Monday, December 17, 2012

Belajar Menerima Takdir



Dalam kondisi normal, manusia sepenuhnya sadar bahwa kehidupannya diwarnai dengan suka dan duka, sedih dan gembira, menangis dan tertawa, sengsara dan bahagia.

Namun kesadaran tersebut hilang, manakala manusia tiba-tiba dirundung duka, kesedihan dan kesengsaraan. Sebaliknya, banyak manusia bersikap up-normal pada saat suka-cita, gembira dan bahagia.

Tepatlah kemudian jika Alquran menyitir sifat manusia yang umumnya suka mengeluh, sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya, "Sungguh, manusia diciptakan bersikap suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila dia mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir." (QS. Al-Ma'arij: 19-21).

Namun Alquran mengajarkan kepada kaum muslimin untuk mempertahankan posisi normal dalam keadaan apa pun baik suka maupun duka, baik tertimpa musibah ataupun dianugerahi kebahagiaan.

Hal tersebut karena posisi normal mengisyaratkan ketenangan dan kerelaan seseorang atas takdir yang ditentukan Allah, yang  menunjukkan pula kuatnya iman. Lebih dari itu, posisi normal menjadikan seseorang dapat tetap berpikir logis dan pengendalian diri dengan baik.

Adalah merupakan kewajiban kaum muslimin untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah dan bersyukur saat mendapat anugerah. Hal tersebut karena seorang Muslim yakin bahwa kejadian apapun di bumi dan langit tidak akan terlepas dari takdir Allah SWT serta apa pun bentuk kejadiannya bagi Allah SWT merupakan suatu hal yang amat mudah.

Sehingga seorang Muslim harus senantiasa berbaik sangka terhadap Allah, sedangkan yang dilakukannya tidak lebih sekedar berikhtiar atas apa yang dapat dilakukan. (QS. Al-Hadid: 22). Sikap seorang Muslim tersebut merupakan respons positif dalam mengatasi sifat alamiah manusia yang umumnya mengeluh pada saat susah dan kikir saat mendapat anugerah.

Sikap tersebut merupakan modifikasi dari sifat alamiah-negatif menjadi progresif-positif dengan tujuan agar kaum muslimin tidak sampai bersedih hati dalam menghadapi masalah hingga berujung pada sikap putus asa.

Sebaliknya, jika anugerah yang diberikan oleh Allah, maka seorang mukmin tidak boleh pula terlalu gembira yang berujung pada sikap sombong dan lupa diri. (QS. Al-Hadid: 23). Sikap moderat inilah yang ditekankan Alquran dalam banyak kesempatan sehingga dengan kemoderatannya seorang muslim tetap dalam kondisi normal.

Sikap moderat tersebut sekaligus sebagai bentuk antitesa terhadap sikap orang-orang munafik yang sering berada pada satu titik ekstrem, yaitu berjanji beriman kepada Allah sebelum mendapat anugerah dan bersikap kikir saat mendapatkannya. (QS. At-taubah: 75-77).

Dengan demikian seorang Muslim hendaknya senantiasa memiliki keyakinan kuat bahwa nasib dari perjalanan hidupnya adalah takdir Allah dan kewajiban dirinya adalah berikhtiar dengan sekuat tenaga dan sebaik-baiknya usaha (QS. Al Mulk: 2). Kedua, memiliki prasangka baik terhadap Allah SWT atas takdir apapun pada dirinya.

Ketiga, berusaha untuk bersikap moderat dalam keadaan apa pun dan terus berusaha menjadi lebih baik, sehingga tetap mampu berpikir normal dan kritis serta tidak terbawa oleh penderitaan atau terlena oleh kenikmatan.

Keempat,  memiliki visi untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan bersabar kala menerima cobaan serta yakin bahwa nikmat yang diberikan Allah jauh lebih banyak dari cobaan yang diterima. Wallahu a'lam.


Dr Muhammad Hariyadi, MA

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/12/14/mf0exu-belajar-menerima-takdir
 

Monday, November 5, 2012

Hakikat Ikhlas



Sahabatku, hakekat ikhlas hanya Allah yang tahu, "Sirry min asroory" rahasia diantara rahasia-rahasia-Ku (Hadis Qudsi). Diantara tanda-tandanya adalah:
  1. Istiqomah, terus menerus beramal ibadah karena Allah, ada ataupun tidak ada orang, dipuji atau dihina
  2. Tidak GR (Ge Er) karena pujian, tidak sakit hati karena hinaan
  3. Pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah dengan rahmat, ilmu dan kebijakan-Nya sehingga tampak muka yang selalu senyum ceria
  4. Baik sangka dengan selalu memuji Allah atas segala hal yang terjadi
  5. "Qonaah" puas bukan hanya dengan nikmat-nikmat Allah tetapi atas segala keputusan Allah
  6. "Attawadu'" rendah hati
  7. "Assyahiyyu" belas kasih dengan kedermawan
  8. Semangatnya hanya pada yang halal
  9. Orientasi hidupnya akhirat
  10. Memaafkan dengan mendoakan yang menyakitinya
  11. Kalaupun dipuji ia balas dengan doa, "Ya Allah ampuni hamba dari apa yang dia tidak ketahui, jangan Kau hukum hamba karena pujiannya dan jadikan pujiannya lebih baik dari apa yang ia duga"
  12. Sibuknya asyik muhasabah diri, tidak tertarik mencari aib orang lain
  13. Hobbynya berbuat baik
  14. Wiridnya, istigfar, sholawat, "Rhodhitu billaahi Robba wa bilislaami diina wa bi Muhammadin Nabiyya wa Rasuulah
  15. Tenggelam dalam kelezatan taat
  16. Cinta dengan sunnah Rasulullah 
  17. Kuat tawakkalnya
  18. Rindunya pada Allah membuat ia mudah menangis

SubhanAllah. "Allahumma ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba yang Kau ikhlaskan, berilah rizki teragung dengan sifat ikhlas di hati, pikiran, lisan dan amal hamba, sucikan diri hamba dari sombong, riya, ujub dan semua penyakit hati...aamiin".

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/11/05/mczumw-hakikat-ikhlas

Thursday, September 20, 2012

Saat Hidup Tak Semanis Gulali, Tersenyumlah..



Kemarin siang saya dapat tugas liputan ke Kementerian Perdagangan di daerah Gambir. Di undangan tertulis acara dimulai jam 11.30, tapi diawali dengan makan siang. Saya perkirakan inti acara baru mulai sekitar jam 12.30.

Setelah menghitung estimasi waktu Bekasi-Jakarta naik commuter line itu sekitar 30 menit (kalo lancar), maka saya putuskan untuk berangkat dari rumah jam 11 tepat. Kebetulan pas sampai stasiun, keretanya sudah tersedia.

Biasanya kalau saya naik kereta di jam segitu, saya dapat tempat duduk. Mungkin karena tadi datangnya mepet pas kereta mau jalan, alhasil saya harus berdiri menyender. Untung nggak begitu penuh berjejal.
Perjalanan kereta super lancar. Berangkat jam 11.16, jam 11.45 sudah sampai di Stasiun Gondangdia. Saya memutuskan turun disini karena jarak ke tempat tujuan lebih dekat. Tinggal naik ojek, atau jalan kaki pun bisa.

Niatnya saya mau naik ojek. Itu lantaran Febrina, anak magang dikantor, sudah tiba di lokasi lebih dulu dan ‘memaksa’ saya sampai dengan segera. Ojek di sekitar Stasiun Gondangdia sangat banyak. Begitu turun tangga mereka dengan cepat menyerbu.

Risih dikerubuti tukang ojek, saya cuek aja jalan terus. Berlagak nggak butuh. Toh, di depan sana masih ada tukang ojek yang mangkal tanpa rebutan penumpang.

Benar kan kata saya. Di depan mata ada tukang ojek lagi ngadem. Langsung saja saya tawar, ‘Bang, ke Kemendag depan halte berapa?’. Belum juga sepakat, si abang ojek langsung menaiki motornya. Saya tegaskan lagi, ‘Berapa bang?’. Dengan pedenya dia jawab, ‘Rp 10 ribu aja’. Dalam hati, ‘gila tukang ojek jaman sekarang, deket banget gitu aja Rp 10 ribu???’.

Saya akhirnya menawar dengan tawaran yang menurut saya tinggi, ‘Rp 7 ribu deh, Bang!’. Bukannya ditanggapi dengan santai, si tukang ojek malah nyolot, ‘Duh, jauh saya muternya. Rp 7 ribu tapi situ nyebrang ya ?’. Emosi saya tersulut, saya balas, ‘Kalau nggak disebrangin ya harusnya Rp 5 ribu!’, dan seketika itu juga saya ngeloyor pergi. Saya putuskan jalan kaki saja.

Saya SMS Febrina untuk sedikit bersabar karena sebentar lagi saya sampai. Dia balas, ‘Ok Mbak, SMS yah kalau sudah sampai!’. Ahh..lega deh dia nggak marah.

Akhirnya, saya menikmati jalan kaki di trotoar seberang gedung MNC Tower. Terasa sedikit bernostalgia juga karena jalanan ini pernah saya akrabi saat lebih dari dua tahun menimba ilmu di koran rajawali biru.
Sampai di ujung jalan, saya bertemu lelaki tua renta yang wajahnya cukup familiar dalam ingatan. Ya, mungkin sekitar satu tahun lalu saya menjumpainya untuk pertama kali. Kala itu saya bertemu dengannya di depan warung makan bawah rel, tempat tongkrongan reporter koran rajawali biru.

Saya coba flashback sedikit momen tersebut. Saya baru turun dari kereta dan jalan kaki menuju kantor. Saya jalan berdua kawan, namanya Cindy. Saat itu masih jam 12 siang.
Kami memutuskan makan siang dulu di warung ayam bakar. Sambil menunggu pesanan, saya celingak celinguk melihat sekitar. Entah kenapa, mata ini langsung tertuju pada lelaki yang berdiri di depan warung dengan dagangan yang ia pikul.

Dari luar sama sekali tak terlihat jenis dagangan apa yang ia jual. Peralatannya sederhana, hanya dua kaleng kerupuk berkarat. Saya menduga dia jualan es, atau rujak bebek.
Daripada penasaran, saya dekati dia. Saya tanya, ‘Kek, jualan apa ini?’. Dia tersenyum sambil mengeluarkan isi dagangan. Gulali. Saya biasa menyebutnya ‘rambut nenek’. ‘ Nona, ini makanan asli betawi. Udah jarang yang jual. Mari dicoba, ‘ katanya sambil memberikan saya setangkup gulali gratis.
‘Nona’? Dia panggil saya nona? Hehe..Baru kali ini saya dipanggil begitu. Oleh pedagang gulali pula. Kemudian saya tanya berapa harganya. Dia jawab ‘Terserah nona maunya berapa?’. Akhirnya, saya dan Cindy beli masing-masing Rp 5000. Lumayan buat cemilan bareng teman-teman.
Pada saat mau membayar, saya sengaja kasih Rp 20 ribu dengan maksud sisanya ambil saja buat ongkos pulang ke rumah. Saya iba dan ingin sedikit berbagi. Tapi, ternyata reaksi si kakek diluar dugaan. Dia menolak dengan keras, bahkan sampai ingin meminta kembali gulalinya.
Saya jadi tak enak hati. Sungguh tidak ada niat merendahkan, hanya ingin berbagi. Saya minta maaf dan coba menenangkan dia. Saya bilang, ‘ Kalau gitu tambahin lagi deh gulalinya jadi Rp 20 ribu, ‘. Kakek pun setuju.

Dia lantas bercerita panjang lebar tentang dagangannya. Tampak begitu bangga dengan apa yang ia hasilkan. Tak sungkan memberi tester gratis pada calon pembeli. Pokoknya puas aja kalau gulalinya dinikmati.
Saya ajak ngobrol seputar kesehariannya jualan gulali. Lagi, saya merasa iba. Setiap hari dia pulang pergi Jakarta-Bogor memikul dagangan naik KRL ekonomi. Berangkat jam lima pagi, pulang nggak tentu. Bisa jam 8 malam, jam 10 malam, ya asal kereta masih ada.

Sama sekali tak terdengar sepatah kata pun tentang keluhan yang biasa terlontar seperti saya berbincang dengan supir taksi, tukang ojek, atau pedagang siomay. Walau sudah tua, harus diakui semangatnya luar biasa. ‘Dibawa senang-senang saja nona, jangan lihat susahnya’, begitu katanya.
Waktu saya iseng tanya soal keluarga, dia mengaku tidak memiliki anak. Istrinya juga sudah meninggal. Praktis hidupnya kini tinggal seorang diri. Sekali lagi, itu bukan alasan untuk mengeluh. Apalagi, meratapi nasib. ‘Ntar juga saya meninggal, jadi ngapain dipikirin’, ujar dia enteng.
Itu obrolan pertama kali setahun lalu. Nah, sekarang Tuhan pertemukan saya kembali dengan si kakek. Tidak ada yang berubah kecuali tubuhnya yang kian renta.

Saya sapa, ‘Kek, baru keliatan lagi. Masih inget saya nggak?’. Dia hanya tertawa memperlihatkan deretan gigi yang sudah ompong. ‘Iya nona tapi lupa-lupa’. Oh ya, ada yang sedikit beda dari dagangan kakek. Sekarang gulalinya sudah disiapkan per plastik. Jadi, kalau ada yang mau beli tinggal ambil.
‘Ini se-plastiknya berapa?’ tanya saya. Dia jawab, ‘Rp 2000′. Hah?Rp 2000? Saya tahu harga gulali di pasaran memang tidak mahal. Tapi, dengan isi yang lumayan banyak begitu rasanya harga Rp 2000 terlalu murah.

Saya hitung, masih ada sekitar lima plastik yang dipajang. Sialnya, duit di kantong tinggal Rp 15 ribu. Hanya cukup buat ongkos pulang. Saya jadi nggak bisa beli semua. Cuma beli dua plastik. Duh, nyesel juga.
Saat mau bayar, kakek masih saja seperti dulu. Memberi saya setangkup gulali gratis untuk dicoba. ‘Ini nona coba dulu nanti menyesal lagi kalau rasanya nggak enak’. Saya bilang, nggak perlu dicoba kan udah tau rasanya. Enak kok. Dia tetap memaksa, katanya, takut rasanya berubah.

Dan, nggak cuma saya aja yang dikasih gratisan. Semua calon pembeli diperlakukan sama. Asal tahu, gulali buatan kakek memakai gula pasir asli tanpa pewarna. Jadi, flat cuma warna putih gelap khas gula pasir aja.
Saya nggak asal ngomong atau sedang berpromosi. Teman-teman juga keluarga saya mengakui itu. Beda banget deh sama yang dijual di tempat lain, yang pakai warna pink.

Untuk menyenangkan hati kakek, saya cicipi gulali itu. Dia tampak senang sekali gulalinya saya makan. ‘Masih enak kok, masih sama. Manisnya pas,’ kata saya jujur. Kakek tersenyum sumringah dan malah memberi saya setangkup lagi, gratis. ‘Ini ambil lagi buat dijalan’.

Seketika saya ingin menangis. Gulali yang ia jual harganya cuma Rp 2000 per plastik. Kalau laku semua, kira-kira cuma dapat Rp 30 ribuan. Tapi, dia masih bisa memberi gratis pada semua calon pembeli.  Hidup yang terlihat miris dari luar, ternyata dirasakan begitu manis. Sama seperti rasa gulali yang ia jual. Ya Tuhan.. sungguh saya terenyuh. ‘Berkah ya, Kek, rejekinya. Amin..’, doa saya dalam hati.

Saya lantas melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Masih dengan perasaan yang ‘tertampar’. Saya seperti berdialog dengan diri sendiri. Malu tepatnya.

Kalau dibandingkan, gaji saya jauh lebih besar dari penghasilan kakek. Saya juga masih muda dan sehat. Cuma kok kebanyakan ngeluhnya. Hidup yang nggak sempurna-lah, kerjaan yang banyak banget-lah, yah macem-macem deh. Minim banget rasa syukur.

Tuhan seperti mau mengajari saya bagaimana caranya bersyukur. Sederhana. Cukup dengan senyum, wajah yang ceria, dan hati yang ikhlas memberi, tanpa embel-embel kepentingan atau rasa takut kehilangan rejeki.
Dua hal bodoh yang saya lakukan adalah lupa menanyakan siapa nama kakek dan mengambil gambarnya. Semoga Tuhan pertemukan saya kembali dengannya. Masih banyak yang ingin saya pelajari.

Teman-teman bisa coba buktikan sendiri cerita saya bila bertemu dengannya. Kakek penjual gulali itu dua kali saya temui di sekitar MNC Tower, kata seorang teman yang juga pernah melihat, kadang suka mangkal di Jalan Sabang.

Perawakannya kecil, renta, memakai topi kompeni, tanpa alas kaki, dan memikul dagangan gulali. Kalau saya ketemu dia lagi, saya janji akan sebutkan nama, juga menunjukkan fotonya. Sebut saja itu janji reporter galau. He-he-he..

Firda Puri Agustine
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/09/20/saat-hidup-tak-semanis-gulali-tersenyumlah/

Saturday, September 15, 2012

AMANAH

Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah).

Amanah adalah lawan dari khianat. Amnah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah (titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan).
Dengan demikian, sikap amanah dapat berlangsung dalam lapangan yang sangat luas. Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.

Al-Quran menyatakan kata amanah dalam enam ayat. Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS al-Ahzâb [33]: 72).

Ada berbagai pendapat mengenai makna amanah dalam ayat ini. Al-Qurthubi menyatakan, amanah bersifat umum mencakup seluruh tugas-tugas keagamaan. Ini adalah pendapat jumhur.
Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya):

Allah berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, Aku telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak sanggup mengembannya. Apakah engkau sanggup mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya?”

Adam bertanya, “Apa yang ada di dalamnya, wahai Rabb-ku?”
Allah menjawab, “Jika engkau mengembannya maka engkau diberi pahala dan jika engkau mengabaikannya maka engkau akan diazab.”
Adam lalu mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya. Adam tidak tinggal di Surga kecuali seukuran antara shalat yang pertama sampai shalat Ashar hingga setan mengeluarkannya dari surga. (HR at-Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, Ibn ’Abbas berpendapat, bahwa amanah dalam ayat ini maknanya adalah kewajiban-kewajiban dimana seorang hamba diberi diamanahi Allah untuk melaksanakannya.

Asy-Syaukani menukil pendapat al-Wahidi, bahwa amanah di sini menurut pendapat seluruh ahli tafsir adalah ketaatan dan kewajiban-kewajiban yang penunaiannya dikaitkan dengan pahala dan pengabaiannya dikaitkan dengan siksa. Ibn Mas‘ud berkata, bahwa amanah di sini adalah seluruh kewajiban dan yang paling berat adalah amanah harta. Sedangkan Ubay bin Ka‘ab berpendapat bahwa di antara amanah adalah dipercayakannya kepada seorang wanita atas kehormatannya.

Seluruh pendapat tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa amanah dalam ayat tersebut adalah seluruh apa yang dipercayakan Allah kepada manusia mencakup seluruh perintah dan larangan-Nya, juga seluruh karunia yang diberikan kepada manusia. Sebagian ulama memerinci apa-apa saja yang termasuk amanah yang penting.



JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER