.htm#.U0HUJKLJFng

Thursday, April 3, 2014

Indahnya Kelembutan

Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan dan mencintai kelembutan. Akan tetapi, karena ego, hawa nafsu atau kepentingan sesaat, banyak manusia yang kemudian berubah menjadi orang yang kasar, beringas, dan kejam.

Padahal, ego, hawa nafsu, dan mengutamakan kepentingan sesaat sama sekali tidak memberikan maslahat.

Jadi wajar jika manusia yang kasar, beringas, dan kejam tidak akan mendapat ridha dari Allah SWT sebab Allah tidak mencintai kecuali kelembutan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Syarah Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi mengatakan, hadis itu menjelaskan tentang perintah agar umat Islam bersikap lemah lembut. Baik dalam ucapan maupun perbuatan serta memilih hal paling mudah.

Hal demikian melahirkan hubungan harmonis dan akrab. Sangat penting bagi Muslim untuk melatih lidahnya dengan adab sopan santun dan tidak membiasakan diri mencela orang lain, entah itu terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap saudara seiman.

Karena itu, Rasulullah SAW mengingkari jawaban berlebihan Aisyah kepada Yahudi, meskipun mereka memang berhak mendapat celaan.

Hal itu tidak lain karena Allah SWT telah melaknat dan memurkai Yahudi melalui beberapa ayat Alquran secara gamblang dan terbuka.

Bahkan terhadap seorang penguasa zalim sekelas Fir’aun pun Allah memerintahkan Nabi Musa berkata lemah lembut. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.’’ (QS 20 : 44).

Dengan demikian sungguh tidak ada satu pun alasan yang membolehkan kita mencela orang lain, seburuk apa pun orang tersebut.

Sebab, jika dia memang buruk, kafir, dan menentang Islam, Allah pasti memasukkannya pada kelompok terkutuk dan terlaknat.

Akan jauh lebih indah jika kita berusaha fokus membina diri menjadi pribadi yang santun dan lemah lembut. “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan tidak pula Dia berikan kepada yang lainnya.’’ (HR Muslim).

Memaknai hadis tersebut,  Imam Nawawi menjelaskan, kelembutan adalah seutama-utamanya akhlak dari seluruh akhlak mulia lainnya. Dengan kelemahlembutan itulah Rasulullah SAW bisa sukses besar dalam menjalankan misi dakwahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS. 3: 159).

Subhanallah, ternyata lemah lembut adalah rahmat dari Allah. Jika demikian, tidakkah kita tertarik menjadi Muslim yang berperangai lemah lembut?


Oleh Imam Nawawi
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/18/n2lyot-indahnya-kelembutan

Mencari Kebahagiaan Yang Hakiki

Ada yang berpendapat mencari kebahagiaan itu ibarat mengumpulkan serpihan kaca yang pecah. Ada yang berhasil mengumpulkan lebih banyak dan ada yang mengumpulkan paling sedikit.Tetapi tidak ada seorang pun yang berhasil mengumpulkan kesemuanya. Karena ketika mengumpulkannya, pasti ada yang terluka..'
 
Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita ini barada di antara orang-orang yang bahagia? Mungkin ada di antara kita yang memiliki harta berlimpah ruah, tetapi tidak merasa bahagia. Ada pula yang memiliki kemasyhuran dan kedudukan yang tinggi, namun tidak pernah merasa bahagia.
 
Kalau begitu, ternyata ukuran bahagia itu tidak terletak pada banyaknya harta, bukannya pula kedudukan, dan bukan juga pada kehebatan seseorang. Lalu, di manakah kebahagiaan itu, dan bagaimana pula kita mendapatkannya ?
 
Allah SWT berfirman:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).
 
Jadi jelas dan tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini, bahwa satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; yaitu ta'at dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.
 
Inilah konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini, baik dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja “Mendapatkan Ridho Allah SWT

Tafakur


‘’Ambillah pertolongan untuk kata-katamu dengan diam dan untuk ilmu dengan bertafakur.’’ Demikian Imam Syafii menuturkan nasihat kepada kita.
Menurut beliau, obat dari ucapan dan kata-kata adalah diam, dengan diam kita mampu menghindar dari segala penyakit lisan.

Di samping itu pula, beliau memaparkan cara ampuh bagi kita untuk mendapatkan ilmu yakni dengan bertafakur.
Tafakur yaitu suatu pekerjaan dalam bentuk memikirkan kekuasaan Allah SWT atas kehidupan manusia dan alam semesta dengan akal dan hati.

Allah SWT sangat menganjurkan kepada kita selaku hamba-Nya untuk senantiasa mengerjakan pekerjaan ini.
Dia menyebut mereka yang dapat bertafakur dan mengambil tanda-tanda kebesaran-Nya atas penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam sebagai ulul ‘azmi (orang-orang yang berakal). (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Tafakur dapat kita kerjakan setiap waktu. Tak ada waktu khusus dalam melaksanakannya. Bisa setelah selesai shalat, sebelum tidur maupun saat bekerja.
Tetapi dari sekian waktu, ada saat yang sangat istimewa untuk bertafakur yakni sepertiga malam, selepas shalat malam.

Lantas, dalam hal apa saja kita dianjurkan untuk bertafakur? Pertama, kemaksiatan. Dalam melaksanakan rutinitas sehari-hari banyak kata, pekerjaan, maupun perasaan yang tidak kita sadari telah melenceng ke arah keburukan atau kemaksiatan.

Begitu pula dari sisi makanan dan pakaian yang kita pakai. Saat kita tahu langkah telah melenceng menuju kemaksiatan, kita perlu memohon ampun kepada Allah dan segera meninggalkannya.Kedua, ketaatan kepada Allah.

Dalam hal ini,  yang kita renungkan adalah ketaatan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT. Apakah kita melaksanakannya dengan sempurna atau malah sebaliknya penuh kekurangan.

Saat tahu kita sarat kekurangan dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah, kita dapat menutupinya dengan ibadah-ibadah sunah yang lain. Ketiga, sifat-sifat merusak dalam hati. Segala ucapan dan tindakan berawal dari hati.

Ketika hati kita bersih, ucapan dan tindakan akan baik, tetapi manakala kotor maka akan berakibat sebaliknya.
Dengan begitu kita perlu berpikir untuk mengetahui sifat-sifat yang merusak dalam hati seperti marah, sombong, iri, dan berprasangka buruk.

Dengan mengetahui sifat-sifat tersebut, kita akan berusaha untuk mengobati dan membersihkannya dari dalam hati. Poin yang terakhir adalah bertafakur mengenai sifat-sifat yang dapat menjadi penyelamat bagi diri kita.

Setelah rampung menjalani proses tafakur dari awal hingga akhir,  kita perlu berpikir tentang sifat-sifat baik yang dapat menyelamatkan diri dari segala macam keburukan. Misalnya, tobat, sabar, syukur, ikhlas, dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan demikian tentu kita akan terus condong kepada kebaikan dan senantiasa taat kepada Allah. Di samping itu, dengan tafakur kita mampu mengambil hikmah, menambah keimanan kepada Allah, dan menanamkan rasa takut dalam diri untuk mengerjakan kebatilan.

Ibnu Hatim berucap dalam syairnya, ‘’Dengan pengalaman seseorang bisa menambah ilmu, dengan berzikir ia mampu menambah cinta, dan dengan tafakur ia dapat menambah rasa takut.’’

M Sinwani

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/01/n3bomc-tafakur

Pangkal Kerusakan Bangsa

Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, meriwayatkan hadis berbunyi, Hubbuddunya ra’su kulli khathi’ah (cinta dunia adalah biang semua kesalahan). Maksud istilah cinta dunia di sini adalah kondisi seseorang mencintai kesenangan dunia baik berupa harta, wanita, atau tahta sehingga membutakan hatinya dan lalai terhadap akhirat. (Lihat QS Al A’la 16-17, Al qiyamah 20-21). Cinta dunia yang sudah membutakan hati, mendorong seseorang berani korupsi, merampok, berjudi, dan melakukan kemaksiatan lainnya.

Rasulullah SAW bersabda,’’Tiadalah cinta dunia itu menguasai hati seseorang kecuali dia akan diuji dengan tiga hal yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.’’ (HR Ad Dailami ). Allah SWT juga menimpakan berbagai musibah kepada suatu kaum, jika cinta dunia mendominasi relung hati mereka.

Rasulullah SAW bersabda,’’ Umatku akan selalu dalam kebaikan selama tidak muncul cinta dunia kepada para ulama fasik, qari yang bodoh, dan para penguasa. Bila hal itu telah muncul, aku khawatir Allah akan menyiksa mereka secara menyeluruh.’’ (Lihat Kitab Ma’rifat as Shohabah karangan Abi Nu’aim, juz 23 hal 408).

Rasulullah SAW mengkhawatirkan masa depan umat ini, bila umatnya menguasai dunia. Beliau bersumpah,’’ Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan tapi aku khawtir seandainya dunia ditaklukkan kamu sekalian seperti ditaklukkan orang-orang sebelum kamu, akibatnya kamu berlomba mencari dunia seperti mereka berlomba dan duniapun mengahancurkan kamu seperti menghancurkan mereka.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Mengapa cinta dunia disebut sebagai pangkal semua bentuk dosa dan kesalahan serta merusak keberagamaan seseorang? Ini bisa ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, mencintai dunia yang berlebihan akan menimbulkan sikap mengagungkannya.

Padahal, dunia di hadapan Allah sangat rendah. Mengagungkan apa yang dianggp hina oleh Allah termasuk dosa besar. Kedua, Allah SWT melaknat dunia dan membencinya kecuali dunia yang digunakan untuk kepentingan agama-Nya.

Siapa mecintai yang dilaknat Allah, ia dibenci Allah dan diuji-Nya. Ad Daylami meriwayatkan hadis yang menyatakan, dosa besar yang paling besar adalah cinta dunia. Ketiga, kalau seseorang cinta dunia berlebihan, dunia jadi sasaran akhir hidupnya.

Orang itu akan menjadikan akhirat sebagai sarana mendapatkan dunia. Seharusnya dunia ini dijadikan wasilah untuk menanam investasi akhirat.
Keempat, mencinta dunia akan menghalangi seseorang dari urusan akhirat.

Menghalangi pula mereka dari keimanan dan syariat. Cinta dunia bisa merintangi mereka menjalankan kewajiban atau minimal malas berbuat kebajikan. Kelima, mencintai dunia mendorong kita menjadikan dunia sebagai orientasi hidup.

Rasulullah bersabda,’’Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah memberikan kekayaan dalam hatinya, mengumpulkan semua usahanya dan dia akan dihampiri dunia walaupun dia enggan. Dan barangsiapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah menjadikan kefakiran di depan matanya dan menceraiberaikan usahanya dan tidak dibagikan dunia kepadanya kecuali yang sudah ditakdirkannya.’’ (HR At Turmudzi).

Keenam, pencinta dunia disiksa berat dalam tiga tahapan. Di dunia tersiksa dengan berbagai kepayahan dalam mencarinya, di alam kubur merasa sengsara karena harta dunia yang telah dicarinya tidak dibawa ke alam barzakh.

Dan di alam akhirat, dia akan menjumpai kesusahan berat saat dihisab. Siksa inilah yang ditegaskan surah at-Taubah ayat 55. Semoga Allah menjadikan kita sebagai penguasa dunia dan bukan ditaklukkan olehnya. Amin.

Achmad Satori Ismail

 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/03/n3fac8-pangkal-kerusakan-bangsa

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER