Thursday, November 17, 2011

Berbuatlah karena Allah

Problematika besar bangsa ini sejatinya bermula dari sebuah kerusakan kecil. Seperti peristiwa kebakaran hebat, ia bermula dari percikan api yang kecil. Karena itu, kita harus senantiasa mengantisipasi terjadinya kerusakan kecil agar tidak telanjur makin besar.

Kerusakan kecil itu ialah ketidakmurnian niat dalam berbuat atau melakukan sesuatu. Islam sangat memperhatikan masalah niat. Niat yang salah (tidak karena Allah) akan menghilangkan pahala dari kebaikan yang dilakukan meskipun amal tersebut tergolong amal saleh yang dicintai Allah dan rasul-Nya. “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya. Sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari Muslim).

Jadi, sekalipun seseorang mampu merangkai kata-kata indah nan memukau atau mampu bekerja keras dengan penuh semangat, tapi tidak diniati karena Allah, sia-sialah semuanya. Niat yang buruk atau niat yang ditumpangi oleh kepentingan nafsu akan menimbulkan perselisihan serius sehingga menyebabkan terjadinya perdebatan, perteng karan, perkelahian, bahkan permu suhan dan dendam. Oleh karena itu, ber hati-hatilah dalam mengambil sebuah keputusan sebelum bertindak.

Kita harus memastikan secara jernih bahwa yang kita lakukan benar- benar semata-mata karena Allah agar mendapat keridaan-Nya. Jika sudah memastikan bahwa yang kita lakukan adalah murni karena Allah, lalu direspons keliru oleh orang lain, janganlah terprovokasi untuk marah. Tetaplah tenang dan bersegeralah mengingat Allah. Bahkan jika perlu, mohonkanlah ampun buat orang tersebut dan bermusyawarahlah bersamanya dalam mengambil keputusan. “Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS [3]: 159).

Demikianlah yang dicontohkan oleh Khalid bin Walid. Tatkala ia dinonaktifkan sebagai panglima jenderal kaum Muslimin oleh Khalifah Umar bin Khattab, Khalid sama sekali tidak bereaksi negatif, justru ia bersyukur karena Allah telah membebaskan dirinya dari besarnya amanah yang sangat berat. Ketika ditanya oleh sahabatnya perihal penonaktifan dirinya, Khalid menjawab singkat, “Saya berjihad ini karena Allah, bukan karena Umar.” Khalid tetap dalam pasukan meskipun berubah posisi hanya sebagai prajurit biasa.

Sebagai seorang Muslim, sikap seperti itulah yang harus kita pelihara dalam diri kita, yaitu menjaga kemurnian niat dalam berbuat. Jangan sampai hanya karena tidak lagi diberi kesempatan memimpin, lalu langsung meradang dan mencemooh semua orang.

Begitupun bila kita sebagai pemegang kebijakan, hendaknya mengambil keputusan atas dasar niat suci karena Allah yang disertai dengan musyawarah. Jangan sampai membuat keputusan atas dasar kepentingan diri (otoriter), apalagi hanya karena pengaruh pihak lain.

Saat ini dan ke depan, marilah kita tata kembali niat dalam berbuat dan semata-mata hanya mengharap rida Allah SWT. Sekiranya semua umat Islam memahami hal ini dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari, akan terbinalah ukhuwah Islamiyah. Wallahu a’lam.

Dr Abdul Mannan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/11/10/luf4x0-berbuatlah-karena-allah

Bahaya Menuduh Kafir

Menuduh adalah suatu perbuatan yang tidak menyenangkan. Orang yang dituduh akan terluka hatinya, apalagi tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya tidak disertai dengan bukti-bukti yang benar. Tentu ia akan merasa sangat terzholimi. Tuduhan seperti ini biasanya akan menimbulkan efek-efek negatif, seperti jalinan persaudaraan yang tidak harmonis, penceraian dalam rumah tangga, hilangnya kepercayaan dan harga diri, hilangnya pekerjaan dan jabatan dan sebagainya. Namun efek yang paling berbahaya adalah kerusakan akidah bagi pelakunya.

Oleh sebab itu, Islam telah memperingatkan kepada umatnya supaya tidak melakukan sembarang tuduhan kepada saudara seagamanya. Peringatan ini bisa dilihat dari beratnya hukuman atas seorang yang menuduh suatu perbuatan keji terhadap sesama saudaranya sendiri. Seperti menuduh melakukan perbuatan zina (qadzaf) sedangkan dia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, maka hukuman bagi orang yang menuduh itu adalah didera sebanyak 80 kali dera. (QS. An-Nur:4-5).

Demikian pula menuduh kafir tanpa keterangan yang dapat dipercaya adalah suatu perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Tuduhan inilah yang menimbulkan efek paling berbahaya tadi, yaitu rusaknya akidah.

Berdasarkan kaidah asas Islam dalam perkara akidah disebutkan, bahwa tidak dibolehkan mengkafirkan seseorang dari golongan ahli kiblat, kecuali dengan bukti yang jelas dan akurat. Sebab pada dasarnya, sosok seorang muslim adalah iman, maka mengkafirkan seorang muslim dengan tanpa alasan yang kuat adalah perbuatan yang dilarang. Sekiranya tuduhan tersebut tidak benar, maka sebaliknya orang yang menuduh itu adalah kafir. Hal ini menunjukan betapa kerasnya larangan melakukan perbuatan menuduh dan saling melemparkan tuduhan kafir tanpa dalil. (Lihat: Dr Wahbah Zuhaili, Akhlakul Muslim: 'Alaqatuhu bin Nafsi wal Kaun, Darul Fikr al-Mu'asir, Beirut Lubnan, h. 298).

Pendapat di atas didasarkan kepada dalil Alquran surat al-Ruum ayat 44, Allah SWT. berfirman, "Siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung akibat kekafirannya itu; dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan)."

Dalam menafsirkan ayat di atas, Prof Dr Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa sang penuduh (tanpa bukti yang valid) itu adalah kafir, yaitu entah dia itu fasik karena menutup kebenaran atau ia benar-benar kafir ( kafir mutlak). Sedangkan kufur mutlak, maknanya lebih luas dari fasik. Allah berfirman: "Barang siapa yang kafir setelah datang keterangan-keterangan yang jelas, maka mereka itulah orang-orang yang fasik". (QS Al-Nuur: 55).

Sedangkan, Nabi SAW telah menegaskan, bahwa orang yang menyifatkan saudara muslimnya dengan sifat kekufuran, maka hal itu adalah dosa. Bahkan tuduhan itu berbalik kepada dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar RA., bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kata-kata kafir, atau berkata: wahai musuh Allah, sedangkan tidaklah demikian halnya, maka tuduhan dan kata-kata itu kembali dan berlaku kepada dirinya." (HR Bukhari dan Muslim)

Keterangan nash Alquran dan Hadis di atas hendaknya menjadi perhatian dan pelajaran bagi setiap muslim supaya lebih berhati-hati dan waspada untuk tidak mudah atau tergesa-gesa melemparkan sebuah tuduhan. Apalagi menuduh kafir terhadap sesama saudara muslim sendiri dengan tanpa bukti atau informasi yang valid. Sebab, tuduhan tersebut hanya akan membawa akibat yang membahayakan terhadap banyak pihak, terutama pelakunya sendiri. Di mana kemurnian akidahnya bisa rusak, gara-gara menuduh kafir terhadap saudaranya tanpa bukti dan kebenaran yang jelas dan nyata. Wallahu 'Alam bi Shawab

Imron Baehaqi Lc
Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, Bidang Dakwah dan Tarjih.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/11/12/luj2r5-bahaya-menuduh-kafir

Friday, November 4, 2011

Pelajaran dari Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail

Kisah keluarga Nabi Ibrahim adalah kisah teladan bagi setiap rumah tangga Muslim dalam menjalani problematika rumah tangga. Serentetan ujian yang bergulir tiada henti dalam kehidupannya. Namun semua itu tidak menjadikan bahtera rumah tangganya goncang bahkan semakin bertambah kuat perkasa.

Sekian tahun lamanya keluarga Ibrahim menanti sang buah hati. Telah banyak linangan air mata dalam doanya untuk di karuniai seorang putra sebagai penerus perjuangannya. Ketika sang buah hati telah hadir dan merekah dalam hatinya, maka Allah hendak menguji keimanan nabi Ibrahim dengan sang buah hatinya. Allah berfirman dalam al-Qur’an.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Siapapun pasti akan merasa berduka ketika buah hatinya sakit dan terluka. Apalagi anak semata wayang yang sekian tahun dinanti kehadirannya diperintahkan untuk disembelih sebagai bukti keimanannya. Meski demikian Nabi Ibrahim yakin bahwa mimpi yang dialaminya adalah wahyu dari Allah bukan sekedar halusinasi dan bisikan setan. Akhirnya iapun bertekad melaksanakan perintah Allah tersebut bersama anaknya.

Kebersamaan Ibrahim dan Ismail dalam Menjalankan Perintah Allah

Setelah Nabi Ibrahim mengetahui bahwa hal tersebut adalah wahyu dari Allah, maka segera ia kabarkan kepada Ismail putranya tercinta seraya meminta pendapatnya. Sungguh dia seorang anak yang berbakti pada orang tuanya. Begitu juga santun akhlak dan budi pekertinya.

Ketika mendengar hal tersebut adalah wahyu Allah yang disampaikan pada ayahnya tercinta, maka ia tidak lagi berpikir panjang memberikan jawaban untuk melaksanakan perintah Allah. Isma’il yang masih belia itu dengan tegas mengatakan pada ayahnya.
“Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Subhanallah… Iman setebal apakah yang menghiasi keluarga Nabi Ibrahim hingga ujian seberat itu dihadapi dengan penuh kesabaran? Kita benar-benar terheran dan takjub dengan keduanya yang bertekad kuat bersama-sama melaksanakan perintah Allah meskipun seolah tak tertahankan oleh jiwa.

Begitulah ketika orang tua tulus berdoa kepada Allah untuk anaknya kemudian mendidik dengan ajaran-ajaran tauhid maka anak akan tumbuh dengan pribadi shalih yang berbakti pada orang tuanya.

Kisah Penyembelihan

Tak terbayangkan suasana tatkala Nabi Ibrahim hendak melaksanakan perintah Allah. Haru-biru dan menegangkan bergejolak dalam jiwa sang ayah yang begitu cinta pada anak semata wayangnya. Keraguan pun terkadang menggelayuti di dalam benak Ibrahim.
Namun setiap setan kali datang menghampiri segera ia tepis dan meminta perlindungan kepada Allah. Ibrahim dan Isrnail pun berserah diri, Kecintaan Ibrahim pada Allah telah mengalahkan kecintaan pada anaknya.

Begitu juga kecintaan Ismail pada Allah mengalahkan kecintaan pada dirinya sehingga rela mengorbankan nyawanya. Maka dimulailah pelaksaan perintah Allah sebagaimana firman-Nya: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. “(QS. ash-Shoffat:103)

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Ia (Ibrahim) telungkupkan ke tanah untuk disembelih dari arah tengkuknya tanpa melihat wajahnya saat disembelih agar lebih ringan bagi perasaannya.”

Ketika telah sempurna merebahkan putranya dan mata pisau mulai dipancangkan untuk di ayurikan ke leher Ismail. Saat itu Allah mengetahui kejujuran Ibrahim dan Ismail. Allah berfirman memuji Ibrahim.
“Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrohim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik’. ” (QS. ash Shaffat: 104-105)

Akhirnya Allah pun menjadikan jalan keluar dari ujian mereka berdua. Allah ganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Allah berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. ash-Shaffat:104-105)

Haru biru telah memenuhi ruang hati Ibrahim dan Ismail. Perasaan gemuruh telah berubah menjadi samudra kebahagian. Gelombang ujian yang begitu dahsyat telah pecah dengan tekad mereka yang tegar bagai karang di tengah lautan. Tak pernah goyang meskipun diterjang kuatnya badai dan gelombang.
Sungguh kisah mereka teladan abadi keluarga muslim sepanjang zaman.

Pelajaran dari Kisah Ismail bagi Seorang Muslim

Dalam kisah Ismail banyak sekali terdapat ibrah dan nasihat yang dapat dijadikan oleh para da’i sebagai topik dakwah di seluruh lini masyarakat, diantara ibrah dan nasihat yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ismail adalah:
1. Mengikat diri dalam perintah Allah dan segala perintah-Nya bukanlah dalam rangka menzholimi dan menyusahkan seorang hamba.
2. Ismail adalah suri tauladan bagi pemuda muslim dalam berbakti pada orang tua terlebih ketaatannya kepada perintah Allah.
3. Menghilangkan lara kesedihan dengan taat pada Allah. Itulah obat mujarab. Barangsiapa yang bersedih hati hendaklah mendekatkan diri pada Allah dengan ketaatan.
4. Cobaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin menunjukkan bukti kecintaan Allah. Ketika Allah menguji hamba-Nya hakikatnya Dia sedang mencintainya.
5. Berhias dengan akhlak yang Islami yaitu dengan senantiasa menepati janji dan berhusnuzhon kepada Allah.
6. Memenuhi hak keluarga seperti bermusyawarah kepada anak ketika hendak mengerjakan suatu perkara yang berkaitan dengannya begitu juga kebersamaan dalam melaksanakan perintah Allah.
7. Tidak boleh bermaksiat kepada Allah dengan alasan memenuhi hak keluarga.
8. Perintah berkorban kepada Allah dengan harta dan jiwa. Dan dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail di syariatkan bagi umat islam berkurban dengan menyembelih kambing.
9. Kesabaran dan tekad yang kuat dalam menjalankan perintah Allah membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
10. Hendaknya bagi seorang Muslim senantiasa menepis dan membuang keraguan dan bisikan setan ketika hendak menjalankan ketaatan kepada Allah
Demikian beberapa hikmah dari kisah Ibrahim dan Ismail dalam kehidupan seorang Muslim. Sungguh kalau kita mau menggali masih banyak sekali hikmah yag terkandung di dalamnya. Wallahu a’lam bishawab.
http://mimbarjumat.com/archives/1368#more-1368

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER