Friday, December 26, 2014

Engkau Lebih Tahu Urusan Duniamu (2)

Beliau tidak menyetujui
pendapat Umar yang menghendaki mereka
dibunuh. Tetapi kemudian turun ayat yang
membenarkan pendapat Umar . Allah
berfirman : “Tidak patut bagi Nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi”. (Q.S. al Anfal, 67).
Bayangkan…! Bahkan Tuhan lebih membenarkan
pendapat Umar padahal Nabi sendiri lebih
cenderung pada pendapat Abu Bakar!
Ada beberapa ayat yang turun karena Umar.
Umar pernah menyampaikan keinginannya
kepada Nabi saw. agar maqam Ibrahim
dijadikan tempat shalat. Maka turunlah ayat:
“Dan jadikanlah maqam Ibrahim tempat
shalat” . ( Q.S. al Baqarah, 125). Ia juga pernah
menyampaikan kepada Nabi saw.: “Bagaimana
kalau anda perintahkan saja isteri-isteri anda
untuk memakai hijab ( penutup wajah ). Sebab
mereka dilihat bukan saja oleh orang baik-baik,
tetapi juga orang-orang yang jahat”. Lalu Allah
menurunkan ayat: “Apabila mereka meminta
sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir”. (Q.S.
al Ahzab, 53).
Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat-
pendapat Umar yang sejalan dengan kehendak
Allah berjumlah 14 masalah. Antara lain;
usulannya kepada Nabi agar tidak
menyembahyangi jenazah Abdullah bin Ubay
bin Salul. Al Qur-an menyatakan :”Dan
janganlah kamu sekali-kali menyembahyangi
(seorang) yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di
kuburnya …”. (Q.S. al Taubah, 84). Umar juga
berkeinginan mendapatkan penjelasan yang
tegas mengenai persoalan khamr (minuman
keras). Ia mengemukakan keinginan itu dalam
do’anya : “Ya Allah, berikan kami kejelasan
tentang khamar secara tegas dan tuntas. Maka
turunlah ayat yang mengharamkannya.
http://
ceritainspirasimuslim.blogspot.com/2010/04/
umar-bin-khaththab-al-faruq-ra.html
Ini semua menunjukkan bahwa Allah tidaklah
‘sewenang-wenang’ dalam menetapkan aturan
meski pun tentu saja Allah adalah Maha
Berkuasa. Bahkan tidak selamanya Tuhan
membenarkan pendapat NabiNya dan
mengesampingkan pendapat sahabat Nabi yang
hanya manusia biasa. Tuhan itu demokratis…!
Apa bukti lain bahwa Tuhan itu demokratis dan
tidak sewenang-wenang? Salah satu bukti yang
sangat penting adalah tentang masalah IMAN.
Kalau Tuhan ingin semua manusia beriman ,
mengapa dia membiarkan orang menjadi kafir
atau atheis? Padahal ia Maha Kuasa untuk
membuat semua hambaNya beriman. Ini bukti
bahwa Tuhan tidak hanya Maha Kuasa, tapi juga
Maha Demokratis. Dia tidak mendikte, tetapi
memberi pilihan. Dengan konsekuensi tentunya.
Jika kita memilih beriman maka ada reward dan
ada caranya. Tuhan tetap memberi panduan
dan petunjuk melalui Rasul dan Kitab-Nya.
Tuhan juga memberi kita akal agar bisa berpikir
dan memilih sendiri mana jalan yang akan kita
lalui, jalan yang lurus atau jalan yang sesat.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya? (QS
Yunus ayat 99)
Tentu dengan sangat mudah saja Tuhan bisa
menjadikan semua manusia menjadi
pengikutNya. Tapi Tuhan ingin manusia beriman
karena kehendak mereka sendiri, bukan dengan
paksaan. Maka Tuhan memberi kita petunjuk
dan akal, tapi kita sendirilah yang memutuskan
apakah hendak mengikuti petunjuk itu atau
tidak dengan mempergunakan akal kita. Justru
keimanan sesorang pada Tuhan itu harus
didasarkan pada kemerdekaan memilih yang
diberikan oleh Allah khusus pada mahluk yang
namanya manusia, dan kemerdekaan adalah
salah satu pilar demokrasi yang hakiki.
”Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin
(beriman), hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia
kafir.” (QS. Al-Kahf ayat 29).
”Tidak ada paksaan dalam menganut agama.
Sesungguhnya telah jelas antara yang benar dan
yang sesat.” (QS. Al-Baqarah 2:256).
Kepada para Nabi pun Tuhan berpesan agar
tidak memaksa. Nabi hanyalah seorang pemberi
peringatan, keputusan untuk mengikuti atau
tidak ada dalam diri setiap manusia masing2.
“Jika mereka berserah diri, maka sesungguhnya
mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanya
menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-
hambaNya.” (QS. Al-’Imran ayat 20)
Contoh lain adalah soal perintah sholat. Ketika
mi’raj, awalnya Tuhan memerintahkan shalat
sebanyak 50 rakaat. Nabi Muhammad kemudian
menawar jumlah rakaat itu diturunkan dengan
alasan umatnya tidak akan kuat sholat sebanyak
itu dalam sehari semalam. Tawar menawar itu
terjadi beberapa kali hingga akhirnya disepakati
shalat hanya 5 rakaat.
Bukankah ini semua menunjukkan betapa
demokratisnya Allah SWT? Lantas mengapa
dikatakan bahwa demokrasi itu adalah sistem
kufur. Padahal Tuhan sendiri yang mengajrkan
pada kita bagaimana bersikap demokratis…?!

Balikpapan, 11 Desember 2011
Salam
Satria Dharma

Engkau Lebih Tahu Urusan Duniamu (1)

Suatu ketika Rasulullah mendapati penduduk
Madinah sedang mengawinkan benih kurma
dengan penyerbukan. Melihat ini Rasulullah lalu
mengomentari apa yang dilakukan oleh
penduduk Madinah tersebut dan bertanya
mengapa benih kurma itu mesti dikawinkan
segala. Mengapa tidak dibiarkan begitu saja
secara alamiah. Penduduk Madinah yang petani
kurma itu sangat menghormati Nabi Muhammad
sebagai pemimpin panutannya. Ia lalu
mengikuti saran Rasulullah dan berhenti
mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata
produksi kurmanya menurun karenanya.
Panennya berkurang karena mengikuti saran
Rasulullah. Para petani kurma kemudian
melaporkan panen kurma yang menurun itu
kepada Rasulullah. Rasulullah kemudian sadar
akan keterbatasan pengetahuannya tentang
menanam kurma. Maka keluarlah sabda
Rasulullah: Wa Antum A’lamu biAmri Dunya-
kum, kamu sekalian lebih mengetahui urusan
duniamu. http://www.mail-archive.com/
jamaah@arroyyan.com/msg00446.html
Apa artinya ini?
Ketika Nabi saw memberikan nasihat tentang
cara mengawinkan pohon kurma supaya
berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah
memasukkan otoritas agama untuk urusan
duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan
wahyu atau kewenangan untuk itu. Untuk
manusia setingkat Nabi apa pun perkataannya,
sikapnya, dan bahkan diamnya pun bisa
dianggap sebagai hukum, aturan, dan
ketentuan. Tapi ternyata dalam masalah
menanam kurma ini pendapat beliau keliru.
Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka
para petani kurma itu mengadu lagi kepada
Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau.
Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu
itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu
berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku,
tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia
kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri
dunyaakum” kamu sekalian lebih mengetahui
urusan duniamu. Rasulullah mengakui
keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu
untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang
paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk
urusan dunia di jaman beliau pun beliau
bukanlah orang yang paling tahu. Jadi tidak
mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk
mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan
dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di
jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita
harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek
dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha
wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan
bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami
dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau
dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.
Mengapa saya mengungkapkan kembali kisah
ini? Karena ternyata masih saja banyak umat
Islam itu yang tidak paham soal ini. Mereka
menganggap bahwa Islam yang dibawa oleh
Rasulullah itu sudah mengatur segala
sesuatunya urusan dunia dan akhirat sampai
sedetil-detilnya mulai jaman dulu sampai nanti
pada waktu kiamat. Haah…?! Yang benar
sajalah…!
Seorang teman yang menjadi anggota organisasi
politik Islam transnasional selalu mengritik
demokrasi dan mengatakan bahwa demokrasi
itu ‘haram’ karena bertentangan dengan ajaran
Islam. Katanya dalam ajaran Islam semua
peraturan kehidupan di dunia HARUS berasal
dari Allah. Alasannya karena Allahlah yang
menciptakan manusia sehingga Allahlah yang
paling tahu bagaimana mengatur kehidupan di
dunia. Bahkan jika kita membuka-buka di
internet maka akan kita temukan indoktrinasi
mereka yang mengatakan bahwa demokrasi itu
sistem kufur. http://hizbut-
tahrir.or.id/2009/04/11/demokrasi-sistem-kufur-
cover/
Berikut ini saya kutipkan argument tentang
kekufuran system demokrasi.
Demokrasi Sistem Kufur
Demokrasi adalah suatu konsep tentang realita
kehidupan dimana manusia berkehendak untuk
membuat peraturan hidupnya (Demos: rakyat;
kratos: pemerintahan). Padahal, aturan hidup
itu sudah dibuat oleh Allah SWT dengan sangat
sempurna. Allah SWT sebagai pencipta alam
semesta, manusia dan kehidupan ini sudah
menyertakan tata cara “penggunaan” alam
semesta sebagaimana sebuah pabrik membuat
aturan pakai tentang suatu produk yang
dibuatnya. Jika Allah sudah menciptakan sebuah
aturan untuk hidup ini maka mengapa kita
sebagai manusia berani untuk membuat aturan
lain selain aturan Allah SWT yang Maha
Mengetahui kondisi alam semesta?
Perintah untuk memutuskan perkara kehidupan
menurut aturan Allah adalah wajib hukumnya,
maka apakah kita akan menginginkan aturan
manusia sebagai pengatur kehidupan ini.
Sebagai umat Islam, kita jangan sampai tertipu
oleh tipu daya orang-orang kafir bahwa
demokrasi merupakan sistem politik paling baik
yang bisa mengakomodir kepentingan seluruh
umat manusia. Anggapan sesat ini membuat
kaum Muslimin berpaling dari aturan Allah SWT
dan masuk ke dalam kubangan maksiat secara
berjamaah.” http://nchiedive.multiply.com/
journal/item/341?&show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem
Jika kita baca sekilas argumen ini nampak seolah
benar. Padahal argumen yang digunakan jelas
salah kaprah. Banyak umat Islam yang
menghantam demokrasi dengan mengatakan
bahwa demokrasi itu berarti tidak mengakui
aturan Tuhan. Tentu saja itu salah besar.
Apakah benar dalam ajaran agama Islam bahwa
untuk mengatur kehidupan di dunia Tuhan
harus selalu hadir…?! Tentu saja tidak. Agama
tidak diturunkan untuk itu. Contohnya ya soal
bagaimana menyerbukkan benih kurma
tersebut. Bahkan Rasulullah tidak memiliki
pengetahuan yang lebih baik ketimbang petani
kurma Madinah sehingga beliau menyatakan
bahwa “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”,
Engkau lebih tahu tentang urusan duniamu.
Apatah lagi soal urusan dunia ultra-modern
sekarang ini.
Sebagai contoh, untuk mengatur lalu-lintas
apakah Tuhan harus mengeluarkan aturan?
untuk urusan pertanian, perkebunan,
perkantoran, peraturan sekolah, dll apakah
harus diatur oleh Tuhan? Untuk pembagian shift
kerja apakah Tuhan juga harus turun tangan…?!
Itu kan juga peraturan…?!
Lha lantas apa gunanya Tuhan memberi kita
otak dan agama kalau semuanya masih harus
diurusi oleh Tuhan…?! Mbok ya bikin sendiri gitu
lho aturan untuk kehidupanmu. Ndak usah
sedikit-sedikit minta ‘fatwa’, sedikit-sedikit minta
Tuhan turun tangan, dlsb. Kayak binatang dan
tanam-tanaman aja…!
Mereka yang membenturkan demokrasi dengan
ajaran agama berkilah bahwa demokrasi itu
‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ lantas
di mana peran Tuhan kalau semuanya serba
rakyat? Katanya dalam demokrasi Tuhan tidak
punya peran karena sudah diambil alih semua
oleh rakyat. Makanya itu menjadi sistem yang
kufur. Masya Allah…! Kita memang tidak sedang
bicara tentang kekuasaan Tuhan (karena Tuhan
memang berkuasa atas segala sesuatu). Itu
domain yang berbeda.
Demokrasi itu lawannya adalah kesewenang-
wenangan dan totaliterisme. Jadi jika tidak
demokratis maka tentu totaliter. Mereka yang
menolak negara yang demokratis berarti ingin
negara yang totaliter yang pemimpinnya
memegang kekuasaan absolut di mana rakyat
tidak punya perwakilan atau suara. Hanya orang
yang tidak paham yang membenturkan antara
demokrasi dengan kekuasaan Tuhan.
Coba bayangkan bagaimana mungkin manusia
bisa hidup jika SEMUA aturan harus datang dari
Tuhan. Apakah peraturan lalu lintas juga harus
datang dari Tuhan? Apakah UU Tenaga Kerja
harus datang dari Tuhan? Peraturan dan
Undang-undang Pertambangan, Migas,
Kesehatan, KDRT, dll harus dari Tuhan…?! Lha
apa kerjanya manusia kalau minta semuanya
disediakan oleh Tuhan? Bukankah manusia itu
sudah dijadikan ‘khalifah’ oleh Tuhan agar bisa
mengurusi dirinya dan alam semesta ini…?! Lha
kok sekarang semua mau dikembalikan pada
Tuhan sih…?!
Mereka yang menghantam demokrasi dan
mempromosikan sistem yang katanya syar’i dan
berasal dari Al-Qur’an dan hadist MAU TIDAK
MAU pasti akan membuat aturan-aturan juga
untuk mengurusi segala sesuatunya. Dan apakah
mereka mau MENGAKU-NGAKU bahwa aturan
yang mereka buat itu sebagai ‘aturan Allah’…?!
Bagaimana organisasi politik tersebut bisa
menetapkan bahwa UU yang akan dihasilkan
oleh pemimpinnya nanti adalah benar-benar
‘aturan Allah’ padahal sepenuhnya merupakan
hasil pemikiran mereka sendiri…?! Bukankah
pada akhirnya nantinya mereka juga akan
menggunakan sistem demokrasi?
Bahkan Tuhan itu sangat demokratis meski pun
terhadap manusia ciptaanNya. Dalam beberapa
permasalahan di mana Rasulullah dan para
sahabatnya berbeda pendapat ternyata Tuhan
justru membenarkan sahabat (dalam hal ini
Umar). Contohnya adalah dalam hal penentuan
nasib tawanan Perang Badar. Ketika Perang
Badar Nabi saw mengajak sahabat-sahabatnya
membahas masalah tawanan perang Badar. Abu
Bakar mengusulkan agar umat islam meminta
tebusan atas tawanan tersebut. Sedangkan
Umar mengusulkan agar para tawanan tersebut
dibunuh karena kalau dibebaskan mereka akan
kembali lagi memusuhi umat Islam. Mereka
tidak akan jera karena toh bisa menebus diri
dengan harta. Dan itu tentu akan
menguntungkan kaum kafir karena mereka lebih
kaya daripada umat Islam. Umat Islam akan
terus menerus diperangi oleh orang-orang yang
sama. Tapi Nabi menyetujui pendapat Abu
Bakar yang mengusulkan mereka tidak dibunuh
tapi dijadikan tebusan.

Sunday, July 27, 2014

Ketupat


KETUPAT tdk lepas dari perayaan Idul Fitri. Dlm perayaan idul fitri, tentunya di situ ada satu hal yg tdk pernah pisah dr perayaan ketupat lebaran. Istilah tsb tlh m'jamur di semua kalangan umat Islam t'utama di pulau Jawa.

Ketupat atau Kupat sangatlah identik dgn Hari Raya Idul Fitri. Buktinya saja dimana ada ucapan Selamat Idul Fitri t'tera gambar dua buah ketupat atau lebih. Apakah Ketupat ini hanya sekedar pelengkap Hari Raya saja ataukah ada sesuatu makna yg t'kandung di dlmnya

Ketupat.

Sejarah Ketupat. Adalah kanjeng Sunan Kalijaga yg pertama kali m'perkenalkan pd masyarakat jawa. Sunan Kalijaga m'budayakan 2 kali BAKDA, yaitu Bakda Lebaran n Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesdh lebaran. Pd hari yg disebut BAKDA KUPAT tsb, di tanah Jawa wkt itu hampir setiap rmh t'lihat m'anyam ketupat dr daun kelapa muda.

Stlh selesai dianyam, ketupat diisi dgn beras kemudian dimasak. Ketupat tsb diantarkan ke kerabat yg lebih tua, sbg lambang keb'samaan.

Arti Kata Ketupat. Dlm filosofi Jawa, Ketupat Lebaran bukanlah sekedar hidangan khas Hari Raya Lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dlm bhs Jawa merupakan kependekan dr Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya m'akui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.

Ngaku Lepat. Tradisi sungkeman m'jadi implementasi ngaku lepat (m'akui kesalahan) bagi orang : jawa. Prosesi sungkeman yakni b'simpuh di hadapn org tua seraya mmohon ampun, dan ini msh m'budaya hingga kini. Sungkeman m'ajarkan pentingnya m'hormati org tua, b'sikap rendah hati, mmohon keikhlasan dan ampunan dr org lain, khususnya org tua.

Laku Papat. Laku papat artinya empat tindakan dlm perayaan Lebaran.

Empat tindakan tersebut adalah : 1. Lebaran. 2. Luberan. 3. Leburan. 4. Laburan.

Arti Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan. Lebaran. Lebaran : B'makna usai, menandakan b'akhirnya wkt puasa. B'asal dr kata lebar yg artinya pintu ampunan tlh t'buka lebar.

Luberan : B'makna meluber atau melimpah. Sbg simbol ajaran b'sedekah utk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah m'jelang Lebaran pun selain m'jadi ritual yg wajib dilakukan umat Islam, jg m'jadi wujud kepedulian kpd sesama manusia.

Leburan : Maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pd momen Lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis krn setiap umat islam dituntut utk saling memaafkan satu sama lain.

Laburan : B'asal dr kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yg biasa digunakan utk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya spy manusia slalu m'jaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.

Nah, itulah arti kata ketupat yg sebenarnya. Selanjutnya kita akan m'coba m'bahas filosofi dari ketupat itu sendiri.

Filosofi Ketupat :

1. M'cerminkan B'ragam kesalahan manusia. Hal ini bi t'lihat dr rumitnya bungkusan ketupat ini.

2. Kesucian hati. Stlh Ketupat dibuka, maka akn t'lihat nasi putih dan hal ini m'cerminkan kebersihan dan kesucian hati stlh memohon ampunan dari segala kesalahan.

3. M'cerminkan kesempurnaan. Bentuk Ketupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dgn kemenangan umat Islam stlh sebulan lamanya b'puasa dan akhirnya m'injak Idul Fitri.

4. Krn ketupat biasanya dihidangkan dgn lauk yg b'santan, maka dlm pantun Jawa pun ada yg bilang "KUPAT SANTEN", Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf).

Itulah makna, arti serta filosofi dari ketupat. Betapa besar peran Para Wali dlm m'perkenalkn Agama Islam dgn menumbuh-kembangkan tradisi budaya sekitar, spt tradisi Lebaran dan hidangan ketupat. Oleh krn itu, kita seharusnya memuliakan budaya atau ajaran yg tlh disampaikan para Wali di Indonesia. Ketok e riyaya ne bareng tgl 28 Juli..

Oleh: Astihoet

Friday, July 25, 2014

Ramadhan

Aku lihat RAMADHAN dari kejauhan... Lalu kusapa ia..."Hendak ke mana?" Dengan lembut ia berkata, "Aku harus pergi, mungkin JAUH & sangat LAMA.

Tolong sampaikan pesanku untuk orang MUKMIN:

"Syawal akan tiba sebentar lagi, ajaklah SABAR untuk menemani hari-hari dukanya, peluklah ISTIQOMAH saat ia kelelahan dalam perjalanan TAQWA, bersandarlah pada TAWADHU saat kesombongan menyerang, mintalah nasehat QUR'AN & SUNNAH di setiap masalah yang dihadapi...

Sampaikan pula salam & terima kasih untuknya karena telah menyambutku dengan suka cita dan melepas kepergianku dengan derai air mata...
Kelak akan kusambut ia di SURGA dari pintu AR RAYAN...

Selamat meraih pahala terbaik di detik-detik terakhir RAMADHAN...

Masih ada beberapa hari lagi untuk bercengkrama dengan RAMADHAN...

"Ya ALLAH, andai di hari ini ada diantara hamba2-Mu yang Engkau angkat derajatnya, Engkau ampuni dosa2nya, Engkau lapangkan rizkinya, Engkau muliakan keturunannya, Engkau lepaskan dari semua kesulitannya, Engkau indahkan akhlaknya dan Engkau berkahi segala hartanya...

Maka Insya ALLAH jadikanlah saudaraku yg sdg membaca ini beserta Keluarganya se baik2 hamba yg mendapatkannya.....

آمِّيْنَ آمِّيْنَ آمِّيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِ

Empat Manusia Yang Tidak Merugi

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar – banar berada dalam kerugian. Kecuali orang
orang yang beriman, beramal shaleh, saling
menasehati dengan kesabaran,” (Al-Ashr 1-3)

BETAPA dahsyat jika dalam setiap waktu kita bisa merenungi tiga ayat pendek tersebut, mungkin dari sejak kecil kita pun sudah terbiasa untuk menghafalnya yang termasuk
bagian dari surat-surat pendek.

Pun demikian banyak dari kehidupan kita ini melewati yang namanya waktu (masa), seiring
berganti tahun baru hijriyah beberapa hari yang lalu, kita pun banyak yang melewati untuk mensyukurinya terlebih pada momen 10 Muharram yang sangat sarat dengan sejarah.

Jika kita lihat secara saksama terjemahan surat di atas karena jika benar apa yang kita lewati saat sia-sia sungguh kita benar-benar telah merugi dalam hidup ini.

Namun, ada empat kriteria manusia yang tidak merugi dari penjelasan ayat tersebut dan ini secara garis besar terlihat pada ilustrasi/gambar di atas dimana tertulis; Beriman, Beramal Shaleh, Kebenaran, dan
Kesabaran.

Pertama, disebut dengan Beriman karena ini adalah hal pokok manusia hidup yang merupakan ciptaan Allah SWT, maka wajiblah
baginya untuk beriman kepada Allah. Iman pun bukan datang begitu saja, melainkan dibarengi dengan ilmu. Seperti yang tersurat
dalam hadis “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Maka dari itu sudah sepatutnya untuk setiap muslim menuntut ilmu, belajar tentang akidah, ibadah, muamalah dan lainnya.

Dalam firman Allah SWT, “Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami
kehendaki di antara hamba-hamba
Kami.” (Asy Syuura: 52).
Sehingga kita bisa
menjadi orang yang tidak merugi selamanya.

Kedua, Beramal shaleh ini adalah bagian yang dari mempelajari ilmu. Dimana ilmu yang ada diamalkan, sehingga menjadi amal shaleh dan perilaku yang baik dalam
kehidupan sehari-hari.
“Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah
ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad
Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Ketiga , Adapun kebenaran dalam hal ini adalah mengatakan yang hak (amar makruf nahi mungkar). Mungkin ini juga sering disebut dengan ajaran atau mengajarkan
sesama dalam hal berdakwah.
Menyampaikan setiap petunjuk dari apa yang telah Allah sampaikan kepada Malaikat lalu kepada Nabi
dan Rasul-NYA.

Allah SWT berfirman dalam surat Fushshilat ayat 33 yang artinya “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri?

Dan Rasul pun pernah bersabda, “Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya
memperoleh sesuatu yang juga ia
senangi.” (HR. Bukhari). Maka, bukanlah hal sepele jika kita telah memiliki sedikit ilmu petunjuk yang benar dari Allah, dengan seyogyanya kita sampaikan pada saudara-saudara kita walaupun itu satu perumpaan satu huruf atau ayat yang kita tahu.

Keempat, Lalu yang terakhir adalah
kesabaran dimana ini menjadi kata yang mudah diucapakan namun pada hakikatnya banyak orang yang mengatakan kesabaran mempunyai batas, sungguh menjadi miris saat kita lihat dewasa ini. Dimana sabar
menjadi salah satu kriteria bahwa kita bisa menjadi orang-orang yang tidak merugi jika mampu menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.

“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan
penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka”. (QS. Al-An’am : 34)

Terakhir, mengutip dari Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah pernah berkata,
“Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal
yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain.
Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang
besar”. (Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934).
[aulia87]

Tata Cara Kutbah Jum'at

Tata Cara Khutbah Jum'at

1. Membaca basmalah : bismillaahir
rahmaanir rahiimi

2. Mengucapkan salam : assalaamu 'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

3. Adzan

4. Membaca hamdalah :
innalhamdalillaah, nahmaduhuu
wa nasta'iinuhuu wa nastaghfiruhu
wa na'uudzubillaahi min syuruuri
'anfusinaa wa min syayyi-aati a'maalinaa man yahdillaahu falaa mudhillalahu wa man yudhlilhu falaa haadiyalahu

5. Membaca syahadat :
asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalaahu wa asyhadu annaa muhammadan
'abduhuu wa rasuuluhuu laa nabiyya ba'dahu

6. Membaca shalawat :
allaahumma shalli 'alaa syayyidinaa
muhammadin wa 'alaa aalihii wa shahbihii 'ajma'iin

7. Membaca ayat alqur'an yang mengajak bertaqwa kepada allah (biasanya khatib membaca ali imran ayat 102)

fa-uushiikum wa nafsii bit taquullaah qaalallaahu ta'aala fiil qur'aanil kariim a'uudzubillaahi minasy syaithoonir rajiim
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu
ittaquullaaha haqqaa tuqaatihi
wa laa tamuutunnaa illaa wa antum
muslimuun wa qaalallahu ta'aalaa fil qur'aanil karim audzubillaahiminasy syaitoon nirrojiim ...

Membaca ayat alqur'an yang lain sesuai dengan topik khutbah
amma ba'du

8. Berwasiat untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT

9. Mulai berkhutbah sesuai topiknya
memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun atau ma'asyiral muslimin rahimakumullah, atau sidang
jum'at yang dirahmati allah.

10. Menutup khutbah pertama dengan do'a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat

barakallahu lii wa lakum fill qur'aanil azhiim
wa nafa'nii wa iyyakum bima fiihimaa minal aayaati wa dzikril hakiim wa nafa'anaa bi hadii sayyidal mursaliin wa biqawlihiil qawiim aquulu qawli haadza
wa astaghfirullaahal 'azhiim lii wa lakum wa lii syaa-iril mu'miniina wal mu'minaat
wal muslimiina wal muslimaat min kulli dzanbii fastaghfiruuhuu innahuu huwas samii'ul 'aliim
wa innahuu huwal ghafuurur rahiim

11. Duduk sebentar (tuma'ninah) untuk memberi kesempatan jamaah jum'at untuk beristighfar dan membaca shalawat pelan-
pelan

12. Khutbah kedua aturannya persis sama dengan khutbah pertama semua urutan dari hamdalah, syahadat, shalawat, wasiat taqwa, ayat qur'an, dan do'a untuk seluruh orang muslim/muslimat dan mu'minin/
mu'minat harus dipenuhi. Contoh bacaan yang berbeda pada khutbah kedua :

alhamdulillah, alhamdulillaahi hamdan katsiiraan thayyiban mubaarakan fiihi kamaa yuhibbu rabbunaa wa yuriidhuu wa asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalahu wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhu shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihii wa shahbihi wa sallam
tasliiman katsiiran ilaa yaumid diin
amma ba'du
fattaquullaahu haqqut taqwaa kamaa amar

13. Bacaan penutup wasiat khutbah kedua dan membaca ayat al qur'an yang menyuruh bershalawat (al ahzab 56)

'ibaadallaah innallaaha amarakum bi amri bi da-aafiati binafsihi
wa tsanii bimalaaikatihil musabbihati biqudsihi wa tsullatsaa bikum ayyuhal mu-minuuna min jannati wa insihi fa qaalallaahu qawlan kariiman innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuuna 'alan nabii yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu shalluu 'alaihi wa salliimu tasliimaa
allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaa 'abdukaa wa rusuulikaa muhammad wa aridhallaahumma 'an khulafaa-ur raasyidiin
abi bakri wa 'umaara wa 'utsmaana wa 'alii wa 'an syaa-iril aali wash shahaabati ajma'iin
wat taabi'iina wat taabi'it taabi'iina
wa man tabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin wa 'alaina ma'ahum birahmatika yaa arhamar raahimiin

14. Membaca do'a

allahummagh fir lil mu'miniina wal
mu'minaat wal muslimiina wal muslimaat al-ahyaa-i minhum wal amwaat innakas samii'un qariibun mujiibud da'wat wa yaa qaadhiyal haajaat
allahumma inna....

baca do'a yang lain dan ditutup do'a
rabbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wa
fill aakhiraati hasanah wa qinaa 'adzaaban
naar

15. Penutup khutbah kedua (bacaan ini didekritkan oleh khalifah umar bin abdul
aziz harus dibaca karena pada masa itu khutbah jum'at sering digunakan untuk menyerang lawan politik oleh para khatib, diambil dari surat an nahl 90)

'ibaadallah innallaaha ya-muruu bil 'adli wal ihsaan
wa iitaa-i dzil qurbaa
wa yanhaa 'anil fahsyaa-i wal munkari wal
baghyi
yaizhzhukum la'allakum tadzakkaruun
fadzkurullaaha 'azhiimi wa yadzkurkum
fastaghfirullaaha yastajib lakum
wasykuruuhu 'alaa ni'matil latii
wa ladzikrullaahu akbaru
wa aqiimish shalah

16. Iqamat untuk shalat jum'at

Sumber lainnya

Ukhuwah Islamiyah

Selama ini, masyarakat seringkali memaknai ukhuwah Islamiyah sebagai persaudaraan terhadap sesama orang Islam. Mestinya tidak
demikian. Ukhuwah Islamiyah (Islamic brotherhood) berbeda dengan ukhuwah baynal-muslimin atau al-Ikhwanul-Muslimun (moslem brotherhood).

Makna persaudaraan antara sesama orang Islam itu bukan ukhuwah Islamiyah, tetapi ukhuwah baynal-muslimin/ al-Ikhwanul Muslimun (Moslem Brotherhood).

Jika dikaji dari segi nahwu, ukhuwah Islamiyah adalah dua kata yang berjenis mawshuf atau kata
yang disifati (ukhuwah ) dan shifat atau kata yang mensifati (Islamiyah). Sehingga, ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai sebagai persaudaraan yang berdasarkan
dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan
persaudaraan antar sesama umat Islam dinamakan dengan ukhuwah diniyyah .

Dari pemaknaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa ukhuwah diniyyah (persaudaraan terhadap sesama orang Islam), ukhuwah wathâniyyah (persaudaraan
berdasarkan rasa kebangsaan), dan ukhuwah basyâriyyah (persaudaraan berdasarkan
sesama makhluk Tuhan) memiliki peluang yang sama untuk menjadi Ukhuwah Islamiyah.

Ukhuwah Islamiyah tidak sekedar
persaudaraan dengan sesama orang Islam saja, tetapi juga persaudaraan dengan setiap
manusia meskipun berbeda keyakinan dan agama, asalkan dilandasi dengan nilai-nilai keislaman, seperti saling mengingatkan, saling menghormati, dan saling menghargai.

Friday, May 9, 2014

Mukmin Teladan

Setiap mukmin pasti ingin masuk surga. Karena masuk surga tidak gratis, tiket masuknya harus dipersiapkan atau dibeli selama hidup di dunia. Menjadi mukmin teladan, tentu saja merupakan jalan yang mengantarkannya masuk surga.

Mukmin berasal dari kata iman,  mashdar dari aamana-yu’minu yang berarti memercayai, meyakini, membenarkan (dalam hati dan berikrar dengan lisan), dan menjamin atau memberi rasa aman.

Mukmin adalah orang yang memercayai keesaan Allah, meyakini kebenaran ajaran-Nya, dan menjamin adanya rasa aman sekaligus memiliki amanah dalam hidupnya sehingga ia menjadi orang yang tepercaya dan memiliki integritas tinggi.

Sesungguhnya, beriman merupakan fitrah manusia. Kecenderungan bertauhid itu inheren dalam diri manusia sejak dalam kandungan. Sejak ruh ditiupkan, manusia memiliki sifat lahut (ketuhanan), mendekatkan diri kepada Allah.

Manusia juga memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual untuk memohon petunjuk dan jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan membahagiakan.

Mukmin harus beriman kepada Allah SWT karena ia merupakan bagian dari makrokosmos ciptaan Allah. Jalan terbaik yang harus dilalui manusia adalah mengikuti syariat-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya yang tecermin dalam al-Asma’ al-Husna.

Menjadi mukmin teladan merupakan sebuah perjuangan hidup yang harus ditempuh dengan keikhlasan, kesungguhan, dan konsistensi.

Beriman perlu diawali dengan penyerahan diri dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah Rasul-Nya.

Menjadi mukmin teladan harus dibarengi dengan memurnikan dan mendeklarasikan tauhid (la ilaha illa Allah) dalam arti luas, meliputi  pertama, tauhid ibadah (QS ad-Dzariyat: 56); kedua, tauhid kesatuan tujuan hidup (QS al-Baqarah: 201); ketiga, tauhid penciptaan (QS al-Baqarah: 29); keempat, tauhid kemanusiaan (QS al-Baqarah: 30), dan kelima, kesatuan sumber kebenaran dan petunjuk, pedoman hidup (QS al-Baqarah: 147)

Menjadi mukmin teladan juga harus dilanjutkan dengan membebaskan diri dari segala bentuk syirik, termasuk syirik politik, ekonomi, budaya, dan syirik hawa nafsu.

Setelah berakidah tauhid, iman perlu dibuktikan dan ditumbuhkembangkan dengan amal saleh dilandasi ilmu yang memadai. Trilogi iman-ilmu-amal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Menurut Alquran, mukmin teladan adalah hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang. Mereka itu rendah hati, bertutur kata yang baik ketika bertemu dengan orang jahil,  bersujud dan tahajud pada malam hari, berdoa agar dijauhkan dari siksa Jahanam, tidak kikir dan tidak boros, tidak menyembah selain Allah, tidak membunuh jiwa kecuali dengan alasan yang benar, dan sebagainya (QS al-Furqan: 63-77).

Profil mukmin ideal dilukiskan Nabi SAW dengan empat perumpamaan. Pertama, mukmin itu bagaikan lebah; yang dimakan itu pasti baik, jika hinggap pada tanaman berbunga tak merusak atau mematahkan ranting dan dahannya. Kedua, mukmin itu ibarat dua tangan, yang satu mencuci tangan lainnya (saat berwudhu).

Ketiga, mukmin itu ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkokohkan. Keempat, mukmin itu bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggotanya sakit, yang lainnya turut merasakannya.

Karenanya, mukmin teladan harus bisa bersatu padu, kompak, penuh persaudaraan dan kebersamaan, serta berbagi tugas dan fungsi dalam menyelesaikan masalah seperti lebah.

Mukmin teladan dituntut memiliki etos kerja yang ikhlas, cerdas, keras, tuntas, berkualitas, dan memberi rasa puas bagi orang lain dengan disiplin dan produktivitas tinggi.

Dengan demikian, menjadi mukmin teladan tidak bisa instan. Iman yang kita miliki tidak cukup hanya sebatas iman taqlidi, tetapi harus ditindaklanjuti menjadi iman tahqiqi, yaitu iman yang disinergikan dengan ilmu dan amal saleh dan istiqamah.


Oleh: Muhbib Abdul Wahab
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/30/n4takr-mukmin-teladan

Monday, April 7, 2014

Hasrat Memimpin

Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta menjadi pemimpin sebab jika engkau dijadikan pemimpin karena permintaanmu, maka engkau akan terbebani. Tapi jika engkau menjadi pemimpin bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu untuk mengatasinya.”(HR. Bukhari Muslim)

Demikian suatu kali Rasulullah SAW menasihati seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah. Ketika itu, ia meminta untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. Melalui hadis ini, Rasul tak bermaksud melarang mukmin terjun ke politik.

Terutama bila niatnya didasari tujuan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Namun niat baik saja tentu tak cukup. Sebab, seorang pemimpin hendaknya memiliki kompetensi mumpuni terkait amanah yang diembannya.

Untuk menjadi pemimpin yang baik, idealnya seseorang tak mengandalkan kharisma, popularitas, atau faktor kedekatan dengan penguasa. Hal lebih penting adalah kemampuan dan integritas moral.

Rasul bersabda saat Abu Dzar meminta jabatan. ‘’Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan jabatan itu amanah yang pada hari akhir hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang mampu menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.’’ (HR Muslim).

Hadis ini menyiratkan implikasi kepemimpinan tanpa kemampuan, yang akan berbuah ketidakamanahan. Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya untuk tidak menonjolkan diri agar terpilih menjadi pemimpin.

Apalagi pada zaman itu, begitu banyak pribadi pilihan dengan jiwa kepemimpinan kuat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan karena para sahabat dikader langsung Rasul, maka beliau memahami potensi mereka.

Sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW tak pernah lepas dari arahan wahyu dalam setiap pengambilan keputusan penting terkait pergantian kepemimpinan, juga bermusyawarah dengan para sahabat.

Namun sekali lagi, bukan berarti Islam mengharamkan seorang mukmin mengajukan diri menjadi pemimpin. Seperti  digambarkan Alquran, Nabi Yusuf mengajukan diri untuk menerima kepemimpinan.

Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (integritas), lagi berpengetahuan (kompetensi).” (QS Yusuf : 55).

Tampak jelas, bolehnya seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin setidaknya harus memenuhi sejumlah kriteria. Yakni integritas moral yang tinggi, kompetensi,  dan kapabilitas yang mumpuni serta rekam jejak yang bersih dan telah teruji.

Dalam Alquran dikisahkan, Nabi Yusuf mengajukan diri menjadi pemimpin setelah terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari penjara negara. Krisis ekonomi  yang menimpa bangsa Mesir membutuhkan pemimpin baru yang solutif.

Mereka menemukan jawabnya pada sosok pribadi menawan dan potensi kepemimpinan Nabi Yusuf. Memegang tampuk kepemimpinan menjadi amal yang sangat terpuji manakala dilaksanakan dalam koridor ketaatan pada Allah dan RasulNya.

Buah sistem kaderisasi yang Rasulullah rintis adalah pemimpin dengan tipikal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin thalib, dan Umar bin Abdul Aziz. Mereka membuktikan, kepemimpinannya tak didasarkan syahwat berkuasa.

Sementara, pemimpin bangsa di dunia yang hanya bermodalkan ambisi dan dorongan syahwat berkuasa tanpa menaati rambu-rambu Allah dan RasulNya, ternyata membawa rakyatnya kepada kehancuran.

Kekuasaan mereka berakhir dengan cara paling nista dan  kehinaan serta penyesalan di hari kiamat kelak.  “Sesungguhnya kalian meminta menjadi pemimpin. Nanti kalian akan mendapatkan penyesalan pada hari Kiamat…” (HR Bukhari).

Oleh: N Imam Akbari
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/05/n3jf4q-hasrat-memimpin

Pulang KeharibaanNya , Sudah Cukupkah Bekal Kita ?

Biasanya, mendekati hari raya Idul Fitri, ramai orang mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung halamannya. Mulai dari yang mempersiapkan tiket perjalanan, uang saku, fisik, dan hal lain sebagainya. Semua nampak begitu matang dipersiapkan guna menyambut event tahunan ini. Pulang kampung. Rindu yang membuncah dalam dada, membuat setiap waktu dalam perjalanan, begitu berharga. Kita akan bertemu orang yang kita cintai dikampung halaman. Kita akan berkumpul dengan orang yang kita sayangi disana. Betapa bahagianya saat-saat itu, saat semua berkumpul menjadi satu, melepas rindu menghilangkan pilu.
 
Namun sayang. Euforia pulang ke kampung halaman, tidak dibarengi dengan persiapan pulang ke kampung akhirat . Padahal, itulah tempat tinggal kita sebenarnya, kampung yang nantinya akan kita huni selamanya. Kita, mungkin jarang  menyadari bahwa kampung akhirat pun sedang menanti kita, setiap saat.
Apakah kita sudah mempersiapkannya ? Mempersiapkan rencana perjalanan menuju kesana. Sama halnya dengan pulang ke kampung halaman, pulang ke kampung akhirat pun memerlukan tiket. Tiket yang mengantarkan kita pada akhir dari tujuan hidup kita di dunia. Surga, atau Neraka. Dua tempat yang disediakan untuk kita, kelak.

Sudah cukupkah persiapan kita untuk menyambut kepulangan ke negeri akhirat ? Jangan-jangan persiapan kita masih sangat kurang. Kita tidak benar-benar serius untuk mempersiapkan bekal menuju akhirat yang abadi. Justru sebaliknya, kita malah disibukkan denga perkara dunia yang melenakan. Mungkin memang benar, bahwa, kita lebih mengkhawatirkan kehidupan di dunia, dibanding dengan masa depan kita di akhirat nanti. saking khawatirnya kita dengan kehidupan dunia, sampai-sampai kita lupa untuk mempersiapkan pembekalan kita untuk pulang ke negeri akhirat. Menumpuk harta, mengejar tahta, bersenang dengan dunia dan seisinya. Astagfirullah…

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (Q.S Ar Rum :7)”

Sadarilah, bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Semua yang kita miliki akan sirna seiring berjalannya waktu. Kelak, harta, tahta dan kesenangan dunia, akan meninggalkan kita, disaat nyawa dicabut oleh-Nya. Sudah semestinya kita mulai mempersiapkan bekal kita menuju negeri akhirat.  Bekal yang mampu menolong kita dari siksa api Neraka, bekal yang dapat memasukkan kita ke dalam Surga-Nya yang indah.

Persiapkan amal terbaik kita selama hidup di dunia, taat dan tunduk pada syariat-Nya. Itulah bekal yang mesti kita persiapkan sedari sekarang. Tak ada waktu untuk menunda-nunda melakukan kebaikan, karena kita memang tidak pernah tau kapan nyawa ini terlepas dari jasad. Sungguh, perjalanan ke Negeri akhirat sangatlah jauh, maka bersiap-siaplah.

http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/pulang-keharibaannya-sudah-cukupkah-bekal-kita.htm#.U0HXhKLJFng

Menghitung Dosa

Mungkin sebagian orang menganggap menghitung dosa sebagai sesuatu yang sepele. Tak penting. Atau malah dianggap kurang kerjaan. Tapi, bila seseorang menyadari bahwa suatu saat hidup akan berakhir, tak mungkin selamanya ada di dunia, maka menghitung dosa akan menjadi aktifitas wajib harian. Bagi seseorang yang berorientasi akhirat, menghitung dosa, bukanlah aktifitas tanpa maksud dan tujuan. Tetapi menjadi bagian dari ibadah untuk memastikan bahwa tidak ada dosa, dan kemaksiatan yang sengaja kita pilih setiap hari. Menghitung dosa bermaksud menjadikan diri pribadi yang benar-benar menaatiNya tanpa syarat apapun. Memastikan bahwa setiap langkah sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Menghitung dosa adalah ajang muhasabah diri. Bisa setiap malam menjelang tidur dilakukan. Perhatikanlah dan tanyakan pada diri sendiri, segala ucap, sikap dan perilaku yang kita lakukan sepanjang hari, sepanjang hidup yang telah dijalani.

Renungkanlah sebuah hadits berikut : “Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan?; (2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan?; (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan?; dan  (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan?. (Sunan At-Tirmidzî).”

Mari kita jujur menjawab dan menelusuri. Sampai pada usia kita saat ini, apa saja yang telah kita lakukan? Bagaimana sholat kita?  Masih ditinggalkan, bolong-bolong dan seperti burung atau tidak? Untuk kaum adam, sudahkah selalu berjamaah di masjid kecuali ada uzur? Bagaimana puasa dan zakat kita? Sudahkah bagi yang mampu menunaikan ibadah haji? Ataukah kita lebih memilih menambah koleksi mobil baru, rumah baru dan harta duniawi lainnya? Sudahkah kita memenuhi hak-hak orang miskin? Hak-hak anak yatim yang ada di sekitar kita atau bahkan dalam tanggungan kita?

Ilmu yang kita miliki, sudahkah diamalkan? Ilmu tentang sedekah, infaq, menutup aurat, riba, pergaulan dengan lawan jenis, muamalah, dan lain-lain, sudahkah tidak sekedar teori dalam kata? Bagi para suami, masihkah bangga saat istri bersolek ketika keluar rumah? Senang kecantikan istri dikagumi orang lain? Rela kejelitaan istri dinikmati pria lain? Lalu dimanakah letak pengayoman dan perlindunganmu terhadap istri tercinta duhai para suami? Bukankah semua orang tahu suami adalah imam, pemimpin rumah tangga yang berkewajiban mendidik istri dan menyelamatkan keluarga dari api neraka?

Tentang harta kita, darimanakah kita peroleh? Dari cara yang halal atau haram? Dari pinjam di bank, membungakan tabungan di bank, menjadi rentenir, korupsi, mencuri, markup, kolusi, hasil suap atau mengambil yang bukan hak kita? Atau dari hasil berdagang, bekerja, bertani, menjadi kuli dan cara halal lainnya?

Lalu, kemanakah harta yang kita miliki dibelanjakan? Untuk infaq, membantu fakir miskin dan si yatim, untuk kepentingan dakwah, untuk dibelanjakan di jalan Allah? Atau untuk kesenangan diri saja, sering ke restoran top, ke diskotik,  membeli minuman keras, berjudi, melancong keliling dunia, ke tempat lokalisasi, menambah koleksi rumah, baju, mobil, motor, tas, sepatu meski sudah memiliki lebih dari cukup, yang mungkin selangit harganya untuk kesombongan dan melupakan kezuhudan? Atau mungkinkah kita termasuk orang-orang yang suka berkali-kali pergi umroh atas nama ibadah dan panggilan jiwa, sementara tetangga dan orang-orang sekeliling kita membutuhkan pertolongan, makan pun belum tentu sehari sekali, rumah tak punya atau hanya gubug reyot, putus sekolah, sakit-sakitan karena tak mampu berobat?

Tentang badan, untuk apa kita gunakan? Kaki dibawa melangkah untuk menuntut ilmu, mengaji, sholat ke masjid, dan ke tempat-tempat penuh keberkahan? Atau justru dibawa ke tempat-tempat pelacuran, perjudian dan penuh kemaksiatan? Tubuh ditutup auratnya dengan sempurna, atau justru dibuka penuh bangga karena kulit yang mulus, rambut yang indah, dan body yang aduhai? Badan dijaga kesuciannya hanya untuk suami/istri tercinta yang berhak, atau justru dibiarkan dilihat, disentuh, dipeluk, dicium oleh pacar atau orang yang tidak dan belum halal? Mulut digunakan untuk mengucapkan hanya yang baik-baik saja, atau justru untuk mencaci maki, melaknat, mengghibah, menjuluki orang lain dengan kata-kata buruk, mengajak dan mempengaruhi orang lain bermaksiat, serta diumbar mengikuti hawa nafsunya? Wajah digunakan hanya untuk bersolek bagi suami tercinta saat di rumah, atau justru sebaliknya? Didandani sedemikian rupa, ada lipstik bergayut di bibir, pemerah wajah merona, menggunakan bulu mata palsu, eyeshadow, bertabaruj berhias seperti orang-orang kafir saat keluar rumah, saat suami sebagai satu-satunya yang berhak menikmati kecantikan tak ada di sisi? Sekalipun untuk pergi sholat berjamaah saat hari raya, bersolek menghias wajah dan memakai wangi-wangian yang tercium pria non muhrim didampingi sang suami tetaplah salah. Allah tak memandang  sholat seseorang dari lipstik yang dipakai, atau dari wajah yang bersolek.

Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah padaNya. Jadi pastikan setiap langkah adalah untuk dan karena ibadah kepadanya. Allah Maha Tahu, lebih tahu tentang kita, tak mungkin menciptakan seperangkat aturan yang manusia tak mampu memenuhinya. Setiap diri kita pasti mampu menjalankan seluruh kewajiban yang Allah bebankan. Tinggal kita mau atau tidak. Setiap diri pasti mampu untuk sholat, puasa, menutup aurat dan bergaul sesuai aturanNya, hanya saja kita mau atau tidak menjalankannya. Setiap diri pasti mampu untuk mendapatkan harta dengan cara halal, hanya saja kita mau bersabar atau tidak.

Hitunglah dosa kita, selagi masih bisa melakukan. Selama nafas masih dikandung badan. Menghitung bukan untuk kesombongan dan merasa diri lebih baik dan suci dari orang lain. Namun, untuk memperbaiki diri terus menerus agar menjadi hamba yang mutaqqin. Untuk mengintrospeksi diri tiada henti, agar benar ucapan kita dalam sholat, bahwa hidupku matiku, hanya untuk Allah. Untuk menyelamatkan diri kita agar tidak semakin dalam terjerumus dosa dan kemaksiatan. Sesungguhnya perbuatan dosa ada dalam ranah pilihan manusia. Kemaksiatan ada dalam wilayah kekuasaan manusia. Manusia bebas memilih. Tak pernah Allah menciptakan manusia sebagai seorang pendosa, pelacur, koruptor, penjudi, artis pengumbar aurat dan lain lain. Tetapi manusia sendirilah yang mendholimi diri sendiri dengan memilih jalan yang salah. Bukankah Allah telah berfirman, telah Kutunjukkan dua buah jalan. Jalan kebenaran dan kemaksiatan. Telah disediakanNya pula dua tempat, Syurga dan Neraka. Kita bebas menentukan pilihan. Silakan pilih yang mana. Semua terserah kita. Wallahu’alam.

http://www.eramuslim.com/hikmah/tafakur/menghitung-dosa.htm#.U0HUJKLJFng

Thursday, April 3, 2014

Indahnya Kelembutan

Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan dan mencintai kelembutan. Akan tetapi, karena ego, hawa nafsu atau kepentingan sesaat, banyak manusia yang kemudian berubah menjadi orang yang kasar, beringas, dan kejam.

Padahal, ego, hawa nafsu, dan mengutamakan kepentingan sesaat sama sekali tidak memberikan maslahat.

Jadi wajar jika manusia yang kasar, beringas, dan kejam tidak akan mendapat ridha dari Allah SWT sebab Allah tidak mencintai kecuali kelembutan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Syarah Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi mengatakan, hadis itu menjelaskan tentang perintah agar umat Islam bersikap lemah lembut. Baik dalam ucapan maupun perbuatan serta memilih hal paling mudah.

Hal demikian melahirkan hubungan harmonis dan akrab. Sangat penting bagi Muslim untuk melatih lidahnya dengan adab sopan santun dan tidak membiasakan diri mencela orang lain, entah itu terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap saudara seiman.

Karena itu, Rasulullah SAW mengingkari jawaban berlebihan Aisyah kepada Yahudi, meskipun mereka memang berhak mendapat celaan.

Hal itu tidak lain karena Allah SWT telah melaknat dan memurkai Yahudi melalui beberapa ayat Alquran secara gamblang dan terbuka.

Bahkan terhadap seorang penguasa zalim sekelas Fir’aun pun Allah memerintahkan Nabi Musa berkata lemah lembut. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.’’ (QS 20 : 44).

Dengan demikian sungguh tidak ada satu pun alasan yang membolehkan kita mencela orang lain, seburuk apa pun orang tersebut.

Sebab, jika dia memang buruk, kafir, dan menentang Islam, Allah pasti memasukkannya pada kelompok terkutuk dan terlaknat.

Akan jauh lebih indah jika kita berusaha fokus membina diri menjadi pribadi yang santun dan lemah lembut. “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan tidak pula Dia berikan kepada yang lainnya.’’ (HR Muslim).

Memaknai hadis tersebut,  Imam Nawawi menjelaskan, kelembutan adalah seutama-utamanya akhlak dari seluruh akhlak mulia lainnya. Dengan kelemahlembutan itulah Rasulullah SAW bisa sukses besar dalam menjalankan misi dakwahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS. 3: 159).

Subhanallah, ternyata lemah lembut adalah rahmat dari Allah. Jika demikian, tidakkah kita tertarik menjadi Muslim yang berperangai lemah lembut?


Oleh Imam Nawawi
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/18/n2lyot-indahnya-kelembutan

Mencari Kebahagiaan Yang Hakiki

Ada yang berpendapat mencari kebahagiaan itu ibarat mengumpulkan serpihan kaca yang pecah. Ada yang berhasil mengumpulkan lebih banyak dan ada yang mengumpulkan paling sedikit.Tetapi tidak ada seorang pun yang berhasil mengumpulkan kesemuanya. Karena ketika mengumpulkannya, pasti ada yang terluka..'
 
Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita ini barada di antara orang-orang yang bahagia? Mungkin ada di antara kita yang memiliki harta berlimpah ruah, tetapi tidak merasa bahagia. Ada pula yang memiliki kemasyhuran dan kedudukan yang tinggi, namun tidak pernah merasa bahagia.
 
Kalau begitu, ternyata ukuran bahagia itu tidak terletak pada banyaknya harta, bukannya pula kedudukan, dan bukan juga pada kehebatan seseorang. Lalu, di manakah kebahagiaan itu, dan bagaimana pula kita mendapatkannya ?
 
Allah SWT berfirman:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S.An-Nahl (16) : 97).
 
Jadi jelas dan tegas penjelasan Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 97 ini, bahwa satu-satunya cara memperoleh kebahagiaan atau kehidupan yang baik itu adalah dengan mengerjakan amal-amal sholeh; yaitu ta'at dan menjalankan segala perintah serta larangan-Nya.
 
Inilah konsep kebahagiaan yang hakiki; yaitu tujuan hidup kita di dunia ini, baik dalam belajar, bekerja, ataupun berusaha, hanya satu saja “Mendapatkan Ridho Allah SWT

Tafakur


‘’Ambillah pertolongan untuk kata-katamu dengan diam dan untuk ilmu dengan bertafakur.’’ Demikian Imam Syafii menuturkan nasihat kepada kita.
Menurut beliau, obat dari ucapan dan kata-kata adalah diam, dengan diam kita mampu menghindar dari segala penyakit lisan.

Di samping itu pula, beliau memaparkan cara ampuh bagi kita untuk mendapatkan ilmu yakni dengan bertafakur.
Tafakur yaitu suatu pekerjaan dalam bentuk memikirkan kekuasaan Allah SWT atas kehidupan manusia dan alam semesta dengan akal dan hati.

Allah SWT sangat menganjurkan kepada kita selaku hamba-Nya untuk senantiasa mengerjakan pekerjaan ini.
Dia menyebut mereka yang dapat bertafakur dan mengambil tanda-tanda kebesaran-Nya atas penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam sebagai ulul ‘azmi (orang-orang yang berakal). (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Tafakur dapat kita kerjakan setiap waktu. Tak ada waktu khusus dalam melaksanakannya. Bisa setelah selesai shalat, sebelum tidur maupun saat bekerja.
Tetapi dari sekian waktu, ada saat yang sangat istimewa untuk bertafakur yakni sepertiga malam, selepas shalat malam.

Lantas, dalam hal apa saja kita dianjurkan untuk bertafakur? Pertama, kemaksiatan. Dalam melaksanakan rutinitas sehari-hari banyak kata, pekerjaan, maupun perasaan yang tidak kita sadari telah melenceng ke arah keburukan atau kemaksiatan.

Begitu pula dari sisi makanan dan pakaian yang kita pakai. Saat kita tahu langkah telah melenceng menuju kemaksiatan, kita perlu memohon ampun kepada Allah dan segera meninggalkannya.Kedua, ketaatan kepada Allah.

Dalam hal ini,  yang kita renungkan adalah ketaatan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT. Apakah kita melaksanakannya dengan sempurna atau malah sebaliknya penuh kekurangan.

Saat tahu kita sarat kekurangan dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah, kita dapat menutupinya dengan ibadah-ibadah sunah yang lain. Ketiga, sifat-sifat merusak dalam hati. Segala ucapan dan tindakan berawal dari hati.

Ketika hati kita bersih, ucapan dan tindakan akan baik, tetapi manakala kotor maka akan berakibat sebaliknya.
Dengan begitu kita perlu berpikir untuk mengetahui sifat-sifat yang merusak dalam hati seperti marah, sombong, iri, dan berprasangka buruk.

Dengan mengetahui sifat-sifat tersebut, kita akan berusaha untuk mengobati dan membersihkannya dari dalam hati. Poin yang terakhir adalah bertafakur mengenai sifat-sifat yang dapat menjadi penyelamat bagi diri kita.

Setelah rampung menjalani proses tafakur dari awal hingga akhir,  kita perlu berpikir tentang sifat-sifat baik yang dapat menyelamatkan diri dari segala macam keburukan. Misalnya, tobat, sabar, syukur, ikhlas, dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan demikian tentu kita akan terus condong kepada kebaikan dan senantiasa taat kepada Allah. Di samping itu, dengan tafakur kita mampu mengambil hikmah, menambah keimanan kepada Allah, dan menanamkan rasa takut dalam diri untuk mengerjakan kebatilan.

Ibnu Hatim berucap dalam syairnya, ‘’Dengan pengalaman seseorang bisa menambah ilmu, dengan berzikir ia mampu menambah cinta, dan dengan tafakur ia dapat menambah rasa takut.’’

M Sinwani

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/01/n3bomc-tafakur

Pangkal Kerusakan Bangsa

Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, meriwayatkan hadis berbunyi, Hubbuddunya ra’su kulli khathi’ah (cinta dunia adalah biang semua kesalahan). Maksud istilah cinta dunia di sini adalah kondisi seseorang mencintai kesenangan dunia baik berupa harta, wanita, atau tahta sehingga membutakan hatinya dan lalai terhadap akhirat. (Lihat QS Al A’la 16-17, Al qiyamah 20-21). Cinta dunia yang sudah membutakan hati, mendorong seseorang berani korupsi, merampok, berjudi, dan melakukan kemaksiatan lainnya.

Rasulullah SAW bersabda,’’Tiadalah cinta dunia itu menguasai hati seseorang kecuali dia akan diuji dengan tiga hal yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.’’ (HR Ad Dailami ). Allah SWT juga menimpakan berbagai musibah kepada suatu kaum, jika cinta dunia mendominasi relung hati mereka.

Rasulullah SAW bersabda,’’ Umatku akan selalu dalam kebaikan selama tidak muncul cinta dunia kepada para ulama fasik, qari yang bodoh, dan para penguasa. Bila hal itu telah muncul, aku khawatir Allah akan menyiksa mereka secara menyeluruh.’’ (Lihat Kitab Ma’rifat as Shohabah karangan Abi Nu’aim, juz 23 hal 408).

Rasulullah SAW mengkhawatirkan masa depan umat ini, bila umatnya menguasai dunia. Beliau bersumpah,’’ Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan tapi aku khawtir seandainya dunia ditaklukkan kamu sekalian seperti ditaklukkan orang-orang sebelum kamu, akibatnya kamu berlomba mencari dunia seperti mereka berlomba dan duniapun mengahancurkan kamu seperti menghancurkan mereka.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Mengapa cinta dunia disebut sebagai pangkal semua bentuk dosa dan kesalahan serta merusak keberagamaan seseorang? Ini bisa ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, mencintai dunia yang berlebihan akan menimbulkan sikap mengagungkannya.

Padahal, dunia di hadapan Allah sangat rendah. Mengagungkan apa yang dianggp hina oleh Allah termasuk dosa besar. Kedua, Allah SWT melaknat dunia dan membencinya kecuali dunia yang digunakan untuk kepentingan agama-Nya.

Siapa mecintai yang dilaknat Allah, ia dibenci Allah dan diuji-Nya. Ad Daylami meriwayatkan hadis yang menyatakan, dosa besar yang paling besar adalah cinta dunia. Ketiga, kalau seseorang cinta dunia berlebihan, dunia jadi sasaran akhir hidupnya.

Orang itu akan menjadikan akhirat sebagai sarana mendapatkan dunia. Seharusnya dunia ini dijadikan wasilah untuk menanam investasi akhirat.
Keempat, mencinta dunia akan menghalangi seseorang dari urusan akhirat.

Menghalangi pula mereka dari keimanan dan syariat. Cinta dunia bisa merintangi mereka menjalankan kewajiban atau minimal malas berbuat kebajikan. Kelima, mencintai dunia mendorong kita menjadikan dunia sebagai orientasi hidup.

Rasulullah bersabda,’’Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah memberikan kekayaan dalam hatinya, mengumpulkan semua usahanya dan dia akan dihampiri dunia walaupun dia enggan. Dan barangsiapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah menjadikan kefakiran di depan matanya dan menceraiberaikan usahanya dan tidak dibagikan dunia kepadanya kecuali yang sudah ditakdirkannya.’’ (HR At Turmudzi).

Keenam, pencinta dunia disiksa berat dalam tiga tahapan. Di dunia tersiksa dengan berbagai kepayahan dalam mencarinya, di alam kubur merasa sengsara karena harta dunia yang telah dicarinya tidak dibawa ke alam barzakh.

Dan di alam akhirat, dia akan menjumpai kesusahan berat saat dihisab. Siksa inilah yang ditegaskan surah at-Taubah ayat 55. Semoga Allah menjadikan kita sebagai penguasa dunia dan bukan ditaklukkan olehnya. Amin.

Achmad Satori Ismail

 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/03/n3fac8-pangkal-kerusakan-bangsa

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER